NovelToon NovelToon

Kubungkam Hinaan Keluarga Dengan Kesuksesan

Bab 1

"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!" hardik Rania mendorong tubuh Yani membuat wanita itu terjatuh di atas tanah.

Setelah itu, Rania juga melempar baju-baju milik wanita itu dan keluarganya ke arah Yani.

"Astagfirullah, Mbak...hiks," tangis Yani memunguti pakaiannya dan keluarganya satu persatu.

Hamid, suami Yani yang baru saja datang dari sawah langsung menghampiri sang istri.

"Ya Allah, Ibu!" kata Hamid menghampiri sang istri.

"Mbak, ini apa-apaan sih?" tanya Hamid kemudian melirik ke arah sang kakak, Rania yang tengah menatap jengkel ke arah mereka.

"Kalian harus pergi dari sini," kata Rania menatap kesal mereka.

"Tapi, kenapa, Mbak?" tanya Hamid lagi. "Lagian ini kan rumah Bapak sama Ibu. Emang salah kalo aku dan keluargaku tinggal di sini?" ujarnya lagi mulai tersulut emosi namun Hamid mencoba untuk tetap menahannya. Bagaimana pun juga wanita itu adalah kakak perempuannya.

"Ya salah lah. Kalian kalian itu cuma jadi beban buat Bapak sama Ibu," kata Rania. "Kamu itu gak malu apa numpang di rumah orangtua padahal anak udah pada gede-gede juga," hardiknya kemudian.

Ya. Hamid akui setelah dia menikah dengan Yani hingga dikarunia dua orang anak, pria itu masih belum mampu untuk membeli rumah sendiri untuk keluarganya. Itulah sebabnya dia masih tinggal bersama orangtua.

Hamid terdiam tidak tahu harus berkata apa. Terlebih ketika dia melihat dari balik kaca, Bapak dan Ibunya tengah duduk di sana. Menyaksikan semuanya tanpa ada niat untuk menghentikan apa yang dilakukan Rania.

Jadi, mereka juga menganggap Hamid dan keluarga adalah beban? Sepertinya iya.

"Tapi, aku harus bawa keluargaku kemana, Mbak?" tanya Hamid dengan nada putus asa sembari memeluk istrinya yang sejak tadi hanya bisa menangis.

"Ya mana aku tahu!" kata Rania masa bodoh. "Pokoknya kalian harus pergi dari sini. Ngerti!" bentaknya tak peduli jika sekarang mereka tengah menjadi tontonan para warga yang lewat atau sengaja melihat karena mendengar suara Rania yang begitu besar.

Asyafa atau gadis yang lebih akrab di panggil Asya itu (anak pertama Hamid dan Yani) menghampiri Bapak dan Ibunya yang tengah menangis sembari memunguti pakaian mereka.

"Loh, Pak, Bu, ini ada apa?" tanya Asya yang baru saja pulang dari membantu tetangganya di kebun.

Yani mengusap lembut wajah Asya sambil menahan tangisnya.

"Kita diusir, Nak," jawab Yani.

"Apa? Kita diusir?" tanya Asya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Dia menoleh ke arah Rania yang tengah menatap mereka seakan mereka adalah hal yang begitu menjijikkan. Asya tahu jika keluarga Bapaknya itu tidak pernah suka pada keluarganya. Namun tak pernah terbesit dalam benak Asya jika mereka akan tega mengusir mereka seperti ini.

"Ayo kita pergi dari sini," kata Hamid pada istri dan anaknya.

"Tapi, kita mau pergi kemana, Pak?" tanya Yani.

"Pokoknya kita pergi aja dulu ya," kata Hamid sebab dia sendiri tidak tahu harus membawa keluarganya kemana. Yang terpenting mereka pergi dulu karena dia juga sudah tidak tahan dengan perlakuan kakak perempuannya terhadap keluarganya.

Meski berat Yani dan Asya terpaksa mengikuti saja apa yang dikatakan Hamid. Mereka pergi dari sana. Sementara Aluna yang biasa dipanggil Luna, adik Asya dijemput di tempat bermainnya. Anak itu juga tampak bingung saat mereka justru berjalan menjauh dari rumah kakek dan neneknya. Namun karena belum tahu apa-apa, anak itu tidak bertanya sama sekali.

Hamid melirik ke arah istri dan anaknya. Sungguh hatinya sangat sakit. Sebagai seorang kepala keluarga, Hamid merasa telah gagal. Seharusnya dia memberi kebahagiaan namun pria itu malah memberi penderitaan pada orang-orang yang sangat dia sayangi.

'Ya Allah! Aku harus bawa keluargaku kemana?' Batin Hamil menjerit.

***

Beberapa tahun kemudian.

Asya menghempas begitu saja tubuhnya yang lelah ke atas kasur yang terbuat dari kapuk tersebut. Empuk? Tentu saja tidak. Malah kasur itu terasa sangat keras. Meski demikian kasur itu tetap menjadi tempat ternyaman untuknya.

Kaki Asya terasa begitu capek karena harus berjalan kaki dari sekolah ke rumahnya. Gadis yang kini duduk dibangku sekolah kelas tiga SMA itu harus menempuh jarak yang lebih karena sejak diusir dari rumah sang nenek, jarak dari rumah dan sekolahnya jadi semakin jauh.

Cklek!

Daun pintu yang terbuat dari papan yang ditempel seadanya itu terbuka menampilkan seorang gadis remaja lain.

"Kak, makan yuk," ajak Luna, adik Asya. Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas tiga SMP.

"Duluan aja. Aku masih capek," ujar Asya tak ingin beranjak dari kasurnya. Dia malah berbalik membelakangi Luna.

"Ya udah," jawab Luna mengerucutkan bibirnya kemudian berlalu dari sana meninggalkan Asya.

Sekitar dua puluh menit berlalu barulah Asya bangkit dari tempat tidur. Mengganti pakaiannya dengan pakaian sehari-hari. Dia lalu menuju dapur yang berada tepat di samping kamarnya. Gadis itu membuka tudung saji untuk melihat apa yang bisa dimakan.

Tempe goreng dan ikan asin. Menunya mungkin sederhana namun Asya tetap bersyukur karena masih bisa makan hingga kenyang. Rumah Asya akan selalu sepi di siang hari karena kedua orang tuanya pergi bekerja. Bahkan sekarang Asya sudah harus menyusul sang ibu ke kebun untuk membantunya. Luna? Gadis itu sudah pergi lebih dulu tadi.

Dengan berbekal sebotol air minum Asya berangkat dari rumahnya menuju kebun yang berada cukup jauh di belakang rumahnya.

Tidak. Kebun itu bukan milik keluarga Asya, mereka hanya bekerja di sana membantu pemilik kebun untuk menjaga sayuran mereka. Setelah laku barulah mereka akan diberi upah.

"Ibu! Luna!" panggil Asya begitu dia sampai di kebun. Sang pemilik nama pun mendongak sambil tersenyum simpul. Yani sedang menyirami sayur menggunakan gembor, wadah berbentuk cerek besar dengan corong besar diujungnya. Sementara Luna sedang menabur racun siput di sisi lain kebun yang lumayan luas tersebut.

"Sini, Bu, biar Asya yang gantiin ibu nyiram sayurnya," kata Asya mengambil alih gembor tersebut dari tangan sang ibu. Sebenarnya Yani sudah melarang kedua putrinya untuk datang ke sana. Namun Asya dan Luna ngeyel pengen ikut membantu. Mereka tidak tega melihat ibu mereka bekerja sendirian. Lagipula jika ada Asya dan Luna, Yani jadi ada teman bicara di sana.

"Ya udah kalo gitu Ibu istirahat sebentar ya," kata Yani pada putrinya. Di tepi kebun tersebut ada sebuah rumah kecil tempat mereka untuk beristirahat.

Yani melihat kedua putrinya dengan tatapan sendu. Mungkin mereka tersenyum dan menganggap apa yang sedang mereka kerjakan itu sebuah permainan untuk menghibur diri. Sungguh Yani merasa begitu bersalah telah menyeret kedua putrinya dalam kesulitan. Namun dia bisa apa. Yani hanya seorang wanita lulusan SD yang tidak mungkin medapatkan pekerjaan yang lebih layak. Tidak jauh beda dengan suaminya. Dia sudah sangat bersyukur karena kedua putrinya bisa bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi tanpa mengkhawatirkan biaya sebab biaya sekolah mereka ditanggung oleh pemerintah setempat. Setidaknya kedua putrinya harus bisa punya masa depan yang lebih baik dari pada dia dan suaminya.

Yani juga sangat bersyukur punya Asya dan Luna, dua anak gadis yang tidak pernah menuntut orangtuanya untuk mengabulkan keinginan mereka. Padahal Yani tahu pasti dalam lubuk hati keduanya mereka juga ingin seperti anak-anak yang lain. Yang bisa bermain bukannya bekerja membantu orang tua mereka.

Bab 2

Hari menjelang sore barulah Yani dan kedua anaknya beranjak pulang. Asya menatap telapak tangannya yang bergelembung akibat bergesekan dengan pegangan gembor tadi. Dan jika sudah seperti itu kadang dia kesulitan membantu sang ibu sebab jika meletus tangannya akan perih bukan main.

Sepertinya dia harus menabung agar bisa membeli kos tangan untuk melindungi tangannya.

"Loh, Asya, kok belum mandi?" Pertanyaan Yani sontak membuat Asya segera menyembunyikan tangannya tak ingin sang ibu sampai melihatnya.

"Si Luna tuh, Bu. Lama banget di kamar mandi," jawab Asya sengaja memperbesar suaranya agar Luna yang berada di dalam sana bisa mendengar.

"Iya. Iya. Sebentar lagi aku selesai kok!" teriak Luna dari dalam seakan tidak terima.

Yani dan Asya hanya tertawa mendengarnya. Yani kemudian melajutkan langkah menuju dapur meninggalkan Asya untuk memasak sebab suaminya akan datang sebentar lagi.

Asya merasa tubuhnya kembali segar setelah mandi. Dia baru akan keluar dari kamar saat bapaknya tiba di rumah. Awalnya Asya ingin menyambut sang ayah namun terhenti ketika melihat raut wajah bapaknya yang terlihat begitu lelah.

Hamid mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari balik saku jaketnya yang langsung diberikan pada Yani.

"Hari ini cuma dapat seratus ribu. Dikasih ke Pak Ismail tiga puluh terus dua puluh buat beli bensi. Sisanya tinggal itu," ujar Hamid dengan nada lesu.

Motor yang dipakai untuk ngojek memang bukan miliknya tapi milik Pak Ismail tetangga mereka yang baik hati mau meminjamkan motornya pada Hamid untuk mencari nafkah.

Yani tersenyum simpul. "Ya udah gak apa-apa. Syukuri saja berapapun itu," katanya tak ingin sang suami merasa terbebani. "Bapak mandi dulu gih. Asya sama Luna pasti udah pada laper," katanya lagi yang diangguki kepala oleh Hamid.

Asya menutup pintu kamarnya perlahan lalu berjalan lunglai ke arah meja belajarnya. Jika pendapatan bapak dan ibunya seperti ini terus, sepertinya Asya harus mengubur mimpinya untuk lanjut kuliah. Mendapatkan beasiswa juga mustahil, Asya tidak punya otak secerdas itu. Mungkin memang sebaiknya Asya tidak perlu kuliah dulu, lebih baik dia membantu orangtuanya mencari uang.

Gadis itu pun mengulas senyum kembali sebelum keluar dari kamar. Hamid itu tipe ayah yang sangat dekat dengan kedua putrinya. Pribadinya yang humoris selalu membuat keluarga mereka bahagia meski dalam keadaan yang serba kekurangan. Mereka hanya kekurangan dalam bidang ekonomi namun soal kasih sayang, Asya dan Luna tidak pernah merasa kekurangan sedikitpun.

***

Bekerja setelah pulang sekolah sudah menjadi kegiatan Asya setiap hari. Karena di sana masih daerah pedesaan sebagian besar warganya menjadi petani dan peternak.

Dari semua warga yang ada di sana hanya keluarga Asya yang tidak punya tanah untuk berkebun atau bertani. Rumah yang mereka tempati sekarang saja itu milik salah satu warga yang berbaik hati menolong mereka saat itu. Dia menyewakan rumahnya itu pada keluarga Hamid dengan bayaran sesuai dengan kemampuan mereka saja.

Hari itu Asya dipanggil salah satu warga untuk membantunya memetik kopi dengan upah lima ratus perak perliternya. Asya sama sekali tidak keberatan jika itu bisa menghasilkan uang. Asya memang sangat mahir memanjat namun tak jarang juga dia jatuh tapi tidak pernah ada yang tahu sebab Asya akan menyembunyikan lukanya hingga sembuh sendiri.

Tak hanya memanjat untuk memetik kopi yang memang memiliki batang yang lumayan tinggi, Asya juga kadang menjadi kuli untuk mengangkat buah-buahan seperti nanas, markisa atau mangga milik warga dari kebun ke tepi jalan. Walau kadang diejek teman sebayanya karena bekerja seperti laki-laki tak membuat Asya berhenti. Memangnya jika keluarganya tidak punya beras untuk dimasak mereka yang akan datang memberinya? Tidak kan. Jadi Asya selalu menulikan telinganya tak ingin mendengarkan ocehan mereka.

Termasuk ocehan orangtuanya sendiri.

"Asya, kamu gak perlu sampai bekerja sampai seperti itu, Nak," kata Yani pada Asya yang baru saja pulang ke rumah.

"Memangnya kenapa? Ibu malu kalo Asya kerja kayak gitu?" tanya Asya mendudukkan tubuhnya yang terasa begitu lelah.

"Bukan gitu, Asya."

"Terus kenapa, Bu?"

"Ibu gak mau kamu capek, Nak. Seharusnya kamu itu belajar. Sebentar lagi mau ujian akhir. Nanti kalo kamu gak lulus gimana?" kata Yani. Sungguh demi apapun dia sangat bersyukur punya anak seperti Asya yang membantu perekonomian orangtuanya. Hanya saja dia kasihan pada sang anak, apalagi Asya itu seorang perempuan.

Asya tersenyum simpul kemudian meraih tangan ibunya. Digenggamnya dengan erat tangan sang ibu yang terasa begitu kasar.

"Ibu tenang aja. Asya pasti bakalan lulus kok," katanya menyakinkan Yani. "Jadi biarin Asya bantuin bapak sama ibu kerja. Lagian Asya suka kok. Malahan kalo Asya tinggal aja di rumah, Asya bakalan ngerasa sakit, Bu," lanjutnya memasang wajah memelas agar Yani luluh dan membiarkannya. "Yah? Biarin Asya kerja juga?" bujuknya.

Dan jika sudah seperti itu Yani tidak mungkin menolak. Wanita itu hanya bisa menarik napas dalam lalu membuangnya. Memang tidak mudah membuat Asya yang keras kepala ini mau mendengarkan ucapannya.

"Ya udah, tapi Ibu gak mau kamu jadi kuli lagi. Kamu kerja yang lain aja," putus Yani dengan nada yang tidak mau dibantah sedikitpun.

Padahal Asya sudah mau bersorak namun mendengar ucapan Yani yang terakhir membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya kecewa. Padahal uang yang didapat lumayan banyak jika dia menjadi kuli.

"Tapi, Bu---"

"Asyafa Hamid."

Baiklah. Jika Yani sudah sudah menyebut nama lengkapnya itu berarti Asya tidak boleh melawan.

"Iya, Bu," kata Asya pada akhirnya. Dia kemudian merogoh tas kecil yang selalu menemaninya kemana saja sebagai tempat air minum. Mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu sebanyak empat lembar yang kemudian diberikan pada Yani.

"Ini, Bu, hasil Asya kerja hari ini," katanya dengan nada begitu bangga. Dia senang sekali karena bisa membawa pulang uang yang cukup banyak.

Sementara Yani justru terharu sampai tak bisa menahan air matanya.

"Makasih ya, Nak," katanya mengambil uang tersebut lalu memeluk Asya sebentar.

"Iya, Bu. Sama-sama. Kalo gitu Asya mandi dulu ya. Udah bau asem. Hehehe," katanya kemudian berlalu dari sana menuju kamar mandi setelah pelukan sang ibu terlepas.

"Pantesan aja sakit banget," gumam Asya saat melihat lebam yang cukup lebar di paha bagian kanannya. Tadi saat akan mengangkat buah nanas yang sudah dimasukkan dalam karung tiba-tiba pegangan Asya terpeleset membuat buah dalam karung itu jatuh menimpa pahanya. Rasanya benar-benar sakit sampai membuat Asya hampir menangis.

"Kayaknya aku harus pake celana longgar dulu nih buat beberapa hari," gumamnya lagi sebelum menyiram air ke seluruh tubuhnya.

Asya harus menyembunyikan lukanya lagi. Sendirian.

Bab 3

Setelah makan malam, Hamid mengajak keluarganya untuk berkumpul di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu juga.

"Ada apa, Pak?" tanya Yani pada suaminya yang sejak tadi terlihat begitu bahagia.

"Anjani, Bu. Katanya dia ada yang lamar jadi besok kita disuruh ngumpul di rumah Bapak," jawab Hamid.

"Alhamdulillah," sambut Yani ikut senang.

Anjani itu sepupu Asya, anak dari kakak tertua ayahnya. Di saat kedua orangtuanya dan Luna bahagia akan ke rumah kakek neneknya, Asya justru memasang wajah tidak bersahabat. Sebenarnya dia paling malas datang ke rumah keluarga sang ayah.

Mengingat bagaimana perlakuan mereka terhadap keluarganya selama ini. Bahkan gara-gara merekalah Asya dan keluarganya harus tinggal di rumah kecil dan sempit ini. Namun kendati demikian mereka justru merasa lebih bahagia sejak tinggal di sana.

Sebenarnya Asya bersyukur karena bisa pergi dari rumah itu. Hanya saja Asya tetap tak bisa menerima perlakuan tantenya Rania yang dengan tega mengusir mereka saat itu.

"Aku gak usah ikut ya," pinta Asya membuat kedua orangtuanya menoleh ke arahnya.

"Loh, kenapa, Sya?" tanya Yani menatap Asya bingung.

"Gak apa-apa, cuma Asya gak mau aja datang ke sana," katanya tak ingin memberitahu orangtuanya alasan yang sebenarnya.

Yani menghela napas pelan lalu mengelus bahu Asya membuat gadis yang tadinya menunduk kini mendongak menatap sang ibu.

"Kamu masih inget kejadian itu ya?" tanya Yani pelan.

Asya mengangguk. Ekspresi yang ditampilkan Asya memang tidak bisa berbohong.

"Itu cuma masa lalu, Nak. Gak usah diinget lagi. Walau gimana pun juga mereka tetap keluarga kita," kata Hamid memberi pengertian putrinya.

Jika sudah sang ayah yang bicara seperti itu, Asya tidak akan bisa menolak. Dengan dalih keluarga terpaksa gadis itu menurut saja. Asya bukannya menaruh dendam hanya saja rasa sakit yang ditoreh mereka di masa lalu itu sulit sekali dilupakan. Bahkan seumur hidup mungkin Asya tidak akan melupakannya.

Sesuai dengan rencana, Hamid memboyong keluarganya ke rumah orangtuanya yang berada di desa sebelah. Karena tidak punya kendaraan sendiri, mereka terpaksa menumpang angkot. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk mereka sampai di rumah orang tua Hamid.

Rumah itu sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali Asya melihatnya. Jika dibandingkan dengan rumah yang ditinggali Asya dan keluarga, rumah kakek neneknya itu lima kali lipat lebih besar.

Terdapat tujuh buah kamar yang salah satunya dulu pernah jadi milik Asya. Ruangan keluarga, ruang tamu serta dapur yang sangat luas. Jangan lupakan juga pekarangan di belakangnya yang sudah seperti lapangan sepak bola.

Jika orang baru yang melihat mereka tidak akan percaya jika Hamid yang bekerja menjadi seorang tukang ojek itu punya keluarga yang cukup kaya dan terpandang di desa sebelah.

"Assalamualaikum!" kata Hamid memberi salam.

"Walaikumsalam," jawab seseorang dari balik pintu. Itu Anisa, Ibunda Hamid. Pria itu meraih tangan sang ibu untuk dicium. Yani pun melakukan hal yang sama diikuti oleh Asya dan Luna.

"Ayo masuk," kata Anisa mempersilakan mereka masuk dengan wajah datar tentunya. Ternyata, rumah itu sudah kedatangan banyak tamu. Ketiga saudara Hamid beserta keluarganya sudah ada di sana. Sedang bercengkrama ria. Raut wajah mereka langsung berubah ketika melihat kedatangan Hamid dan keluarganya. Tepatnya tidak peduli. Bahkan tak satupun juga dari mereka yang mau menyapa.

Kakak tertua, Radit yang tinggal tepat di sebelah rumah orangtuanya. Kakak kedua, Rania, satu-satunya anak perempuan dalam keluarga itu. Dia juga tinggal tidak jauh dari rumah orangtuanya. Dan adik bungsu, Arman. Mereka semua tinggal hampir bersebelahan, hanya Hamid yang harus mengambil diri jauh dari sana.

Pertama karena Hamid tidak punya uang untuk membeli tanah dan membangun rumah di sekitar sana. Dan yang kedua karena Hamid itu memang dikucilkan oleh keluarganya.

Itu semua karena di saat semua kakak dan adiknya menikah dengan pilihan orangtua, Hamid justru menikah dengan wanita yang dia cintai yang tentu saja tidak mendapat restu dari kedua orangtuanya. Yani itu dari keluarga yang kurang berada sedangkan menantu yang lain semuanya dari kalangan orang kaya.

Hal inilah yang membuat mereka mengucilkan Hamid dan keluarganya. Meski mereka tahu keluarga Hamid dalam kesusahan, tidak ada yang ingin membantu. Sebab itu salah satu hukuman untuk anggota keluarga yang membangkang.

Hamid saja yang bodoh karena masih menganggap mereka keluarga padahal mereka sendiri tidak peduli.

Yani dan Luna memilih istirahat sementara Hamid menuju ruang keluarga dimana saudaranya berkumpul. Asya sendiri memilih ke arah belakang. Dimana taman neneknya yang penuh dengan bunga berada. Tempat yang paling tenang.

Namun sebelum Asya sampai di sana dia mendengar samar suara seseorang. Asya pun menghentikan langkahnya lalu mencari siapa yang sedang bicara itu.

Ternyata itu Anjani, sepupunya yang sebentar lagi akan menikah. Gadis yang juga menjadi alasan kenapa Asya ada di tempat yang sebenarnya tak ingin dia datangi.

Awalnya Asya ingin menghampiri sepupunya itu. Dia ingin bertanya kenapa Anjani tiba-tiba ingin menikah. Sebab terakhir kali Asya mendengar kabar jika gadis itu sudah tinggal di kota untuk melanjutkan kuliah. Namun hanya berselang beberapa bulan, dia malah mau menikah.

Sebenarnya bisa Asya tebak sih, kemungkinan besar Anjani itu dijodohkan. Itulah sebabnya Asya ingin bertanya secara langsung.

Namun niat itu urung saat Asya melihat gadis itu sedang bicara dengan seseorang di telpon. Tampaknya pembicaraan mereka tidak berlangsung baik karena Anjani mulai terisak di sana. Wanita itu menangis.

Hal itu membuat Asya jadi penasaran. Perlahan gadis itu pun mendekat ke arah sepupunya untuk mendengar apa yang sedang dia bicarakan.

"Kamu di mana sekarang?" tanya Anjani yang posisinya tengah membelakangi Asya.

"Terus gimana sama aku?" tanya Anjani lagi setelah diam beberapa saat untuk mendengar jawaban lawan bicaranya. Asya jadi bertanya-tanya, Anjani bicara dengan siapa ya sampai berkata seperti itu?

Hingga sebuah kalimat keluar dari mulut Anjani yang membuat Asya yang sudah akan beranjak kaget bukan main

"Gimana sama bayi dalam kandunganku?" kata Anjani terisak.

Asya langsung berbalik. Mata dan mulutnya terbuka lebar seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Anjani hamil. Cucu kesayangan serta kebanggaan keluarga besar Bapaknya hamil di luar nikah. Sungguh ini berita yang sangat menggemparkan.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!