Eternal Abyss
Lembah itu seperti kanvas kehancuran. Tanah yang dulunya subur kini tenggelam dalam genangan darah yang menghitam, menyerap sinar matahari yang suram. Mayat-mayat manusia bergelimpangan, bercampur dengan serpihan baju zirah dan senjata patah yang berserakan tanpa pola, menciptakan pemandangan mengerikan sisa pertempuran. Di tengah kekacauan itu, sebuah tumpukan mayat menjulang tinggi, menyerupai monumen mengerikan.
Di puncak tumpukan itu, seorang pria muda berdiri dengan pakaian gelap yang compang-camping, auranya memancarkan ancaman yang tidak bisa diabaikan. Wajahnya tenang, dihiasi senyuman tipis yang kontras dengan horor di sekitarnya. Dia menarik napas panjang, seolah menikmati aroma kematian yang menyengat, lalu mengembuskannya perlahan. Kepalanya terangkat, matanya terpejam, mengarah pada matahari yang perlahan menghilang di balik awan kelam.
"Ah, betapa... menghibur," gumamnya, suaranya rendah dan penuh sindiran.
Tatapannya menyapu lembah itu, memandangi mayat-mayat yang berserakan di setiap sudut. "Orang-orang bodoh," katanya dingin, suaranya bergema seperti duri di udara. "Berapa kali pun kalian mencoba, hasilnya akan tetap sama. Tidak ada yang bisa menandingi aku."
Dari balik kegelapan, suara tajam seorang wanita memecah keheningan. "Kau benar-benar tidak punya hati. Setidaknya, tunjukkan sedikit rasa hormat pada mereka yang telah mati."
Leo menoleh perlahan, sorot matanya bertemu dengan seorang wanita muda yang berdiri dengan tenang. Rambutnya keperakan, jatuh seperti kilau sinar bulan, sementara matanya menyala penuh tekad.
"Alexia Frances," katanya dengan nada mengejek, menyebut namanya seperti sebuah lelucon. "Kalau kau datang hanya untuk memberikan khotbah, pergilah. Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan ocehan moral dari seseorang sepertimu."
Alexia melipat tangan, wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun ketakutan. "Leo XII, Raja Kejahatan Dunia," ucapnya tegas. "Kau sudah melewati batas yang bahkan Langit tidak akan ampuni. Dosa-dosamu telah mencemari dunia ini terlalu lama."
Leo melompat turun dari puncak mayat, gerakannya ringan meski tanah di bawahnya berlumpur darah. Kini, dia berdiri di hadapan Alexia, begitu dekat hingga jarak di antara mereka hanya sebilah pedang. Mata mereka bertemu, dua tatapan tajam yang seperti dua bilah pedang siap saling menikam.
"Langit murka?" Leo tertawa kecil, suaranya penuh dengan sinisme yang menggigit. "Biarkan saja. Aku tidak peduli pada omong kosong seperti itu."
"Omong kosong?" Alexia menyipitkan mata, nadanya penuh tantangan. "Kau bahkan tidak memahami kata-katamu sendiri."
Leo menyeringai, penuh percaya diri. "Aku memahami segalanya. Aku hidup hanya untuk diriku sendiri. Tidak ada yang bisa mengendalikan keinginan atau pikiranku. Siapa pun yang mencoba—" dia mencondongkan tubuh, suaranya menjadi bisikan mematikan, "—akan lenyap sebelum sempat menyesal."
Namun Alexia tidak goyah. Dia berdiri tegap, napasnya stabil meski ancaman mematikan baru saja meluncur ke arahnya. "Arogan sekali," katanya dingin. "Kau berbicara seolah-olah kematian bukanlah akhir yang menunggumu."
Seolah merespon ucapan Alexia, langit mendadak gelap. Awan hitam menggulung-gulung, menyelimuti matahari sepenuhnya. Petir menyambar, membelah keheningan dengan suara yang memekakkan telinga.
Langit semakin pekat, dan awan hitam yang menggulung tampak seperti naga purba yang siap menerkam mangsanya. Leo mendongak, senyuman kecil kembali menghiasi wajahnya, kini dipenuhi antusiasme yang ganjil. Kilatan petir sesekali menerangi wajahnya, memantulkan sorot mata yang tidak terganggu sedikit pun oleh ancaman di atasnya.
"Oh, ya? Bukankah ini semakin menarik," gumamnya pelan, seolah ancaman kehancuran hanyalah sebuah lelucon.
Di depannya, Alexia masih berdiri tegak. Matanya membara oleh tekad untuk mengakhiri kesombongan pria itu. "Leo XII," katanya tegas, suaranya tajam seperti pedang. "Mohonlah ampun atas dosamu. Mungkin Langit akan memberimu kesempatan untuk hidup."
Leo tertawa kecil, namun tawa itu dingin, tanpa sedikit pun kehangatan. "Ampunan?" dia menggeleng perlahan. "Tidak perlu. Jika Langit ingin runtuh, biarkan saja. Aku bahkan tidak peduli dengan eksistensinya."
Dia memiringkan kepalanya, menatap Alexia dengan tatapan yang berubah. Matanya kini bersinar tajam, penuh dengan intensi yang sulit ditebak. "Namun, ada sesuatu yang lebih menarik dari murka Langit, Alexia," ucapnya, senyumannya semakin melebar.
Alexia menyipitkan mata, berjaga-jaga. "Apa maksudmu?"
Leo melangkah mendekat, langkahnya pelan namun membawa tekanan yang tak kasatmata. Senyumannya berubah menjadi seringai ketika dia berhenti tepat di hadapannya. "Kau," bisiknya, nadanya serak. "Bagaimana jika kau menjadi milikku, Alexia? Aku sudah lama mengamatimu. Penasaran seperti apa rasanya memiliki seseorang seperti dirimu."
Ucapan itu membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat, namun Alexia tidak bergeming. Alih-alih marah, dia hanya mendesah, seolah sudah terbiasa menghadapi kebodohan semacam itu darinya. Dia berbalik, membelakanginya tanpa ragu sedikit pun.
"Leo," katanya datar, suaranya tanpa emosi. "Kau benar-benar pria paling bodoh yang pernah kutemui."
Alexia melangkah pergi, membiarkan keheningan dan jarak tumbuh di antara mereka. Dia bahkan tidak menoleh.
"Kalau kau berubah pikiran, panggil aku!" seru Leo dari belakang, nada bercandanya memantul di lembah yang sunyi. Namun tatapannya kembali ke langit, senyumnya memudar, berganti dengan ekspresi serius.
Dia mengangkat satu tangannya ke arah langit yang kini bergemuruh seperti monster buas yang akan melahap segalanya. "Sekarang," katanya pelan, "bagaimana aku harus menghadapi kehancuran ini?"
Awan-awan hitam berkumpul, berputar seperti pusaran energi, semakin rendah hingga hampir menyentuh tanah. Petir menyambar tiada henti, menciptakan suara yang memekakkan telinga. Cahaya ungu yang menakutkan mengitari tubuh Leo, membingkai siluetnya seperti sosok iblis dalam legenda.
"Split Soul," bisiknya dengan nada tenang namun menggema.
Saat kata-kata itu meluncur dari bibirnya, langit meledak. Energi raksasa menghantam Leo dengan kekuatan yang begitu besar hingga tanah di sekitarnya terbelah, menciptakan retakan-retakan yang meluas seperti jaring laba-laba. Cahaya menyilaukan menyelimuti tubuhnya, mengaburkan keberadaannya.
Dari kejauhan, Alexia berhenti melangkah. Dia menoleh sekali lagi, menatap ke arah ledakan cahaya yang membelah lembah. Wajahnya tetap dingin, namun ada kilatan rasa iba yang singkat di matanya.
"Pria bodoh hingga akhir," gumamnya pelan, sebelum berbalik kembali.
Dalam sekejap, tubuh Alexia lenyap, menyatu dengan angin, meninggalkan lembah yang kini tenggelam dalam kehancuran, penuh dengan puing-puing sisa dari ego dan kesombongan seorang Leo XII.
Di tengah hutan yang masih perawan, suara aliran sungai mengalun lembut, menciptakan harmoni yang menenangkan. Pepohonan menjulang tinggi, melindungi tanah dengan kanopi dedaunan hijau yang berbisik pelan, seolah menjaga rahasia alam yang belum tersentuh oleh tangan manusia. Burung-burung berkicau di kejauhan, melengkapi melodi liar yang indah.
Di bawah salah satu pohon tua dengan akar yang mencuat dari tanah, seorang pria muda bersandar tenang. Matanya tertutup, wajahnya memancarkan ketenangan sempurna, seperti jiwa yang telah berdamai dengan dunia. Namun, keheningan itu tidak bertahan lama.
Mata pria itu tiba-tiba terbuka, tatapannya penuh keterkejutan. Napasnya tertahan sejenak saat dia memindai sekeliling, matanya mengamati setiap detail dengan tajam, seperti seorang prajurit yang terbangun di medan perang yang asing.
"Apakah aku berhasil?" gumamnya pelan, menatap kedua tangannya dengan intensitas yang sulit dijelaskan.
Setelah beberapa saat, sebuah senyuman merekah di wajahnya—senyuman lebar penuh kemenangan dan kepuasan yang mendalam. "Split Soul… taruhan gilaku akhirnya membuahkan hasil," desisnya.
Dia bangkit perlahan, tubuhnya bergerak dengan ringan dan penuh percaya diri. Langkah kakinya membawa dia menuju tepi sungai yang berkilauan di bawah sinar matahari yang menyelinap di antara dedaunan. Dia menunduk, memandang refleksi wajahnya di permukaan air yang jernih.
"Wajah ini..." dia bergumam, jarinya menyentuh dagunya melalui pantulan. "Masih setampan seperti sebelumnya. Syukurlah," lanjutnya, tawa kecil keluar dari bibirnya, penuh dengan rasa puas yang hampir narsistik.
Dia memiringkan kepala, matanya menyipit tajam menatap refleksinya, mencoba memahami situasinya. "Apakah ini reinkarnasi? Tidak… aku tidak memulai dari bayi. Tubuh ini jelas tubuh muda. Transmigrasi, mungkin?"
Dengan rasa penasaran, dia mulai memeriksa tubuh barunya, memperhatikan setiap detail. Tidak ada luka atau bekas yang mencurigakan, tubuh itu sempurna. Namun, di dadanya, sebuah nama tercetak di kain bajunya: Leon Dominique.
"Leon Dominique," ulangnya pelan, nadanya datar, namun penuh pemikiran. "Jadi, ini nama tubuh ini?"
Dia menyeringai, ekspresinya berubah licik. Pikirannya berputar liar, seperti roda gigi yang kembali bergerak setelah sekian lama. "Dahulu aku adalah Leo XII, sang Raja Kejahatan Dunia. Namun sekarang, aku adalah Leon Dominique." Dia terdiam sesaat, senyuman di wajahnya kian lebar. "Dunia baru, tubuh baru... mungkin ini kesempatan untuk memulai segalanya dari awal. Atau, barangkali… untuk merusaknya lagi."
Tanpa ragu, dia mulai berjalan mengikuti aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Langkah-langkahnya tidak tergesa, namun ada kekuatan yang tersirat dalam setiap pijakannya, seolah dunia ini miliknya untuk dijelajahi.
"Jika alam semesta memberiku kesempatan kedua, maka aku akan menggunakannya dengan cara yang hanya aku tahu," katanya, suaranya penuh tekad, meski diselingi sedikit ironi. Dengan pandangan tajam ke depan, Leon Dominique—atau mungkin Leo XII yang terlahir kembali—menghilang di antara pepohonan, meninggalkan hutan dengan suara aliran sungai yang terus bernyanyi seperti menyimpan rahasia keabadian.
.
.
.
Leon melangkah perlahan, mengikuti jalan setapak yang ia temukan di tepi sungai. Jalan itu ramai oleh lalu lalang kereta kuda, suara roda yang berderak dan derap kaki kuda bergema di udara. Namun, tidak seorang pun memperhatikan dirinya, seolah ia hanyalah bayangan di tengah keramaian.
Tanpa tujuan jelas, Leo membiarkan langkah kakinya dituntun oleh jalan yang terus memanjang di depannya. Setelah beberapa waktu, jalan itu membawanya ke padang rumput yang luas. Angin berembus lembut, membawa aroma rumput segar. Namun pemandangan damai itu segera terganggu oleh keributan di kejauhan.
Leon menghentikan langkahnya, matanya menyipit ketika melihat sekelompok bandit tengah mencegat sebuah kereta kuda. Kereta itu telah berubah menjadi rongsokan, pecah dan berserakan di tanah. Kudanya lenyap entah ke mana. Sekelompok bandit yang berjumlah dua puluh orang mengepung tiga sosok di tengah: seorang wanita cantik dengan gaun indah dan dua pria bersenjata lengkap mengenakan zirah besi.
Bandit-bandit itu tertawa menjijikkan, menjilat bibir mereka seperti serigala lapar.
"Hei, lihat wanita ini! Malam ini akan menjadi malam yang menyenangkan!" seru salah satu dari mereka, matanya memindai tubuh wanita itu dengan rakus.
"Siapa cepat, dia dapat!" sahut yang lain sambil mengacungkan pedangnya.
Leo berdiri di kejauhan, menyandarkan tubuhnya pada pohon. Matanya tajam, penuh rasa ingin tahu. Dia memutuskan untuk mengamati tanpa campur tangan, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis.
Dua pria bersenjata itu berdiri di depan wanita tersebut, mencoba melindunginya dari serangan bandit.
"Jangan khawatir, Nyonya," ucap salah satu dari mereka. "Kami akan melindungi Anda!"
Wanita itu mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih... Aku serahkan segalanya pada kalian."
Namun, keberanian mereka hanya bertahan sekejap. Dalam waktu kurang dari satu menit, kedua kesatria itu jatuh tersungkur, darah mengalir di tanah. Bandit-bandit itu bersorak, dengan cepat mengalihkan perhatian mereka ke wanita yang kini berdiri tanpa perlindungan.
"Hahaha! Akulah yang pertama!" seru salah satu bandit, melangkah mendekati wanita itu. Tangannya terulur, siap menangkap mangsanya.
Wanita itu menjerit pelan, melindungi tubuhnya dengan kedua tangan. "Tidak... Jangan!"
Namun, ketika tangan bandit itu hampir menyentuhnya, sesuatu yang mengerikan terjadi. Seketika, tangan yang terulur itu terpotong bersih, terbang di udara sebelum jatuh ke tanah. Dalam sekejap, tubuh bandit tersebut meledak menjadi kabut darah, meninggalkan tanah yang berlumuran merah.
Kerumunan bandit terdiam. Mereka mundur beberapa langkah, saling berpandangan dengan wajah penuh ketakutan.
"Apa yang terjadi?!" teriak salah satu dari mereka.
Wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Ekspresinya berubah total—tidak ada lagi ketakutan. Hanya ada senyuman dingin yang menghiasi bibirnya, sementara matanya menatap mereka dengan pandangan penuh jijik. Dia menguraikan rambut panjangnya dengan gerakan angkuh.
"Makhluk rendahan," katanya, suaranya tenang namun menggema seperti petir. "Kepala kalian terlalu tinggi. Berlututlah."
Seolah dikendalikan oleh kekuatan yang tidak terlihat, tubuh para bandit itu merosot ke tanah. Mereka berlutut dalam ketakutan, wajah mereka berubah pucat seperti mayat.
"Maafkan kami!" salah satu dari mereka memohon.
"Kami salah! Tolong ampuni kami!" yang lain ikut meratap.
Wanita itu mendengus, ekspresinya tetap dingin. "Lucu sekali. Di mana keberanian rendahan kalian yang tadi?"
Dia melangkah perlahan di antara mereka, seolah berjalan di atas tubuh-tubuh yang tak bernyawa. "Tapi aku tidak punya waktu untuk main-main dengan kalian," lanjutnya, mengibaskan tangan. "Enyahlah. Kalian tak berharga di mataku."
Tanpa pikir panjang, para bandit itu bangkit dan melarikan diri. Namun, mereka hanya sempat berlari beberapa langkah sebelum tubuh mereka meledak satu per satu, meninggalkan kabut darah yang menyelimuti padang rumput.
Leon yang mengamati dari kejauhan tersenyum tipis.
Melihat bercak darah yang memenuhi tanah, wanita itu mendengus dengan dingin, matanya menyipit penuh rasa jijik.
"Menjijikkan. Hal seperti ini benar-benar merusak pemandangan," ucapnya dengan nada dingin dan datar. Dia melangkah menjauh, gaunnya yang elegan berayun perlahan, sementara matanya tertuju pada arah tertentu-arah tempat Leo bersandar pada pohon.
Leon, yang sejak awal mengamati dari kejauhan, melambaikan tangannya dengan santai. Dia menyunggingkan senyum seolah mencoba terlihat seramah mungkin. "Halo di sana," sapanya ringan.
Wanita itu berhenti, matanya menatap Leon dengan tajam dan dingin. Jemarinya melilit ujung rambutnya, gerakannya pelan namun penuh kesombongan.
"Jadi, sejak tadi kau hanya menonton, ya? Bukankah seharusnya kau, sebagai seorang pria, membantu seorang wanita dalam kesulitan?" tanyanya sinis, nada angkuhnya begitu jelas.
Leon terkekeh kecil, nada tawanya seperti angin yang berembus di antara dedaunan. "Aku hanyalah pria lemah. Mana mungkin aku bisa menolongmu? Lagi pula, tanpa bantuanku, bukankah kau sudah mengurus semuanya dengan sempurna?"
Wanita itu mendengus, sudut bibirnya melengkung tipis dalam senyuman mengejek. "Sungguh alasan yang menggelikan. Bahkan jika kau lemah, seorang pria tetap seharusnya mencoba. Mati demi melindungi seorang wanita cantik sepertiku adalah kehormatan besar. Ribuan pria di luar sana pasti akan melakukannya tanpa ragu."
Leon tersenyum lebih lebar, namun matanya tetap tenang. "Maaf, tapi aku bukan tipe pria yang akan tunduk begitu saja kepada wanita, meskipun dia cantik," jawabnya dengan nada santai.
Wanita itu mengangkat alis, matanya memindai Leo dengan bosan. "Hmm... Kalau begitu, apa yang sebenarnya kau inginkan? Aku tidak percaya kau hanya berdiri di sini tanpa alasan," tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.
Leon menyilangkan tangannya, senyumnya menjadi lebih tipis, hampir seperti seorang pemangsa yang menemukan mangsanya. "Kau menarik. Sangat menarik. Aku melihatmu menggunakan Echo yang diperkuat dengan Aura. Itu adalah kombinasi yang bagus-dan sangat mematikan."
Mata wanita itu menyipit sejenak, sedikit terkejut, namun ekspresinya tetap dingin. "Kau... sepertinya kau tahu banyak hal untuk seseorang yang mengaku lemah," balasnya.
Leon mengangkat bahu dengan santai. "Hal kecil saja. Saat kau memberi perintah 'enyahlah' itu adalah Echo. Dan saat mereka melarikan diri, kau meledakkan tubuh mereka dengan Aura. Trik kecil yang mengesankan, meskipun agak kejam. Jujur saja, aku semakin tertarik padamu," katanya, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.
Wanita itu mendengus, kali ini dengan sedikit senyum menghiasi bibirnya. "Mengungkapkan rahasiaku, ya? Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Leon memiringkan kepalanya, menatap langsung ke mata wanita itu. "Aku hanya penasaran. Kau bisa membantai para bandit itu sejak awal. Jadi, mengapa kau membiarkan mereka menghancurkan kereta kuda dan membunuh dua kesatria yang melindungimu? Itu tidak terlihat seperti tindakan tanpa alasan."
Wanita itu menatap Leon tajam, matanya penuh kebencian yang terpendam. "Kalau itu yang kau ingin tahu, aku akan memberitahumu. Aku ingin terbebas dari mereka. Para kesatria itu terlalu mengganggu. Mereka seperti bayang-bayang yang selalu membatasi kebebasanku. Membiarkan mereka mati adalah solusi termudah," katanya dengan nada penuh kesombongan.
Leon mengangguk kecil, meskipun matanya tetap menyipit, jelas dia tidak sepenuhnya percaya. "Sesederhana itu? Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam," ucapnya, nadanya penuh ketajaman.
Wanita itu mendekatkan wajahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis yang dingin. "Kau sungguh lancang, ya? Menyusup ke rahasia seorang gadis begitu saja. Tidak sopan sama sekali," katanya, nada suaranya tajam seperti bilah pedang.
Leon hanya tertawa kecil, lalu menatap wanita itu dengan ekspresi santai. "Mungkin. Tapi bukankah kau juga penuh rahasia yang menarik untuk dipecahkan?" balasnya, membuat atmosfer di antara mereka semakin intens.
"Baiklah, baiklah. Tolong jawab saja pertanyaanku. Mungkin aku bisa membantumu," kata Leon dengan nada tenang, namun matanya tetap tajam, menyelidik.
Wanita itu menatapnya dengan dingin. "Aku hanya ingin menjadi lebih kuat. Karena kau sudah tahu, maka... matilah!" Dia melontarkan kata-kata itu dengan tatapan tajam, seketika tubuh Leon membengkak seolah akan meledak.
Leon tersenyum tipis, tidak terganggu dengan ancaman itu. "Ingin membunuhku? Terlalu dini." Tanpa panik, tubuhnya kembali normal dalam sekejap, seperti kekuatan itu tidak pernah ada.
Wanita itu terkejut, matanya membelalak. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada penuh kebingungan.
Leon memasukkan tangan ke saku dengan santai. "Aku hanya mengendalikan tiga kekuatan utama milikku. Kau memerintahkan Liquid di tubuhku menggunakan Echo. Tentu saja, aku bisa melawan dengan mudah."
Wanita itu semakin bingung. "Bagaimana itu mungkin? Tunggu... jika kau melawan perintahku, apa maksudmu, kau memiliki kendali yang lebih hebat?"
Leon mengangguk pelan, wajahnya penuh kepuasan. "Itu benar. Kebetulan, kau malah membantuku membuka Aura milikku. Terima kasih untuk itu."
Wanita itu mendengus kesal, menganggap itu semua hanya kebetulan. "Cih, aku tidak bisa membunuhmu kalau begitu."
Leon tersenyum dengan penuh percaya diri. Dia mendekat, mengangkat dagu wanita itu dengan lembut menggunakan jarinya. "Kau ingin kekuatan, kan? Aku tahu jalan pintas yang cepat. Bagaimana, tertarik?"
Wanita itu menepis tangan Leon dengan kasar, meskipun ada rasa penasaran di matanya. "Katakan, aku akan mendengarkan."
Leon mengaitkan jarinya, tampak serius namun santai. "Manusia memiliki tiga kekuatan utama: Aura, Echo, dan Liquid. Kekuatan ini ada dalam tubuh setiap orang, namun mereka bisa membuka atau tidak, tergantung pada diri mereka sendiri."
Dia mengamati reaksi wanita itu, lalu melanjutkan, "Aura bisa dibuka melalui meditasi. Ada cara yang lebih ekstrem, seperti memaksanya dengan bantuan orang lain. Aku membukanya dengan bantuan darimu, terima kasih sudah membantu."
Wanita itu mendengus, tidak sabar. "Aku sudah tahu itu."
Leon melanjutkan penjelasannya dengan suara datar, "Echo adalah gema yang ada dalam tubuh manusia. Dengan mengendalikannya, bahkan kau bisa membunuh seseorang hanya dengan suara. Lalu ada Liquid, kekuatan untuk mengendalikan berbagai macam cairan."
Wanita itu mulai tampak tidak sabar, wajahnya sedikit kesal. "Ceritakan langsung saja, tidak perlu penjelasan panjang."
Leon menyandarkan tubuhnya, tatapannya tenang. "Cara tercepat untuk mengaktifkan Aura, Echo, dan Liquid adalah melalui hubungan intim. Apakah kau paham sampai sini?"
Wanita itu mengangkat alis, ekspresinya berubah jijik. "Sungguh menjijikkan... Mari anggap saja benar. Kalau begitu, mengapa orang-orang tidak mengetahui hal ini?"
Leon mengangkat bahunya. "Itu mudah, karena mereka tidak tahu caranya. Hubungan intim di sini bukan hanya untuk berkembang biak, tapi untuk melepaskan ketiga kekuatan tersebut secara bersamaan. Semakin banyak Aura yang keluar, semakin banyak Echo yang terdengar, dan semakin banyak Liquid yang terlepas, maka keduanya akan mendapatkan hasil yang berlipat ganda."
Wanita itu terdiam sejenak, memikirkan penjelasan Leon. "Kenapa menurutmu aku mau melakukannya denganmu?" tanyanya, suaranya penuh ejekan.
Leon sangat santai, wajahnya penuh percaya diri. "Mudah saja, jika kau ingin menjadi kuat, segala cara akan dilakukan. Jujur saja, aku juga sangat ingin menjadi kuat."
Wanita itu memandangnya tajam, berpikir sejenak. Lalu, dengan senyuman dingin yang penuh kebanggaan, dia berkata, "Baiklah, aku juga penasaran apakah yang kau katakan itu benar. Sepertinya, dirimu cukup beruntung untuk merasakan Nona ini," ujarnya dengan angkuh.
Leon tersenyum tipis, ekspresinya tetap penuh kepastian. "Tidak masalah jika kau mau. Katakan saja apa yang kau inginkan."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!