"Menikah lah, lagi ... Ini sudah hampir tujuh belas tahun." ujar Fatimah dengan suara yang serak.
"A-aku gak bisa Bu ..." keluh Ana pada mertuanya yang terbaring lemah.
Fatimah memang kerap kali menyuruh menantunya menikah. Apalagi, menantunya harus banting tulang untuk menghidupi kedua cucunya.
"Ini udah terlalu lama Ana, jikapun dia masih hu hidup dia pasti sudah kembali sejak dulu."
"Tapi aku yakin dia memang masih hidup Bu, mungkin dia terjebak di suatu tempat. Izin kan aku tetap mencintai anakmu bu, izinkan aku tetap menjadi menantumu." mohon Ana dengan isakan.
"Nak, ibu hanya sayang padamu. Ibu gak mau jika penantianmu sia-sia. Bukan, bukan karena ibu gak menyayangi mu, tapi ibu ingin kamu bahagia nak. Ibu ingin melihat kamu bahagia disisa-sisa hidup ku. Ibu ingin cucu-cucu Ibu bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah." lagi Fatimah memberi nasihat.
"Maafkan aku ibu ..." lirih Ana.
Fatimah pun memejamkan matanya, dia sedikit kecewa dengan penolakan dari menantunya. Namun, dia bisa apa? Bukankah, ini hidup Ana. Jadi, dia tetap berusaha menerima keputusan Ana.
Sudah malam, Ana mohon pamit dari rumah mertuanya. Dia hanya ingin menjenguk mertuanya yang akhir-akhir ini selalu mengeluh tidak enak badan. Namun, selalu menolak jika di ajak kerumah sakit.
"Apa kamu sudah memikirkan dengan matang permintaan Ibu?" tanya Rima.
Rima adalah kakak iparnya. Dan Rima lah, yang tinggal bersama Fatimah, serta mengurusnya.
"Aku tidak mau membahas itu mbak. Aku pulang dulu ya." pamit Ana.
"Biar Raksa yang mengantarmu." pinta Rima menunjuk anak sulungnya.
Ana mengangguk setuju, karena bagaimanapun, pikirannya sedang kacau. Apalagi tiba-tiba rasa rindu itu menguak semakin dalam.
Raksa pun menghubungi temannya seorang lagi untuk menemaninya. Karena Ana pun, membawa sepeda motor sendiri. Jadi, dia mengajak temannya agar bisa pulang, nantinya.
"Makasih Raksa, masuklah, dulu." ajak Ana.
"Tidak usah tante, aku sekalian mau nongkrong sama teman, di kafe dekat jalan raya sana." ungkap Raksa.
Ana memang tinggal berbeda kecamatan sama mertuanya. Dan jarang antara rumah Fatimah dan rumahnya sekitaran empat puluh lima menit perjalanan.
Sebelum masuk kamar, Ana memastikan anak gadisnya terlebih dahulu. Disana, terlihat putrinya tertidur pulas.
Jika anak pertamanya sudah minta izin untuk keluar bersama teman-temannya.
"Bang, tidakkah kamu rindu pada anak-anak? Tidak kah, kamu rindu padaku?" lirih Ana menatap putrinya.
Ana pun kembali menutup pintu kamar putrinya, dan memasuki kamarnya sendiri.
Bahkan, Ana melewatkan makan malamnya. Nafsu makannya tiba-tiba hilang, diganti dengan rindu kepada sang pujaan hati.
"Aku yakin kamu masih hidup, pulang lah bang ... Aku rindu." batin Ana menatap foto terakhir bersama sang suami.
Namun sayang, fotonya sudah tidak jelas mukanya, akibat sempat terendam banjir. Namun, bagi Ana itu tidak masalah, mengingat dia telah menyimpan dengan rapat, segala kenangan tentang suaminya.
Seperti biasa, paginya Ana bangun untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Dan setelah membangunkan putrinya yang masih sekolah di kelas dua SMA.
Dan untuk putranya, dia bekerja sebagai penjaga konter. Dan hari ini dia masuk shift malam. Makanya, semalam anaknya meminta izin untuk keluar bersama teman-temannya. Karena paginya, dia bisa istirahat.
"Hari ini ibu akan menanam padi di sawah bu Yani, mungkin pulangnya agak sorean. Pulang sekolah nanti, tolong bangunkan abangmu, jika masih molor." pesan Ana pada gadisnya yang baru selesai mandi.
"Baik bu." sahut putrinya.
Ana pun bergegas memakai baju yang biasa di pakai untuk ke sawah. Tak lupa, dia juga membuat bekal untuk nanti siang. Jaga-jaga jika sang punya sawah tidak mengantarkan makanan.
Ana pun sudah ditunggu oleh beberapa rekannya yang melakukan hal yang sama.
Di tempat lain, Fatimah menghela napas mengingat nasib menantunya. Dia sudah berusaha mencari keberadaan anaknya, bahkan dia juga sudah pernah mendatangi tempat dimana sang anak mengais rezeki. Namun semua nihil, bahkan tidak seorang pun yang mengingat tentang anaknya.
Tak jarang, Fatimah bahkan sempat mendatangi beberapa orang pintar untuk mengetahui keberadaan anaknya. Ada yang mengatakan jika sang anak sudah semakin jauh dan sulit untuk digapai, ada yang bilang jika anaknya sudah tiada.
Dia sendiri mencoba meyakini jika sang anak memang telah tiada. Namun, berbeda dangan Ana, dia keukeh jika suaminya masih hidup.
"Bu, kenapa?" tanya Rima sembari mengantarkan makan siang.
"Ibu memikirkan adikmu." ungkap Fatimah menghela napas. "Jika benar dia masih hidup seperti yang Ana katakan. Lantas, kenapa dia tidak pulang? Bahkan tidak memberikan kita kabar." keluh Fatimah.
"Mau bagaimana lagi, ingin mencari lewat media sosial seperti ide Raksa pun, kita tidak mempunyai fotonya." balas Rima.
"Iya, itu semua akibat rumah kita yang kebakaran. Dan pada Ana pun sudah terendam banjir." sahut Fatimah.
"Yang penting, kita harus terus berdoa bu." lanjut Rima dan Fatimah mengangguk kepala pertanda setuju.
"Nanti, jika ibu telah tiada. Tolong, tolong kalian jangan memutuskan tali persaudaraan dengan Ana. Dia tetap akan menjadi menantu ibu, walaupun nanti dia menikah lagi." pinta Fatimah.
"Tenang bu, aku dan adik-adik pasti akan menjaga Ana." balas Rima.
Fatimah memiliki empat orang anak, dan dia hanya memiliki seorang anak lelaki. Makanya, dia sangat terluka saat menghilangnya kabar sang anak lelaki.
Dan dua anak perempuan Fatimah lainnya ikut suami untuk tinggal di luar kota. Hanya Rima yang menjaga ibunya, yang kebetulan, suaminya pun bekerja sebagai guru honor di salah satu sekolah yang berada di lingkungan mereka.
Kembali pad Ana yang baru saja istirahat setelah makan siang. Dia dan empat orang temannya sedang duduk di pondok yang ada di sawah.
Kebetulan, semua pemilik sawah membuat pondok kecil untuk berteduh.
"Ana, kamu gak lelah menjanda?" tanya seorang perempuan yang umurnya jauh lebih tua dari Ana.
Ana hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan itu.
"Iya iya, padahal kamu masih cantik Ana. Bahkan pak Salim duda di kampung kita menyukaimu." balas lainnya.
"Ya, jangan sama pak Salim juga lah bu, beliau udah duda tiga kali. Dan semua itu diceraikannya." ujar perempuan yang pertama bertanya.
"Aku lebih nyaman begini." sahut Ana sekilas.
Dia sungguh tidak nyaman dengan pembahasan itu.
"Tapi kami kasihan melihatmu, yang harus banting tulang menghidupi anak-anak mu." ujar seorang perempuan lain.
"Aku lebih kasihan, melihat orang bersuami tapi harus mencari nafkah untuk memberi makan suaminya. Apalagi jika suaminya sehat badan serta pikiran." ujar Ana akhirnya.
Dan semua orang langsung diam. Karena Ana seperti menyindir mereka.
Dan wanita seorang lagi yang sejak tadi diam malah terkekeh mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Ana. Karena sesungguhnya dia pun geram pada pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan teman-temannya.
Flashback ...
"Aku takut bang, apa sebaiknya abang gak usah pergi?" ujar Ana dalam dekapan suaminya.
"Aku pergi untuk memperbaiki keuangan kita, memangnya kamu mau anak kita selalu kekurangan? Aku gak tega dik ..." lirih Sahil.
"Tapi aku ..."
"Kegundahan mu tidak berarti dik. Tenang lah, aku pasti kembali ... Dan akan menyempatkan mengirim surat untukmu." ujar Sahil memeluk erat istrinya.
Ana menjatuhkan air matanya, dia merasa akan kehilangan suaminya. Namun, semua itu tidak di utarakan.
"Lagi pula, aku pergi bersama abang-abang mu, mereka tentu akan menjagaku." ujar Sahil seakan mengerti keresahan hati istrinya.
Sebelum pergi, Ana ingin melayani suaminya dengan puas. Mereka menghabiskan malam bersama rintik-rintik hujan yang menemani.
Keesokan harinya, Sahil bersiap dengan tas ransel di punggungnya, dia dan kedua iparnya, sedang menunggu mobil jemputan.
"Aku mohon ..." ujar Ana kembali menarik lengan suaminya.
"Sayang, Abang janji tidak akan lama. Tolong jaga kan, anak kita." ucap Sahil mengelus pucuk kepala Ana.
"Tenang lah, Ana ... Kami akan pulang setiap tiga bulan. Lagi pula, mbak-mbak mu gak keberatan kami pergi. Apalagi saat pulang nanti kami bawa banyak uang." ucap Abang dari Ana.
"Tapi ..."
"Abang mu benar dik, abang juga ingin tanganmu ada perhiasan seperti istri dari abang-abang mu. Abang juga mau kamu bisa belanja sepuasnya. Kita bisa merenovasi rumah, dan jug lainnya." ujar Sahil menenangkan Ana.
Tak lama kemudian, mobil jemputan datang. Sahil mencium dalam pucuk kepala Ana, dan juga memeluk erat tubuh wanitanya itu. Tak lupa, dia juga menggendong buah hati yang menatapnya dengan mata berkaca, seolah mengatakan, Ayah jangan pergi.
"Tolong jaga Ibu, nanti saat pulang, Ayah akan membawa banyak mainan ..." ujar Sahil berjanji.
"Semoga saat pulang nanti, aku mendapatkan kabar bahagia." bisik Sahil memeluk Ana sebelum menaiki kamar.
Ana menangisi Sahil yang melambai tangan ke arahnya. Berat, tentu saja. Karena ini merupakan pertama kalinya Sahil meninggalkannya.
Tanpa sadar, Ana pun mengelus perut ratanya. Berharap, agar harapan suaminya tercapai.
...🍁🍁🍁...
Sebulan pun berlalu dengan cepat, Ana mendapatkan surat dari suaminya. Dia juga mengirimkan sejumlah uang untuk Ana.
Dengan seksama Ana membaca surat dari Sahil.
Sayang, bagaimana kabarmu? Aku sungguh berharap jika kamu dan putra kita baik-baik saja.
Sayang, abang mengirim surat ini bersama rindu yang tidak bisa dibendung. Abang mengirim surat ini bersama cinta yang tak terhingga. Doakan abang, karena doamu akan menembus langit dengan begitu cepat.
Dik, ini aku juga mengirim mu sejumlah uang. Dan sekarang aku bekerja sebagai tukang bangunan. Kamu tenang saja, Abang disini tetap makan tiga hari sekali. Karena semua ini di tanggung oleh mandor.
Ini semua gaji abang, kamu bisa membeli apapun yang kamu mau. Tapi, jika kamu berkenan, tolong kamu sisihkan sedikit untuk ibu.
Sayang, bagaimana dengan kandunganmu? Apakah sudah berisi? Aku sangat berharap, jika kamu hamil lagi. Bukan apa, aku hanya ingin kamu memiliki hiburan, saat aku tidak ada.
Sayang, aku rindu, sungguh sangat rindu. Bahkan, jika bisa, aku akan terbang hanya untuk ingin bersamamu. Akan tetapi, bukankah, semua ini untuk kehidupan kita? Agar kita lebih bahagia nantinya.
Sayang, tolong jaga putra kita. Dan titipkan rasa rinduku untuknya. Katakan, Ayahnya sangat mencintainya.
Tunggu Abang ...
Wasalam, suamimu
Sahil.
Ana memeluk surat itu dengan erat, seolah menyerap rindu yang di kirimkan oleh suaminya. Bahkan dia menangis merasakan kerinduan yang sama-sama membuncah.
"Ibu kenapa nangis?" tanya Arkan buah hatinya dengan Sahil.
Ana menatap dalam Arkan yang mewariskan sebagian dari wajahnya Sahil.
"Ibu mendapatkan surat dari Ayah, dan Ayah menitipkan rindu untukmu." ucap Ana.
"Mana?" tanya Arkan antusias.
"Memang kamu sudah bisa baca?" kekeh Ana menyerahkan surat dari Sahil.
"Belum, kan baru tk ..." ujar Arkan polos.
Namun, dia melakukan hal yang sama seperti Ana. Memeluk surat itu, seperti memeluk Ayahnya.
Hari-hari berlalu, kini sudah bulan ke tiga Sahil merantau. Ana harap-harap cemas menanti kepulangan suaminya. Apalagi, dia mendapatkan kabar dari isteri-isteri abangnya. Jika mereka akan kembali hari ini.
Benar saja, sore hari sebuah mobil berhenti di depan rumah abangnya. Dan ke dua abangnya turun disambut oleh anak-anak, juga istri mereka.
Ana dan Arkan pun mendekati mobil tersebut, untuk melakukan hal yang sama.
Namun, mobil kembali melaju setelah menurunkan barang-barang kedua abangnya.
"Bang Sahil ..." panggil Ana berharap suaminya segera turun untuk memeluknya.
"Ana, Sahil tidak pulang." ujar abang tertua dari Ana.
"Maksud abang? Kenapa? Bukannya dia sudah berjanji akan pulang bersama kalian? Emangnya bang Sahil kemana?" tanya Ana beruntun.
"Kita masuk dulu, dengarkan kami dulu." ajak abang tertua Ana.
Mereka semua masuk ke rumah tersebut. Dan abang kedua Ana langsung menyuruh anak tertuanya untuk mengajak semua anak-anak menjauh. Sebab mereka ingin bicara serius.
Ana menatap kedua abangnya dengan perasaan tak menentu.
"Ana, Sahil menolak untuk pulang bersama kami. Dia ingin bekerja di tempat lain bersama teman-teman tukang lainnya." Abang tertua Ana menghela napasnya.
"Kami sudah berupaya untuk mengajaknya pulang, namun dengan tegas dia menolak. Dia hanya menitipkan uangnya untukmu. Dan mengatakan akan segera pulang." lanjut abang kedua Ana.
"Tapi, dia sudah berjanji ..." ujar Ana mengelus perutnya.
"Tenanglah, Ana ... Dia pasti pulang." ujar abang tertua mengelus pucuk kepala Ana.
Ana menangis, bukan apa. Dia hanya mengingat sang suami yang telah mengingkari janjinya. Padahal dia sudah tidak sabar ingin memberikan kabar bahagia.
Ya, Ana hamil, dan dia baru tahu seminggu sebelumnya.
"Abang tahu dimana Bang Sahil kerja?" tanya Ana tersedu.
"Kami gak tahu pasti, karena kami sendiri bekerja sebagai tukang borongan. Jadi, kami bisa dimana saja, bahkan bisa juga berada di kota ini." lanjut Abang kedua Ana.
Sebulan dua bulan Ana kembali menunggu, namun suaminya tidak kunjung pulang.
Ana memberitahu kegundahan hatinya pada Fatima. Dia mengadu, jika Sahil tidak pernah lagi mengirimnya kabar. Dan dia hanya mendapatkan selembar surat.
Saat itu, Fatimah yang berprofesi sebagai tukang urut, memang memiliki banyak uang. Dia mengajak Rima dan adik lelakinya untuk mencari keberadaan Sahil. Bahkan, Fatimah mengajak kedua Abang dari Ana untuk ikut serta.
"Kami hanya menyelesaikan gedung ini bu, dan sebelum pulang, Sahil pergi bersama teman-teman lain. Kami memang tidak memiliki akses apapun untuk menghubungi mereka bu, mengingat ponsel adalah barang mahal yang harus kami beli." ucap Abang tertua Ana.
Fatimah tidak menyerah, dia bahkan menanyakan pada mandor, barang kali mereka melihat keberadaan Sahil. Namun sayang, karena banyaknya para tukang yang bekerja, sang mandor pun, tidak begitu ingat tentang Sahil.
Fatimah tidak patah semangat, dia tetap mencari keberadaan Sahil. Bahkan Fatimah mulai mendatangi beberapa orang yang dianggap sebagai orang pintar.
Dia menghabiskan banyak biasa, bahkan itu bukan masalah, baginya anaknya lah, yang terpenting.
Apalagi, saat mengingat Ana yang sudah hamil besar. Ana yang tidak mau terus-terusan menerima uluran dari tangannya mulai bekerja sebagai tukang cuci gosok.
Dia bahkan tidak mempermasalahkan perutnya yang semakin membesar, karena dengan bekerja dia sedikit bisa melupakan kerinduannya pada Sahil.
Bahkan tidak jarang saat sendirian, Ana meneteskan air matanya.
"Pulang lah, bang ... Aku harap kamu bisa melihat saat anak yang kamu dambakan lahir." monolog Ana.
Hati Ana bahkan lebih hancur saat Arkan menanyakan kabar tentang Ayahnya. Arkan yang mulai cemburu saat ada temannya yang diantar bahkan dijemput oleh Ayahnya.
Fatimah pulang dengan tangan kosong. Rasa sedih dan kecewa sangat mendominasi, namun dia harus kuat. Apalagi, mengingat Ana yang sebentar lagi akan melahirkan.
Fatimah mulai menginap di rumah Ana, karena semasa itu masih menggunakan jasa dari paraji.
Dan kebetulan Fatimah sendiri bisa melakukan hal itu.
"Ibu mau membuat acara untuk anak-anak yatim, karena ibu mau mereka mendoakan Sahil agar cepat pulang, atau paling tidak, jika dia telah tiada, dia bisa diterima disisi-Nya." ujar Fatimah saat memijit pinggang Ana.
"Bu, aku yakin bang Sahil masih hidup. Jika ibu mau berdoa tentang keselamatan atau agar dia pulang aku baru setuju." ujar Ana.
"Baiklah, jika itu maumu. Tapi kan kamu tau sendiri, dari orang-orang pintar, ada yang mengatakan jika Sahil telah tiada." lanjut Fatimah.
"Dan ibu percaya?" tanya Ana sedikit emosi.
"Bu, bang Sahil itu masih hidup. Aku bisa merasakannya." isak Ana sensitif.
Fatimah pun memilih mengalah, karena dia tahu perasaan Ana. Dia paham bagaimana sensitifnya perasaan ibu hamil.
Beberapa hari kemudian, Ana merasakan kontraksi hebat. Dia yang ditemani tidur oleh Fatimah langsung membangunkan ibu mertuanya.
Untuk ibu kandung Ana, kebetulan sudah tiada sejak beberapa tahun terakhir.
Fatimah langsung membantu Ana. Dia juga keluar untuk memanggil istri dari abang tertua Ana.
Dini hari, Ana sudah sering merasakan mulas di perutnya. Bahkan Fatimah dengan sabar memijit pelan pinggang Ana.
"Sebentar, Ibu cek dulu." ujar Fatimah.
"Kepala bayi udah kelihatan. Nanti jika mulas kembali datang. Kamu ngeden dengan kuat ya." ujar Fatimah memberi instruksi.
Beberapa saat kemudian, Ana berhasil melahirkan seorang putri dengan selamat. Harapannya sia-sia. Karena, nyatanya Sahil tidak kunjung sampai saat dia berhasil melahirkan.
"Kamu kuat nak, terimakasih karena telah melahirkan cucu perempuan yang cantik untuk ibu." ujar Fatimah mencium pucuk kepala Ana.
Ana terisak, sedih karena Sahil tidak bersamanya, dia kecewa karena nyatanya Sahil tidak pernah tahu dia hamil.
Hari-hari terus berlanjut. Sampai sekarang Sudah beberapa tahun semenjak Sahil pergi.
Flashback off ...
"Ibu, ini gajiku bulan ini." ujar Arkan menyerahkan beberapa lembar uang merah untuk Ana.
"Ini cukup, lainnya kamu simpan ya. Kamu tabung, untuk masa depanmu." ujar Ana mengambil lima lembar uang Arkan.
"Ibu ambillah, semuanya. Nanti ibu gak usah ikut nanam padi lagi." pinta Arkan.
"Ibu masih kuat, lagian dengan ikut menanam padi ibu merasa punya teman." balas Ana lembut.
Arkan memasuki kamarnya, dia langsung memasukan uang tersebut ke celengan, dan sebagian lagi di masukkan ke dompetnya.
Kemudian Arkan merebahkan tubuhnya ke kasur.
"Bagaimana caranya agar aku bisa membahagiakan ibu dan Kayla?" gumam Arkan.
Arkan memang menginginkan agar ibunya tidak lagi ke sawah, dia tahu jika ibunya berbohong. Dia sadar, bahwa sesungguhnya ibunya tidak lagi sekuat dulu.
"Arkan, boleh ibu masuk?" terdengar suara orang tercintanya dari luar.
"Masuklah bu, pintu tidak di kunci." sahut Arkan.
"Nenek masuk rumah sakit, jadi kita akan kesana. Kamu juga ikut ya." ucap Ana membuka pintu kamar Arkan.
"Kayla?" tanya Arkan.
"Dia lagi siap-siap, nanti biar ibu sama Kayla. Kamu sendiri aja." ujar Ana sebelum meninggalkan kamar Arkan.
Ana bergegas ke kamar untuk bersiap. Sedangkan Arkan mengganti pakaiannya dan juga menyisir sedikit rambutnya.
"Semoga Nenek baik-baik aja." harap Arkan.
Fatimah merupakan sosok nenek yang baik, tidak hanya pada Arkan dan Kayla. Tapi pada semua cucu-cucunya. Tentu saja yang paling spesial adalah Arkan dan Kayla. Namun, sebisa mungkin Fatimah memberi pengertian. Semua itu karena tanggung jawabnya untuk mengganti peran Sahil, walaupun tidak akan sepenuhnya bisa.
Beruntung, Fatimah memiliki cucu-cucu yang sangat pengertian, sehingga semuanya pun sangat sayang pada Arkan dan juga Kayla.
Mereka tiba ke rumah sakit setelah melalui hampir tiga puluh menit di perjalanan, Fatimah sendiri sudah berada di ruang rawat inap.
"Bagaimana keadaan ibu?" tanya Ana menyalami mertuanya.
Dan Fatimah hanya tersenyum tanpa mampu menjawab pertanyaan Ana.
"Ibu kenapa mbak?" tanya Ana pada Rima.
"Sebelumnya ibu muntah terus-menerus, bahkan dia tidak bisa makan nasi sesuap pun. Hingga akhirnya, ibu tidak sadarkan diri. Makanya, aku dan Raksa membawanya kesini. Beruntung, ibu sudah sadar, walaupun masih sedikit lemah." terang Rima menjelaskan.
"Nek, nenek cepat sembuh ya." ujar Kayla memijit lembut kaki Fatimah.
Arkan dan Raksa berdiri disisi ranjang sebelah kanan. Sedangkan Rima dan Ana berada disebelah kiri. Dan Kayla di kaki sebelah kiri.
"Nenek mau makan? Biar Arkan bantu suapin." tanya Arkan lembut.
Fatimah membuka mata dan menggeleng lemah.
"Sedikit saja ya Nek." kembali membujuk.
Karena mendengar rayuan-rayuan dari Arkan dan Kayla, akhirnya Fatimah kembali membuka mata. Dan dia juga mau disuapi makanan oleh Arkan.
"Sudah ..." ujar Fatimah lirih.
Rima senang, walaupun hanya dua suap, setidaknya perut ibunya tidak lah, kosong.
"Mbak udah menghubungi yang lainnya?" tanya Rima.
"Sudah, namun mereka tidak bisa pulang. Mungkin terkendala dengan biaya." lirih Rima.
"Semoga aja ibu gak apa-apa." harap Ana dengan sedih.
Ana sangat menyayangi Fatimah. Baginya, Fatimah sudah seperti ibu kandungnya.
Raksa dan Arkan meminta izin untuk keluar, lagian mereka sudah ditegur agar jangan terlalu ramai di ruangan, biar tidak mengganggu istirahat pasien.
"Kita ke kantin aja yok." ajak Raksa pada adik sepupunya.
Selisih umur mereka sekitaran lima tahun. Dan sekarang umur Arkan sendiri sudah dua tiga tahun.
"Bagaimana dengan kerjaan mu? Lancar?" tanya Raksa saat mereka duduk di kantin.
"Lancar, dan aku berencana membuka counter sendiri. Tapi ..."
"Kenapa? Kendala di biaya?" tebak Raksa.
Arkan membuang napas kasar. "Iya, tabungan sih ada, cuma belum cukup." lirih Arkan.
"Tenang aja, jika nenek sembuh. Aku akan minta pada nenek." ujar Raksa.
"Eh jangan ..." larang Arkan. "Bukankah, nenek udah lama tidak menerima jasa pijit?" tanya Arkan lagi.
Raksa langsung tertawa. "Tabungan nenek banyak, dan kamu merupakan cucu kesayangannya, jadi bisa lah." kekeh Raksa.
"Gak bang, aku gak mau. Aku dan keluargaku sudah terlalu sering menerima uluran tangan nenek. Aku gak mau jika bang Raksa dan sepupu-sepupu kita lainnya cemburu." lirih Arkan.
"Kamu benar ..." sahut Raksa, membuat Arkan mengangkat wajahnya.
"Jadi, selama ini mereka cemburu?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!