Deya duduk termenung di tepi ranjangnya. Entah apa yang dia pikirkan, hingga dia mengabaikan panggilan telepon dari Devan tersebut. Lau dia mendesah gusar kala suara dering ponselnya tak kunjung berhenti. "Bisa diam nggak sih!" protesnya sembari menatap layar ponselnya. Dengan cepat jarinya menggeser tombol hijau itu.
"Halo", sahut Deya yang berusaha tetap tenang. Lalu dia menunggu Devan yang ada di seberang telepon membalas ucapannya.
"I- iya, saya sendiri", sahut Deya dengan sedikit ragu. Dia tidak menyangka Devan menanyakan nama samaran yang dia pakai saat mendaftarkan diri sebagai mahasiswa pindahan.
"Baik pak. Besok akan saya bawakan berkas aslinya", sahut Deya.
Namun tiba-tiba netra Deya terbelalak kala Devan mengatakan bahwa dia pernah datang bertamu ke apartemen Deya, tapi saat itu Devan hanya bertemu dengan seorang pria.
"Em, mungkin itu pengawal pribadi saya. Biasanya saya tidak suka di ganggu saat siang hari", bohong Deya.
Devan pun memutus sambungan telepon, setelah membalas ucapan Deya.
"Ah, menakutiku saja", ucap Deya menghela nafas lega. "Aku pikir dia Devan mantanku? Ternyata cuma kebetulan saja namanya sama?" lanjutnya sembari meletakkan ponselnya di atas nakas.
Kemudian Deya berjalan menuju kamar mandi dan menyelesaikan ritual mandinya di sana.
*-*
Sementara di tempat berbeda, Devan baru saja menyimpan ponselnya. Lalu dia menghela nafas berat seraya menyandarkan tubuh lelahnya.
"Apa hubungan mahasiswa pindahan ini dengan Jordan ya? Apakah Jordan dan Deya sudah tidak bersama lagi, atau benar kata mahasiswi itu kalau Jordan adalah pengawal pribadinya?" tanya Devan bermonolog. Dia masih memikirkan pertemuannya dengan pria yang sangat dia benci itu.
Sesaat kemudian Devan mengusap kasar wajahnya.. "Kenapa aku harus peduli pada hubungan mereka? Dia bahkan tidak layak untuk di ingat!" lanjutnya dengan raut wajah tidak senang. Lalu Devan bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.
"Devan!" seru seorang wanita kala melihat Devan keluar dari kamarnya.
"Iya, ma", sahut Devan.
"Ikut mama sebentar. Ada yang mau mama omongin sama kamu", kata ibunya Devan sembari menunggu Devan datang menghampirinya.
Devan pun menghentikan langkahnya tepat di depan sang ibu. "Ada apa sih ma, kayaknya serius?' tanyanya.
"Ikut saja dulu!" Sang ibu gegas menarik tangannya dan membawanya menuju ruang keluarga.
Dengan langkah di seret Devan mengikuti langkah sang ibu. "Ada apa sih ma? Kok kayaknya misterius banget." Devan tampak tidak sabar mendengar apa yang ingin dikatakan sang ibu.
Dira, ibunya Devan tersebut berdehem sembari menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa. "Kamu ini nggak sabaran banget", katanya dengan kesal.
"Devan berfikir, mungkin saja apa yang mau mama katakan ada kaitannya dengan penyelidikan Devan selama ini. Jadi Devan tidak akan melewatkan informasi sekecil apapun."
Dira menghela nafas berat. Lalu dia menatap Devan dengan raut wajah serius. Dia memahami kesulitan yang sedang dihadapi putranya itu. "Ini tidak ada kaitannya dengan masalah itu. Tapi berhubungan dengan masa depanmu."
Devan mengernyitkan keningnya. "Masa depan?" ulangnya.
Dira membalas dengan mengangguk pelan. "Mama pikir sudah saatnya mama memberitahumu. Ini tentang perjodohanmu dengan - ".
"Devan menolak ma!" tegasnya dengan raut wajah tidak senang.
"Devan, dengarkan mama dulu nak."
"Maaf ma. Untuk perkara ini Devan tidak bisa menurutinya", katanya sembari bangkit berdiri.
"Dengarkan mama dulu, nak. Setelah itu kamu bisa membuat keputusan apapun", bujuk Dira dengan lembut.
Devan bergeming diposisinya berdiri. Dia membisu, namun pikirannya sedikit tidak tenang. "Em, baiklah. Apa yang mau mama katakan?" sahutnya seraya duduk kembali.
Sementara Dira menyiapkan hatinya saat dirinya akan mengingat kembali kisah semasa sang suami masih hidup.
"5 tahun yang lalu, saat perusahaan papamu sedang mengalami krisis, semua orang terdekat papamu pergi menjauh. Bahkan orang yang pernah papamu tolong sekalipun seolah-olah tidak pernah mengenal papa", ucap Dira lirih. Hatinya pilu kala mengingat apa yang telah terjadi pada masa itu. "Papamu tidak pernah menyangka bahwa lawan bisnisnya datang untuk menolong papamu."
"Jadi ini cuma karena balas budi?" sela Devan.
"Mungkin kamu tidak tahu, apa yang dirasakan papa saat itu", balas Dira dengan meneteskan air mata. "Mama melihat kondisi papamu, sudah seperti mayat hidup saja. Dia ada di dekat mama, tapi tubuh dan pikirannya entah berada dimana. Tapi pada hari itu seorang pesaing bisnis papa datang menemui papa, dan menawarkan bantuan. Saat itu juga papamu serasa hidup kembali."
Devan tersentak kaget mendengar penuturan sang ibu. Dia tidak menyangka kedua orang tuanya pernah mengalami di titik terendah.
"Mama rasa kamu bisa menyimpulkannya sendiri. Apakah ini hanya untuk balas budi, atau menemukan seorang pasangan yang memiliki moral yang baik. Karena mama percaya buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Anak gadis mereka pastilah memiliki sifat yang baik seperti kedua orang tuanya."
Devan membisu dalam waktu yang cukup lama. Dia mencoba menimbang-nimbang ucapan sang ibu. "Baik! Devan menerima perjodohan ini!" putusnya yang membuat sang ibu tersenyum bahagia. "Tapi Devan akan menyelidikinya terlebih dulu, sebelum Devan memutuskan menikah dengannya."
"Em, baiklah mama setuju. Setidaknya kamu mau menerima perjodohan ini."
"Tolong mama berikan data pribadinya dulu. Devan akan mulai menyelidikinya besok", katanya sembari bangkit berdiri.
"Iya, nanti mama berikan. Tapi kamu mau kemana buru-buru? Temani mama ngobrol di sini dong. Sudah lama kita tidak duduk santai begini."
Devan tersenyum mendengar penuturan sang ibu. "Oke deh. Mamaku yang cantik", sahutnya seraya duduk kembali.
Dira pun ikut tersenyum kala mendengar pujian yang dilontarkan putra satu-satunya itu. "Kamu selalu saja membuat mama bahagia."
"Devan hanya punya mama satu-satunya di keluarga kita. Jadi Devan pasti akan selalu membuat mama bahagia."
Kini senyuman di wajah Dira semakin merekah. Dia menatap Devan dengan perasaan bahagia. "Kamu persis papamu. Selalu saja bisa membuat mama bahagia", ungkapnya. Lalu dia meraih tangan Devan, dan menepuk pelan punggung tangan putranya itu. "Mama menantikan kabar bahagia lainnya", lanjut Dira yang membuat Devan mendelik.
*-*
Keesokan harinya.
Deya tampak sibuk mempersiapkan sarapan di atas meja.
"Um, ini pasti enak", ujar Arano kala baru saja menempelkan bokongnya di atas kursi.
"Makanlah! Di London kita nggak akan menemukan makanan seperti ini", sahut Deya.
Tanpa menunda waktu, Arano telah mengisi penuh piringnya.
"Pelan-pelan saja! Nggak akan ada yang berebut makanan denganmu!" seru Deya sembari menatap makanan di piring Arano. Lalu dia kembali menyantap sarapan pagi miliknya.
Sementara Arano tampak tidak sabar ingin segera menyantap sarapan miliknya.
"Oh, iya. Nanti setelah jam kuliahmu selesai, kamu pulang saja duluan. Kakak mau lihat situasi kantor dulu."
"Em", balas Arano kala mulutnya penuh dengan makanan.
Deya tersenyum melihat wajah lucu sang adik sepupu.
Setelah beberapa menit berlalu, Deya dan Arano pun sama-sama meraih tas ranselnya. Lalu mereka berjalan bersama menuju pintu keluar.
Netra Deya mendelik kala melihat seseorang yang sangat dia kenal itu. "Clarisa", gumamnya dengan tatapan tidak senang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
like plus iklan 👍
2024-12-23
0