"Jangan peduli, karena aku tau setelah itu aku akan kembali sakit hati."
-------
Malam harinya.
Mama Elisa dan papa Heri pamit pulang dulu, karena yang akan menjaga malam ini adalah Aryan. Kedua mertua Aira pulang ke rumah Aryan dan Aira, agar besok bisa ke sini lagi untuk menjaga Aira, saat Aryan pergi kerja.
Kini, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Selepas maghrib tadi, suaminya sempat menawarkan untuk makan malam, namun ia menolak karena memang belum lapar.
Sekarang ia sudah merasa lapar, tapi suaminya terlihat sedang sibuk dengan laptop. Semenjak kedua mertuanya pergi, kamar ini menjadi sangat sunyi. Suaminya sibuk dengan laptop dan ponsel, sedangkan ia hanya tidur dan kembali termenung. Aira pun memilih untuk duduk sendiri, lalu sedikit menaikkan kepala ranjangnya, agar bisa bersandar. Untung makanan ada di atas nakas, jadi, ia tak perlu berjalan mengambil makan.
Aira mengambil makanan di atas nakas dengan tangan kirinya, namun sendok tak sengaja jatuh tersenggol. Alhasil, sendok yang jatuh itu menimbulkan suara bising yang membuat Aryan langsung menoleh ke arahnya.
"Kamu mau makan? Kenapa gak bilang ke saya? Kamu mau mama tau terus saya kena marah karena cuekin kamu," seru Aryan sembari berjalan ke arah Aira, lalu mengambil sendok yang baru.
"Maaf," sahut Aira pelan. Hatinya kembali sakit, karena ia kembali disalahkan atas apa yang dialami suaminya hari ini.
Tak terasa, air matanya pun ikut mengalir dan selera makannya langsung hilang.
"Sini saya bantuin," kata Aryan hendak mengambil alih makanan yang sudah Aira pegang.
"Aku makan sendiri aja," ucap Aira tak mau memberikan makanan yang sudah ia pegang.
"Kamu mau mama marah lagi ke saya?"
"Mama gak bakalan marah, kalau aku yang bilang mau sendiri," ujar Aira mengambil sendok yang dipegang Aryan, lalu mulai makan dengan pelan. Karena tangan kanannya melekat jarum infus, jadi pergerakan tangan Aira jadi terbatas.
"Kamu gak bisa makan sendiri, jadi saya suapin aja." Aryan merebut paksa sendok itu, lalu menyuapi Aira dengan pelan. Mau tak mau, Aira tetap makan, karena ia butuh asupan.
Rasanya sangat canggung, karena Aryan terkesan seperti robot yang sedang menyuapinya.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aira yang sempat tertidur, terbangun lagi karena ingin buang air kecil.
Aira menatap suaminya yang bersandar di sofa, sembari memejamkan mata. Mungkin sudah tidur karena kelelahan.
Rasanya enggan memanggil Aryan, takut laki-laki itu marah.
Aira pun berusaha bangun sendiri. Janjinya adalah jangan menyusahkan suaminya, jadi, ia harus berjuang sendiri.
Ia pun mengambil botol infus, lalu turun dari ranjang.
"Mau kemana?" tanya Aryan membuat Aira terkejut, namun tetap berjalan ke arah kamar mandi sembari menopang tubuhnya di dinding.
"Kamu bisa gak sih kalau butuh apa-apa bilang ke saya!" Aryan berjalan ke arah Aira.
Langkah Aira terhenti, lalu menatap suaminya dengan tatapan penuh arti.
"Aku gak mau mas susah," kata Aira kembali berjalan menuju kamar mandi.
"Kamu udah terlanjur nyusahin saya, Aira."
"Maaf," ucap Aira pelan, lalu masuk ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, ia menggantung kembali botol infus, lalu mengusap kedua matanya.
Maaf karena ia kembali menyusahkan. Ia sudah mencoba berguna untuk suaminya, tapi tetap tidak bisa. Ia sudah mencoba untuk tidak menyusahkan suaminya, tapi tetap saja tidak bisa.
Maaf jika tubuh ini tak mampu menopang diri sendiri.
Setelah selesai buang air kecil, Aira pun bergegas keluar dari kamar mandi, karena ia sudah merasa mual. Lama-lama berdiri membuatnya pusing dan ingin muntah.
Di depan pintu kamar mandi, Aryan sudah menunggunya dan hendak membantunya ke tempat tidur. Aira langsung menggeleng, membuat kening Aryan berkerut.
"Jangan pura-pura peduli, mas. Biar aku-nya gak nyusahin mas lagi," ujar Aira lalu berjalan melalui Aryan yang hanya terdiam saja.
"Maaf."
Samar-samar Aira mendengar kata maaf, tapi. Aira tak peduli. Maaf saja tidak akan berarti, jika akhirnya tetap kembali melakukan hal yang sama.
Setelah beberapa hari di rawat, Aira sudah boleh pulang dengan catatan harus rutin minum obat dan juga istirahat. Pikiran Aira tidak boleh stres karena itu akan mempengaruhi kesehatannya dan juga janinnya.
Pagi ini, kedua mertuanya sudah akan pulang, karena papa Heri ada kerjaan, begitu juga dengan Mama Elisa.
Keduanya baru saja memasukkan tas pakaian ke bagasi mobil, lalu berpamitan ke Aryan dan Aira.
"Pokoknya jangan banyak pikiran ya, kalau ada apa-apa tuh cerita ke mama." Aira mengangguk pelan, lalu memeluk mama Elisa.
"Dan kamu Aryan, kalau sampai Aira stres lagi karena kamu, papa jamin kamu bakalan dapat lebih dari tamparan kemarin! Ngerti kan?"
"Iya, pa."
"Kami pulang dulu, assalamualaikum. "
"Hati-hati ya, Wa'alaikumussalam. "
Setelah papa Heri dan mama Elisa pergi, Aira pun segera masuk ke rumah, begitu juga dengan Aryan. Aira ke kamar, sedangkan Aryan ke ruang kerja. Hari ini, Aryan tidak pergi ke kantor, karena papanya memintanya libur dulu untuk menjaga Aira. Dengan berat hati, ia pun menuruti itu.
Saat Aryan baru saja membuka laptop-nya, ponselnya berdering. Ia tak perlu melihat nomor siapa yang memanggilnya, karena khusus nomor itu sudah ia bedakan nada panggilannya.
"Assalamualaikum, Iyan. "
"Wa'alaikumussalam. "
"Iyan, kamu ada waktu gak hari ini? Soalnya aku mau bimbingan sama dospen aku, tapi dia tuh gatel gitu, suka megang-megang. Aku takut kalau pergi sendiri, nanti dia macam-macam."
"Ajak aja temen perempuan kamu, Na. Aku lagi ada kerjaan," balas Aryan sembari menyalakan laptop-nya.
"Udah, tapi mereka punya kesibukan masing-masing. Aku juga udah ajak sepupu aku, tapi kan hari ini dia ada kegiatan di sekolah. Ayolah, Iyan, masa kamu gak mau temenin aku. Kan mbak Aira juga udah sembuh," rengek Diana membuat Aryan menghela nafas berat.
"Maaf ya, Na. Kali ini aku gak bisa, kamu ajak yang lain aja. Aira juga belum pulih total, jadi, belum bisa ditinggal."
"Kamu berubah ya," ucap Diana terdengar lirih.
"Bukan be,....
Belum sempat Aryan menyanggah, panggilan sudah terputus. Aryan pun mengetikan pesan untuk Diana, agar menunggunya di sana karena ia akan menemani gadis itu sebentar.
"Makasih, Iyan."
Mendapat balasan itu, Aryan tersenyum tipis, lalu bergegas ke kamar untuk ganti baju.
Tidak apa-apa, kan hanya sebentar saja. Lagipula Aira tidak sakit parah sekarang, hanya butuh istirahat saja.
Saat berada di kamar, Aryan menatap Aira yang berbaring dan terlihat meringis. Aryan pun mengurungkan niatnya ke ruang ganti, memilih mendekati Aira.
"Kenapa? Kepala kamu sakit lagi?" tanya Aryan menatap wajah istrinya yang sedang menahan rasa sakit.
"Enggak," jawab Aira pelan.
"Saya mau ke luar sebentar, kalau kamu ngerasa sakit bilang, biar saya panggilkan dokter," ujar Aryan membuat Aira langsung menggeleng.
"Mas pergi aja, aku baik-baik aja kok." Aryan pun menatap Aira beberapa detik, kalu bergegas ke ruang ganti untuk berganti pakaian.
Setelah berganti pakaian, Aryan menyempatkan diri melihat Aira yang ternyata sudah tertidur.
Tak lupa, sebelum pergi Aryan mengatakan kondisi Aira pada bu Imas.
"Kalau parah, hubungi saya ya."
"Iya, pak."
Aryan bergegas menuju mobilnya, karena Diana sudah kembali menghubunginya, takut telat dan dospen-nya pergi.
Sepeninggalan Aryan, Aira kembali membuka matanya. Ia pun bangun dari tidurnya dan menatap ke setiap sudut kamar.
Kepalanya sakit, badannya terasa sakit dan ia merasa mual. Lengkap sudah penderitaan tubuhnya yang lemah ini.
Aira pun memilih pergi ke luar, untuk menetralisir rasa sakitnya. Siapa tau, setelah ia beraktivitas, ia bisa merasa lebih segar.
Di sisi lain.
Aryan kini tengah menunggu Diana yang sedang bimbingan. Ia duduk di luar ruangan, karena memang hanya mahasiswa yang boleh masuk ke dalam.
Sembari menunggu, Aryan mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai.
"Aryan," panggil seseorang membuat Aryan menoleh, lalu tersenyum tipis.
"Ngapain lo di sini?" tanya laki-laki sebaya Aryan.
"Nemenin temen bimbingan," jawab Aryan mengajak temannya itu untuk duduk. "Lo sendiri ngapain di kampus, bukan di rumah sakit?"
"Gue ma nganterin adek gue tadi, ini mau ke rumah sakit," jawab laki-laki itu sembari tersenyum manis.
"Siapa sih yang lo tunggu? Gak biasanya lo mau sibuk begini demi orang," tanya Ibra, teman laki-laki Aryan yang berpofesi sebagai dokter spesialis mata.
"Temen,' jawab Aryan pelan.
"Kakak ipar gimana kabarnya? Udah sehat?" tanya Ibra menatap ke sembarang arah, tanpa melihat perubahan ekspresi Aryan.
"Udah mendingan."
"Alhamdulillah, kalau gitu gue per,...
"Iyan, aku udah selesai, ayo kita makan." Ibra dan Aryan serentak menoleh ke arah Diana yang baru saja keluar dari ruang dosen.
"Loh, jadi lo ke sini buat nemenin Diana. Apa gak masalah gitu, lo yang udah berstatus suami, malah asik-asikan sama mantan," sindir Ibra menatap sinis Diana, lalu beralih ke Aryan.
"Enggak, Ibra, kamu salah paham. Aryan kebetulan aja lagi gak ada kerjaan terus mbak Aira juga lagi gak sakit, makanya dia nemenin aku ke sini. Lagipula, aku yang maksa kok," sela Diana mencoba menjelaskan situasi sebenarnya, menurutnya.
"Mau istrinya sakit atau enggak, lo gak berhak ngajak Aryan sesuka hati lo lagi, Na. Jangan-jangan, kalian malah masih lanjut berhubungan."
"Gak kok, kita cuma temenan aja," sanggah Diana, sedangkan Aryan memilih diam.
"Temenan? Temen tapi mesra kan. Gue gak nyangka lo semunafik ini, Yan. Ck, banci lo! Kalau nanti ada yang deketin Aira, gue harap lo gak marah juga. Lo aja bisa nempel-nempel ke Diana, kenapa Aira gak bisa. Udah ah, lanjut aja kegiatan kalian," ujar Ibra lalu pergi meninggalkan dua insan itu.
"Ih, dia kenapa sih? Sensi amat," gerutu Diana lalu mendekati Aryan yang masih duduk.
"Kita makan dulu yuk," seru Diana. Aryan pun berdiri, lalu menatap Diana sebentar. "Kenapa? Ada yang salah ya sama jilbab aku? Atau make up aku ketebalan?" tanya Diana sembari memperbaiki hijabnya.
"Kamu udah selesaikan konsul-nya?"
"Udah."
"Kalau gitu aku pulang, karena tujuan aku ke sini cuma nemenin kamu konsul," ucap Aryan membuat Diana langsung cemberut.
"Kita makan dulu yuk, aku belum makan dari pagi," rengek Diana ingin menyentuh tangan Aryan, namun Aryan langsung mundur.
"Maaf, Na, aku banyak kerjaan. Kamu pulang sendiri ya, soalnya aku mau mampir ke apotek buat beli obatnya Aira, " sahut Aryan lalu pamit pulang tanpa menghiraukan rengekan Diana.
"Ck, Aira, Aira, Aira! Kenapa gak mati aja sih tu benalu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Lilis Yuanita
suka bagus bikin greget
2025-02-22
0