Rumah kosong ini menjadi saksi betapa remuknya hati yang dikhianati ini. Bohong jia aku tegar. Tapi kenyataannya, aku tetap wanita yang rapuh. Merasa dunia runtuh hanya karena kandasnya sebuah rumah tangga.
Aku duduk disofa ruang tamu sambil menatap langit-langit dengan nanar. Mataku sit terpejam, tapi rasanya aku sudah bermimpi sejak siang tadi.
Potret bahagia pernikahan kami yang bergantung di dinding, seperti menertawakan kebodohanku. Setelah hatiku digerogoti sampai habis, aku baru sadar betapa tidak pantasnya Dimas diperjuangkan selama ini.
Kupikir selama ini kami saling cinta, hanya aku yang mencukupi kebutuhan rumah tangga tidak masalah. Kupikir selama kami masih bermesraan satu sama lain, itu sudah cukup. Namun aku terlalu naif.
Sudahlah mokondo, Dimas keparat itu juga tidak setia. Pria gila mana yang sampai bisa tergoda dengan adik iparnya sendiri?
"Hah!" Aku menghela nafas sepanjang mungkin. Selain melepas kekesalan, aku berharap segala kebucinanku pada Dimas juga ikut terhempas.
Sudah tiga hari semenjak Dimas ketahuan selingkuh dengan Ayunda. Dan sampai sekarang aku masih belum mau bertemu dengan mereka maupun dengan Papa. Karena aku belum benar-benar tenang.
Namun berdiam diri di rumah yang kini terlihat suram juga tidak baik. Aku hanya akan tenggelam dalam bayang-bayang dua manusia yang menjijikkan itu.
Tak mau menjadi satu-satunya yang terpupuk , aku memutuskan untuk bangkit. Ada atau tidak adanya Dimas, tidak akan mengubah apapun.
"Benar, mending sekarang aku berkerja dan memperkaya diri saja", ucapku sambil membuang nafas untuk kesekian kalinya.
Setelah berpura-pura kuat, aku berjalan menuju kamar yang tidak pernah aku buka sejak kejadian itu.
Seprei dan bantal masih berserakan dilantai masih belum dirapikan ketempat semula. Melihat kekacauan itu, terbayang pergumulan panas Dimas dan Ayunda langsung terlintas dikepala.
Kepingan hati yang aku susun dengan sembarang, sekarang kembali hancur berantakan. Aku bergeming menitikkan air mata sepersekian detik. Meskipun tak lama, aku kembali berpura-pura.
Selimut yang terlihat kusut segera kusingkap. Sebelumya, aku sudah membawa kantong plastik besar untuk membungkus sampah yang ditinggalkan dua manusia sampah itu.
Selain selimut, aku juga menarik seperti dan bantal dengan kasar. Menumpuk semuanya dalam satu kantong, kemudian mengikatnya kuat-kuat sebelum kulempar keluar.
Dadaku masih sesak, tentu saja. Tetapi aku tidak boleh terus terlihat lemah atau Ayunda akan semakin besar kepala.
Semua barang-barang yang berhubungan dengan Dimas aku buang, terutama jejeran foto yang tampak manis, tapi terlihat menyedihkan sekarang.
"Bajingan keparat itu. Aku bakal buktiin kalau aku juga bisa dapat cowok yang jauh lebih baik", ujarku bermonolog sambil membuang sisa baju Dimas yang tertinggal.
Lalu setelah setengah isi rumah keluar, aku kembali duduk dirumah tengah. Ini malam ketiga aku tidak tidur di kamar. Sepertinya ini akan menjadi malam yang terakhir, sebab aku kan menjual rumah ini beserta kenangan didalamnya.
****************
Pagi harinya, aku keluar setelah tiga hari mengurung diri. Selama ini aku hanya berdandan seadanya. Namun mulai sekarang, aku akan tampil secantik saat aku masih gadis dulu.
Baju cantik yang tersimpan di lemari bertahun-tahun, akhirnya aku kenakan kembali. Bodohnya aku selalu menuruti Dimas agar tampil sederhana, padahal dia sendiri lebih memilih melirik perempuan cantik dengan penampilan menarik.
Tak hanya baju, kali ini aku memoles wajah dengan make-up yang cukup terlihat. Ariana yang selalu tampil sederhana kini sudah tidak ada. Sekarang aku bebas mau beli apapun yang mahal, tanpa memikirkan jatah bulanan suami dan mertua yang tidak tahu diri.
Aku tersenyum saat melihat wajah yang biasanya kusam berubah cantik hanya dengan beberapa polesan. Benar, akan aku buat Dimas menyesal!!
Setelah selesai berias, aku segera keluar untuk pergi bekerja setelah mengambil cuti berhari-hari. Bisa dibayangkan tumpukan naskah yang menuntut untuk cepat dikursi.
Aku pikir, hari ini akhirnya aku melewati hari yang baru dan tenang. Namun saat aku membuka pintu, pemandangan menjengkelkan langsung mengubah moodku.
"Ariana!" benar, itu adalah Dimas.
"Apa?" jawabku sekenanya.
Kulihat Dimas kembali menelan ludah, sebelum kembali berujar, "Gimana kabarmu?"
"Kamu gak bisa lihat?"
"Ah, ya kamu tambah cantik", katanya.
Biasanya aku langsung tersipu saat mendapatkan pujian cantik seperti itu. Namun sekarang, aku hanya memutar bola malas menanggapinya.
"Nggak usah kelamaan ngomong. Mau apa kamu kesini?"
"Sebenarnya aku mau kita baikan, tapi kayaknya udah gak mungkin. Kamu udah gak mau sama aku".
Alisku terangkat. "Itu tau".
"Jadi__"
Aku menatap Dimas dengan malas. Menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.
"Aku mau ambil barang-barangku disini, Ri".
Keningku mengernyit. "Barang-barang? Emangnya kamu punya? Bukannya semua yang ada disini aku yang beli, ya?"
Dimas nampak terkejut dengan ucapan ku barusan. Bisa kulihat dari bola matanya yang membesar dan bibir sedikit melebar.
"Riana, kamu kok jadi gak lembut ngomong sama aku? Dulu kamu__"
"Dulu kamu masih suamiku. Sekarang kamu siapa minta dilembutin terus, bayi?"
"Tapikan, Ri__"
"Udahlah, aku buru-buru ". Aku mendorong Dimas agar menjauh, memberikan ruang agar aku bisa mengunci pintu.
Setelah pintu terkunci, aku beralih menatap mantan suamiku. "Kalo kamu kekeuh mau ambil barang-barang kamu, tuh__" Aku menunjuk bak sampah dengan ekor mataku. "Aku sudah membuang semua disitu".
Dimas nampaknya semakin mendelik. Sayangnya aku sama sekali tidak peduli. Lebih baik aku pergi dan membawa mobil meninggalkan garasi.
****************
Seperti bayangan, meja kerja yang aku tinggalkan tiga hari, kini sudah penuh dengan naskah yang menumpuk.
Aku menghela sebentar sebelum memutuskan untuk duduk. Setelah meletakkan tas disamping, aku menggeser tumpukan naskah agar sedikit longgar.
Ketika aku baru mulai menyortir naskah-naskah itu, tiba-tiba seseorang berdiri di belakang. Begitu aku menoleh, rupanya manager kami sudah berdiri sambil berkacak pinggang.
"Masih ingat buat masuk kerja kau, Ariana?" itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Julio managerku.
Julio ini masih muda, paling usianya beberapa tahun diatas ku saja. Tubuhnya tinggi dan tidak terlalu berisi. Berdasarkan standar ketampanan, pria ini masuk kategori kriteriaku. Namun sayangnya, lagi-lagi semua pujian itu harus kandas karena mulut pedasnya itu.
"Lihat naskah-naskah itu, kamu pikir mereka bisa selesai sendiri?" lanjutnya.
Aku segera menunduk. "Akan saya langsung kerjakan hari ini, Pak".
"Emang harusnya begitu. Saya gak mau tahu, hari ini harus selesai!"
Aku terkejut, naskah sebanyak ini harus kelar dalam satu hari. "T__tapi, Pak__"
"Nggak ada tapi-tapian, enak saja sudah cuti berhari-hari".
Setelah mengucapkan kata tak berempati itu, kulihat Julio melenggang keluar meninggalkan beban berat dipundak..
Ku lirik tumpukan kertas yang jumlahnya belasan naskah. Selanjutnya menghela, lebih baik cepat dikerjakan saja daripada menunda-nunda.
Meskipun __
"Mustahil ini bisa kelar!" aku memegangi kepala yang terasa pusing.
Sudah pukul sembilan malam, dan masih ada beberapa naskah yang harus diperiksa. Haruskah aku lembur sendirian sampai pagi?
"Bu Riana?"
"Oh, rupanya masih ada yang lembur dikantor. Aku menoleh dan mendapati ada Kenzi si anak magang datang membawa kopi kalangan.
"Bu Riana, lembur?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan. "kamu sendiri? Kenapa anak magang jam segini belum pulang , hah?"
Kenzi menjawab, "Ah, kebetulan ada yang perlu saya selesaikan, Bu".
"Apa kamu ditekan untuk mengerjakan hal yang sulit?" tanyaku memastikan.
Anak magang itu menggeleng. "Nggak, Bu. saya sendiri yang mau ngerjain".
"Dih... padahal bayaranmu kecil, kan?"
Pria muda di depanku ini hanya tertawa, tidak mengiyakan atau mengelak dugaanku barusan.
"Sekarang udah kelar?" tanyaku lagi.
"Sudah, Bu".
Aku mengangguk-angguk. "Syukurlah. Kalau begitu buruan pulang, nanti keburu malam".
"Tapi ini emang udah malam, Bu." bukannya pulang, Kenzi malah menarik kursi dan duduk disampingku. Lalu dia berkata, "Masih banyak yang perlu dikurasi?"
"Tinggal beberapa", jawabku. "Kamu... Kenapa malah duduk, bukannya pulang?"
"Saya ingin bantu".
"Nggak usah!" tolak ku tegas.
"Tapi saya ingin belajar, Bu. Apa Bu Riana takut saya kerjanya gak becus?"
Entah kenapa, aku tiba-tiba merasa bersalah. "Bagus sih, kalau kamu mau belajar. Tapi__"
"Oke, berarti Bu Riana setuju kalau saya bantu ".
Seakan tidak peduli dengan reaksi ku, Kenzi langsung mengambil satu bendel kertas berisi naskah yang paling atas.
Inginku berkata, jika dia tidak perlu melakukan itu. Namum setelah di pertimbangkan, sepertinya aku memang butuh bantuan. Kali ini saja, aku akan memanfaatkan anak magang.
Maaf, Kenzi lain kali kamu akan aku traktir makan enak.
sesaat kemudian kami kembali dalam mode hening. Memeriksa dengan teliti meskipun mataku sudah hampir menyerah. Aku ingin benar-benar meletakkan kepalaku di atas meja dan terlelap sebentar.
Sampai aku tidak sadar, sepertinya Kenzi memperhatikan betapa sering aku menguap sejak tadi.
Tiba-tiba kaleng kopi disodorkan di depanku. Saat aku mengernyit dengan bingung, Kenzi berkata, "Buat Riana"
"Terus, kamu?"
"Saya gak begitu menyukai kopi".
"Terus kenapa kamu beli?"
"Entahlah!" jawab Kenzi sekenanya. Sementara matanya masih fokus mengecek tulisan-tulisan yang masih lumayan banyak.
Aku bergeming sebentar. Meski pada akhirnya aku menerima kopi pemberian Kenzi. "Yaudah kalau kamu maksa".
Entah hanya imajinasi ku, atau memang Kenzi barusan tersenyum? Yang jelas, aku menganggapnya tampan untuk sesaat. Dia pasti sangat populer dikalangan perempuan.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Kasih Bonda
next thor semangat
2025-03-09
0