Di balik dinding benteng besar yang melindungi perbatasan negara Kavaria, suara rintikan hujan terdengar, menyusup melalui celah-celah kayu dan batu yang telah rapuh karena pertempuran tanpa henti. Di tengah derasnya hujan, nyala api dari api unggun yang masih menyala, meskipun redup, menambah kesan suram pada suasana yang memanas. Kavaria sebuah negara yang telah lama dilanda peperangan, tempat di mana manusia-manusia saling bertarung demi kekuasaan yang tidak pernah habis, kini hanya tinggal menyisakan kehancuran.
Suara pedang yang beradu bergema di udara. Setiap dentingnya menjadi lagu kemenangan atau kesedihan. Para prajurit berlari dengan semangat yang semakin terkikis, sementara darah dan debu membasahi tanah yang dulunya subur. Bumi Kavaria telah lama berubah menjadi medan perang yang tak berujung, pertempuran yang terjadi siang dan malam, tak mengenal ampun. Korban berjatuhan, dan setiap langkah menuju kemenangan hanya menambah kerusakan yang tak dapat diperbaiki.
Namun, di tengah gelombang kekacauan itu, ada satu sosok yang tidak pernah lelah, tidak pernah menyerah, dan tidak pernah ingin merasakan kemenangan dalam bentuk kekuasaan. Zen Vessalius. Pria berusia 25 tahun yang berasal dari keluarga Vessalius, marga yang terkenal sebagai pewaris ahli pedang dalam sejarah panjang Kavaria. Keluarganya telah melahirkan para pendekar legendaris yang mampu mengendalikan pedang dengan ketepatan yang hampir tidak bisa ditandingi oleh siapa pun. Namun, Zen adalah seorang pria yang memiliki tekad yang berbeda. Alih-alih mengejar ketenaran atau kekuasaan, dia hanya memiliki satu tujuan: menghentikan peperangan ini, apapun yang terjadi.
Hari itu, Zen berdiri tegap di tengah medan pertempuran, dengan pedang besi yang hampir hancur di tangannya. Pedangnya yang usang itu dipenuhi bekas benturan dan darah. Namun, di matanya, ada kilatan tekad yang tak tergoyahkan. Zen tidak memikirkan dirinya, tidak memikirkan bahwa pedangnya bisa patah atau tubuhnya bisa roboh. Baginya, satu-satunya yang penting adalah menghentikan peperangan ini—membawa kedamaian bagi negaranya, meskipun itu berarti ia harus melawan dunia.
Setiap kali prajurit musuh mendekat, dia bertarung tanpa ragu, menghalau serangan dengan ketepatan yang hanya dimiliki oleh seorang ahli pedang. Namun, meski pedangnya masih terhunus, hatinya berat. Zen tahu bahwa setiap orang yang ia kalahkan di medan perang adalah seseorang yang, pada dasarnya, hanya mengikuti perintah untuk bertahan hidup. Mereka adalah korban dari sistem yang rusak, dan ini yang membuatnya semakin yakin bahwa bukan hanya pedang yang bisa menghentikan peperangan ini, tetapi juga perubahan yang lebih mendalam—sebuah revolusi dalam cara pandang manusia terhadap kekuasaan.
Saat dia mengayunkan pedangnya untuk menebas lawan terakhir yang menghadangnya, hujan semakin deras, mengguyur seluruh medan pertempuran. Zen berhenti sejenak, matanya tertuju pada langit yang gelap. Keheningan sementara itu membuatnya teringat akan kenangan masa kecilnya. Ia tumbuh di bawah bimbingan sang ayah, seorang pendekar legendaris yang mengajarkannya bahwa pedang bukanlah alat untuk menghancurkan, melainkan untuk melindungi. Tapi di dunia yang hancur ini, pedang tidak cukup hanya untuk melindungi. Pedang harus bisa menjadi simbol perubahan, sebuah harapan yang harus ditanamkan di hati setiap prajurit.
Dengan pedang yang mulai retak, tubuh yang mulai lelah, dan hati yang penuh dengan kegelisahan, Zen bersumpah pada dirinya sendiri. Ia akan mencari cara untuk menghentikan peperangan ini, bahkan jika ia harus melawan seluruh dunia.
Sementara itu, di balik benteng besar yang menjadi saksi pertempuran tanpa akhir ini, para pemimpin yang memerintah tidak peduli dengan darah yang tumpah, mereka hanya peduli akan kekuasaan yang semakin terancam. Mereka tahu bahwa perang ini tidak akan berakhir tanpa pengorbanan besar, dan mereka bersiap untuk mengorbankan lebih banyak lagi.
Zen Vessalius tidak peduli dengan mereka. Sebagai prajurit, dia tahu bahwa peperangan hanya akan berakhir dengan satu pilihan—kedamaian yang dibangun dengan tekad, keberanian, dan pengorbanan yang lebih besar daripada kekuasaan itu sendiri.
Hujan yang deras terus mengguyur medan perang, membasahi tanah yang telah diwarnai darah. Namun, suasana yang tadinya penuh dengan teriakan, denting senjata, dan raungan kesakitan, tiba-tiba berubah menjadi keheningan mencekam.
Zen Vessalius berdiri terpaku, pedang yang biasanya menjadi perpanjangan tubuhnya kini terhenti di udara. Di depannya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan muncul— sebuah elemen misterius, berputar dan bersinar dengan warna yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. la tidak tahu dari mana asalnya atau apa itu sebenarnya, tetapi kehadiran elemen itu membuat udara di sekitarnya terasa berat, seperti menekan jiwa setiap orang yang berada di medan perang.
Zen tahu, sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Dengan tubuh yang penuh luka dan nafas yang mulai tersengal, Zen memaksa dirinya untuk berlari ke arah benteng. Tapi setiap langkah yang ia ambil terasa seperti perjuangan melawan gravitasi yang semakin kuat.
Rasa sakit dari sayatan pedang dan tombak musuh semakin terasa, namun ia tidak peduli.
Di sekitarnya, prajurit-prajurit dari kedua belah pihak berlarian, meninggalkan pertempuran. Tidak ada lagi pertarungan, tidak ada lagi rasa permusuhan. Semua orang hanya mencoba melarikan diri dari elemen yang terus menyebar, meluas tanpa pandang bulu.
Zen, yang kini pincang karena luka-lukanya, tersandung tubuh seorang prajurit yang tak bernyawa. Wajah pucat korban itu menatap kosong ke langit, seolah menyampaikan pesan bahwa semua ini adalah akhir.
Zen menatap tubuh itu dengan napas terengah-engah, dan dalam hatinya muncul permohonan sederhana.
"Tolong... hentikan semua ini."
Namun, jawabannya datang dalam bentuk yang tidak ia harapkan.
Elemen itu semakin membesar, dan tekanan di udara semakin kuat. Zen, dengan pandangan yang mulai kabur, menyaksikan sesuatu yang tidak bisa ia percayai. Salah satu rekannya yang berdiri tak jauh darinya tiba-tiba membeku, tubuhnya gemetar hebat. Kemudian, darah hitam mulai keluar dari
mulutnya.
"Ramius!" Zen mencoba memanggil,
tetapi suaranya hampir tak
terdengar.
Tidak butuh waktu lama sebelum yang lain mengalami hal serupa. Satu per satu, prajurit dari kedua belah pihak mulai memuntahkan darah, tubuh mereka bergetar, sebelum akhirnya perlahan-lahan menghilang menjadi abu yang beterbangan di udara.
Zen hanya bisa menyaksikan dalam keterkejutan. Tangannya gemetar, pedangnya jatuh ke tanah.
"Apa... yang sedang terjadi?" pikirnya, namun jawabannya tidak datang.
Sebuah rasa asing mulai menjalar di tubuhnya. Ada sesuatu yang dingin dan panas sekaligus mengalir di dalam dirinya, menguasai setiap bagian tubuhnya. Ia mencoba melawan, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan.
Napasnya semakin berat, dan akhirnya ia pun merasakan darah mengalir keluar dari mulutnya. Zen terjatuh ke tanah, tubuhnya tidak lagi sanggup menahan rasa sakit yang menguasainya. Di sekelilingnya, dunia seakan berubah menjadi abu dan kehampaan. Semua orang lenyap, hanya tersisa dirinya yang masih mencoba untuk tetap sadar.
Namun, kekuatan itu terlalu besar. Pandangannya menggelap, tubuhnya menjadi dingin, dan Zen akhirnya menyerah pada kegelapan yang menyelimuti dirinya.
Dalam keheningan itu, hanya ada satu hal yang ia tahu-dunia tidak akan pernah sama lagi.
Kegelapan menyelimuti segalanya. Zen Vessalius tidak bisa merasakan apa pun, bahkan tubuhnya sendiri. Tidak ada rasa sakit, tidak ada beban. Hanya kesunyian dan suara rintikan hujan yang samar terdengar, seakan berasal dari tempat yang jauh.
"Apakah aku sudah mati?" pikir Zen, mencoba memahami apa yang terjadi.
Bayangan-bayangan samar dari pertempuran yang baru saja ia alami melintas di benaknya. Elemen misterius, darah, dan tubuh-tubuh yang berubah menjadi abu. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung.
"Jadi... ini alam kematian," gumamnya dalam hati.
Namun, kematian tidak seperti yang ia bayangkan. Tidak ada rasa damai, tidak ada akhir yang tenang. Hanya kehampaan yang menelan segalanya, meninggalkannya sendirian dalam gelap yang tak berujung. Tidak ada suara, tidak ada orang yang bisa melihat atau mendengar dirinya. Ia merasa seperti debu yang melayang tanpa tujuan.
Tetapi, di tengah kegelapan yang mutlak itu, sesuatu terjadi.
Dari kejauhan, muncul secercah cahaya kecil—lemah, tetapi cukup untuk menarik perhatian Zen. Cahaya itu bersinar lembut, berbeda dari elemen menghancurkan yang sebelumnya ia lihat di medan perang. Cahaya itu memberikan perasaan hangat, seperti harapan yang mencoba menembus kegelapan.
Tanpa berpikir panjang, Zen mengulurkan tangannya ke arah cahaya tersebut. Ia tidak tahu mengapa, tetapi nalurinya mengatakan bahwa cahaya itu adalah jawabannya. Tangan gemetarnya meraih, mencoba menggenggam apa yang mungkin menjadi kesempatan terakhirnya.
Dan kemudian, semuanya berubah.
Dalam sekejap, Zen terbangun.
Ia terengah-engah, tubuhnya terasa berat dan dingin. Matanya perlahan terbuka, mengerjap mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Hujan masih turun, tetapi kali ini, suara tetesannya terdengar nyata, bukan sekadar ilusi dalam kegelapan.
Zen mencoba bangkit, meskipun tubuhnya masih lemah. Ia merasakan tanah yang lembap di bawah tangannya, bau logam darah bercampur dengan aroma tanah basah memenuhi udara. Di sekelilingnya, semuanya hancur. Tidak ada lagi suara pertempuran, tidak ada lagi prajurit. Hanya kehancuran dan kesunyian.
Dia memeriksa tubuhnya. Luka-luka yang ia dapatkan masih ada, tetapi rasa sakit yang menusuk sebelumnya terasa berkurang. Yang lebih aneh adalah perasaan dalam dirinya. Sesuatu yang berbeda mengalir di nadinya, sesuatu yang ia tidak pernah rasakan sebelumnya.
Zen menatap ke depan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu satu hal pasti: apa pun yang ia alami tadi bukanlah kematian biasa. Dan cahaya itu... cahaya itu telah membawanya kembali.
Namun, untuk apa? Apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ini?
Zen menggenggam pedangnya yang tergeletak di tanah, meskipun logamnya kini tampak lebih retak dari sebelumnya. Dengan langkah yang masih goyah, ia berdiri, menatap kehancuran di sekelilingnya.
“Jika aku masih hidup...” gumamnya dengan suara serak, “maka ada alasan untuk itu.”
Ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi ke depannya, tetapi satu hal pasti: perjalanan ini baru saja dimulai.
Bersambung!
Zen berdiri tegak di tengah kehancuran, tubuhnya gemetar oleh keletihan. Semuanya hancur. Medan perang yang tadinya penuh dengan suara pedang, teriakan prajurit, dan dentingan logam kini berubah menjadi kesunyian yang mencekam. Seolah dunia ini telah terpuruk begitu dalam hingga tidak ada lagi yang tersisa selain darah dan hujan yang terus menetes, seakan mencuci segala dosa dan kehancuran yang terjadi.
Namun, Zen tidak ingin lagi memikirkan semua itu. Ia memutuskan untuk mengabaikan kehancuran di sekelilingnya. Semua yang ia tahu adalah bahwa peperangan itu telah selesai—bukan karena ada kemenangan, tetapi karena semua yang ada di medan perang telah hilang, entah kemana. Tidak ada lagi yang berdiri untuk melawan.
Satu-satunya tujuan Zen saat itu adalah kembali ke rumah, kembali ke kampung halamannya. Shena—desa yang penuh kenangan dan tempat di mana ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan setelah pertempuran yang tiada akhir ini.
Perjalanannya menuju Shena terasa begitu panjang dan sunyi. Hujan yang masih turun tak pernah berhenti, menyelimuti perjalanan Zen dengan kesedihan yang mendalam. Setiap langkah terasa berat, setiap napasnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Luka-lukanya yang membekas di tubuhnya menambah beban, namun ia terus berjalan tanpa banyak berpikir. Hanya satu yang ada di pikirannya: untuk melihat wajah keluarganya lagi, untuk merasakan kehangatan rumah yang dulu penuh dengan kebahagiaan.
Namun, sepanjang perjalanan, yang ia temui hanyalah kesendirian. Tidak ada prajurit, tidak ada penduduk yang sedang melintas. Semua orang yang dulu ikut serta dalam peperangan itu tampaknya telah menghilang, lenyap tanpa jejak. Hanya hewan-hewan liar dan tumbuhan yang tumbuh subur di sepanjang jalan yang terlihat, seolah-olah alam yang tersisa mencoba menyembuhkan dunia yang telah hancur.
Zen tidak tahu apakah itu tanda dari dunia yang telah runtuh, ataukah mungkin alam semesta ini hanya mencoba menghapuskan ingatan tentang apa yang telah terjadi. Semua yang ia tahu adalah bahwa ia adalah satu-satunya yang tersisa dari pertempuran itu.
Di sepanjang perjalanan, kenangan tentang keluarganya—tentang ayahnya, ibunya, dan kekasihnya, Lyra—terus menghantui pikirannya. Ia ingat betul wajah mereka, senyum mereka yang penuh harapan saat ia meninggalkan rumah untuk bergabung dalam pertempuran demi menyelamatkan dunia. Mereka semua mempercayainya, berharap ia akan kembali sebagai pahlawan. Namun, sekarang, ia tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak.
"Lyra... apakah kamu masih menungguku?" pikir Zen, sesekali menatap ke langit yang gelap, berusaha mencari petunjuk dari alam.
Meski tubuhnya lemah dan terluka, Zen melanjutkan perjalanan dengan tekad yang semakin kuat. Meskipun tidak ada yang tahu apa yang akan ia temui saat sampai di Shena, ia bertekad untuk kembali ke tempat yang dulu pernah menjadi rumahnya.
Ia tidak berharap untuk menemukan dunia yang utuh, atau bahkan satu orang pun yang selamat. Namun, yang ia inginkan hanya satu—untuk melihat wajah orang yang ia cintai, dan tahu bahwa ia telah kembali ke tempat yang selalu ia sebut rumah.
Zen akhirnya sampai di desa yang ia Shena Namun, kedatangannya disambut dengan suasana yang jauh berbeda dari apa yang ia harapkan. Desa yang dulu penuh dengan kehidupan, tawa anak-anak, dan sibuknya pasar kini tampak begitu sunyi. Di sepanjang jalan, ia melihat wajah-wajah murung, orang-orang yang berjalan pelan, sebagian terbungkus kain dengan tanda-tanda penyakit yang memudar di tubuh mereka. Ada yang terjatuh, ada yang tidak bisa lagi berdiri, seakan dunia ini telah menarik kekuatan hidup mereka sedikit demi sedikit.
Zen merasakan ketegangan di dada. Semua yang terjadi di medan perang kini sepertinya meluas ke desa ini—penyakit yang tak terlihat, yang menyebar begitu cepat dan tak ada obatnya. Ini adalah penderitaan yang tidak bisa dihindari.
Perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Di satu sisi, ia merasa lega—masih ada orang yang selamat, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa menahan kesedihan melihat mereka yang perlahan kehilangan nyawa. Dunia ini seolah sedang sekarat, dan tak ada yang bisa mengubahnya.
Namun, Zen tidak punya waktu untuk berpikir lebih jauh. Ia tahu ia harus segera kembali ke rumahnya. Dengan langkah yang terburu-buru, ia berjalan menuju rumahnya. Setiap langkahnya terasa semakin berat, tubuhnya kelelahan, namun tekad untuk melihat wajah keluarganya membuatnya tak bisa berhenti.
Sesampainya di rumah, pintu yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat. Hati Zen berdebar keras. Ia mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban. Ia masuk dengan perlahan, berharap akan menemukan mereka di dalam. Namun, yang ia temui hanya kesunyian.
Tidak ada suara tawa, tidak ada wangi makanan yang biasanya tercium, hanya udara dingin yang memenuhi ruangan. Zen berjalan ke setiap sudut rumah, memanggil nama ayah, ibu, dan kekasihnya, Lyra, tetapi tidak ada jawaban. Ketika ia bertanya kepada beberapa tetangga, jawabannya membuat jantungnya hancur.
"Maaf, Zen. Keluargamu... mereka telah pergi beberapa hari yang lalu."
Zen terdiam. Rasanya dunia ini berputar terlalu cepat, dan tubuhnya tidak sanggup menahan kenyataan yang baru saja diterima. Semua yang ia perjuangkan, semua yang ia harapkan untuk kembali—hilang begitu saja dalam sekejap.
Ia merasa tubuhnya kaku, perasaan hampa meresap ke seluruh tubuhnya. Tidak ada yang bisa mengisi kehampaan itu. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan, tidak ada lagi harapan yang tersisa. Seolah semua yang ia lakukan selama ini sia-sia.
Namun, tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Di tengah kesedihan yang menyelubungi hatinya, sebuah suara memanggil namanya.
"Zen..."
Zen menoleh, matanya berkaca-kaca. Dalam kebingungannya, ia melihat seorang gadis berdiri di ambang pintu, wajahnya basah oleh air mata, namun senyumnya begitu nyata. Mata mereka bertemu, dan sekejap itu, Zen merasa seolah dunia kembali berputar dengan semangat yang baru.
"Lyra!"
Zen berlari ke arahnya tanpa ragu. Ia memeluk gadis itu dengan erat, seakan tidak ingin melepaskannya lagi. Semua perasaan yang selama ini terkunci, segala kesedihan, keletihan, dan kehilangan, keluar dalam isakan yang keras. Ia menangis dengan keras, seolah seluruh beban yang ia bawa selama ini terlepas begitu saja.
Lyra memeluknya balik, menangis bersama, dan dengan lembut membisikkan, "Aku... aku menunggumu."
Mereka berdua saling memeluk, tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Hanya ada rasa yang tak terungkapkan—rasa yang begitu dalam, yang mengikat mereka berdua dalam pelukan itu. Dunia mungkin telah hancur di luar sana, tetapi di dalam pelukan mereka, ada satu hal yang masih hidup: harapan.
Sejak hari pertama ia kembali bertemu dengan Lyra, Zen merasa seolah dunia memberinya kesempatan kedua. Dalam pelukan kekasihnya, ia menemukan kembali alasan untuk hidup, meski dunia di sekeliling mereka perlahan runtuh. Mereka menghabiskan hari-hari bersama di tengah kesunyian desa Shena, mencoba menemukan kedamaian di antara kehancuran.
Namun, takdir tampaknya memiliki rencana lain. Sudah lebih dari sebulan sejak elemen misterius melanda dunia, dan efeknya terus menyebar tanpa ampun. Penyakit aneh yang melanda desa itu perlahan mengambil korbannya satu per satu, dan kini, Lyra menjadi salah satu yang terbaring lemah.
Zen merasakan hatinya seperti teriris setiap kali melihat Lyra terbaring di tempat tidur kecil di rumah mereka. Wajahnya yang dulu bersinar kini tampak pucat, napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya yang dulu penuh energi kini begitu lemah hingga sulit untuk bergerak. Zen mencoba segala cara untuk merawatnya—mencari obat, memohon bantuan dari tetangga yang tersisa, bahkan berdoa kepada dewa-dewa yang pernah ia ragukan.
Namun, tidak ada yang berhasil.
Setiap hari, Zen duduk di samping Lyra, menggenggam tangannya dengan erat, seolah dengan sentuhannya ia bisa memberikan kekuatan kepada gadis itu untuk bertahan.
"Lyra, bertahanlah... aku mohon," bisik Zen dengan suara bergetar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Lyra, meskipun lemah, selalu berusaha tersenyum setiap kali melihat Zen. "Aku... aku baik-baik saja, Zen," katanya, meskipun suaranya hampir tidak terdengar. "Kau sudah kembali... itu cukup untukku."
Kata-kata itu membuat Zen semakin hancur. Ia merasa tidak berdaya, tidak mampu melindungi satu-satunya orang yang ia cintai.
Malam itu, Lyra semakin kritis. Napasnya semakin pendek, tubuhnya gemetar seolah berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat. Zen tidak beranjak dari sisinya, menggenggam tangannya lebih erat, memohon kepada siapa pun yang mungkin mendengar doanya.
"Tolong... tolong selamatkan dia. Aku mohon... Aku rela memberikan apa pun, asalkan Lyra bisa hidup," ucap Zen dengan air mata mengalir deras.
Namun, malam itu, dunia tetap bisu. Tak ada jawaban, tak ada keajaiban yang terjadi.
Lyra perlahan membuka matanya yang mulai redup, menatap Zen dengan lembut. "Zen..." bisiknya.
Zen mendekatkan wajahnya, berusaha mendengar dengan jelas. "Aku di sini, Lyra. Aku di sini."
"Terima kasih... karena telah kembali..." ucap Lyra dengan senyuman kecil di wajahnya, sebelum akhirnya napasnya terhenti.
Zen terdiam. Dunia seakan berhenti berputar. Ia mengguncang tubuh Lyra dengan lembut, berharap ia hanya tertidur. Namun, tubuh itu semakin dingin, dan senyum terakhir Lyra tetap terukir di wajahnya, seolah memberi tahu bahwa ia pergi dengan damai.
Tangis Zen pecah. Ia memeluk tubuh Lyra yang tak bernyawa dengan erat, berteriak kepada langit yang gelap, kepada dunia yang tidak adil ini. Semua usahanya, semua doanya, semuanya terasa sia-sia.
Di malam itu, Zen kehilangan segalanya. Cinta yang ia pegang erat telah diambil darinya, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendirian di dunia ini. Namun, di balik kesedihan yang mendalam, sebuah tekad mulai tumbuh di dalam hatinya.
Zen menggenggam tubuh Lyra yang kaku, merasakan dinginnya kulit kekasihnya di bawah hujan yang terus turun tanpa henti. Namun, seperti mimpi buruk yang tak berujung, tubuh Lyra perlahan mulai berubah. Kulitnya retak, pecah seperti tanah kering, dan dari setiap retakan itu muncul partikel kecil yang bercahaya samar, perlahan terlepas dari tubuhnya.
"Lyra... tidak... tidak!" Zen berteriak, memeluknya lebih erat, berusaha menghentikan yang tak bisa dihentikan. Namun, dalam hitungan detik, tubuh Lyra lenyap sepenuhnya, menjadi debu yang tertiup angin malam.
Hanya satu benda yang tersisa—cincin kecil yang dulu ia berikan pada Lyra sebagai simbol cinta mereka. Zen menggenggam cincin itu erat, menahannya di dadanya, dan air matanya mengalir tanpa henti.
"Lyra..." Zen berbisik dengan suara serak. "Aku bersumpah... aku akan menghancurkan elemen itu. Aku akan membalas semuanya... meskipun aku harus melawan dunia."
Rasa kesedihan yang mendalam perlahan berubah menjadi kemarahan. Amarah yang tidak bisa dibendung membakar hatinya. Dalam keheningan malam yang sunyi, Zen berdiri dengan tekad yang baru. Ia tahu dunia ini tidak akan memberinya belas kasihan, tetapi ia tidak peduli. Jika dunia ingin membawanya menuju kehancuran, ia akan melawan sampai akhir.
Ia berjalan menuju rumahnya untuk terakhir kali. Di sana, ia membuka sebuah peti kayu tua yang telah diwariskan keluarganya turun-temurun. Peti itu berisi warisan terakhir keluarganya—Jirah Emas Vessalius, zirah milik kakeknya, seorang pahlawan besar yang pernah melindungi negeri Kaveri dari kehancuran ratusan tahun yang lalu.
Zirah itu berkilauan meskipun usianya telah lama berlalu. Di sampingnya, sebuah pedang emas tertata rapi. Pedang itu dikenal sebagai Aurium Blade, senjata legendaris yang hanya diwariskan kepada pewaris darah Vessalius. Zen memandangi pedang itu dengan mata penuh determinasi.
Ia mengenakan zirah emas tersebut. Rasanya berat, tetapi ia merasa seolah kekuatan leluhurnya mengalir ke tubuhnya. Zen menggenggam pedang emas itu dengan tangan kokoh, dan untuk pertama kalinya setelah kehilangan segalanya, ia merasa sedikit lebih kuat.
Tanpa ragu, ia meninggalkan rumahnya, meninggalkan desa Kavaria yang kini tak lagi memiliki kehidupan yang berarti baginya. Ia tidak menoleh ke belakang, karena ia tahu yang tersisa di dunia ini hanyalah dirinya—Zen Vessalius, pahlawan terakhir umat manusia.
Langkah kakinya membawa dia kembali ke medan perang, tempat di mana semua ini bermula. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di sana, tetapi ia tahu satu hal pasti: ia tidak akan berhenti sampai elemen misterius itu dihancurkan, sampai ia membalas setiap nyawa yang telah direnggutnya, dan sampai dunia memiliki kesempatan untuk kembali hidup.
Dengan hujan yang masih turun deras, Zen berjalan dalam diam. Tidak ada manusia lain, tidak ada suara kehidupan selain derap langkahnya sendiri di atas tanah basah. Setiap langkah membawa berat amarah dan tekad. Di dadanya, cincin milik Lyra tergantung di sebuah rantai kecil, menjadi pengingat akan apa yang telah ia korbankan.
Berhari-hari perjalanan penuh penderitaan, luka, dan kehampaan, akhirnya membawa Zen kembali ke medan perang yang dulu ia tinggalkan—tempat di mana segalanya dimulai. Namun, yang menyambutnya bukanlah medan perang yang ia kenal.
Benteng besar yang pernah berdiri megah kini dikelilingi oleh kabut hitam pekat, sebuah entitas gelap yang seolah hidup, berdenyut, dan bergerak perlahan. Di tengah kabut itu, terdapat cahaya ungu samar yang berpendar seperti denyut jantung, memberikan Zen rasa ngeri dan ketertarikan sekaligus.
Zen merasakan tubuhnya bergetar bukan karena takut, tetapi karena kemarahan yang terus membakar dalam dirinya. Ia tahu, itulah sumber dari elemen yang telah menghancurkan segalanya.
“Ini akhir dari semuanya,” gumamnya, menggenggam pedang emasnya lebih erat. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju dan menerjang kabut gelap itu, namun seketika tubuhnya terhempas keras. Aura besar yang menyelimuti kabut itu begitu kuat, seperti dinding tak terlihat yang menolaknya dengan kekuatan luar biasa.
“Tidak mungkin…” Zen bangkit perlahan, napasnya terengah. Ia menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. “Aku tidak boleh berhenti. Ini untuk Lyra... untuk semuanya.”
Ia mencoba lagi. Dengan teriakan penuh semangat, ia menyerang kabut itu dengan kekuatan penuh, namun hasilnya tetap sama. Tubuhnya terpental lebih jauh kali ini, menghantam tanah dengan keras. Zen terbaring di sana, merasakan sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Kenapa… kenapa aku tidak bisa masuk?” desisnya dengan penuh kemarahan. Ia memukul tanah, frustrasi karena kekuatannya seolah tidak berarti.
Namun, di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba sebuah cahaya putih muncul. Cahaya itu kecil, hampir tidak terlihat di antara kegelapan kabut, namun perlahan mengalir seperti aliran air, mengitari aura besar itu dengan tenang. Zen memperhatikan cahaya itu dengan seksama, dan tanpa ragu ia mengikuti arahnya.
Langkahnya perlahan semakin mantap. Cahaya putih itu membuka jalan yang tidak bisa disentuh oleh kabut hitam. Zen merasa tubuhnya tidak lagi terhempas, seolah cahaya itu melindunginya.
“Apa ini?” pikir Zen, namun ia tidak memiliki waktu untuk memikirkan lebih jauh. Cahaya itu menuntunnya lebih dekat ke pusat kabut, ke arah cahaya ungu yang berdenyut semakin terang.
Sesampainya di sana, ia berdiri di hadapan elemen itu—sebuah bola energi besar yang memancarkan aura destruktif dan kekuatan yang tidak bisa dijelaskan. Dalam momen itu, Zen merasa seolah ia bisa melihat sekilas segala kehancuran yang telah terjadi—kematian, penderitaan, dan kehampaan.
Namun, ia juga melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang hanya berlangsung dalam sekejap, namun cukup untuk membuatnya ragu. Sekilas, elemen itu menunjukkan masa depan—sebuah dunia yang hancur total, namun perlahan mulai memulihkan diri, dengan cara yang tidak dapat ia pahami.
“Jika aku menghancurkannya… apakah aku akan menghentikan segalanya, atau justru menghapus kesempatan terakhir dunia?” pikir Zen.
Namun, ia tidak punya waktu untuk memikirkan konsekuensinya lebih lama. Dengan segala kemarahan, rasa sakit, dan tekad yang telah ia kumpulkan selama ini, ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
“Untuk Lyra… untuk semuanya…” bisiknya.
Dengan teriakan penuh kekuatan, ia membelah elemen itu dengan satu tebasan pedang emasnya.
Dan dalam sekejap, dunia menghilang.
Zen berdiri di tengah kehampaan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, tidak ada apa pun. Ia merasa seperti melayang di ruang tanpa batas, sendirian dalam kegelapan abadi.
“Apa yang telah aku lakukan…?” bisiknya.
Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, sebuah suara bergema di kegelapan.
“Zen Vessalius… pahlawan terakhir dunia… ini adalah awal dari perjalananmu yang sesungguhnya.”
Zen mencoba mencari sumber suara itu, namun ia tidak menemukan apa pun. Kegelapan mulai bergetar, dan perlahan, ia merasakan tubuhnya ditarik menuju sesuatu.
“Apakah ini… akhirku?” pikirnya, sebelum cahaya terang menyilaukan menutupi pandangannya.
Dan sekali lagi, segalanya menjadi gelap.
Bersambung!
Zen terhanyut dalam kehampaan, dikelilingi kegelapan abadi yang membuatnya merasa kecil dan tak berarti. Namun, perlahan, sebuah cahaya mulai muncul dari kejauhan, samar namun semakin terang. Ia merasa ada sesuatu yang menarik dirinya, membawanya ke arah cahaya itu.
Ia mengulurkan tangannya, mencoba meraih cahaya tersebut, dan tiba-tiba, suara-suara mulai terdengar.
"Sepertinya dia dari ras terakhir yang punah... apa ya? Oh, iya... manusia!"
Kata-kata itu menggema di benaknya, membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Mata Zen terbuka seketika, dan ia terbangun dengan napas terengah. Tubuhnya terasa berat, dingin, dan tidak familiar. Ia melihat sekeliling, namun yang tampak adalah ruangan besar dengan dinding-dinding bersinar biru, penuh dengan pahatan kristal yang aneh.
Di depannya, sekelompok makhluk berdiri terpana. Mereka tidak seperti manusia—kulit mereka bercahaya, rambut mereka berwarna perak yang berkilauan, dan mata mereka memancarkan sinar lembut seperti bulan. Beberapa dari mereka sedang memahat sebuah kristal besar berwarna biru cerah, yang tampaknya adalah tempat di mana Zen berada sebelumnya.
Salah satu dari mereka, yang tampak seperti pemimpin kelompok itu, melangkah maju, menatap Zen dengan campuran rasa ingin tahu dan kewaspadaan.
"Jadi... kau benar-benar hidup?" tanya makhluk itu dengan suara dalam dan tenang.
Zen mencoba berbicara, namun suaranya serak. "Siapa... kalian? Di mana aku?"
Makhluk itu tersenyum tipis. "Kami adalah kaum Lumoria. Dan kau, manusia terakhir yang tersisa di dunia ini."
Zen tertegun, pikirannya berputar-putar. "Manusia terakhir...? Apa maksudmu?"
Makhluk bernama Lumoria itu menjelaskan. Dunia yang Zen kenal telah berakhir ribuan tahun yang lalu, hancur akibat elemen misterius yang ia coba musnahkan. Saat elemen itu dihancurkan, dunia memasuki fase kehampaan, dan seluruh kehidupan manusia lenyap. Namun, entah bagaimana, tubuh Zen terperangkap dalam kristal biru yang diciptakan oleh energi sisa elemen tersebut, melindunginya dari kehancuran total.
"Kami menemukannya... kristal yang berisi dirimu, di reruntuhan dunia lama," lanjut Lumoria itu. "Awalnya, kami mengira itu hanya artefak kuno. Namun, ternyata kau hidup. Sebuah keajaiban."
Zen mencoba memproses apa yang baru saja ia dengar. Ribuan tahun? Dunia telah berubah sepenuhnya? Ia, manusia terakhir?
"Tidak mungkin... bagaimana mungkin semua ini terjadi?" Zen memegangi kepalanya, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia kehilangan kesadaran. Kemudian, perlahan, semuanya kembali padanya—elemen itu, Lyra, kehancuran... dan tebasannya.
“Aku menghancurkannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku menghancurkan elemen itu... dan membawa kehancuran.”
Makhluk itu menatap Zen dengan serius. "Tidak sepenuhnya salahmu. Dunia lama telah runtuh karena dosa-dosanya sendiri. Kau hanya pemicu terakhir. Namun, dari kehancuran itu, dunia baru ini lahir. Dan sekarang, hanya kau yang tersisa dari ras manusia."
Zen merasa dadanya sesak. Sebagai seorang pahlawan, ia telah gagal menyelamatkan dunia. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa tinggal diam.
"Jika dunia baru ini lahir," kata Zen akhirnya, "maka aku harus memastikan bahwa apa yang terjadi pada dunia lama tidak akan terulang kembali."
Pemimpin Lumoria itu mengangguk. "Kau mungkin satu-satunya yang bisa memahami kesalahan masa lalu dan mencegahnya di masa depan. Tetapi perjalananmu tidak akan mudah, manusia terakhir."
Zen berdiri, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia menggenggam cincin Lyra yang tergantung di lehernya. "Aku tidak peduli seberapa sulitnya. Jika ini adalah kesempatan kedua, aku akan memanfaatkannya untuk memperbaiki semuanya."
Para Lumoria saling bertukar pandang, sebelum pemimpinnya berbicara lagi. "Kalau begitu, mari kita mulai. Dunia baru ini... memerlukan pahlawan."
Zen duduk diam, menunggu proses pemahatan kristal biru yang menghalanginya keluar sepenuhnya. Setiap pahatan menghasilkan suara lembut namun menenangkan, hampir seperti alunan nada yang meresap ke dalam pikirannya. Selama proses itu, Lumoria yang bertanggung jawab menjelaskan lebih banyak tentang dunia yang kini ia singgahi.
"Dunia ini bukan lagi Bumi," ujar salah satu Lumoria dengan nada lembut namun penuh wibawa. "Kami menyebutnya Kaveri. Nama ini diberikan oleh ahli siasat dari ras pertama yang hidup di sini, sebagai simbol kebangkitan dunia baru dari kehancuran yang lalu."
Zen mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun pikirannya masih mencoba menerima kenyataan yang asing ini. Ia belajar bahwa Kaveri adalah dunia yang berisi lima ras utama, masing-masing dengan keunikan dan kekuatannya sendiri.
Ras Beast
Ras Beast dikenal karena kegarangan dan kekuatan tempurnya. Wujud mereka sering kali menyerupai hewan buas dengan tubuh yang kokoh dan cakar tajam. Mereka adalah pejuang yang luar biasa, dengan insting berburu yang tidak tertandingi. Wilayah mereka dipenuhi oleh pegunungan dan hutan lebat yang sulit dijangkau, menjadikan mereka ras yang tangguh dan sulit ditaklukkan.
Ras Firlinione
Firlinione adalah para pengrajin yang ulung. Mereka dikenal karena keahliannya dalam menciptakan sesuatu, dari senjata legendaris hingga artefak yang rumit. Mereka menghuni gua-gua besar yang dipenuhi kilauan kristal dan mineral, tempat mereka menemukan bahan-bahan untuk karya-karya mereka. Mereka sering dijuluki Sang Pengrajin oleh ras lain karena kemampuannya yang tiada tanding.
Ras High Druid
High Druid adalah penjaga hutan yang subur dan penuh kekuatan mana. Mereka memiliki wujud yang menawan, dengan kulit bercahaya dan mata seperti batu zamrud. Hutan tempat mereka tinggal selalu makmur di bawah perlindungan mereka. Kemampuan mereka dalam memanah dan mengendalikan alam membuat mereka menjadi ras yang dihormati.
Ras Lumoria
Lumoria, ras tempat Zen berada saat ini, dikenal sebagai ras dengan penguasaan mana yang luar biasa. Mereka memiliki kemampuan sihir yang mendalam, didukung oleh pengetahuan yang luas tentang dunia. Dalam dunia baru ini, mereka sering dijuluki sebagai Sang Penyihir. Mereka tinggal di kota-kota terapung yang memancarkan cahaya lembut, jauh di atas tanah.
Zen merasa kagum sekaligus bingung. Dunia ini begitu berbeda dari dunianya yang dulu. Para ras ini memiliki kekuatan dan kemampuan yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Namun, ia juga merasa ada tantangan besar yang menanti.
"Apakah semua ras ini hidup dalam harmoni?" tanya Zen, suaranya terdengar skeptis.
Salah satu Lumoria menggelengkan kepalanya. "Harmoni adalah sesuatu yang sulit dicapai, bahkan di dunia baru ini. Ada perselisihan, perang kecil, dan konflik kepentingan. Namun, ancaman yang lebih besar sedang bangkit, sesuatu yang kami semua rasakan sejak elemen itu pecah. Kau akan mengerti seiring waktu."
Zen menghela napas. Rasanya beban yang ia tanggung semakin berat. Ia bukan hanya manusia terakhir, tapi juga harus menghadapi dunia yang masih belum ia pahami sepenuhnya. Namun, ia tahu satu hal—ia tidak akan menyerah.
"Jika ancaman itu nyata," katanya dengan suara tegas, "aku akan bertarung. Aku tidak akan membiarkan kehancuran terjadi lagi."
Salah satu Lumoria tersenyum tipis. "Kita akan lihat, manusia terakhir. Dunia ini memiliki banyak rahasia yang belum kau ketahui. Namun, satu hal yang pasti, keberadaanmu di sini adalah bagian dari takdir besar yang sedang terungkap."
Zen memejamkan matanya sejenak, merasakan cincin Lyra yang masih tergantung di lehernya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu satu hal: perjalanan barunya di Kaveri baru saja dimulai.
Ketika pemahatan pada kristal biru itu selesai, tubuh Zen akhirnya terbebas dari penjara dingin yang telah mengurungnya begitu lama. Para Lumoria yang berada di sekitarnya memutuskan untuk memberikan tempat tinggal sementara kepadanya. Mereka menyiapkan pakaian, makanan, dan ruang kecil yang nyaman untuk Zen beristirahat.
Zen merasa tidak enak menerima semua itu, tetapi Lumoria memperlakukannya dengan hormat yang luar biasa. Bahkan saat ia mencoba menolak dengan sopan, mereka hanya tersenyum lembut dan mengatakan, "Kau adalah tamu kami, satu-satunya yang tersisa dari rasmu. Kami tidak akan membiarkanmu kelaparan atau tanpa perlindungan."
Para Lumoria tampak begitu mirip dengan manusia, setidaknya dari penampilan luar. Wajah mereka memiliki garis-garis tegas namun lembut, dengan kulit yang sedikit bercahaya seperti bulan di malam hari. Postur tubuh mereka pun hampir sama dengan manusia biasa, meskipun aura yang mereka pancarkan terasa lebih tenang dan damai.
Namun, satu hal yang membuat Zen sedikit kewalahan adalah cara mereka berbicara. Percakapan para Lumoria berlangsung dengan cepat, seolah-olah mereka memadatkan informasi dalam waktu sesingkat mungkin. Zen sering harus berpikir dua kali untuk mencerna kata-kata mereka.
"Jangan khawatir," kata salah satu Lumoria dengan suara ringan. "Kau akan terbiasa dengan ritme kami. Mungkin perlu waktu, tapi kami akan memastikan kau merasa nyaman di sini."
Zen juga diberi tahu tentang pemimpin mereka, seorang Lumoria yang bijaksana bernama Eryon Velthar. Eryon dikenal sebagai pemimpin yang tegas namun penuh belas kasih, seorang penjaga harmoni di antara para Lumoria. Ia adalah orang pertama yang menyetujui pembebasan Zen dari kristal biru, meskipun ada keraguan dari sebagian kecil kaum mereka.
Selain itu, Zen juga mengenal dua Lumoria yang sebelumnya membantunya keluar dari kristal: Selvina Aelthor dan Kael Myrion. Selvina adalah seorang Lumoria perempuan dengan rambut perak yang jatuh hingga bahunya, seorang pengrajin kristal yang ahli. Sementara Kael adalah seorang pria dengan sorot mata tajam, sering kali bertugas sebagai pelindung dan pengawal bagi kelompoknya.
Selvina tampak lebih lembut dan penuh perhatian. Ia sering bertanya apakah Zen memerlukan sesuatu, dari makanan hingga tempat tidur yang lebih nyaman. Sedangkan Kael lebih pendiam, tetapi pandangannya selalu penuh waspada, seolah ia tidak pernah lengah terhadap apa pun.
Zen tidak bisa menahan rasa kagumnya. "Kalian semua... begitu baik," katanya pelan suatu malam, saat ia duduk di ruang kecil yang mereka sediakan untuknya. "Aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua ini."
Selvina tersenyum hangat. "Kau tidak perlu memikirkan itu sekarang, Zen. Kami melakukan ini bukan untuk imbalan, tetapi karena kami percaya bahwa keberadaanmu di sini adalah tanda penting bagi dunia ini."
Mendengar itu, Zen hanya bisa terdiam. Hatinya dipenuhi rasa syukur, meskipun masih ada beban besar yang mengganjal pikirannya. Dunia baru ini masih menjadi misteri baginya, tetapi setidaknya ia tahu satu hal: ia tidak sendiri lagi. Ada orang-orang—atau mungkin lebih tepatnya, makhluk-makhluk—yang mau menerimanya dengan tangan terbuka.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang tidak ia ketahui, Zen tertidur dengan perasaan sedikit lebih tenang. Di bawah cahaya lembut dari kota terapung Lumoria, ia merasakan secercah harapan baru mulai tumbuh dalam dirinya.
Bersambung!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!