Pagi ini matahari sepertinya masih betah bersembunyi di balik awan tebal. Tapi tidak bagi Rayyan, dia sudah menjauh dari selimutnya bahkan beberapa jam sebelum waktu subuh tiba. Diseruputnya kopi hitam untuk menjaga matanya tetap terbuka, karena hari sibuk sudah kembali dimulai.
Untungnya tempat kerjanya tak jauh. Rayyan cukup menuruni beberapa puluh anak tangga untuk sampai ke situ. Dia tinggal di gedung yang sama dengan tempat kerjanya. Tepatnya di lantai tiga.
Waktu kerjanya jauh lebih awal dari pekerja lainnya. Tugas utamanya adalah membuat adonan yang merupakan kunci utama dari beberapa produk yang dijual di toko ini.
Sebuah toko roti milik teman sekolahnya saat di Indonesia. Toko ini memang tidak berada di Indonesia, tapi di tengah kota Seoul yang padat dan ramai hampir sepanjang waktu.
Berjam-jam lamanya ia berkutat dengan bahan dan mesin adonan sampai akhirnya orang kedua datang. Seorang gadis bermata indah dengan hijab dan jaket tebal menutupi tubuhnya.
"Assalamualaikum. Selamat pagi", sapanya seraya menunduk.
Rayyan membalas salamnya seraya mengangguk sebelum akhirnya gadis itu masuk ke ruang kerjanya. Ya, dia bukan salah satu yang akan mengolah adonan.
Rayyan kembali meneruskan kegiatannya. Beberapa menit kemudian gadis tadi kembali keluar dari ruangannya kemudian menghampirinya.
"Ini daftar pesanan hari ini, mereka minta dikirim pas jam makan siang. Aku minta tolong kamu mengurusnya, soalnya nanti aku ada perlu keluar", pintanya seraya menyerahkan lembaran kertas pada Rayyan.
Rayyan mengelap tangannya lalu mengambil kertas itu dan membaca isinya. Beberapa detik kemudian ia mengangguk tanda paham.
"Kencan buta lagi?", tanyanya pada gadis itu.
Gadis itu terkekeh lalu mengangguk malas.
"Mereka masih saja memaksa, padahal jelas-jelas bakal aku tolak lagi", sahutnya.
"Apa kamu sudah bilang kalau kamu nyari yang satu keyakinan?", tanya Rayyan lagi.
"Ya iya lah! Tapi kayaknya mereka berharap suatu saat aku bakal menyerah dan akhirnya mau menerima salah satunya", ucap gadis itu seraya menghela nafas.
"Gimana kalau aku aja yang nikah sama kamu?", tawar Rayyan seraya menaikkan alisnya.
Gadis itu terpingkal.
"Baiklah.. baiklah.. bisa diatur... Aku akan bilang ke kakekku kalau kamu mau melamar aku", sahutnya masih dengan tawanya sambil berjalan kembali ke ruangannya.
Rayyan tersenyum pahit memandang kepergiannya. Park Eun-mi, dialah teman satu sekolahnya. Gadis campuran Korea-Indonesia itu yang mengajaknya untuk bekerja di sini. Almarhum ayahnya menikah dengan ibunya saat bekerja di salah satu perusahaan besar cabang Korea di Indonesia. Sebenarnya tidak terlalu tepat kalau dikatakan bekerja, karena perusahaan itu memang milik keluarganya.
Mereka teman akrab sejak SMP hingga SMA, sampai akhirnya Rayyan memutuskan mengambil jurusan kuliner di sebuah sekolah patisserie di Singapura. Sementara Eun-mi melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat.
Komunikasi mereka tak pernah benar-benar putus. Mereka sesekali berbagi informasi tentang kehidupan mereka masing-masing sampai akhirnya Eun-mi mengajaknya untuk mengelola toko roti ini.
Rayyan sempat mengira kalau Eun-mi akan melupakan keyakinan yang dianutnya saat di Indonesia. Cukup mengagetkan karena ternyata Eun-mi malah memutuskan untuk berhijab setahun belakangan. Walau masih sangat jarang, warga muslim di Seoul memang perlahan mulai bertambah, terutama mereka yang berasal dari luar Korea. Dan itu memberi dampak positif bagi Eun-mi.
Tapi bagaimana dengan keluarganya? Tentu saja hal itu masih jadi perdebatan. Apalagi saat mereka bermaksud mencarikan jodoh untuknya. Teramat sulit mencari pemuda muslim asli Korea dengan kriteria ketat dari keluarganya. Alhasil dia terus-menerus dihadapkan pada kencan buta dengan para pemuda kaya namun tak seiman dengannya.
Bagaimana perasaannya? Jenuh, jengah, lelah. Begitulah yang sering dia keluhkan pada Rayyan. Tapi dia tak bisa menolak keinginan kakeknya walau berkali-kali menolak teman kencannya. Entah sampai kapan, Rayyan saja merasa lelah hanya dengan melihatnya.
"Selamat pagi", dua orang yang berikutnya kini sudah hadir dan mulai bersiap mengurus adonan yang sudah selesai disiapkan Rayyan. Diikuti orang ketiga dan keempat. Kini waktunya ia sarapan, perutnya meringis hanya diisi kopi.
"Eun-mi, mau kubelikan sarapan?", tawarnya setelah membuka pintu ruangan Eun-mi.
Eun-mi mengangguk sambil tersenyum.
"Aku mau nasi goreng", sahutnya.
Rayyan menaikkan alisnya.
"Jam segini mau beli nasi goreng dimana?", Rayyan seperti tengah mengingat-ingat tempat yang mungkin bisa didatanginya.
"Aku cuma bercanda Ray... Tiba-tiba aja ingat nasi goreng buatan mama. Sudah lama gak makan itu", sahutnya dengan sorot mata sedih.
"Kamu sudah nelpon mama kamu hari ini?", tanya Rayyan.
Ibu Eun-mi memang masih tinggal di Indonesia. Setelah lulus kuliah, kakeknya menyuruh Eun-mi untuk menetap di Korea. Sekali lagi mereka tak bisa menolak keinginan orang tua itu.
Eun-mi hanya menggeleng.
"Nanti aja, sekalian aku mau cerita pria yang akan aku temui".
"Ya sudah, terserah kamu aja. Jangan lupa titip salamku buat beliau ya", pesan Rayyan, kemudian meninggalkan ruangan Eun-mi menuju lantai tiga, tempat tinggalnya.
"Halo, assalamualaikum Tante"
Rayyan tengah menelpon seseorang.
"Alhamdulillah kami baik-baik saja"
"Iya benar, dan sepertinya dia sudah siap-siap menolak lagi"
Rayyan terkekeh.
"Boleh minta resep nasi gorengnya? Eun-mi tadi bilang dia rindu sama nasi goreng bikinan Tante"
"Baik Tante, makasih. Assalamualaikum"
Beberapa menit kemudian, Rayyan sudah sibuk di dapurnya. Menyiapkan nasi goreng khas Indonesia yang dirindukan temannya.
Eun-mi mengarahkan kamera ponselnya pada seseorang di kejauhan. Orang itu duduk di bangku sebuah restoran tempat Eun-mi akan melakukan kencan buta. Ya, itu adalah pasangan kencan butanya.
Eun-mi: Gimana menurut kamu?
Dia kemudian mengirim pesan disertai foto lelaki itu.
Rayyan: Ya.. Lumayan sih.. lebih baik dari yang kemarin.
Eun-mi terkekeh membaca pesan Rayyan.
Eun-mi: Menurut kamu, dia mau jadi muslim atau nggak?
Rayyan: Bacakan sholawat, lalu kamu tiup ubun-ubunnya. Semoga Allah memberi dia hidayah.
Eun-mi semakin terpingkal. Kemudian dia sadar bahwa dia sedang berada di tempat umum dan beberapa orang tengah memperhatikannya.
Segera dia simpan ponselnya kemudian berjalan menuju tempat lelaki itu duduk.
Saat melihat Eun-mi datang, lelaki itu sontak berdiri dan menyapanya. Terlihat kalau dia sedikit gugup saat berhadapan dengan Eun-mi. Tentu saja, karena dia tak menyangka kalau gadis yang ditemuinya sangat cantik. Dia hanya sedikit bingung dengan penutup kepala yang dipakai Eun-mi, walaupun menurutnya benda itu membuat Eun-mi terlihat anggun.
"Senang bertemu denganmu. Namaku Jae-Sun, Lee Jae-Sun", sapanya sambil tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi.
"Aku Eun-mi, Park Eun-mi. Apa kau seorang dokter gigi?", tanya Eun-mi.
Lelaki itu sedikit kaget.
"Apa keluargamu yang memberitahu?"
"Sebenarnya mereka memberiku data profilmu. Dan itu begitu panjang", sahut Eun-mi sambil tertawa kecil.
Lelaki itu kemudian tersenyum bangga.
"Bagaimana menurutmu tentang itu?", tanyanya penasaran.
"Sebenarnya aku tak membacanya sama sekali. Aku tak perlu itu. Aku hanya perlu satu hal", Eun-mi kemudian berdiri, membaca sholawat kemudian mencondongkan tubuhnya dan meniup ubun-ubun lelaki itu seperti tengah meniup lilin ulang tahun.
Lelaki itu benar-benar kaget dan bingung dengan kelakuan Eun-mi. Matanya bahkan sampai melotot.
"A..apa yang kau lakukan? Kenapa kau meniup kepalaku?", tanyanya dengan raut sedikit takut.
"Aku mau bertanya padamu, apa kau bersedia menjadi seorang muslim?"
********
Rayyan terbahak mendengar cerita Eun-mi. Ia tak menyangka kalau Eun-mi benar-benar melakukan apa yang dikatakannya.
"Lalu, dia jawab apa?", tanya Rayyan penasaran.
Eun-mi hanya menggeleng.
"Dia gak ngomong apa-apa. Dia sepertinya ketakutan lalu langsung permisi", sahut Eun-mi yang juga tak bisa menahan tawanya.
Para karyawan toko sudah terbiasa mendengar kedua orang itu bicara dalam bahasa Indonesia. Kalaupun ada yang lucu, akhirnya memang hanya mereka berdua yang tertawa. Yang lainnya hanya menatap tak mengerti.
Kecuali satu orang, tapi reaksinya tak berbeda jauh dengan yang lain. Asna, kasir tanpa ekspresi yang sulit sekali menerawang isi hatinya hanya lewat wajahnya.
Entah apa yang membuatnya seperti itu, dan kenapa juga Eun-mi menjadikannya kasir yang seharusnya ramah dan menyenangkan bagi pelanggan mereka. Tapi anehnya, tak pernah ada satu pun keluhan yang muncul terhadap dirinya.
Mungkin karena rata-rata pelanggan mereka adalah orang sibuk yang ingin urusannya cepat selesai tanpa basa-basi. Kalau untuk itu, memang Asna lah yang paling cocok. Singkat, padat, jelas, dan uang pun terkumpul.
"Baiklah, aku mau menelpon mama dulu. Dia pasti juga tertawa mendengarnya", ucap Eun-mi pada Rayyan kemudian berlalu dari situ.
********
Di sebuah minimarket, Rayyan terlihat sedang khusyuk mengamati jejeran produk. Mie instan Indonesia, itu yang dia cari. Tapi sepertinya ia kesulitan karena banyaknya barang sejenis yang berada di sana.
"Indonesia?", tanya seorang wanita.
Rayyan tersentak lalu melihat ke sumber suara. Seorang wanita tengah menatapnya dengan penasaran.
"Ya?!", jawab Rayyan.
Wanita itu kemudian tersenyum.
"Aku juga dari Indonesia. Lagi nyari apa?", tanya wanita itu lagi.
Rayyan pun menyebutkan apa yang sedari tadi dicarinya. Kemudian dengan sigap wanita itu menuju ke salah satu bagian rak dan mengambil sesuatu.
"Ini, di sini tempatnya", ucap wanita itu sambil menenteng sesuatu.
Rayyan pun langsung menghampirinya kemudian mengambil produk itu.
"Makasih banyak. Untung kamu bantu, kalo gak mungkin masih lama baru ketemunya", Rayyan tersenyum kemudian hendak menuju kasir.
"Segitu aja?! Gak pengen kenalan nih?", protes wanita itu.
"Oh, maaf. Aku Rayyan. Aku kerja di toko roti dekat toko mainan besar di sana", ucap Rayyan.
Wanita itu tersenyum.
"Aku Wina, nice to meet you..", sahutnya seraya mengulurkan tangan.
Rayyan hanya mengatupkan kedua tangannya. Dan sebenarnya dia agak risih karena wanita itu berdiri terlalu dekat dengannya.
"Ah.. oke. Sepertinya kamu salah satu dari orang-orang yang seperti itu", Wina tak spesifik menyebutnya, tapi Rayyan tahu maksudnya.
Rayyan menanggapinya dengan tersenyum seraya mengangguk.
"Aku permisi dulu", ia kemudian menuju kasir untuk membayar.
"Dia anak salah satu pejabat di KBRI", ucap Salman, kasir sekaligus pengelola minimarket halal yang juga berasal dari Indonesia.
"Serius?! Tahu darimana?", tanya Rayyan penasaran.
"Isteriku yang bilang. Akhir-akhir ini wanita itu memang sering datang ke sini. Kamu tahu sendiri kan gimana Min-Young, selalu kepo kalau ada orang baru. Gak bisa nahan diri buat cari tahu. Aku juga heran, kenapa malah dia yang jadi kayak orang Indonesia?", keluh Salman.
Rayyan terkekeh mendengarnya.
"Kalo ada waktu, hari Minggu nanti ke rumah. Si sulung ulang tahun. Kami mengadakan acara syukuran kecil-kecilan", Salman sudah selesai menghitung belanjaan Rayyan dan memasukkannya ke dalam kantong plastik.
"Oke, Insya Allah. Kalian gak perlu beli kue ulang tahun, nanti aku bikinkan buat anakmu sebagai hadiah", sahut Rayyan seraya mengeluarkan uang untuk membayar belanjaannya.
"Makasih bro, aku sudah tahu kamu bakal bilang begitu", Salman terkekeh, sementara Rayyan melengos mendengarnya.
"Ajak juga Eun-mi, Min-Young pasti senang bisa ngobrol sama dia", pinta Salman.
"Ya.. tentu, kalau dia lagi gak sibuk sama jadwal kencan butanya", Rayyan kembali terkekeh.
Salman mengerutkan dahinya.
"Masih belum selesai juga? Ya Tuhan.. sampai kapan? Kasihan sekali dia, keluarganya terlalu menekan dia", ucap Salman prihatin.
"Ya.. memang begitulah nasibnya. Doakan saja dia segera ketemu yang cocok. Kalau gak, dia bakal dapat gelar Ratu Kencan Buta, saking seringnya melakukan itu".
"Baiklah, aku pergi dulu. Assalamualaikum", ucapnya seraya menuju keluar minimarket.
Di luar dia kembali melihat Wina yang sedang bicara dengan seseorang. Saat melihat dirinya, Wina tersenyum sambil melambai. Rayyan hanya membalasnya dengan mengangguk dan segera berlalu dari situ.
"Kamu beli apa?", tanya Eun-mi begitu Rayyan tiba di toko.
Mereka berada di lantai dua yang merupakan tempat istirahat karyawan, ruang meeting sekaligus pantry. Dua orang baker yang baru menyelesaikan pekerjaannya terlihat sedang berbaring malas-malasan di sofa sambil memainkan ponsel mereka.
Rayyan membongkar isi kantong belanjaannya di hadapan Eun-mi. Mata Eun-mi langsung berbinar melihat kemasan mie instan sejuta umat.
"Salman ngundang kamu hari Minggu ini, acara syukuran ulang tahun anaknya", ucap Salman.
Eun-mi menggeleng.
"Aku gak bisa, ada acara keluarga di rumah. Kakek sudah wanti-wanti supaya aku jangan sampai lupa", Eun-mi melangkah ke pantry lalu meletakkan panci berisi air di atas kompor.
"Oh... Ya sudah. Nanti aku beritahu Salman", sahut Rayyan.
"Sebenarnya.. aku pengen ngajak kamu ke acara itu", ucap Eun-mi, sementara matanya tertuju pada isi panci.
Rayyan tersenyum pahit.
"Memangnya aku mau ngapain di sana? Bukannya banyak keluarga kamu yang gak suka kalo kita berteman? Bukannya mereka bilang aku ini pengaruh buruk buat kamu?".
Eun-mi terlihat seolah sedang berpikir.
"Ya.. mereka gak salah juga sih. Kamu kan yang ngasih ide buat niup ubun-ubun cowok kencan butaku kemaren, sampai-sampai mukanya jadi horor terus langsung cabut melarikan diri?", sahut Eun-mi seraya tertawa.
Rayyan ikut tertawa, tak bisa protes.
"Sebenarnya, aku sendiri juga merasa risih kalo harus ngumpul sama seluruh anggota keluarga besarku. Kalo aku menolak ikut makan, mata mereka langsung terlihat sinis. Walaupun aku sudah kasih tahu ke mereka alasannya. Belum lagi kalo sudah merembet ke masalah pakaian sama hijab. Pokoknya selama acara, yang kulakukan cuma berusaha menahan emosi karena ucapan dan tatapan mereka", Eun-mi menghela nafas lalu membawa dua mangkok mie instan yang sudah masak ke meja.
Rayyan terdiam mendengarnya. Dia benar-benar merasa kasihan dengan temannya itu.
"Apa... calon suami kamu harus mereka yang nyari? Maksudku gini, kenapa kamu gak coba cari sendiri aja? Daripada hanya nunggu sampai ada yang cocok dan kayaknya gak bakalan ada yang cocok, bukannya lebih baik kalau kamu yang usaha sendiri?", tanya Rayyan.
Eun-mi menatap Rayyan seraya menghela nafas.
"Mau nyari dimana? Kalaupun ada yang menurutku cocok, kan belum tentu buat mereka. Nanti ujung-ujungnya malah nambah masalah lagi", Eun-mi menyuap mie nya dengan malas. Sepertinya selera makannya tiba-tiba menguap entah kemana.
"Tapi kamu gak bisa terus-terusan begini Mi. Mau sampai kapan? Umur kamu itu terus nambah lho. Kamu mau jadi perawan tua?", Rayyan sepertinya lupa batas.
Eun-mi melotot, sementara Rayyan berlagak seolah tak ada sesuatu yang salah dan dengan lahap menyantap mie nya.
"Aish! Tu mulut bisa dikondisikan gak? Aku belum setua itu juga kali!" Eun-mi tak terima dengan ucapan Rayyan.
"Sekarang sih memang iya, tapi beberapa tahun lagi?" Rayyan menatapnya seolah minta pengakuan akan kebenaran ucapannya.
Eun-mi menghempaskan sumpitnya di atas meja. Dia merasa kesal dengan Rayyan yang bukannya menghibur malah mengejeknya. Dan kini dia benar-benar tak ingin lagi menyentuh makanannya.
"Dengar Eun-mi temanku yang baik..., aku tu juga perlu segera menikah. Tapi aku gak bakalan tega kalau harus nikah lebih dulu sementara kamu masih sibuk nyari calon suami yang pas buat kamu", ucap Rayyan, entah sekedar bicara atau memang sungguh-sungguh.
Kini giliran Eun-mi yang terdiam. Ia tak menyangka akan mendengar kalimat itu dari Rayyan.
"Kamu, mau nikah?", tanyanya ragu-ragu.
"Ya iya lah.. Lagian itu kan Sunnah Rasulullah. Kalo gak ikut, ntar kalo gak diakuin sebagai umatnya, gimana nasibku nanti? ", sahut Rayyan yang kini sudah menghabiskan mienya.
"Bukan begitu. Maksudku, kamu sudah punya calon isteri?", tanya Eun-mi lagi.
Rayyan mengangguk.
"Ayah sama ibu sudah punya calon buatku. Kalau cocok, ya.. mungkin aja aku bakal segera menikah", ucapnya.
"Untungnya perjodohan di keluargaku itu gak seribet di keluarga kamu. Yang penting seiman, punya visi misi membangun keluarga yang baik, ya udah. Nikah", sambungnya.
"Itu mienya kok didiemin aja. Gak mau dihabisin?", tanya Rayyan melihat mangkok di depan Eun-mi yang isinya tak berkurang.
Eun-mi menggeleng lemah. Dengan suka cita Rayyan kemudian menarik mangkok Eun-mi ke hadapannya kemudian melahap isinya.
"Kenapa kamu gak pernah cerita masalah ini ke aku?", Eun-mi merasa sedikit kecewa karena ternyata Rayyan selama ini menyembunyikan sesuatu darinya.
"Buat apa? Supaya bisa menyombong ke kamu kalau aku sudah punya calon? Sementara kamu masih sibuk sama acara kencan buta kamu yang entah kapan episode terakhirnya bakal tayang?", Rayyan membela diri.
Eun-mi tak suka mendengar ucapan Rayyan, terlihat dari ujung alis matanya yang meninggi.
"Oke, oke! Berarti maksud kamu kalau aku belum nikah, kamu juga gak bakalan nikah, begitu?", Eun-mi mencari kesimpulan dari ucapan Rayyan tadi.
"Kurang lebih ya kayak gitu. Kalau aku sampai jadi bujang lapuk, berarti itu salah kamu!", ucapnya tajam, kemudian membawa kedua mangkuk di hadapannya ke tempat cuci piring kemudian mencucinya.
"Jadi tolong, cepetan nikah. Oke?", Rayyan lalu meninggalkan Eun-mi menuju ruang etalase.
Eun-mi masih sedikit tak percaya dengan apa yang didengarnya tadi. Ia tetap duduk dan diam seperti berusaha menyusun kembali pikirannya yang sedikit kacau.
Terdengar ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk, dari bibinya. Dan Eun-mi sudah tahu pasti apa isi pesan itu.
"Jeong In-ho. Anak kolega pamanmu. Tanggal 26 bulan ini. Bersikap baik, jangan sampai seperti yang terakhir. Kau sudah membuatku malu"
Pesan itu dilengkapi dengan foto seorang lelaki tampan dengan senyum yang indah. Namun tak cukup membuat Eun-mi untuk kembali bersemangat, apalagi setelah mendengar ucapan Rayyan tadi. Ia hanya menghela nafas, lelah...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!