Bab 15

Langkah Nayla bergema di lantai marmer saat ia memasuki ruang tamu, otaknya terus memutar ulang nama itu. Ardi. Bukan Arga. Tidak ada saudara kembar yang pernah disebutnya, tidak ada penjelasan lain.

Ponselnya tiba-tiba bergetar di meja. Pesan masuk. Kali ini tanpa kata-kata, hanya foto—gambar seorang wanita yang sama seperti di amplop tadi, tetapi lebih baru, lebih tajam. Wanita itu menatap langsung ke kamera, mengenakan gaun merah yang elegan.

"Dia ingin kau tahu sesuatu," suara Arga terdengar dari belakangnya, membuat Nayla terkejut.

Ia berbalik cepat. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Arga, siapa wanita itu? Dan kenapa ada nama lain di foto tadi?”

Arga mendekatinya, menunduk cukup dekat hingga ia bisa mendengar napasnya. “Aku akan menjelaskan segalanya. Tapi tidak sekarang,” katanya dengan nada yang tegas, hampir memohon.

Nayla menggeleng, rahangnya mengeras. “Tidak, Arga. Aku sudah terlalu banyak menunggu. Kalau ini tentang masa lalumu, aku berhak tahu.”

Namun sebelum percakapan mereka berlanjut, bel pintu berbunyi. Arga memutar tubuhnya dengan cepat, gesturnya berubah menjadi lebih waspada. “Tunggu di sini,” katanya sambil berjalan menuju pintu.

Wanita itu melangkah masuk tanpa undangan, seakan-akan rumah itu miliknya. Wajahnya cantik dan anggun, tetapi ada sesuatu di matanya—sebuah kilatan tajam yang membuat Nayla merasa tidak nyaman.

“Clara,” Arga mengucapkan namanya dengan dingin.

Wanita bernama Clara itu tersenyum tipis. “Arga,” sapanya manis. “Atau harus kukatakan, Ardi? Bukankah itu nama yang dulu sering kau gunakan?”

Arga membeku, ekspresinya berubah menjadi datar. “Apa maumu?”

Clara mengangkat bahunya, seolah sedang berbicara dengan teman lama. “Kau tahu kenapa aku di sini. Aku hanya ingin... meluruskan sesuatu. Ada banyak hal yang belum selesai di antara kita.”

Nayla memerhatikan keduanya dengan waspada, merasa seperti penonton dalam drama yang tak ia pahami. Tapi saat Clara akhirnya menoleh ke arahnya, Nayla merasa telanjang di bawah tatapan wanita itu.

“Jadi, ini istrimu?” Clara menyeringai. “Kau memilih gadis ini untuk menggantikan aku?”

Arga bergerak cepat, berdiri di antara Clara dan Nayla. “Jangan bawa dia ke dalam urusan kita,” katanya dengan nada yang hampir mengancam.

Clara hanya tertawa kecil. “Kau pikir kau bisa menyembunyikan segalanya, Arga? Kau mungkin sudah lupa, tapi aku tidak.”

“Keluar, Clara,” suara Arga rendah namun mematikan.

Clara tidak bergerak. Sebaliknya, ia mengeluarkan amplop lain dari tas tangannya, lalu melemparkannya ke meja. “Buka ini kalau kau punya nyali,” katanya sebelum berbalik dan berjalan pergi tanpa menunggu jawaban.

Malam itu, Nayla duduk di kamar, amplop baru yang ditinggalkan Clara tergeletak di meja kecil di depannya. Arga belum berkata apa-apa sejak wanita itu pergi. Ia hanya mengatakan bahwa ia butuh waktu sendiri, lalu mengunci diri di ruang kerjanya.

Amplop itu tampak seperti bom waktu. Tangan Nayla bergetar saat ia menyentuhnya, mencoba memutuskan apakah ia harus membukanya atau tidak.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan pikirannya. Arga berdiri di ambang pintu, matanya terlihat lelah tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang hampir seperti permohonan.

“Nayla,” katanya pelan. “Jangan buka amplop itu.”

Ia hanya memandangnya tanpa berkata-kata. “Kalau kau tidak ingin aku tahu, kenapa kau tidak menghentikannya?” tanyanya akhirnya.

Arga terdiam, lalu menjawab dengan suara yang hampir berbisik. “Karena ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui.”

Sebelum Nayla bisa merespons, suara kaca pecah terdengar dari luar kamar. Mereka berdua berlari keluar, dan pemandangan yang menunggu di ruang tamu membuat Nayla kehilangan kata-kata.

Clara berdiri di sana, di tengah ruangan yang penuh dengan pecahan kaca. Tapi kali ini, ia tidak sendiri. Di belakangnya berdiri dua pria besar dengan ekspresi dingin dan tidak bersahabat.

“Aku bilang, kita punya urusan yang belum selesai. Kenapa kau mengabaikan perkataanku?” kata Clara, suaranya begitu tenang hingga terdengar mengancam.

Arga berdiri tegak, tubuhnya tegang seperti busur yang siap melesatkan anak panah. “Clara, kau sudah kelewatan,” desisnya.

Clara tersenyum miring, langkahnya anggun saat mendekati sofa yang kini berantakan. “Oh, aku? Kau yang memulai ini Arga,” katanya sembari menjentikkan jarinya, memberi isyarat kepada dua pria di belakangnya.

Nayla bergerak mundur secara refleks, menyadari bahaya yang menyelimuti ruangan. Tatapan pria-pria itu mengunci dirinya seolah mereka sedang menilai kelemahan. “Apa sebenarnya yang kau inginkan?” suara Nayla pecah di tengah ketegangan.

Clara memutar kepala ke arah Nayla, ekspresi wajahnya seperti predator yang baru saja menemukan target. “Kau seharusnya bertanya pada suamimu, Sayang. Aku hanya di sini untuk mengambil sesuatu yang sudah menjadi milikku sejak dulu.”

“Apa yang kau maksud?” Arga menahan amarah yang hampir meledak.

Clara mendekati meja, mengambil amplop yang tadi ia tinggalkan, lalu melambaikannya di udara. “Kebenaran. Hal yang kau coba sembunyikan dari istrimu. Kau bisa saja menghindar dariku, Arga. Tapi kau tidak bisa menghapus masa lalu.”

“Keluar dari rumahku,” perintah Arga dengan nada tajam, langkahnya maju satu langkah.

Namun Clara mengangkat satu tangan, menghentikan dua pria di belakangnya dari bergerak. “Tenang saja, aku tidak datang untuk berkelahi. Tapi aku janji, kalau kau tetap keras kepala, akan ada konsekuensi. Kau tahu aku selalu menepati janjiku.”

Arga diam, tetapi otot rahangnya menegang. Situasi di ruangan itu terasa seperti perang dingin yang hanya menunggu detik untuk meledak.

----

Setelah Clara pergi bersama anak buahnya, Nayla menatap Arga dengan sorot mata yang tidak bisa dibaca. Rumah mereka yang biasanya menjadi tempat Nayla merasa aman, kini terasa seperti jebakan yang penuh rahasia.

“Apa itu tadi?” tanyanya, mencoba menahan getaran di suaranya.

Arga memutar tubuhnya perlahan, wajahnya kosong, tetapi tatapan matanya penuh luka. “Clara adalah orang dari masa laluku. Dia… pernah menjadi bagian besar dari hidupku.”

“Bagian besar bagaimana?” Nayla menekan, suaranya memecah keheningan.

Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Kami bertunangan. Tapi semuanya hancur.”

“Kenapa?” desak Nayla lagi.

Arga terlihat ragu, tetapi akhirnya ia menjawab, “Karena dia mengkhianatiku. Dia meninggalkanku di saat terburuk dalam hidupku. Dan sekarang, dia kembali, mengira dia masih punya kendali.”

Nayla menggeleng, merasa semua ini tidak masuk akal. “Kalau dia sudah pergi dari hidupmu, kenapa dia kembali? Dan apa hubungannya dengan nama itu… Ardi?”

Ekspresi Arga berubah menjadi lebih gelap. Ia berjalan ke arah meja, mengambil amplop yang kini sudah kosong, lalu menatapnya dengan penuh rasa benci. “Itu… adalah nama yang aku gunakan dulu, sebelum semuanya berubah. Clara tahu segalanya tentangku, termasuk hal-hal yang aku ingin lupakan.”

Namun sebelum percakapan mereka bisa lebih dalam, pintu depan kembali diketuk, kali ini lebih keras. Nayla dan Arga saling bertukar pandang, ketegangan kembali menyelimuti udara.

“Siapa lagi sekarang?” bisik Nayla.

Arga melangkah ke arah pintu, membukanya dengan hati-hati. Di balik pintu, berdiri seorang wanita paruh baya dengan wajah tegas—ibu Nayla.

----

“Ibu? Kenapa Ibu datang malam-malam begini?” suara Nayla memecah keheningan.

Ibu Nayla tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa permisi, tatapannya langsung mengarah pada Arga. “Jadi ini suami kaya yang kau bangga-banggakan, Nayla?” katanya dengan nada tajam.

“Ibu, apa maksud Ibu?” Nayla bertanya, bingung.

“Aku mendengar dari tetangga bahwa kau hidup seperti ratu sekarang,” lanjut ibunya tanpa memedulikan pertanyaan Nayla. “Mereka bilang Arga ini punya banyak uang, kan? Jadi aku pikir, kenapa tidak datang dan meminta sedikit bantuan?”

Wajah Nayla langsung memerah karena malu. Ia tahu ibunya tidak pernah segan memanfaatkan situasi, tetapi tidak pernah menduga sampai sejauh ini. “Bu, ini tidak benar. Kalau Ibu butuh sesuatu, kita bisa bicara nanti,” katanya, mencoba menghentikan situasi yang semakin memanas.

Namun, ibunya tidak mau mendengar. “Nayla, aku membesarkanmu dengan susah payah. Sekarang saatnya kau membantu keluargamu. Atau kau sudah lupa dari mana asalmu?”

Arga hanya diam, tetapi tatapan matanya mengeras. “Bu, kalau ada yang Ibu perlukan, katakan saja,” katanya akhirnya, mencoba mengendalikan situasi.

Ibu Nayla tersenyum tipis, seperti seekor serigala yang tahu mangsanya telah menyerah. “Aku hanya butuh sedikit uang. Tidak banyak. Untuk modal adikmu berbisnis. Kau tahu kan, adikmu satu-satunya harapan ibumu.”

“Bu!” Nayla berseru, suaranya penuh rasa malu dan marah. “Jangan seperti ini!”

Tapi ibunya tidak memedulikan. Ia terus menatap Arga, menunggu jawaban.

“Berapa yang Ibu butuhkan?” tanya Arga akhirnya, suaranya tenang tetapi dingin.

Ibu Nayla pun langsung meninggalkan kediaman Arga setelah menerima sejumlah uang.

Malam itu, Nayla duduk di kamar, wajahnya tertunduk lesu. Ia merasa seperti tali yang ditarik dari segala arah—Arga, Clara, dan kini keluarganya sendiri.

“Kenapa aku harus menghadapi semua ini?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Namun, sebelum ia bisa mendapatkan jawaban, Arga masuk ke kamar, membawa segelas air. Ia menaruhnya di meja samping tempat tidur, lalu duduk di sampingnya.

“Maaf,” katanya pelan.

Nayla mengangkat kepalanya, menatap suaminya dengan bingung. “Untuk apa?”

“Untuk semuanya. Untuk Clara, untuk keluargamu, untuk rahasia yang aku sembunyikan darimu. Aku tahu aku tidak pantas memintamu memahami semuanya,” kata Arga.

Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, ponsel Nayla bergetar di atas meja. Pesan baru muncul. Kali ini isinya hanya satu kata.

"Cepat."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!