NovelToon NovelToon

MENEMANI BOS INSOMNIA TIDUR

1 Wanita mandiri dan Bos insomnia

Sudah genap satu tahun sejak Cayenne mulai bekerja sebagai resepsionis di Clover Hotel, hotel yang cukup terkenal di kotanya.

Pada awalnya, jadwal kerjanya tidak teratur, tetapi Cayenne mengajukan permohonan untuk shift malam secara konsisten.

Alasannya sederhana, Shift malam adalah satu-satunya cara yang dapat ia gunakan untuk tetap bekerja sampingan di siang hari, sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Cayenne menyadari tanpa dukungannya, keluarga kecilnya tidak akan bisa bertahan.

"Kamu tidak ganti shift lagi?" tanya Kyle, adiknya, ketika melihat Cayenne bersiap untuk kerja di malam itu.

"Aku sudah bisa bekerja, Kak. Kenapa tidak berhenti saja dari pekerjaan malam dan biarkan aku yang melakukannya?"

"Jangan, kamu fokus pada sekolahmu. Tidak usah khawatirkan aku," jawab Cayenne sambil tersenyum, mengacak rambut keriting adiknya.

"Jangan lupa kerjakan PR-mu."

Kyle dan Luiz, adik bungsu mereka hanya mengangguk. Ketiganya tinggal di apartemen kecil tanpa sosok ayah, sementara ibu mereka masih dirawat di rumah sakit karena suatu penyakit.

Sebagai anak tertua yang baru saja berulang tahun ke-23, Cayenne adalah pencari nafkah utama. Kyle, anak kedua, sedang bersekolah jurusan Matematika, sementara Luiz yang berusia 16 tahun masih SMA.

Melihat kerja keras kakak mereka, Kyle dan Luiz bertekad belajar giat untuk membalas jasa Cayenne. Kyle bahkan ingin mencari kerja paruh waktu, tetapi Cayenne selalu menolak keras.

Ia tidak ingin adik-adiknya mengalami nasib yang sama dengan dirinya yang harus berhenti kuliah beberapa tahun lalu karena biaya pengobatan ibu mereka.

Alih-alih melanjutkan kuliah, Cayenne bekerja untuk keluarga. Dari pukul 9 pagi hingga 6 sore ia bekerja sebagai pelayan kafe, sebelum beralih menjadi resepsionis.

Waktu istirahat menjadi satu-satunya waktu rehat sejenak sebelum mengulanginya lagi. Di akhir pekan, ia masih melanjutkan dengan mengajar les pagi dan menjadi pengasuh ketika sore.

Kadang, ia mencuci baju atau menjual keripik pisang di lingkungannya. Hampir lima tahun, ia berjuang untuk menafkahi adik-adiknya dan membayar biaya rumah sakit ibunya.

"Aku masih punya dua jam sebelum kerja dimulai," katanya, melipat seragam dan memasukkannya ke dalam tas, lalu mengambil jaket usang nya.

Cuaca dingin mulai terasa seiring pergantian musim. Di meja apartemen mereka, Kyle dan Luiz tengah serius mengerjakan tugas sekolah.

"Kamu berangkat sekarang?" tanya Kyle.

"Iya. Berangkat lebih awal sebelum larut. Aku bisa tidur di ruang karyawan nanti," ujar Cayenne sambil memakai sepatu. "Ingat bangun pagi nanti." lanjutnya.

"Kami sudah pasang alarm," balas Kyle, memperhatikan Cayenne membuka pintu, lalu bertanya kepada Luiz, "Kau sudah tahu hasil tes beasiswa yang kita ikuti kemarin?"

"Besok baru diumumkan," jawab Luiz. Tanpa sepengetahuan Cayenne, mereka mengikuti ujian beasiswa dan menyimpan uang yang dia beri sebagai cadangan.

Meski tahu jika Cayenne cemas tentang adik-adiknya, mereka lebih khawatir akan beban kakak mereka.

Di tempat lain, di lantai teratas Clover Hotel. Stefan, Ceo Clover hotel berada di ruang pribadinya.

"Tuan, ayah Anda menelepon, bertanya tentang ulang tahun Anda," kata sekretarisnya.

"Tidak perlu ada perayaan," jawab Stefan singkat. "Kau boleh pulang."

"Terima kasih, Tuan. Hati-hati," ucap pria itu.

Stefan, setelah kematian saudaranya 15 tahun lalu, hidup dengan ketidakpercayaan dan insomnia. Rasa bersalah atas kematian saudaranya masih menghantui, meski bukan dia penyebabnya langsung.

Orangtuanya tidak pernah menyalahkannya secara langsung, tapi Stefan merasa terbebani dengan kehilangan saudara yang jujur dan baik itu. Tanpa dukungan orang tua, ia mencapai kesuksesan saat ini dengan usahanya sendiri.

"Andai aku yang meninggal di malam itu," gumam Stefan, ia merasa kesepian meski bergelimang harta. Meski ada orang-orang di sekelilingnya, tak satu pun yang benar-benar peduli.

Stefan menghela nafas panjang sambil menekan interkom, dia meminta di antarkan anggur terbaik ke ruangannya.

Manajer Dant yang menjawab panggilan dari bosnya bergegas mengambilnya, bersamaan dengan kemunculan Cayenne yang baru saja selesai berganti pakaian dan bersiap ke lobi.

"Cayenne, bawakan ini ke lantai atas," kata Manajer Dant.

"Lantai atas? Tapi—"

"Cepat, atau kita akan dipecat," kata Manajer Dant tegas.

Tanpa pilihan, Cayenne mendorong kereta berisi anggur menuju lantai atas sambil merasa sedikit gugup.

Sesampainya disana, Stefan membuka pintu, menghadapi Cayenne yang hanya tersenyum tipis sambil menyapa dengan sopan, "Pesananmu Tuan."

"Masuk, tuangkan minuman," kata Stefan.

Cayenne terkejut, tapi kemudian dengan hati-hati memasuki ruangan, menuangkan anggur ke gelas kristal untuk Bosnya itu.

"Ada yang lain, Tuan?" tanya Cayenne.

"Minum bersamaku," katanya tiba-tiba.

"Maaf, Tuan, itu melanggar—"

"Aku yang membuat aturan."

Cayenne terdiam bingung, tetapi menuangkan anggur untuk dirinya sendiri. Rasa anggur itu manis sekaligus pahit, sedangkan aromanya begitu memikat sehingga membuat ketagihan.

"Pantas saja mereka menyuruhku menjauhi minuman ini. Benar-benar membuat ketagihan," gumamnya sambil memandangi cairan merah tua di dalam gelas anggurnya.

"Tuan, mengapa Anda tidak meminta seseorang untuk menemani, mungkin seorang pria? Saya pikir tidak bijaksana jika seorang wanita tinggal di kamar Anda. Lagi pula, saya masih harus bekerja," kata Cayenne, berusaha sekali lagi untuk pergi. Ia merasa canggung sendirian dengan pria lajang di kamar.

Stefan menatapnya dan mengabaikan sarannya. "Jangan khawatir, gajimu tidak akan dipotong."

"Baiklah." Ini yang sebenarnya dikhawatirkan Cayenne. Ia tidak ingin pekerjaannya terganggu saat sangat membutuhkan uang. Ia kembali menyesap anggurnya, duduk dengan tenang.

"Berapa umurmu? Kamu terlihat sangat muda."

"Saya baru saja berusia 23 tahun, Tuan," jawab Cayenne sopan.

"Kamu tidak kuliah?"

"Tidak, Tuan."

Stefan mengangkat alisnya. Dia berpikir wanita itu akan menggodanya, tetapi saat mereka terus mengobrol, wanita itu tetap sopan dan menjaga jarak.

"Kenapa memilih kerja di sini?"

"Karena tenang dan bayarannya bagus."

"Hanya itu?"

"Hmn."

Mendengar jawabannya, Stefan terkekeh. Ia berharap ada pujian manis tentang perusahaannya, tetapi Cayenne dengan jujur menjawab tanpa ada yang dilebih lebihkan.

Cayenne menatap gelas anggurnya. Meski hanya duduk, dia merasa dunia berputar. "Tuan, bolehkah saya menggunakan kamar mandi? Saya perlu mencuci muka."

Ia ingin membangunkan dirinya dengan air dingin, mengira lelah bekerja membuatnya mengantuk. Namun itu adalah efek dari anggur yang diminumnya.

Stefan menunjukkan arah kamar mandi, tetapi Cayenne pingsan sebelum sampai di sana.

"Dia tak bisa minum banyak, tapi tetap bertahan," gumamnya, lalu menaruh gelasnya dan mengangkatnya ke ranjang.

"Cantiknya dia." Stefan mengamati dengan intens. Hidung Yunani-nya sesuai dengan wajah mungilnya. Bulu matanya tebal dan panjang, melengkung anggun, memberikan bayangan pada wajah di bawah cahaya temaram.

Setelah meninggalkannya, Stefan terus menyeruput anggurnya sambil memandang kota.

"Kenapa aku memintanya untuk menemaniku?" tanyanya saat tak mengingat alasan mengajaknya tetap tinggal.

"Dia tak bangun-bangun?" gumamnya, melirik wanita yang tidur di ranjangnya.

Dia ingin menelpon asistennya agar Cayenne dijemput, tapi merasa sungkan karena dirinyalah penyebab wanita itu pingsan.

"Kurasa, aku pernah berkencan, tapi tak ada satupun wanita yang pernah tidur sebantal denganku. Dia yang pertama."

Ide jahil membisiknya. Ia tahu gadis ini berbeda dari wanita-wanita sebelumnya, membuatnya ingin menggodanya lebih jauh. Ia naik ke ranjang, berbaring di sebelahnya. Dia berniat menggoda, tapi justru terlelap damai dalam mimpi.

Sudah lama Stefan mengidap insomnia karena trauma masa lalu dan tekanan pekerjaan yang berat, namun malam itu ia akhirnya bisa tidur nyenyak ditemani seorang wanita yang belum ia kenal.

2 Aku ingin kamu menemaniku tidur

Cayenne terbangun dengan kepala berdenyut. Ketika penglihatannya menajam, dia terkejut menemukan dirinya dalam pelukan Stefan, di ranjang yang sama.

Dia coba menahan rasa takut, perlahan melepaskan pelukan Stefan dari pinggangnya.

"Tolong jangan biarkan dia terjaga dan berpikir macam-macam. Jangan sampai aku kehilangan pekerjaan ini," doanya sambil perlahan menjauh.

Setelah beberapa kali mencoba, ia mulai menjauh. Sayangnya, ia jatuh dari tepi tempat tidur, syukur ada karpet empuk saat punggungnya mendarat.

‘Syukurlah lantainya empuk,’ pikirnya sambil mengusap tubuhnya, menyelidiki setiap jengkal pakaiannya.

‘Terima kasih, Tuhan, aku pikir kiamatku tiba.’ batinnya, ia berpikir jika semalam telah melakukan sesuatu yang tidak senonoh.

Cayenne menatap atasannya sekali lagi. Setelah yakin Stefan terlelap, ia melarikan diri tanpa suara. Ia ke kamar mandi terdekat, merapikan seragam, dan kembali ke tempat kerja. Masih ada waktu sebelum giliran kerjanya selesai.

Di kamar atas, Stefan tersenyum lebar. Dia hampir tertawa ketika Cayenne jatuh, namun menahan diri agar tidak mempermalukannya.

Ketika Cayenne menyentuh lengannya untuk melepaskan diri, ia sebenarnya terjaga tapi berpura-pura tidur.

"Akhirnya aku menemukan obat insomnia-ku." gumam Stefan sembari meregangkan tubuh.

"Bagaimana caranya agar bisa tidur sebantal dengannya lagi?" Pikirnya.

Keisengannya berubah menjadi penemuan terbaik. Seorang teman untuk tidur tanpa beban. Ia tak takut mati, disergap, atau diracuni. Yang diiginkannya hanya tidur tenang seperti orang lain.

Saat melihat jam di meja yang menunjukkan pukul lima pagi, Stefan tersenyum kecil, "Ada satu jam lagi sebelum dia selesai. Akan kuberikan kejutan."

Stefan mandi cepat dan berpakaian sederhana namun tetap terlihat bermartabat. Setelah memastikan semua beres, dia pun turun ke lantai dasar.

Terlihat Cayenne yang sedang berbicara dengan Manajer Dant, menjelaskan ketidakhadirannya setelah mengantar anggur. Mereka mengira dia membolos.

"Maaf kalau bikin masalah. Tak kusangka bos memintamu tinggal. Tapi, dia tidak melakukan apa apa kan?" tanya Manajer Dant.

Cayenne menggeleng cepat, menandakan semuanya baik-baik saja.

"Kau bisa kembali bekerja. Tenang saja, cuma aku yang tahu di mana kau semalam."

"Terima kasih, Manajer Dan," balasnya, lalu berbalik untuk bekerja, namun takdir berkata lain ketika dia bertemu Stefan melintas di lobi.

Dia menenangkan diri, berpikir Stefan hanya lewat. Tak disangka, Stefan berhenti tepat di depannya.

"Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Ucap Cayenne berusaha tenang.

Stefan tak menjawab. Dia meletakkan sesuatu di telapak tangan Cayenne sebelum pergi mengambil kopi. Manajer Dant, dan rekannya, Mona memperhatikan peristiwa itu. Saat Stefan pergi, Cayenne membuka telapak tangannya dan melihat plat nama miliknya.

"Kenapa bos punya tanda namamu?" tanya Mona heran.

"Tadi saya menjatuhkannya dan tidak menemukannya. Saya beri tahu Manajer Dant dan kelihatannya bos menemukannya," ujar Cayenne pelan. Jantungnya masih berdegup kencang. Dia pikir akan tertangkap basah.

"Tidak kusangka plat namaku jatuh di ranjangnya," pikirnya saat memasang plat nama kembali.

Cayenne pulang kerja dengan cepat setelah shift-nya selesai. Terlihat Kyle dan Luiz sedang menyelesaikan persiapan sekolah saat ia tiba di rumah.

"Pagi," sapa Cayenne seraya melepas sepatu.

"Aku sudah masak sarapan. Ingat makan sebelum berangkat kerja," kata Kyle yang sudah menyiapkan sarapan pagi untuk kakaknya.

"Tentu. Jaga diri kalian. Aku mau tidur sebentar sebelum berangkat kerja," ucap Cayenne menghampiri kamarnya untuk istirahat sebelum kerja lagi di pukul 9 pagi.

Setelah mandi, ia berusaha tidur tapi tetap terjaga. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang bosnya.

"Dia tidak akan memecatku?" pikirnya gelisah.

"Aku butuh pekerjaan ini. Haruskah aku minta maaf? Tapi apakah itu malah membuatnya berpikir aku sengaja?" Dia gelisah, semakin bingung.

Waktu berlalu dan tidurnya tak kunjung tiba. Meski kepalanya pusing, sarapan dan air hangat membantunya merasa lebih baik.

Cayenne bersiap untuk pekerjaan di kafe. Pekerjaan yang menyenangkan dengan pemilik yang baik membuatnya nyaman.

"Itulah tempat kerjanya di siang hari," jelas Chris, sopir dan sekretaris Stefan, menunjuk kafe di mana Cayenne bekerja melayani pelanggan. Meski sibuk, ia tampak ceria.

"Di khir pekan dia punya kerja paruh waktu lain untuk menambah penghasilan." Chris melanjutkan penjelasannya. "Dua adiknya sekolah. Ibunya di rumah sakit karena TBC. Tanpa ayah, Cayenne menopang keluarganya sendirian."

"Baiklah," Stefan mengangguk tersenyum.

"Kita kembali ke perusahaan."

Stefan melanjutkan pekerjaannya, berpikir cara menghadapi Cayenne. Hanya bersamanya bisa membuatnya tidur nyenyak.

Saat hari selesai, Cayenne pulang bersamaan dengan saudara-saudaranya. Mereka tersenyum lebar padanya.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Cayenne.

"Tutup matamu, Kak. Ada kejutan," ujar Kyle. "Satu, dua, tiga, buka."

Cayenne membuka mata dan melihat kertas beasiswa. "Kapan kalian ikut program beasiswa ini?" tanyanya kebingungan.

Kyle tersenyum bangga. "Sudah dari lama. Kami tahu kamu tidak ingin kami kerja, jadi kami cari beasiswa biar bisa bantu sedikit."

Cayenne tersenyum haru, air mata mengalir. "Aku bangga pada kalian. Fokuslah belajar. Terima kasih, ini sangat membantu." Dia memeluk mereka dengan bangga.

Malam itu, Cayenne bekerja dengan senang. Beban biaya sekolah berkurang berkat beasiswa Kyle dan Luiz yang mengurangi biaya bulanan.

"Selamat malam, Manajer Dant," Cayenne menyapa dengan senyum.

"Selamat malam juga, Mona" sapanya kepada resepsionis yang bekerja bersamanya malam itu.

"Kamu terlihat bahagia. Tidurmu nyenyak?" tanya Mona.

"Tidak ada masalah dengan tidurku," jawab Cayenne sambil tersenyum.

Dia melupakan kekhawatirannya sebelumnya. Namun saat kembali bekerja, kegugupannya muncul kembali mengingat bosnya.

Saat Stefan datang dengan kopi, ia tampak biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa malam sebelumnya. Cayenne berharap bisa menghilang sejenak dari hadapannya.

"Semangat bekerja," komentar Stefan sambil menyerahkan kopi kepada Cayenne, membuat mereka sama-sama terkejut dengan perhatian kecil yang tidak bisa itu dari bosnya.

Cayenne mengedipkan mata pada Stefan, namun Stefan hanya membalas dengan senyuman sebelum pergi.

Chris, si serba bisa, juga tersenyum sebelum berlalu. Cayenne tetap di tempatnya dengan wajah bingung. Mona menyikutnya, membawanya kembali ke kenyataan.

"Jujur saja, ada apa antara kamu dan bos?"

"Hah? Ada apa?" Cayenne bingung. Dia tidak paham maksud Mona.

"Dari semua karyawan, hanya kamu yang bisa memilih shiftnya sendiri. Bos sering tersenyum kepadamu, dan sekarang memberikan kopi mahal. Apa sebenarnya hubunganmu dengannya?"

"Tunggu sebentar. Tenanglah." Cayenne meletakkan kopinya dan menatap Mona.

"Mona, aku tidak punya hubungan apa pun dengannya. Aku juga tidak tahu mengapa dia memberiku kopi ini."

"Mungkin dia suka padamu?"

"Ya ampun! Serius? Jangan bercanda. Mana mungkin dia suka aku? Kamu tidak sedang menghayal."

"Kau benar. Dia suka gonta-ganti pasangan. Hati-hati saja, jangan sampai dia mempermainkanmu," Mona menasihati.

"Kamu benar. Dia mungkin mengira aku akan setuju saja. Tapi jangan khawatir, aku sibuk dengan keluargaku dan tidak tertarik dengan hubungan lain." Cayenne berkata tegas.

Reputasi Stefan terkenal di kota; dia bergonta-ganti pacar secepat mengganti baju. Karena itu, Cayenne berhati-hati.

Melihat kopinya lagi, Cayenne ragu apakah dia harus meminumnya atau tidak. Kalau Stefan memintanya membayar, dari mana dia bisa dapat uang sebanyak itu?

Namun akhirnya, dia memutuskan untuk meminumnya. 'Nanti aku akan pikirkan cara membalasnya.'

Stefan merasa sedikit bersalah karena membuatnya mabuk tadi malam, secangkir kopi adalah caranya meminta maaf kepada Cayenne.

"Apakah harus kupanggil dia, Pak?" tanya Chris, paham apa arti Cayenne untuk Stefan.

"Tidak usah. Apa ada jadwal lain malam ini?" tanya Stefan.

"Tidak ada, Pak."

"Baiklah. Kamu bisa pulang. Aku urus sisanya."

"Selamat malam, Pak." Chris pamit. Saat lewat di pos Cayenne, ia tersenyum padanya. Ini bisa jadi awal perkenalan mereka.

Cayenne membalas dengan senyuman kaku, sementara Chris memberikan senyum tulus. Dia bingung kenapa Chris tersenyum padanya.

Menjelang tengah malam, Cayenne sedang istirahat ketika Manajer Dant mencarinya.

"Maaf, Cayenne. Bos ingin bertemu lagi," katanya lembut lalu berbisik, "Kalau dia macam-macam, bilang padaku ya? Sekalipun bos itu idolaku, aku tak segan melawannya kalau dia melanggar hak karyawan."

Cayenne hanya terkekeh. "Terima kasih. Aku akan bilang nanti kalau ada apa-apa."

"Baiklah. Cepat pergi." Manajer Dant mendorongnya.

Cayenne berhenti sejenak sebelum bertanya kepada manajernya yang baik hati, "Apa ada permintaan khusus? Seperti anggur atau makanan?"

"Tidak. Dia hanya ingin bertemu denganmu."

Jantung Cayenne berdegup kencang. 'Tuhan, tolong jangan biarkan dia meminta bayaran kopi itu. Jangan pecat aku, aku butuh pekerjaan ini.'

Dia berdoa sambil menunggu di lift. 'DING!' saat lift berhenti, dia merasa jantungnya ikut berhenti. Dia menekan bel pintu dan menunggu Stefan membukanya. Ketika pintu dibuka, dia terdiam.

"Masuklah." Stefan mengajak masuk dan memintanya duduk.

Cayenne duduk dan memainkan jarinya. Stefan menatapnya, Cayenne semakin gelisah.

"Ada yang ingin Anda katakan, Pak?"

"Ada sesuatu, tentang kemarin malam malam." Ucap Stefan, ia berjalan mondar-mandir membuat jantung Cayenne semakin berdegup kencang.

Tegang, Cayenne memperhatikan Stefan mengambil kertas dari laci. Kesempatan ini dia gunakan untuk berbicara.

"Pak, maaf kalau saya membuat kesalahan. Soal kopi, potong saja dari gaji saya. Tolong jangan pecat saya."

Stefan tertawa kecil dan memberikan sebuah kertas kepadanya, "Aku tidak berniat memecatmu. Aku malah punya tawaran."

Cayenne membaca kertas yang diberikan, membuat ekspresi Cayenne berubah. "Apa maksud Anda, Pak?"

"Aku ingin kamu menemaniku tidur.

3 Tidak dianggap keluarga

Cayenne merasa terkejut dengan usulan yang dia terima dan bingung apakah harus merasa marah atau malah menertawakannya.

"Dengan segala hormat, Tuan, saya bukan tipe wanita seperti itu. Apa yang terjadi antara kita adalah sebuah kesalahan. Saya tidak bermaksud untuk berakhir di tempat tidur Anda dan saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan hal tidak pantas. Maaf, tetapi saya tidak bisa menerima ini." Dia mengungkapkan perasaannya dengan jelas tanpa jeda menunggu tanggapan.

"Bacalah seluruh isinya sebelum kau menolak tawaranku," ujar Stefan dengan tenang, tanpa sedikit pun menunjukkan kemarahan.

Justru, dia semakin tertarik. Wanita lain mungkin akan langsung menyetujui lamarannya, namun Cayenne menolaknya.

"Aku akan menambah 3000 USD sebulan. Tidurlah denganku," katanya sambil meletakkan cek yang sudah ditandatangani di atas meja, menunjukkan betapa seriusnya dia.

Cayenne merasa pusing memikirkan jumlah uang tersebut. Dengan uang itu, dia bisa membeli obat ibunya dan membiayai pendidikan adik adiknya.

"Maaf jika saya terkesan kasar, tetapi saya benar-benar tidak bisa melakukannya. Carilah orang lain," jawab Cayenne sambil tetap berusaha sopan, khawatir akan kehilangan pekerjaannya jika Stefan marah.

"Pertimbangkanlah tawaranku. Lagipula, tidur bersamamu tidak buruk," jawab Stefan masih dengan wajah datar, seolah menawarkan sesuatu yang sangat biasa.

Meski memikirkannya, Cayenne yakin pria ini sudah gila karena mengajukan penawaran seperti itu.

Itu memang kesalahannya sendiri karena tertidur di tempat Stefan, tapi dia tidak pernah punya niat seperti itu.

Setelah membaca ulang proposal Stefan, Cayenne menyadari ia terlalu cepat mengambil kesimpulan.

"Tuan, apakah 'tidur' yang Anda maksud benar-benar hanya tidur? Tidak ada maksud tersembunyi atau motif lainnya?"

"Aku tidak seperti itu. Memang, aku suka bersenang-senang, tapi aku tidak pernah benar-benar tidur dengan siapa pun. Aku mengalami insomnia dan hanya ingin tidur nyenyak. Kemarin malam adalah kali pertama aku tidur dengan tenang setelah sekian lama. Maaf jika aku egois, tapi itulah yang kuinginkan."

Cayenne untuk pertama kalinya merasa kasihan pada pria di depannya. Siapa sangka dia mencari sesuatu yang sederhana seperti tidur?

Dia meletakkan dokumen itu dan menatap bosnya. "Tuan, saya sangat menyesal Anda harus melewati semua ini karena kondisi Anda. Bisakah Anda memberi saya waktu untuk mempertimbangkannya?Bagaimanapun juga, kita lawan jenis, dan meskipun mungkin tidak masalah bagi Anda, bagi saya ini bisa berdampak besar jika diketahui orang lain."

Stefan mengangguk, menyadari akibat dari perbuatannya jika hal ini tersebar. Cayenne adalah seorang wanita, dan hal semacam ini bisa berdampak buruk pada masa depannya.

"Apa sebaiknya kita lakukan ini? Uhm..." Stefan berpikir sambil memandang Cayenne. "Bagaimana jika kau mengubah jadwalmu menjadi siang hari dan selesai sekitar jam enam sore? Dengan begitu, aku bisa menjemput dan membawamu ke tempat yang tidak diketahui orang lain."

"Aku akan mempertimbangkannya."

"Oke, beri tahu aku keputusanmu nanti. Aku akan memberimu waktu seminggu untuk memikirkan ini," ujar Stefan sambil merapikan kembali dokumen tersebut. Tidak baik jika ada orang lain melihat proposal seperti itu.

Cayenne menundukkan kepalanya saat keluar dari ruangan. Ketika dia hampir meninggalkan ruangan, Stefan berkata sekali lagi, "Cayenne, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak akan melewati batasku. Aku hanya ingin tidur."

Dia mengangguk sebelum menutup pintu. Cayenne tidak berpengalaman berurusan dengan pria, kecuali dengan adik laki-lakinya.

Kebanyakan pria yang mengejarnya kabur setelah berhadapan dengan adik-adiknya, bukan karena mereka menghalangi kebahagiaannya, tetapi mereka ingin melindunginya.

Sebagai laki-laki, mereka bisa melihat ketidaksungguhan dari para pelamar tersebut. Itu sebabnya Kyle dan Luiz mempelajari seni bela diri untuk melindunginya. Mereka belajar karate dan jujitsu, agar bisa menjaga Cayenne.

Cayenne sendiri tidak tertarik untuk menjalin hubungan. Dia lebih ingin fokus menghasilkan uang untuk keluarganya. Cinta dari keluarganya sudah cukup untuk membuatnya bahagia.

"Jika aku tidur dengan bosku, di mana dia seharusnya masuk? Dia bukan teman atau keluarga. Bukan musuh atau orang asing. Mungkin rekan bisnis?" gumamnya sambil menggelengkan kepala, mencoba menenangkan pikiran.

"Tidak mungkin rekan bisnis tidur bersama."

Saat lift terbuka, sepasang suami istri paruh baya keluar. Pria itu menatap Cayenne, sementara Cayenne hanya menunduk dan berlalu pergi.

Sang istri tidak menyadari suaminya mengerutkan dahi. Dia mungkin tidak melihat angka di lift, tapi pria itu tahu bahwa lift itu khusus untuk Presiden perusahaan. Itu berarti Cayenne baru saja dari lantai Stefan!

Sementara itu, Stefan duduk di kursi santainya sambil membaca informasi tentang Cayenne yang berhasil dikumpulkan Chris.

Dia benar-benar terkesan dengan Cayenne, seorang wanita muda yang tangguh dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Cayenne tidak tertarik pada hal-hal duniawi seperti berdandan atau gosip, yang dia pedulikan hanyalah mendapatkan uang untuk mendukung ibu dan adiknya.

Pikiran Stefan mulai buyar ketika bel pintu berbunyi. Karena jarang ada yang berkunjung, dia tidak terburu-buru untuk membukanya.

'Siapa yang menggangguku?' pikir Stefan sambil memeriksa monitor.

Ternyata orang tua Stefan yang datang, orang-orang yang paling tidak ingin dia temui.

Meski begitu, dia tetap membuka pintu tanpa mengundang mereka masuk. Ayahnya, Magnus, masuk dengan sendirinya, sementara ibunya, Clara, hanya memerhatikan ponselnya. Seolah Stefan bukanlah seseorang yang perlu ia tujukan perhatiannya.

"Mengapa kalian di sini?" tanya Stefan seraya menuangkan air minum tanpa menawarkan mereka tempat duduk, meskipun mereka tetap mengambil tempat duduk.

Magnus mengamati Stefan dari atas ke bawah. "Begitukah caramu berbicara kepada orang tuamu sekarang?"

Stefan merespon dengan ketus, "Aku tidak tahu kalau aku punya orang tua."

Jawaban itu membuat ayahnya marah. Clara mengangkat pandangannya sesaat dari ponselnya sebelum kembali asyik memandanginya.

Jika Stefan harus menebak, dia yakin ibunya sedang melihat foto dan video almarhum saudaranya.

Sejak saudaranya meninggal, ibunya terus-menerus melihat foto dan video tentangnya, seolah Stefan tidak pernah ada. Hal ini telah menjadi kebiasaan, membuat Stefan tidak terlalu memperdulikannya lagi.

"Siapa wanita yang keluar dari kamarmu itu?" tanya Magnus.

"Itu bukan urusanmu. Siapa kau berani bertanya padaku?"

"Stefan!" teriak ayahnya, jari telunjuknya menunjuk ke arah Stefan. "Jangan berani-beraninya menjawab seperti itu! Jangan lupa bahwa aku masih ayahmu dan ibumu yang melahirkanmu, kau bagian dari keluargaku!"

"Benarkah?" ejekan Stefan muncul dan ia berdiri dari kursinya.

"Lima belas tahun berlalu dan baru sekarang aku mendengar kau mengatakan itu. Tapi aku tidak bahagia. Aku baik-baik saja sendirian. Aku bertahan tanpa orang tua selama bertahun-tahun. Kenapa sekarang kalian mencariku? Ah, kalian ingin aku meminta maaf, kan? Ini hari peringatan kematiannya, kan?" Ucapan Stefan membuat ibunya marah.

Tamparan keras membuat wajah Stefan berdenyut.

"Monster! Kenapa aku melahirkan monster sepertimu?! Jika bukan karena kamu, Alexander tidak akan mati! Anak sepertimu tidak layak hidup!" teriak ibunya sembari memukul dadanya berulang kali.

Magnus mencoba menenangkan Clara. Dia tahu sejak dulu Clara sangat menyayangi Alexander. Semasa kecil, kakaknya dekat dengan orangtua, sementara Stefan lebih banyak diasuh oleh kakaknya, Alexander.

Alexander adalah satu-satunya yang mengasuhnya di rumah, membuat Stefan merasa seperti anak angkat, meskipun faktanya tidak.

Mengapa orang tuanya tidak pernah menunjukkan kasih sayang padanya? Mengapa ulang tahunnya tidak pernah dirayakan? Apakah dia benar-benar bagian dari keluarga ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benak Stefan, namun dia terlalu lelah dan memilih untuk menjauh. Dia ingin melupakan orang-orang yang tidak peduli padanya.

Dia akhirnya mengetahui mengapa ulang tahunnya tidak pernah dirayakan. Tanggal kematian Alexander bertepatan dengan ulang tahunnya, lima belas tahun yang lalu. Sejak saat itu, hari tersebut menjadi kenangan pahit bagi keluarganya dan tidak akan berubah.

Magnus menghela napas dan berusaha berbicara dengan damai, tetapi Clara tidak ingin mendengarnya. Stefan tidak terkejut dengan reaksi mereka.

"Belum puas menamparku? Silakan lakukan lagi," katanya dengan wajah tanpa ekspresi, sulit dibaca.

"Kita pergi dulu. Kita akan kembali saat ibumu sudah tenang," Magnus berkata perlahan.

"Aku lebih senang jika kalian tidak pernah muncul lagi. Aku sudah terbiasa hidup tanpa orang tua selama lima belas tahun. Aku juga bisa melakukannya lima belas tahun ke depan," balas Stefan dingin, lalu meninggalkan orang tuanya dan masuk ke kamar mandi untuk menjauh dari mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!