NovelToon NovelToon

Masihkah Ada Cinta?

Harapan

Karina membuka jendela kamar hingga semua cahaya masuk ke ruangan itu. Nino yang masih terlelap, mengernyitkan dahi karena tidurnya terusik disebabkan sinar matahari yang menyoroti wajahnya.

Karina duduk di tepi ranjang, membungkukkan sedikit tubuhnya, tangannya terangkat membelai sisi wajah pria itu. Terasa bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di sekitar wajah, menimbulkan tekstur menyenangkan di telapak tangan. 

"Sayang." 

Nino segera membuka mata saat mendengar panggilan mesra dari Karina. Ia bergumam untuk menjawabnya. 

"Besok anaknya Tante Dewi nikah, kita jadi berangkat hari ini, kan? Aku udah siapin baju sama perlengkapan lain. Jadi, nanti kita tinggal pergi." 

"Iya, kamu udah ingetin itu berkali-kali dari kemarin." Nino tersenyum sambil mengelus punggung tangan wanita itu. 

"Takutnya kamu mendadak lembur hari ini. Kantor kamu kan gitu, apa-apa suka mendadak." 

Nino beranjak dari posisi berbaringnya. Ia menatap wajah Karina yang sedikit cemberut. Nino menarik tubuh Karina ke dalam pelukannya sampai wanita itu tersentak.

"Jangan ngambek dong, aku kerja kan demi kamu juga." 

"Iya, tapi masalahnya, kadang jam kerja kamu itu gak ngotak, pulang malem, weekend kerja, aku—"

Nino membungkam omelan Karina dengan sebuah ciuman di bibir. Karina membulatkan mata karena terkejut. 

"Aku udah sering dengerin omelan kamu yang ini." 

Nino terkekeh melihat wajah istrinya yang bersemu merah. Kedua tangannya kembali terangkat untuk menangkup wajah Karina. Saat Nino mendekatkan lagi wajahnya, Karina memejamkan mata. Namun, Nino menghentikannya ketika bibir mereka hampir bersentuhan. 

Nino menjauhkan wajah, membuang napas pelan, lalu menurunkan tangannya. 

"Kita berangkat sebentar lagi." 

Karina membuka mata dan menatap suaminya sampai masuk ke kamar mandi. 

***

Karina bersenandung kecil ketika mendengar lagu favoritnya dari audio mobil. Sekarang mereka sudah menuju ke tempat saudara Karina yang berada di Karawang. Semua keluarganya sudah berkumpul di sana, tinggal dirinya saja yang bisa datang hari ini. Karena ia bekerja, begitu juga dengan Nino. 

"Hari senin nanti, aku mau izin dulu gak masuk kerja."

Nino melirik sekilas. "Kenapa?" 

"Kan kamu bilang aku harus ikut ujian praktek SIM A biar bisa bawa mobil ke kantor." 

Nino meringis saat Karina mengatakan tujuannya tidak masuk kantor. "Kayaknya aku antar jemput kamu aja, deh. Itu lebih baik." 

Karina menoleh menatap pria itu. "Kenapa?" 

"Terakhir aku disetirin kamu, aku gak tenang. Kamu bawa mobil ugal-ugalan, kayak lagi kejar setoran, nyalip gak lihat di belakang kamu ada mobil atau enggak, ngerem mendadak. Bisa jantungan aku. Bisa-bisa kita mati muda kalau begitu." Nino mengomel panjang lebar. 

Karina berdecak sambil melipat tangan di dada. "Kalau gitu, waktu itu kamu gak usah bilang aku ikut ujian, dong, Mas. Giliran aku lagi semangat malah dilarang. Lagian, perjalanan dari rumah ke kantor itu jauh banget. Kalau lagi macet, itu bisa dua jam di jalan."

Nino melirik seraya tersenyum. "Enggak apa-apa, kita bisa berangkat lebih awal kalau kamu takut macet. Aku masih khawatir lepas kamu pakai mobil sendiri." 

Karina memalingkan pandangan seraya memutar bola mata. Ia menggerutu tidak jelas. Nino hanya geleng-geleng kepala melihat istrinya kesal.

Sejak beberapa bulan yang lalu, Nino mengajarkan Karina mengemudi setiap weekend, tapi saat mencoba mengemudi di jalan raya, beberapa kali wanita itu hampir menabrak dan tidak memerhatikan kendaraan di sekitarnya. Nino lebih baik lebih baik lelah dua kali lipat daripada melepas Karina membawa kendaraan sendiri, yang ada tiap jam ia tidak bisa tenang. Wanita itu belum sepenuhnya siap berkendara sendirian.

Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di rumah saudara Karina. Di sana saudaranya sudah berkumpul. Senyum Karina mengembang saat melihat seorang wanita yang sudah lama tidak bertemu dengannya. 

"Mbak Lany." 

Wanita yang sedang menggendong bayi berusia sekitar tiga bulan itu menoleh dan tersenyum pada Karina. 

Karina yang baru saja selesai menyapa saudaranya mempercepat langkahnya menuju Lany yang berada di teras rumah.

"Ih, udah punya anak aja," seru Karina. 

Lany tersenyum. "Kamu apa kabar, Na? Maaf ya, waktu kamu menikah kemarin, aku gak datang. Di pernikahan pertama kamu juga aku gak datang. Soalnya aku baru tahu kalau kamu udah menikah pas datang ke sini." Lany dan Karina tertawa. 

"Gak apa-apa kok, Mbak. Aku juga baru tahu kalau Mbak Lany udah nikah sekarang. Kita gak punya kontak masing-masing, jadi kita gak tahu kabar juga." Ia mengalihkan pandangannya pada bayi perempuan di gendongan. "Lucu banget sih, cantiknya kayak mama, ya." Suara Karina dibuat imut saat menyapa bayi yang dipakaikan bando kain dengan renda lucu berbentuk bunga. 

"Aku denger, dulu kamu pernah keguguran, ya?" Lany duduk di kursi rotan yang berada di teras. Karina ikut duduk di sebelahnya. 

Karina merasa diingatkan kembali pada masa itu. Di pernikahan pertamanya, Karina sempat hamil, tetapi takdir berkata lain. Anaknya dipanggil lebih cepat sebelum lahir ke dunia. Ketika ia harus kehilangan anaknya, jika anaknya bisa bertahan, sekarang usianya pasti sudah lebih dari dua tahun. 

Karina mengangguk seraya tersenyum kaku. 

"Maaf kalau pertanyaanku sedikit mengingatkan kamu ke masa lalu. Aku turut prihatin." Lany mengelus pundak Karina sebagai bentuk dukungan untuknya. "Aku juga merasa prihatin sama apa yang udah kamu alami kemarin-kemarin. Kamu wanita kuat, setelah ini, kamu pasti menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya."

Karina mengangguk. "Iya, aku bahagia sama Mas Nino sekarang." 

"Syukurlah, aku seneng dengernya."

Bayi dalam gendongan Lany menangis. Lany mencoba untuk menenangkannya, tetapi bayinya masih saja menangis. Kemudian, Lany memanggil suaminya, seorang pria jangkung keluar dari rumah dan mengambil alih bayi di gendongan Lany. Seketika, tangisannya terhenti dan Lany kembali duduk di samping Karina. 

"Gimana rasanya punya bayi, Mbak?" tanya Karina. Itu bukan hanya sekadar pertanyaan biasa yang dilontarkan Karina. 

"Aku gak bisa ungkapin dengan kata-kata, sih. Dikata lelah, tapi kalau lihat senyum Shayna rasa lelahku hilang. Dikata gak lelah, tapi kadang aku suka ngeluh sama suamiku kalau aku kecapekan ngurus Shayna. Semua rasa ada. Tapi, sejak ada Shayna, kebahagiaan kami terasa makin sempurna. Aku sama Sagara harus sabar selama tiga tahun nunggu dihadirkan Shayna di tengah-tengah kami." Lany menatap ayah dan anak yang sedang bercanda di taman halaman rumah.

Karina menatap Lany sejenak. Sorot matanya menyiratkan kebahagiaan yang teramat sangat. Penantian mereka tidak sia-sia. Lalu, ia mengikuti arah pandang wanita itu. Karina mendadak membayangkan, betapa bahagianya jika ada malaikat kecil yang hadir di antara kehidupan bahagianya bersama Nino. 

"Kamu lagi promil, Na?" tanya Lany menyadarkan Karina yang sedang berada dalam lamunannya. 

Karina menggeleng. "Aku … menunda kehamilan, Mbak. Aku … masih pengen kerja." Karina sedikit terbata menjawab pertanyaan Lany.

"Oh." Lany mengangguk mengerti. "Kalian baru nikah juga, kan. Gak perlu buru-burulah, nikmati masa berdua dulu. Katanya, kalian juga cuma pacaran beberapa bulan, kan? Terus mutusin buat nikah." Lany tertawa. 

Karina hanya tertawa sekadarnya dengan terpaksa. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia ingin mengatakan, sebenarnya bukan itu alasan sebenarnya.

Enam bulan menikah bersama Nino, ia memang bahagia. Pria itu memberikan semua cinta dan kasih sayangnya. Karina tidak menampik semua yang diberikan oleh pria itu dan Nino memang sangat mencintainya, sehingga Karina juga memberikan hal yang sama pada Nino. Karina mencintai pria itu sebanyak yang ia bisa. Hanya saja, selama mereka menikah, Nino belum pernah menyentuhnya sama sekali. 

Mereka tidak pernah melakukan lebih dari sekadar berciuman. Nino tidak pernah menyentuhnya lebih dari itu. Karina sempat bertanya-tanya, tetapi tidak pernah ada satu pun yang terlontar dari mulutnya untuk bertanya 'kenapa?' pada Nino. 

Awalnya, Karina membiarkan saja dan tidak pernah ambil pusing. Ia merasa tidak masalah jika pernikahannya tidak diseratai dengan hubungan intim di antara mereka. Namun, sebagai manusia normal, ada masanya Karina merasa tersiksa. Hanya saja, ia masih bisa terlihat biasa saja. 

Karina mulai mempertanyakan, apa yang terjadi pada suaminya? Namun, ia tidak ingin berprasangka buruk dulu, bisa saja dia belum siap melakukannya atau mungkin ada faktor lain. Apa Nino mengidap suatu penyakit? Karina menggeleng pelan. Selama ini Karina tidak pernah melihat tanda-tanda Nino sakit. Dia terlihat sehat, bahkan dia termasuk orang yang rutin olahraga. 

Lalu, Karina merasa terenyak karena pikirannya sendiri, apa jangan-jangan Nino merasa terganggu dengan masa lalu Karina? Karena Karina pernah melakukannya dengan mantan suaminya, apa itu sebab Nino tidak ingin memberikan sentuhan yang lebih padanya? Pikiran itu membuat Karina tidak nyaman. Apa ini saatnya, ia bertanya pada Nino? 

***

Setelah mengobrol dengan Lany, Karina lebih banyak diam. Nino merasakan kejanggalan itu. Namun, ia memerhatikan ekspresi Karina saat menatap suami Lany yang sedang menggendong Shayna. Ada sebuah pengharapan di sorot matanya. Apa Karina menginginkan Nino seperti Sagara? Apa Karina ingin Nino menjadi seorang ayah? 

Nino menghampiri Karina yang sedang duduk di tepi ranjang. Wanita itu menoleh pada Nino. Sorot matanya tampak serius.

"Mas, apa kita bisa punya anak?" 

Apa yang kamu sembunyikan?

Tidak ada kesepakatan apa pun sebelum menikah, tentang hubungan masa depan mereka, tentang seorang anak yang bisa hadir kapan saja. Nino tidak pernah mengatakan jika dirinya tidak bisa melakukan hubungan seksual. Mereka bahkan pernah merencanakan untuk segera mempunyai anak.

Namun, nyatanya setelah enam bulan menikah, mereka bahkan belum pernah melakukan apa pun. 

Pertanyaan Karina membuat Nino tertegun untuk beberapa saat. Mencoba untuk mencari jawaban yang sebenarnya sudah ada, tapi sulit diungkapkan dan Nino belum yakin karena hal itu.

"Kita bisa kan, Mas?" tanya Karina lagi. Mendesak Nino untuk segera menjawab.

Nino menarik napas dalam. "Iya." 

Kening Karina mengernyit samar. Jawaban Nino dirasa kurang jelas. 

"Mas, aku udah bilang sebelum kita menikah. Jangan pernah ada yang kita sembunyikan tentang masa lalu. Sekarang, apa yang kamu sembunyikan dari aku?" 

"Aku gak sembunyiin apa-apa, Karin." 

Karina membuang napas pelan. "Aku tahu kalau pernikahan itu bukan hanya sekadar hubungan seksual aja, tapi aku perlu tahu alasan kamu. Kenapa sampai sekarang kita belum pernah melakukannya sampai ke tahap itu?"

Nino menatap Karina lekat-lekat. 

"Apa yang kurang dari aku, Mas? Apa kamu merasa gak nyaman karena kamu bukan yang pertama buat aku?" 

"Bukan itu, Karin." Nino menjawab cepat. "Bukan itu alasannya." 

"Lalu, apa? Atau kamu punya wanita lain yang lebih bisa memuaskan kamu di luar sana?" 

Nino menggeleng lebih kuat. "Enggak, aku gak mungkin melakukan itu." 

"Terus apa, Mas?" Karina mulai frustrasi. "Aku rasa kita harus mulai membicarakan ini. Kenapa kamu gak pernah bilang dari awal kalau kamu gak bisa melakukannya?" Karina mendesak Nino agar mau berkata yang sejujurnya. 

Tarikan napas Nino sedikit memberat. "Sebenarnya … aku juga gak tahu alasan pastinya kenapa." Nino mencoba untuk mengingat bagaimana perasaan tidak nyamannya ketika malam pertama mereka saat itu.

"Apa yang terjadi sama kamu, Mas?" Karina melihat perubahan ekspresi Nino yang tampak cemas.

Nino menggeleng pelan. "Aku gak tahu, Karin. Selama ini aku merasa baik-baik aja. Itu semua di luar kendaliku." 

Karina melunak dari sebelumnya. Ia tidak bisa menebak, apa yang terjadi pada Nino dan tidak akan memaksa Nino untuk bicara sekarang. Mungkin, mulai sekarang Karina harus menerima bagaimanapun keadaan suaminya. Tidak masalah jika mereka memang tidak bisa punya anak. 

Karina memeluk Nino, ia terlihat tidak nyaman saat membicarakan tentang hal itu.

Nino membalas pelukan Karina lebih erat. "Maafin aku ya, Sayang. Aku tahu, kamu mau kita segera punya anak, tapi ternyata aku belum mampu kasih itu buat kamu."

"Mungkin ini belum saatnya, Mas. Maafin aku juga karena udah bertanya tentang sesuatu yang membuat kamu gak nyaman." 

Nino mengeratkan pelukannya. Ia merasa bersalah sekarang. Ia tidak bisa menjadi suami yang sempurna bagi Karina. 

***

Senyum bahagia terpancar dari kedua mempelai yang duduk di pelaminan. Mereka terus menebar kebahagiaan pada tamu yang datang dan bersalaman untuk mengucapkan selamat. Suasana di gedung siang itu sangat ramai, tamu undangan sedang ramai-ramainya. 

Pernikahan anak dari kakak ibu Karina itu diadakan di sebuah rumah joglo dengan adat sunda. Bangunan yang didominasi oleh material kayu itu semakin memperkental nuansa tradisional. Musik khas Cianjuran kecapi-suling diiringi oleh suara sinden yang merdu membuat para pengunjung merasakan kedamaian dan ketenangan karena harmonisasi musik dan vokalnya.

Di tengah ramainya pengunjung, Nino sedang berbincang dengan orang tua Karina, sedangkan Karina sendiri sedang asyik mengajak Shayna bermain yang berada di pangkuan Lany. Tak lama kemudian, Nino menghampiri mereka dan duduk di samping Karina. 

"Suami Mbak ke mana?" tanya Nino pada Lany. 

"Tadi keluar sebentar, lagi terima telepon."

"Oh." Nino mengangguk-angguk. Lalu, ia menoleh pada Karina yang sekarang sedang membalas chat. "Sayang, kamu mau makan sesuatu? Biar aku yang ambilin." 

Karina berpikir sejenak. "Aku mau ice cream." 

"Kayaknya kamu gak bisa makan itu, deh." 

Karina mencebik. "Kenapa?" 

"Ada cokelatnya. Kamu gak bisa makan cokelat." 

"Cokelatnya cuma dikit, Mas." 

"Aku gak mau ambil risiko. Lebih baik mencegah daripada mengobati." Nino tersenyum. 

Karina mendesah pelan. "Ya, udah, deh. Terserah Mas aja mau ambilin apa." 

"Sop buah mau?" 

Karina tersenyum seraya mengangguk. 

"Oke, tunggu sebentar, ya." Nino beranjak dari duduknya, sebelum ia bergerak menuju stan sop buah yang tidak jauh dari mereka. Nino melirik pada Lany. "Mbak mau juga? Biar sekalian aku ambilin."

"Enggak usah, aku udah kenyang." Lany menjawab seraya menggeleng. 

Setelah itu, Nino melangkah menuju stan makanan yang diinginkan oleh Karina. 

"Kamu beruntung dapetin dia, Na." Lany berujar setelah Nino cukup jauh dari mereka. Karina mengangkat wajah untuk menatap wanita yang duduk di sebelahnya. 

"Ah, masa, sih?" tanya Karina skeptis. 

Lany mengangguk. "Dia kelihatan sayang banget sama kamu. Sorot mata orang itu gak bisa bohong. Emang kamu gak ngerasa? Aku aja ngerasa kalau Sagara cinta mati sama aku." Lany terkekeh. "Iya, kan, Yang?" Lany menoleh saat melihat Sagara yang datang menghampirinya. 

"Iya apa?" Pria itu memasang raut wajah bingung. 

"Iyain aja." 

Pria itu tersenyum. "Iya." 

Ketika tersenyum, dia juga mempunyai lesung pipi seperti Nino. Karina memerhatikan interaksi pasangan di sampingnya. Mereka sama-sama saling mencintai. Sebenarnya, Karina juga sangat yakin Nino mencintainya. Namun, terkadang, masih ada rasa gengsi untuk mengakui. 

"Na, aku boleh titip Shayna sebentar, gak? Aku pengen ke toilet. Nunggu Papanya balik, aku udah gak kuat." 

Beberapa saat lalu, Sagara pergi untuk mengambil minum. 

"Boleh." Karina dengan senang hati mengambil alih Shayna ke pangkuannya. 

Tak lama kemudian, Nino kembali dengan dua cup kecil berisi sop buah. Ia meletakkannya di meja dan duduk di tempat semula. 

"Hai, Om Nino," sapa Karina dengan suara dibuat imut dengan menggerakkan tangan Shayna melambai-lambai pada Nino. 

Nino tersenyum, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menatap Shayna lebih dekat. "Hai, Shayna. Mama Shayna ke mana?" Nino mengajak bayi itu berbicara walau yang menjawabnya Karina. Bayi perempuan itu hanya tersenyum saat Nino menyapa dan mengajak bicara. 

"Mama aku lagi ke toilet, Om. Jadi, aku sama Tante Karina dulu." 

Nino terkekeh. Ia gemas melihat pipi gembil Shayna dan gemas mendengar suara imut Karina. Nino mengelus lembut pipi bayi itu dengan ibu jari. Lalu, kembali menegakkan tubuhnya. 

"Mas, mau foto, gak? Mumpung lagi sama Shayna." 

Nino tertegun sejenak. Ia tidak mungkin menolak permintaan Karina, tetapi rasa bersalah itu kembali hadir. Lihatlah, betapa bahagianya Karina saat ini. 

Karina sudah stand by dengan kamera ponselnya. Ia mengambil beberapa foto saat bersama Shayna. Senyumnya tidak hilang ketika melihat ulang hasil foto yang baru saja diambilnya. 

Nino menyodorkan satu cup ke depan Karina. Wanita itu terlihat sedikit kesulitan karena sedang memangku Shayna. Nino segera mengambil cup itu, menyendoknya, lalu menyodorkan sendok berisi dua potong buah mangga pada Karina. 

Karina memandangi Nino sejenak. Nino mengisyaratkan agar Karina membuka mulutnya. Karina memerhatikan sekitar, banyak orang berlalu-lalang. 

"Malu, Mas. Banyak orang." 

"Kalau kamu gak mau, ya udah." Nino menjauhkan sendoknya dari hadapan Karina. 

"Ih, mau," rengek Karina. 

Nino tersenyum, ia mulai menyuapi Karina. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang sempurna. 

"Wah, keluarga ini kayaknya harmonis banget," ujar wanita paruh baya yang menghampiri meja mereka. 

"Tante Mia." Senyum Karina sedikit memudar saat wanita itu duduk di sebelahnya. 

"Kamu apa kabar? Udah punya baby sekarang?" 

Karina sedikit memaksakan senyumnya. "Ini anaknya Mbak Lany, Tante. Kami belum punya anak." 

"Lho, bukannya kalian udah lumayan lama menikah? Kenapa kamu belum hamil?" Tante Mia terkejut saat mendengar Karina belum hamil. Ia mencolek lengan Karina. "Perasaan sama suami yang kemarin hamilnya cepet, kok sekarang enam bulan belum hamil-hamil, sih?" 

Karina dan Nino saling pandang. 

"Kami emang berencana gak punya anak dulu, Tante."

Rasanya ada sesuatu yang menghambat laju napasnya. Kenapa wanita itu harus menghampiri mereka. Padahal, ia sudah senang saat mendengar Tante Mia tidak bisa datang kemarin. 

Tante Mia adalah istri dari Om Wirya, adik Lia—ibu Karina—yang ketiga. Wanita itu memang terkenal dengan mulut pedasnya. Ia tidak peduli lawan bicaranya akan sakit hati dengan perkataan yang terlontar dari mulutnya itu. 

"Ya, ampun. Kenapa sih, anak zaman sekarang itu pada gak mau punya anak cepet-cepet. Heran, deh. Giliran nanti pas mau punya anak, terus sulit hamil, ngedrama sana-sini seolah minta simpati orang."

Matanya mendelik sinis. 

Karina menarik napas dalam, jika saja ia tidak sedang memangku Shayna, ingin sekali memaki wanita itu dengan suara keras dan melontarkan perkataan tak kalah pedas. 

Anaknya sendiri memilih untuk tidak tinggal serumah walau belum menikah. Anaknya pernah bercerita tidak tahan dengan ucapan ibunya ketika masih serumah.

"Jadi orang tua itu gak mudah, Tante. Lagipula, itu kan keputusan kami berdua, bukan Tante yang dirugikan atas keputusan kami ini," timpal Karina.

"Mama sama Papa juga gak menuntut kami cepet punya anak, kok."

"Pantesan dulu kamu keguguran, ternyata emang niatnya gak pengen punya anak, ya?" 

Emosi Karina sudah memuncak, ia menarik napas dalam berkali-kali. Saat ia akan bicara, Nino segera memegang tangannya dan mengisyaratkan untuk diam. 

Tak lama kemudian, Lany datang bersama Sagara. Mereka seolah menjadi penyelamat Karina untuk pergi dari sana. 

"Maaf ya, lama. Shayna gak rewel, kan?" tanya Lany. 

"Enggak, kok." Lany mengambil alih Shayna. Lalu, Karina berdiri. "Aku mau ke toilet dulu." 

Lany mengangguk, sedangkan Tante Mia hanya mendelik menatap Karina dengan tetap duduk di tempat Lany sebelumnya.

Nino memandangi punggung istrinya yang bergerak menjauh. Kemudian, ia beranjak untuk mengikuti Karina. 

Nino menunggu di depan toilet wanita. Sudah lebih dari lima menit ia berdiri di sana. Tak lama kemudian, Karina keluar. 

"Mas?"

Nino menoleh, lalu tersenyum. 

"Kamu ngapain di sini?" 

"Nungguin kamu." 

Karina terkekeh pelan. "Aku bukan anak kecil. Kenapa ke toilet aja harus ditungguin?" 

"Kamu baik-baik aja, kan?" 

Karina mengernyit. "Maksud kamu?" 

"Karena ucapan Tante Mia tadi." 

"Oh." Ekspresi Karina berubah sedikit murung mengingat hal itu. "Enggak apa-apa, kok." 

"Kamu mau jalan-jalan keluar?" Nino mengamati suasana di luar sana yang banyak pepohonan "Kayaknya di sekitar sini banyak tempat bagus." Nino mengulurkan tangan. "Ayo." 

Karina tersenyum seraya menyambut uluran tangan pria itu. Lalu, mereka berjalan keluar sambil bergandeng tangan. 

***

Karina menghalangi wajahnya dengan tangan saat menengadah, sinar matahari yang mengintip melalui celah-celah dedaunan yang cukup rimbun di atas sana, berkilauan ketika embusan angin menggerakkan dedaunan itu. 

Karina mendesah pelan setelah menurunkan pandangan. Mereka duduk di sebuah kursi kayu yang disediakan untuk para tamu yang ingin menikmati suasana di luar gedung. 

"Ada yang buat kamu gak nyaman?" tanya Nino. Ia meraih tangan Karina dan menggenggam dengan kedua tangannya. 

Karina menggeleng. "Mas, kamu akan tetap seperti ini sama aku, kan?" 

Nino mengernyit. "Kenapa pertanyaan kamu aneh begitu?" 

"Aku takut kamu berubah." Karina tiba-tiba terpikirkan hal itu dan seketika membuatnya takut.

Nino mencium punggung tangan Karina. "Justru aku takut kamu yang akan berubah. Aku takut kamu berpaling karena aku gak bisa memberikan apa yang paling kamu inginkan." 

"Mas, kita jangan bahas itu lagi. Kalau dibahas terus-menerus, kita bakal sering bertengkar." 

Nino membelai rambut Karina dengan penuh kasih sayang. "Oke."

Walaupun Karina tidak lagi mempermasalahkan hal itu, tetapi jauh di lubuk hatinya, Nino tidak menerima keadaannya sendiri. 

Mimpi Buruk

Nino meletakkan jeruk hangat di meja kerja Karina. Wanita itu sedang fokus pada layar komputernya, ia harus menyelesaikan konsep desainnya karena harus diserahkan besok. Biasanya ia tidak membawa pekerjaan ke rumah, tetapi pekerjaannya benar-benar harus selesai malam ini juga. 

"Aku udah siapin vitamin mata buat kamu." Nino meletakkan satu strip vitamin mata di sebelah jeruk hangatnya. 

Karina menurunkan kacamata untuk melihat lebih jelas obat yang diletakkan di meja. Ia menengadah menatap Nino. Lalu, menyunggingkan senyum. 

"Makasih, Mas."

Nino balas tersenyum, lalu mencium puncak kepala istrinya. Ia berjalan menuju ruang baca di sebelah ruang itu. Tak lama kemudian, pria itu kembali dengan sebuah buku. Nino duduk di sofa, belakang meja kerja Karina. Ia mengambil kacamata, memakainya, lalu mulai membaca. 

Waktu terus berputar dan beranjak semakin malam. Karina sudah merasakan matanya perih. Ia juga sudah menguap beberapa kali. Karina menoleh ke belakang, Nino masih fokus pada bukunya. 

"Mas, kalau kamu ngantuk, tidur duluan aja," ujar Karina. 

Nino mengangkat wajah, mengalihkan perhatian dari buku pada istrinya. "Aku belum ngantuk, kok." 

"Katanya besok harus ke Bandung pagi-pagi." 

Nino melirik jam dinding, sudah jam dua belas malam. 

"Masih ada waktu buat aku tidur."

"Aku sebentar lagi selesai, Mas." Karina dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak mau Nino harus menunggu lebih lama.

Satu jam kemudian, Karina menyelesaikan pekerjaannya. Ia merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. 

Karina menatap vitamin yang masih tergeletak di meja. Menyobek kemasan obat itu, lalu meminumnya. Karina menoleh ke belakang dan menemukan suaminya sudah terlelap dengan posisi duduk. 

Karina beranjak dari duduknya, menghampiri Nino, lalu duduk di sampingnya, ia mengambil buku yang berada di pangkuan pria itu. Karina membaca sampulnya, buku yang dibaca oleh suaminya selalu buku self-improvement atau buku-buku tentang bisnis dan manajemen. 

Selama ini, Karina belum pernah masuk ke ruang baca, karena memang tidak ada buku yang diminatinya. Ia belum tahu sebanyak apa koleksi buku milik Nino, karena setiap kali membaca, Nino pasti membawa buku yang berbeda. 

Karina menyimpan buku itu di meja, ia menatap sejenak wajah yang damai dalam tidurnya itu. Namun, semakin lama diperhatikan, ekspresi wajah Nino berubah gelisah. Tarikan napasnya semakin cepat dan terlihat tidak nyaman dalam tidurnya. 

Karina mengguncang lengan pria itu untuk membangunkannya. "Mas."

Nino masih belum terbangun, ia semakin terlihat ketakutan. Karina mencoba untuk membangunkan Nino lagi. "Mas Nino!"

Nino membuka mata seketika dengan napas yang terengah-engah. Ia menoleh pada Karina yang menatapnya khawatir. "Karin." 

"Kamu kenapa, Mas? Kamu mimpi buruk?" 

Tanpa menjawab pertanyaan Karina, Nino segera memeluk Karina sampai membuat wanita itu terkejut. Lalu, Karina membalas pelukan Nino untuk menenangkannya. 

***

"Kamu yakin mau berangkat, Mas?" tanya Karina dengan perasaan khawatir.

Nino sudah bersiap-siap. Ia sedang memakai kemejanya sekarang. 

"Aku gak bisa batalin perjalanan ke sana, Sayang." Nino berbalik untuk menatap Karina yang berdiri di belakangnya. "Kamu gak usah khawatir. Ini cuma perjalanan ke Bandung."

"Tapi kamu semaleman gak tidur, Mas. Gimana aku bisa tenang." 

Sejak terbangun dari mimpi buruknya, Nino tidak bisa tertidur lagi, rasa kantuk seolah menguap begitu saja. Sampai Karina terbangun, pria itu masih terjaga. 

Nino menghampiri Karina, lalu memeluknya. "Aku udah terbiasa, kok." 

Karina menatap Nino dengan raut wajah cemas. "Tapi …." 

"Aku janji pulang lebih cepat hari ini." 

"Kalau kamu ke Bandung yang ada selalu pulang malem."

Nino terkekeh pelan. "Makanya, kamu gak gak usah khawatir."

Karina membuang napas pelan sambil mempererat pelukannya. 

Di luar masih gelap, karena memang baru jam lima pagi. Karina mengantar Nino sampai teras, sejak tadi perasaannya tidak enak. Ia terus merapalkan jika tidak akan terjadi apa-apa pada Nino. 

"Hari ini gak apa-apa kan kamu naik taksi?" 

"Gak apa-apa, kok. Hati-hati di jalan ya, Mas. Kalau ngantuk, kamu lebih baik istirahat dulu sebentar." 

"Iya, Sayang." Nino mencium kening, kedua pipi, hidung dan bibir Karina. Hal yang selalu dilakukannya saat akan berangkat bekerja. "Aku berangkat, ya." 

Karina memaksakan senyum seraya mengangguk. Ia melambaikan tangan saat Nino melakukan hal yang sama sebelum melajukan mobilnya. Karina membuang napas berat, semoga saja memang tidak akan terjadi apa pun pada Nino. Karina berharap ini hanya kekhawatiran seorang istri yang memang alami terjadi jika suaminya akan bepergian cukup jauh.

Satu jam kemudian, Karina sudah bersiap untuk berangkat kerja. Ia melihat Mbak Tika yang sudah menyiapkan sarapan untuknya. Wanita itu datang tiga puluh menit yang lalu dengan membawa bahan makanan dalam kontainer yang siap masak. 

Nino tidak suka memotong sayuran sendiri, sejak sebelum menikah hingga sekarang. Karina sekali pun bahkan tidak diperkenankan. Semua bahan makanan hingga bumbu sudah dipotong dan dibuatkan oleh Mbak Tika sebelum dibawa ke rumah mereka.

Nino memanggil wanita paruh baya itu lagi setelah menikah, jika mencari asisten lain, ia tidak ingin menjelaskan lagi apa yang harus dan tidak boleh dilakukan di rumah ini. Karena sebelum menikah dengan Karina, Nino sempat tinggal di Bandung satu tahun dan selama itu, Mbak Tika diberhentikan bekerja di rumahnya. 

"Mbak."

"Iya, Non." 

"Mbak tahu gak alasannya Mas Nino gak pernah bolehin bawa sayuran utuh ke rumah? Kan bisa dipotong di sini terus masukin ke kontainer." Karina selalu penasaran dengan hal ini, tetapi ia baru bisa bertanya sekarang. "Kenapa dipotongnya harus di rumah Mbak? Aku mikirinnya aja ribet gitu lho."

"Saya dulu di kasih tahu Ibu, Non. Saya juga diingetin gak boleh sediain benda tajam di sini. Saya pernah bawa pisau diam-diam ke sini, ternyata ketahuan sama Ibu, saya dimarahin." 

"Hah?! Masa, sih?" Karina mengernyit keheranan. Ia segera beranjak dari duduknya dan memeriksa setiap laci di kitchen table-nya. Ia tidak menemukan pisau di mana pun, hanya ada satu buah gunting kecil dan pisau untuk mengoles selai yang tentu saja tumpul, tersimpan di pojok laci bagian bawah. Setelah enam bulan bersama, kenapa baru menyadari sekarang. Selama ini tidak memerhatikan karena Karina memang jarang sekali terjun ke dapur. Nino selalu melarangnya.

Itu sesuatu yang membuat Karina terheran-heran. Dan tentu saja, ia merasa ada kejanggalan. Mungkin, ia akan menanyakan tentang ini pada Nino nanti.

***

Sudah beberapa kali Karina mencoba menelepon Nino. Namun, tidak ada jawaban. Hal itu semakin membuat Karina khawatir. Biasanya saat jam istirahat, pria itu akan menelepon. Safira sampai terheran-heran melihat Karina yang kelimpungan. 

"Lo kenapa sih, Na? Dari tadi gue lihat gelisah banget," tanya Safira.

"Suami gue susah dihubungi," jawab Karina sambil terus mencoba menelepon Nino.

"Gue kira kenapa. Lagi sibuk mungkin." 

Karina membuang napas berat. "Dia pergi ke Bandung dalam keadaan gak tidur semaleman. Kalau dia ngantuk di jalan pas lagi nyetir, gimana? Gi-gimana kalau—"

"Sssttt … cukup, oke. Lo gak boleh racuni pikiran lo dengan hal-hal negatif kayak gitu. Yang ada lo makin khawatir dan gak karuan, Na." 

Karina mencoba untuk menenangkan diri dengan menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. 

"Dia baik-baik aja, oke. Suami lo lagi sibuk sekarang." 

"Oke." Karina mengangguk-angguk. "Mas Nino lagi sibuk. Mas Nino lagi sibuk." Karina terus mengulangi kata-kata itu beberapa kali. Safira sampai geleng-geleng kepala melihat sahabatnya yang baru kali ini terlihat segelisah itu.

Hari ini, Karina pulang lebih awal. Rasanya lega karena tidak ada pekerjaan yang harus dibawanya ke rumah. Ia mengecek ponsel, Nino masih tidak ada mengabari. Rasa khawatirnya kembali timbul. Kenapa sampai sekarang dia tidak mengabari juga. Apa dia tidak tahu jika di sini istrinya sudah kalang kabut. 

Karina mengetikkan pesan dan sekarang pesannya hanya centang satu, tanda ponselnya tidak aktif. Kekhawatirannya semakin memuncak, pikirannya semakin melayang ke mana-mana. Dan ketika di telepon, suara operator yang menyambutnya.

Sekarang, ia sedang dalam perjalanan menuju rumah. Semoga saja pria itu sudah tiba di rumah. Pikiran itu membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, tidak ada mobil yang terparkir di halaman rumah saat Karina sampai. Tandanya Nino belum pulang. Kedua bahunya merosot bersamaan, lalu ia masuk dengan keadaan tidak semangat. 

Karina menghempaskan tubuhnya di sofa. Detik berikutnya, ia melihat sesuatu di meja bawah TV. Kemudian, ia beranjak dan menemukan ponsel Nino di sana. 

Karina mendesah pelan. "Pantesan gak ada kabar. Handphone-nya ketinggalan. Mas, Mas, bisa-bisanya lupa bawa handphone." 

Pikiran Karina jadi sedikit lebih tenang, tetapi khawatir tetap ada. Ia berharap tidak terjadi apa-apa pada Nino. Karena ia tidak bisa menghubungi siapa pun untuk menanyakan kabarnya. 

***

Nino merasakan pusing dan mengantuk saat perjalanan pulang dari Bandung. Ia tetap menjaga fokusnya, ia tidak bisa memelankan laju kendaraan karena sedang berada di jalan tol. 

Nino juga tidak bisa menghubungi Karina, karena ponselnya tertinggal. Baru ingat saat sampai di Bandung. Wanita itu pasti khawatir dan saat sampai nanti pasti dirinya akan kena omel. Nino tersenyum saat membayangkan Karina mengomel karena keteledoran dirinya yang lupa membawa handphone. 

Ia tidak pernah merasa kesal walau sebanyak apa pun Karina mengomel. Ia hanya akan meminta maaf jika dirinya salah dan akan membenarkan jika dirinya benar. 

Beberapa saat kemudian, Nino merasa lega saat dirinya sampai di rumah. Walau harus memakan waktu lebih lama karena sempat istirahat terlebih dahulu. Janjinya pulang lebih awal tidak bisa ditepati olehnya. Ia baru tiba saat jam sepuluh malam. 

Nino masuk ke rumah dan keadaan di dalamnya sudah sepi, tetapi begitu berjalan mendekat ke arah ruang keluarga. Ia mendengar sayup-sayup suara TV dan ternyata benda itu masih menyala. Karina sendiri tertidur di sofa. 

Nino duduk berlutut di depan sofa. Memerhatikan wajah istrinya yang terlelap, ia pasti menunggunya pulang. Tangannya terangkat untuk membelai wajah Karina. 

Karina membuka mata saat merasakan sesuatu di wajahnya. Pandangannya sedikit mengabur, karena rasa kantuk yang teramat sangat. Namun, ia yakin jika itu Nino. 

"Mas, aku khawatir lho sama kamu. Kamu gak ada kabar seharian, ternyata gak bawa handphone. Kamu teledor banget, sih," omel Karina setengah sadar. Matanya sambil kembali terpejam saat berbicara. 

Nino tersenyum. "Lagi tidur aja kamu masih bisa ngomel. Pindah ke kamar yuk tidurnya." 

Karina melenguh—menolak ajakan Nino untuk pindah tempat tidur—ia malah beralih posisi membelakangi Nino. Ya, kalau sudah begini, ia sendiri yang akan memindahkannya ke kamar.

Malam semakin larut, Nino duduk bersandar di dipan dengan ditemani cahaya temaram dari lampu tidur. Matanya tidak bisa terpejam karena teringat mimpi buruk semalam. Ia takut mimpi itu akan menghantuinya lagi. 

Nino membuang napas pelan. Ia tidak mengerti kenapa mimpi itu hadir kembali setelah sekian lama hilang. Ia merasakan kembali ketakutan dan rasa sakit itu. Ia khawatir hal itu akan merenggut ketenangannya dan hidup dalam ketakutan lagi seperti dulu. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!