"Ariana ...."
"Apa?!" ku pelototi Dimas yang kini menampilkan wajah memelas.
Dari tampangnya, aku bisa melihat jika pria keparat ini ingin memohon padaku. Namun aku tidak peduli, siapa suruh dia lebih memilih Ayunda, daripada aku istrinya sendiri.
"Janganlah begini, Riana. Aku mau tinggal dimana?"
"Dimana?" mataku semakin mendelik. "Terserahlah . Mau tidur di kolong jembatan kek, atau dimana kek, aku gak peduli!"
Aku melihat Dimas menelan ludahnya dengan susah payah. "Tolonglah, Riana. Biarkan aku tinggal disini sebe--"
"Heh, Dimas! Rumahku bukan dinas sosial yang menampung sembarang gelandangan, ya!" potongku cepat. Bahkan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, karena aku bisa menebak kalimat apa yang akan keluar dari mulut sampahnya itu.
"Lagian kamu sendiri yang bilang lebih memilih Ayunda daripada aku", ucapku sambil menunjuk perempuan disamping Dimas.
"Aku gak bilang milih Ayunda". Bisa kulihat Dimas berusaha memberikan penjelasan. "Aku memang bilang gak bisa ninggalin Ayunda, tapi bukan berarti aku mau cerai dari kamu. Aku masih cinta sama kamu, Riana".
"Halah, mulutmu!" kulipat kedua tangan di depan dada. Bola mataku bergeser ke sembarang arah, sengaja mengindari wajah-wajah yang membuatku muak jika aku tetap menatapnya.
"Tolong pikirkan lagi, Riana".
Mendengar hal itu, sontak aku langsung menoleh. Mataku keheranan dengan apa yang barusan Dimas katakan.
"Dipikirkan apanya?" ucapku setengah berteriak. "Jadi kamu mau aku menerimamu dan Ayunda?"
Dimas memberikan anggukan kepala. "Poligami kan gak di larang di a--"
"Pria gila!" lagi-lagi aku menghentikan ucapan Dimas.
"Aku gak mau!"
"Tapi, aku juga gak mau menceraikan kamu".
"Lah, yaudah. Kalau gitu biar aku yang gugat cerai kamu!"
"Riana!"
"Apa?" kali ini suaraku lebih tinggi dari sebelumnya. "Riana, Riana, Riana! Itu saja yang bisa kamu omongin! Aku gak mau denger apapun lagi. Lebih baik kamu pergi dari rumahku sekarang!"
Tatapan sendu dari Dimas sama sekali tidak menggoyahkan hatiku. Sungguh kali ini aku benar-benar merasa menjadi orang yang sangat kejam.
Aku mencintai Dimas, tentu saja. Kalau tidak, bagaimana aku bisa hidup dengannya selama lima tahun tanpa nafkah yang pasti selama ini?
Rasa sayangku masih ada tentunya. Namun seolah-olah semua pengorbanan yang aku berikan justru membuat pria mokondo itu hidup bersantai sambil menyenderkan kepalanya.
Selama ini, mungkin dia berpikir rasa cintaku akan membuatku akan memaafkan segala kesalahannya. Sayangnya dia sudah melewati batas.
Dia lembut, tapi aku tidak bisa berkompromi dengan yang namanya perselingkuhan. Sebesar apapun rasa sayangku pada Dimas, semuanya akan sia-sia jika dia berani mendua.
Ku tarik nafasku dalam-dalam. Marah-marah sejak tadi membuat leherku semakin tegang. Setelah memejamkan mata dan menenangkan diri sebentar, aku kembali menatap Dimas dan Ayunda secara bergantian.
Lalu, dengan nada tenang aku berujar, "Mending kalian cepat keluar dari sini. Aku merasa energiku sudah habis meladeni kalian".
"Ria--"
"AKU BILANG KELUAR!"
Emosi yang dengan susah payah aku tenangkan, kembali melonjak.
Kuambil koper yang dari tadi hanya tergeletak tanpa tersentuh. Lalu kulempar kuat-kuat koper itu hingga mengenai dada Dimas.
"PERGI! AKU GAK MAU LIHAT KALIAN LAGI!"
Kupikir Dimas akan membujuk atau memohon sekali lagi. Namun ternyata rusak, sebab saat aku lihat, dua binatang berbentuk manusia dihadapan ku seperti pasrah saja.
Entah karena Dimas sudah menyerah, atau tangan Ayunda yang melingkar di lengannya membuatnya merasa aman?
Ku pandangi mereka satu persatu. Wajah Dimas terlihat sendu penuh penyesalan. Namun perempuan disampingnya justru mengangkat naik sudut bibirnya.
Tak lama setelahnya. Ayunda terlihat menarik lengan Dimas, dan berkata, "Sudahlah, Kak. Mending kita pergi saja dari sini".
Bukan hanya menarik Dimas, perempuan genit itu juga meraih koper yang juga berisi baju-baju yang aku buang tadi dengan sembarang.
Mataku terus mengekor kearah Ayunda. Aku bahkan bisa melihat dengan jelas saat perempuan itu melirik, dan menyeringai ke arahku.
"Kamu pikir udah hebat, hah?" ucap Ayunda, entah apa maksudnya.
Saat aku hanya memandanginya, perempuan itu kembali berkata, "Lihat. Bahkan suamimu sendiri lebih memilih aku! Sadar diri, kamu itu hanya anak pungut yang gak jelas asal-usulnya."
Dadaku semakin sesak. Seolah-olah ada batu yang diantar oleh setiap kata yang diucapkan Ayunda. Sepertinya tidak cukup hanya merebut suamiku, dia bahkan melontarkan kalimat yang paling tidak ingin aku dengar.
Tak menunggu aku menjawab, kulihat dua manusia di depanku berjalan menuju pintu.
Sesekali aku melihat Dimas berbalik dengan tatapan yang sulit ku mengerti. Sedangkan adik tiri ku, melenggang begitu saja seperti seorang pemenang meninggalkan lawan yang sudah kalah.
"Tenang aja, Kak. orangtuaku punya banyak uang, kak Dimas jangan khawatir ".
Itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar secara samar dari Ayunda, sebelum akhirnya langkah kaki mereka benar-benar hilang dari pendengaran.
...****************...
...Tik, tok! Tik, tok! Tik, tok!...
Suara jarum jam menemani kekosongan yang aku rasakan. Dadaku benar-benar sakit dan berat. padahal jelas sekali, lubang besar tercipta disana .
Aku terduduk diatas ranjang yang berantakan sambil memegangi kepala. Selimut berserakan, begitu juga dengan bantal yang terlihat berserakan dilantai sembarangan. Membayangkan Dimas dan Ayunda bergumul diatas kasur yang sama denganku, sungguh menyesakkan sekali rasanya.
Seolah-olah belati tajam mengoyak hatiku. Perih, panas, dan hancur. Airmata yang sedari tadi tertahan, kini tak bisa lagi disembunyikan.
Air mata itu.... Mengalir bersama dengan rasa sakit hati yang sangat besar. Tubuhku membeku, meskipun bibirku terisak. Dunia yang dengan susah payah aku bangun, kini seketika hancur. Untuk apa aku hidup sekarang?
Suami sekaligus satu-satunya orang yang aku cintai, memilih pergi bersama dengan adikku sendiri. Sedangkan orangtua...ah, aku tidak bisa mengharapkan apa-apa dari orang dewasa selalu pilih kasih sejak dulu.
Ketegaran yang tadi aku tunjukkan pada Dimas, sebenarnya hanya kepura-puraan saja. Hatiku sejatinya rapuh, tapi aku tahan atas nama harga diri yang terkesan tak lagi berharga.
Aku menangis tanpa suara, rasanya lebih menyesakkan daripada mengeluarkan airmata sambil meraung-raung. Dimas keparat itu berhasil membalikkan mentalku.
Sekarang, bisakah aku menjalani hidup seperti biasanya? Aku menggeleng tak yakin, bahkan masa depan yang tadinya aku impikan, sekarang terlihat suram.
Ketika aku masih termenung tenggelam dalam rasa sakit penghianatan yang sangat dalam, tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Awalnya aku ingin mengabaikannya, akan tetapi setelah panggilan berakhir, bel pintu rumahku berbunyi.
Buru-buru kehapus airmata ku di pipi. Bodohnya aku disaat seperti ini, masih mengharapkan jika seseorang di depan adalah Dimas. Aku berharap laki-laki itu sadar dan meminta maaf, maka aku akan memaafkannya .
Sayangnya, Tuhan masih baik. Dia tidak ingin aku kembali pada laki-laki yang tidak tahu diri itu. Akibatnya, saat aku buka pintu, bukan Dimas yang berdiri disana. Melainkan seorang pria muda yang terlihat familiar di kantor.
"Oh, Kenzi. Benara?" tanyaku memastikan. Karena aku tidak begitu yakin, mengingat pria di depanku ini adalah salah satu karyawan magang yang baru masuk dua pekan lalu.
"Benar, Bu", ucapannya sambil mengangguk sopan. Seperti sadar dengan pertanyaan di wajahku, dia langsung berkata "Aku diminta kepala departemen buat mengambil naskah yang akan dikurasi hari ini. Katanya Bu Ariana tidak bisa datang ke kantor hari ini ".
"Ah, ya". Ku simpan rapat-rapat masalah yang baru saja terjadi. Benar aku harus bisa bersikap profesional soal pekerjaan. "Masuk dulu, aku akan ambilkan berkasnya didalam".
Menuruti permintaanku. Biasa kulihat Kenzi berjalan mengekor dan masuk kedalam.
"Duduk dulu!" ucapku seraya mempersilahkan Kenzi untuk duduk.
Kemudian aku menuju kamar. Tak sadar, sepertinya aku meninggalkan tas di sana. Dadaku begitu sesak saat Kemabli masuk ke sarang cinta yang kini sudah terbakar dengan api penghianatan.
Napas kutarik dalam-dalam. Airmata yang sudah kering tidak boleh keluar lagi. Ingat, jangan sampai masalah pribadi dibawa kerana pekerjaan. Meski ternyata itu sulit sekali.
Setelah menarik kembali airmata yang hampir turun, aku kembali keluar sambil mengeluarkan naskah dari dalam tas.
"Ini naskah yang perlu dikurasi hari ini", ucapku sambil menyerahkan lembaran kertas pada Kenzi.
"Baik, Bu." ucapnya sopan. Selanjutnya dia menaruh kertas-kertas itu kedalam tas, lalu bangkit. "Kalo gitu, saya balik ke kantor dulu, Bu".
Aku tersenyum kecil dan mengiyakan. "Maaf aku gak bisa datang ke kantor, malah ngerepotin kamu".
"Nggak masalah, Bu", ujarnya. Setelah tiba di depan pintu, kulihat Kenzi berbalik. "Kalo gitu, saya permisi".
"Ya, hati-ha__"
"Oh, jadi ini kelakuan kamu, Riana!"
Mataku mendelik seketika. Sontak aku langsung menoleh kearah sumber Suara yang terdengar menggelegar.
Rupanya, wanita yang telah membesarkan aku dengan pilih kasih terlihat berjalan tergopoh-gopoh kearah kami.
"Kamu sudah menuduh suamimu berselingkuh dengan adikmu sendiri dan ngusir mereka, supaya kamu bisa bawa cowok lain ke rumah, kan?"
Aku menganga. Darimana pikiran itu berasal? Wanita ini baru datang, dan langsung marah-marah. Apa yang sebabnya sudah diceritakan oleh Ayunda?
"Dia..." kuliah, Mama tiriku menunjuk-nunjuk Kenzi yang terlihat bingung. Lalu kembali berkata, "Dia simpanan mu, kan? Kamu sengaja nuduh suami dan adikmu sendiri, buat nutupin kelakuanmu, kan?"
"Apaan sih, Ma? Datang-datang nuduh sembarangan," ucapku.
"Halah! Ngaku saja kamu?" usai memberiku tatapan menyebalkan, lalu dia beralih memandang Kenzi. "Heh! Denger ya, perempuan ini sudah punya suami. Kamu jangan mau jadi simpanannya!"
Kenzi terlihat bingung. Dia sesekali melirik ke arahku untuk meminta penjelasan tentang situasi macam apa ini. Tentu, aku hanya bisa meminta maaf lewat isyarat mata.
"Heh! Aku lagi ngomong sama kamu!" bentak Mama tiriku pada Kenzi.
"Mama! Dia pegawai di kantorku! Mama jangan malu-maluin, lah".
"Diem kamu, Riana!"
Kutelan ludah dengan kasar. Setelah anak dan menantunya bersikap seenaknya, kini wanita itu sama sembarangannya.
Sementara kulihat, Kenzi terlihat mengangguk-angguk. Sepertinya dia sudah bisa mengerti apa yang terjadi. Namun tidak seperti bayanganku, aku pikir Kenzi akan langsung mengelak dan menghindar, akan tetapi....dia malah tersenyum dan sopan.
"Maaf, Bu. Aku memang pegawai magang di kantornya Bu Ariana. Dan aku datang kesini buat mengambil berkas ", ucap Kenzi dengan tenang.
Terlihat Mama tiriku memutar bola mata. Entah dia tidak percaya atau kadung malu menuduh Kenzi sembarangan tadi.
Tak kunjung mendapatkan tanggapan dari wanita itu, Kenzi kembali tersenyum dan berpamitan. Namun lagi-lagi belum sempat ia berbalik, tiba-tiba dari arah seberang terdengar teriakan yang lain .
Ya Tuhan, apalagi sekarang?
"ARIANA! Berani-beraninya kamu usir anakku seperti itu!"
Ah, ini dia satu lagi. Ibu mertua yang selalu merajakan anak mokondonya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments