Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu, membasahi jalanan yang sudah penuh dengan genangan air. Suara klakson kendaraan bercampur dengan gemuruh petir yang sesekali menggelegar. Di tengah hiruk pikuk kota, seorang perempuan muda berjalan terhuyung-huyung di trotoar, menggigil kedinginan dengan seorang bayi dalam gendongannya. Tubuhnya yang kurus terbungkus pakaian tipis yang sudah basah kuyup, dan matanya terus waspada, seperti seorang pelarian yang tak tahu ke mana harus pergi.
Itulah Arini.
Tepat di bawah lampu jalan yang berkelap-kelip, sebuah mobil sedan hitam berhenti perlahan. Kaca jendela mobil turun, menampilkan wajah seorang pria dengan setelan jas rapi. Wajahnya serius, tapi matanya tajam, seperti menilai sesuatu dengan seksama.
“Permisi,” panggil pria itu, suaranya terdengar tegas meski tak terlalu keras.
Arini berhenti, menatap pria itu dengan waspada. Bayi yang digendongnya mulai merengek pelan, membuatnya semakin gelisah.
“Ya?” balas Arini, nada suaranya penuh kehati-hatian.
“Sedang apa kau di sini malam-malam begini? Dengan bayi pula,” tanya pria itu.
Arini menggigit bibirnya. Dia tidak ingin berbicara dengan pria asing, apalagi di malam seperti ini. Tapi tatapan pria itu tidak seperti yang lain—bukan tatapan jijik atau penuh nafsu seperti yang biasa ia terima. Ada rasa ingin tahu di matanya, bahkan mungkin sedikit rasa iba.
“Saya... sedang mencari tempat berteduh,” jawab Arini singkat, memalingkan wajahnya.
Pria itu menghela napas, lalu membuka pintu mobilnya. “Masuklah. Kau tidak akan bertahan lama di luar seperti ini.”
Arini melangkah mundur. “Saya tidak kenal Anda, Pak. Saya tidak bisa begitu saja menerima bantuan.”
“Saya tidak sedang menawarkan bantuan tanpa alasan. Namaku Rangga Tanaya. Mungkin kau pernah mendengarnya,” ujarnya.
Nama itu langsung menyentak kesadaran Arini. Siapa yang tidak tahu Rangga Tanaya? Pengusaha sukses sekaligus politisi yang sering muncul di berita. Pria ini berdiri di puncak dunia, sementara dirinya... hanya seorang perempuan dengan masa lalu yang kotor.
“Apa maumu?” tanya Arini, mencoba terdengar tegar meski hatinya berdegup kencang.
“Aku hanya ingin membantu,” jawab Rangga dengan nada yang tenang. “Kau terlihat seperti seseorang yang butuh pertolongan. Anak itu juga.”
Bayi di gendongan Arini mulai menangis lebih keras. Dengan panik, Arini mengayun-ayunkan tubuhnya mencoba menenangkan si kecil, tapi tangisannya justru semakin menjadi.
“Setidaknya biarkan aku membawamu ke tempat yang lebih aman. Ada anak di tanganmu. Kau tahu ini bukan tempat yang baik untuknya,” Rangga menambahkan, suaranya lebih mendesak.
Hati Arini terhimpit oleh rasa bersalah. Dia tahu Rangga benar. Bayinya tak pantas berada di tengah hujan dan dinginnya malam.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Arini mengangguk pelan. “Baiklah.”
Dia masuk ke dalam mobil, tubuhnya gemetar saat duduk di kursi penumpang. Rangga mengambil mantel dari jok belakang dan memberikannya padanya. “Gunakan ini. Kau akan sakit kalau terus basah seperti itu.”
“Terima kasih,” gumam Arini lirih, membungkus tubuhnya dan bayinya dengan mantel yang hangat.
Mobil melaju pelan melewati jalan-jalan Jakarta yang masih ramai meski malam semakin larut. Selama beberapa menit, hanya suara hujan yang terdengar. Rangga sesekali melirik ke arah Arini, tapi dia tidak ingin memaksanya berbicara.
“Siapa namamu?” Rangga akhirnya bertanya.
“Arini,” jawabnya tanpa banyak ekspresi.
“Dan bayi itu?”
Arini terdiam sejenak sebelum menjawab. “Namanya Kirana.”
“Dia anakmu?”
Pertanyaan itu membuat Arini tertegun. Dia menatap Kirana yang kini sudah tertidur lelap di pelukannya. “Iya,” jawabnya singkat, meski ada keraguan di suaranya.
Rangga menangkap keraguan itu, tapi dia memilih untuk tidak menekannya lebih jauh. “Kau punya tempat untuk tinggal?”
Arini menggeleng. “Tidak ada.”
“Bagaimana dengan keluargamu?”
Mata Arini berkaca-kaca, tapi dia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Saya tidak punya keluarga lagi.”
Rangga terdiam, mencoba memahami situasinya. “Kalau begitu, kau bisa tinggal sementara di rumahku. Setidaknya sampai kau menemukan tempat lain.”
Arini menoleh cepat, matanya membelalak. “Apa? Tidak, saya tidak bisa...”
“Kau bisa,” potong Rangga dengan tegas. “Aku menawarkan ini bukan karena kasihan. Aku melihat potensi dalam dirimu. Kau hanya butuh kesempatan.”
“Kau tidak tahu apa-apa tentang aku,” gumam Arini, nadanya penuh kepahitan.
“Kau benar. Tapi aku melihat sesuatu dalam dirimu yang menarik perhatianku,” balas Rangga, menatapnya dengan serius. “Aku tidak percaya seseorang dengan wajah seindah itu dibiarkan menderita seperti ini. Apa pun masa lalumu, aku yakin kau pantas mendapatkan lebih.”
Arini hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata Rangga terasa tulus, tapi juga menusuk.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar yang megah, jauh dari kebisingan kota. Pagar tinggi dan taman yang tertata rapi membuat rumah itu tampak seperti istana kecil.
“Ini rumahku,” kata Rangga, membuka pintu mobil.
Arini turun dengan ragu, memeluk Kirana erat-erat. “Apa kau yakin ini ide yang baik?”
“Aku tidak menawarkan sesuatu yang aku tidak yakin,” jawab Rangga. Dia membuka pintu rumah dan mempersilakan Arini masuk.
Di dalam, hangatnya suasana rumah langsung menyelimuti tubuh Arini yang kedinginan. Interiornya mewah, dengan lampu kristal dan lantai marmer yang berkilauan. Namun, lebih dari segalanya, ada perasaan aman yang menenangkan.
Seorang wanita paruh baya, yang tampaknya seorang pelayan, muncul dari dapur. “Pak Rangga, Anda sudah pulang. Siapa ini?”
“Ini Arini dan anaknya, Kirana. Siapkan kamar untuk mereka,” perintah Rangga.
Pelayan itu tampak terkejut, tapi dia segera mengangguk. “Baik, Pak.”
Saat pelayan pergi, Rangga menoleh ke Arini. “Istirahatlah malam ini. Kita bicarakan semuanya besok.”
Arini mengangguk pelan, terlalu lelah untuk membantah. “Terima kasih, Pak Rangga.”
Rangga tersenyum tipis. “Sebut saja Rangga.”
Malam itu, saat Arini berbaring di kasur empuk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, ia merasa campuran antara syukur dan takut.
...****************...
Matahari pagi menembus celah tirai jendela kamar, menciptakan pola bayangan di dinding. Arini membuka matanya perlahan. Sudah hampir seminggu sejak Rangga membawanya dan Kirana ke rumah megah ini. Kehangatan yang ia rasakan di tempat ini seperti sesuatu yang hanya ada dalam mimpi. Ia mengalihkan pandangannya ke bayi kecil di sampingnya, Kirana, yang masih terlelap. Hati Arini mencelus penuh syukur.
Terdengar ketukan di pintu. “Bu Arini, sarapan sudah siap,” suara pelayan memanggil dari balik pintu.
Arini bangkit, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia berjalan keluar sambil menggendong Kirana yang baru saja terbangun.
Di meja makan, Rangga sudah duduk sambil membaca koran pagi. Saat melihat Arini datang, ia melipat korannya dan tersenyum. “Pagi, Arini. Bagaimana tidurmu semalam?”
“Baik, Pak Rangga. Terima kasih,” jawab Arini, duduk perlahan.
“Panggil aku Rangga saja. Aku bukan atasanmu, kita tidak perlu terlalu formal,” katanya sambil tersenyum tipis.
Arini mengangguk. “Baik, Rangga.”
Rangga menatap bayi di pelukan Arini. “Kirana terlihat sehat. Dia cukup tenang, ya?”
Arini tersenyum sambil membelai kepala Kirana. “Iya, dia jarang rewel. Dia yang membuatku tetap kuat sampai sekarang.”
Rangga mengangguk, lalu berkata dengan nada serius, “Arini, aku ingin bicara sesuatu yang penting denganmu.”
Arini berhenti menyuapi Kirana dengan botol susu. “Apa itu, Rangga?”
Rangga menghela napas, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. “Aku tahu kehidupanmu sebelum ini tidak mudah. Aku tidak tahu semua detailnya, tapi aku tidak peduli tentang masa lalumu. Yang aku tahu, kau adalah perempuan yang kuat, dan aku menghormatimu karena itu.”
Arini menunduk, merasa malu. “Rangga, aku tidak pantas mendapatkan semua ini. Kau sudah terlalu baik padaku dan Kirana. Aku hanya perempuan biasa, dengan masa lalu yang... kelam.”
“Kita semua punya masa lalu,” potong Rangga dengan lembut. “Yang penting adalah bagaimana kita memilih untuk melangkah ke depan. Aku tidak ingin melihatmu merasa rendah diri. Dan karena itu, aku punya satu permintaan.”
“Permintaan?” Arini menatapnya bingung.
Rangga menegakkan tubuhnya dan menatap Arini dengan serius. “Arini, aku ingin kau menikah denganku.”
Arini membelalakkan matanya, terkejut dengan kata-kata itu. “Apa? Kau... kau bercanda, kan?”
“Aku serius,” jawab Rangga tegas. “Aku sudah memikirkannya dengan matang. Aku tahu ini mendadak, tapi aku tidak ingin kau hidup dengan perasaan tak berdaya. Aku ingin memberikanmu dan Kirana kehidupan yang lebih baik. Aku juga ingin menjadi ayah bagi Kirana.”
Arini terdiam, hatinya campur aduk. Ia menatap Kirana yang tenang dalam gendongannya. Pikiran tentang masa lalunya kembali menghantui.
“Tapi... bagaimana kalau orang-orang tahu tentang masa laluku? Kau seorang yang terhormat, Rangga. Pernikahan kita hanya akan membawa masalah bagimu,” kata Arini dengan nada pelan.
“Biarkan aku yang mengurus semuanya,” kata Rangga tanpa ragu. “Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Aku hanya peduli pada apa yang benar. Dan menurutku, ini adalah hal yang benar untuk kita semua.”
Air mata menggenang di mata Arini. “Kenapa kau melakukan ini, Rangga? Aku tidak pernah melakukan apa pun untuk pantas mendapatkan ini.”
“Kau membawa Kirana ke dunia ini, itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa kau berjuang. Aku ingin memberikan kesempatan padamu, Arini. Dan aku yakin, dengan waktu, kau juga bisa menerima aku apa adanya.”
Arini terdiam beberapa saat, merenungkan tawaran itu. Dalam hatinya, ia tahu Rangga tulus.
“Baiklah,” akhirnya Arini berkata pelan, hampir seperti bisikan. “Aku menerima tawaranmu.”
Rangga tersenyum lega. “Kau tidak akan menyesal, Arini. Aku akan memastikan kalian bahagia.”
***
Hari pernikahan berlangsung sederhana, hanya dihadiri oleh beberapa orang dekat Rangga. Tidak ada kemewahan seperti pesta-pesta sosialita, tetapi kehangatan dan ketulusan terasa begitu nyata. Setelah resmi menjadi istri Rangga, Arini merasa seperti mimpi.
Kirana tumbuh besar di bawah asuhan Rangga dan Arini. Rangga memperlakukan Kirana seperti putri kandungnya sendiri. Ia selalu ada di saat Kirana membutuhkan, bahkan lebih dari yang pernah Arini harapkan.
“Papa, lihat! Aku bisa menulis namaku sendiri!” seru Kirana suatu hari, menunjukkan buku catatan kecilnya kepada Rangga.
Rangga tersenyum lebar. “Wah, Kirana pintar sekali! Ayo, tunjukkan lagi ke Mama.”
Arini, yang sedang menyiapkan makan malam, menoleh dan tersenyum hangat. “Kirana, kamu hebat sekali!”
Kirana berlari kecil ke pelukan Arini, sementara Rangga berdiri di belakang mereka, memperhatikan dengan perasaan penuh bangga. Kehidupan mereka kini dipenuhi kebahagiaan sederhana yang tak ternilai.
***
Suatu malam, ketika Kirana sudah tidur, Rangga dan Arini duduk di ruang tamu. Mereka menikmati secangkir teh bersama.
“Rangga,” panggil Arini, menatapnya dengan mata penuh rasa syukur. “Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas semua yang telah kau lakukan untukku dan Kirana.”
“Kau tidak perlu membalas apa pun, Arini,” kata Rangga sambil memegang tangannya. “Melihat kalian bahagia sudah cukup bagiku.”
Arini tersenyum, tapi ia juga merasa perlu berkata jujur. “Aku tahu aku bukan istri yang sempurna, dan aku tahu masa laluku kadang masih menghantui... tapi aku ingin kau tahu, aku benar-benar bersyukur atas kehadiranmu dalam hidupku.”
Rangga menggenggam tangan Arini erat. “Arini, aku menerima dirimu apa adanya. Masa lalu tidak akan mengubah apa yang kurasakan. Yang penting adalah masa depan yang kita bangun bersama.”
Malam itu, Arini merasa beban di hatinya seolah terangkat. Ia tahu, dengan Rangga di sisinya, ia memiliki kesempatan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya. Dan ia berjanji dalam hati, tidak akan mengecewakan pria yang telah memberinya kehidupan kedua.
Kehidupan mereka terus berjalan dengan penuh kasih sayang. Kirana tumbuh menjadi anak yang ceria dan cerdas, berkat cinta tanpa syarat dari Rangga dan Arini.
***
Kirana berdiri di depan meja makan, matanya berbinar penuh semangat. Ia memegang sebuah amplop yang baru saja datang dari kampus impiannya di luar negeri. Dengan senyuman lebar, ia menyerahkan amplop itu kepada Rangga dan Arini yang sedang duduk di meja makan.
“Papa, Mama! Aku diterima di universitas impianku!” seru Kirana, hampir melompat kegirangan.
Rangga menatap amplop itu, membuka perlahan, dan membaca surat penerimaan dengan hati-hati. Senyum bangga menghiasi wajahnya. “Selamat, Kirana! Aku tahu kamu bisa melakukannya,” katanya sambil mengangguk puas.
Arini, yang sedang memotong buah, langsung memeluk putrinya. “Mama bangga sekali sama kamu, Nak. Akhirnya mimpi kamu jadi kenyataan.”
“Terima kasih, Papa, Mama. Ini semua berkat dukungan kalian,” jawab Kirana dengan mata berkaca-kaca.
“Kita akan pastikan semua persiapan kuliahmu lancar,” tambah Rangga sambil menyentuh pundak Kirana dengan lembut. “Aku akan urus biaya dan semuanya, jadi kamu tidak perlu khawatir.”
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Tiga hari setelah kabar gembira itu, badai datang menghantam keluarga Tanaya.
***
Hari itu, suara sirene polisi dan mobil berlogo KPK memenuhi halaman depan rumah mereka. Arini, yang sedang berada di dapur, langsung berlari ke ruang tamu ketika mendengar suara gaduh dari luar.
“Ada apa ini?” tanya Arini panik, melihat beberapa petugas KPK masuk ke rumah mereka.
Di ruang kerja, Rangga berdiri dengan wajah tenang meski matanya terlihat lelah. Seorang petugas KPK mendekatinya dan menyerahkan surat penangkapan. “Tuan Rangga Tanaya, Anda kami tangkap atas dugaan penggelapan dana proyek infrastruktur senilai dua ratus miliar rupiah. Anda diminta untuk bekerja sama dalam penyelidikan.”
Rangga menghela napas panjang. “Baik, saya akan ikut,” katanya dengan suara rendah, tanpa perlawanan.
“Papa!” Kirana berteriak dari tangga, melihat petugas KPK memborgol ayahnya. Ia berlari mendekat, matanya penuh air mata. “Apa yang terjadi? Kenapa Papa ditangkap? Ini pasti salah paham, kan?”
Rangga berjongkok untuk berada setinggi Kirana. Meski tangannya sudah diborgol, ia mencoba tersenyum. “Papa baik-baik saja, Kirana. Ini hanya kesalahpahaman. Papa yakin semuanya akan selesai dengan cepat.”
Arini, yang berdiri terpaku di pintu, tidak bisa berkata apa-apa. Dadanya terasa sesak, seperti dunia runtuh di hadapannya. Ia berusaha menguatkan diri dan mendekat ke Rangga. “Rangga, apa ini benar? Apa mereka salah?” tanyanya dengan suara bergetar.
Rangga menatap istrinya, mencoba meyakinkan. “Arini, aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Tapi aku akan menghadapinya. Jaga Kirana, ya?”
“Papa, aku ikut ke kantor polisi! Aku tidak akan membiarkan Papa pergi sendirian!” Kirana memohon, mencoba memegang tangan Rangga yang sudah diborgol.
“Tidak, Nak,” Rangga berkata dengan lembut namun tegas. “Kamu harus tetap di sini, bersama Mama. Papa butuh kalian untuk kuat.”
Petugas KPK kemudian menggiring Rangga ke luar rumah. Kirana dan Arini hanya bisa berdiri di depan pintu, menyaksikan suami dan ayah yang mereka cintai dibawa pergi dengan mobil hitam. Tangisan Kirana pecah begitu mobil itu menghilang dari pandangan.
Pagi itu mendung, dan udara terasa berat. Di luar rumah megah keluarga Tanaya, beberapa kendaraan hitam dengan logo pemerintah terparkir berjajar. Beberapa petugas berseragam sedang berbincang dengan tegas, membawa dokumen dan peralatan. Di dalam rumah, suasana tidak kalah tegang.
Arini duduk di sofa ruang tamu dengan wajah pucat, tangannya memegang erat tangan Kirana, yang kini sudah remaja. Kirana berusaha menahan tangisnya, tetapi air mata mengalir tanpa ia sadari.
“Mah, apa benar Papa akan dipenjara?” tanya Kirana dengan suara bergetar. Matanya memandang Arini dengan harapan mendapatkan jawaban yang bisa menenangkan.
Arini tidak bisa langsung menjawab. Tenggorokannya seperti tercekat. Ia mengalihkan pandangan ke jendela, melihat petugas yang sudah mulai bersiap untuk masuk ke rumah. “Mama juga tidak tahu, Kirana. Tapi kita harus kuat. Papa pasti tidak bersalah.”
“Kalau begitu, kenapa mereka datang ke sini?” Kirana mulai terisak. “Ini rumah kita! Mereka tidak boleh mengambilnya!”
Belum sempat Arini menenangkan Kirana, suara ketukan keras di pintu terdengar. Seorang petugas, pria berseragam dengan wajah tanpa ekspresi, berdiri di ambang pintu bersama beberapa rekannya.
“Maaf, Bu. Kami datang atas perintah pengadilan untuk melakukan penyitaan aset terkait kasus penggelapan dana yang melibatkan suami Anda, Bapak Rangga Tanaya,” ucap petugas dengan nada formal.
Arini berdiri, mencoba menjaga wibawanya meskipun hatinya hancur. “Ini pasti salah paham! Suami saya tidak bersalah. Kalian tidak punya hak untuk mengambil rumah ini!”
“Bu, kami hanya menjalankan tugas. Semua aset yang terkait atas nama Bapak Rangga Tanaya telah disita oleh negara untuk keperluan penyelidikan. Mohon kerja samanya,” jawab petugas tegas, sambil menyerahkan surat keputusan pengadilan.
Arini membaca surat itu dengan tangan bergetar. Rasanya seperti dunia runtuh di hadapannya.
“Kami akan memberi waktu dua jam untuk Ibu dan putri Anda mengemasi barang-barang pribadi. Setelah itu, rumah ini harus kami kosongkan,” lanjut petugas itu tanpa ragu.
“Dua jam?!” seru Kirana tiba-tiba. Ia berdiri dari sofa, matanya penuh amarah dan air mata. “Kalian tidak tahu apa-apa! Papa tidak bersalah! Kalian tidak berhak mengusir kami!”
Arini menarik Kirana ke belakang, mencoba menenangkannya. “Kirana, tenang, Nak. Jangan seperti ini.”
“Tapi, Bu! Mereka mengambil semuanya! Kita tidak punya tempat lain!” tangis Kirana meledak.
Petugas hanya diam, membiarkan mereka meluapkan emosi. Beberapa rekan mereka mulai memeriksa rumah, memotret dan mencatat barang-barang yang akan disita.
Di kamar, Arini mulai mengemasi barang-barang. Tangannya gemetar saat ia mengambil bingkai foto keluarga dari meja. Dalam foto itu, Rangga tersenyum hangat, memeluk Arini dan Kirana yang masih kecil. Air matanya jatuh tanpa henti.
“Bu...” suara lirih Kirana terdengar dari belakang. Gadis itu berdiri di pintu kamar, memegang boneka kesayangannya. “Kalau kita pergi, ke mana kita akan tinggal?”
Arini berbalik dan memeluk putrinya erat. “Mama tidak tahu, Nak. Tapi kita akan melewati ini bersama. Kita harus percaya, Papa akan segera pulang dan semuanya akan kembali seperti semula.”
Kirana menggeleng dalam pelukan Arini. “Tapi, Bu... bagaimana kalau Papa tidak pernah kembali?”
“Jangan bilang begitu,” kata Arini tegas, meskipun hatinya juga dipenuhi ketakutan yang sama. “Papa adalah orang baik. Dia akan pulang. Kita hanya perlu bersabar.”
Dua jam berlalu dengan cepat. Petugas mulai membawa barang-barang keluar rumah, termasuk perabotan mewah dan karya seni yang menghiasi dinding. Arini dan Kirana hanya bisa berdiri di depan rumah, menyaksikan semuanya dengan perasaan tak berdaya.
“Mereka bahkan mengambil piano Kirana!” Arini berseru, tidak lagi bisa menahan emosinya.
“Bu, ini sudah perintah pengadilan. Semua aset yang bernilai harus disita,” jawab salah satu petugas dengan nada datar.
Kirana berlari ke arah piano yang sedang diangkat oleh dua petugas. “Jangan ambil itu! Itu hadiah dari Papa! Itu milik saya!” teriaknya sambil mencoba mendorong mereka.
Petugas menghentikan langkahnya sejenak, tetapi tetap melanjutkan pekerjaannya. Arini segera menarik Kirana ke belakang.
“Maafkan dia,” kata Arini kepada petugas. “Dia hanya... kesal.”
Petugas mengangguk dan pergi tanpa berkata-kata.
Kirana memeluk Arini erat, menangis tanpa suara. “Bu, kenapa semua ini terjadi? Kenapa kita harus kehilangan semuanya?”
Arini mengusap rambut Kirana, mencoba menenangkannya meskipun hatinya juga hancur. “Mama tidak tahu, Kirana. Tapi kita harus tetap kuat, untuk Papa, untuk kita berdua. Kita akan menemukan cara untuk memulai lagi.”
***
Menjelang sore, rumah besar yang dulu penuh dengan kehidupan kini kosong dan sunyi. Hanya tersisa beberapa koper yang berisi barang-barang pribadi Arini dan Kirana. Petugas terakhir menutup pintu utama, mengunci rumah itu dengan segel pemerintah.
“Mari, Bu. Kami akan mengantar Anda ke tempat sementara,” kata salah satu petugas dengan nada lebih lembut.
Arini memegang tangan Kirana dan mengangguk pelan. Mereka menaiki mobil sederhana yang telah disediakan untuk mereka. Selama perjalanan, Kirana hanya diam, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong.
“Bu,” kata Kirana tiba-tiba, suaranya hampir berbisik. “Apa kita akan baik-baik saja tanpa Papa?”
Arini menggenggam tangan putrinya erat. “Kita harus percaya, Kirana. Papa ingin kita tetap kuat, tidak peduli apa yang terjadi.”
Kirana mengangguk pelan, meskipun matanya masih dipenuhi kesedihan.
Setibanya di rumah kecil yang telah disediakan sementara, suasana semakin terasa mencekam. Rumah itu jauh berbeda dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Dindingnya kusam, perabotannya sederhana, dan lokasinya berada di pinggiran kota.
“Ini rumah kita sekarang?” tanya Kirana dengan nada penuh ketidakpercayaan.
Arini mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. “Iya, Nak. Sementara saja, sampai semuanya membaik.”
Kirana berjalan masuk dengan langkah pelan, melihat sekeliling ruangan kecil itu. “Papa pasti sedih kalau melihat kita seperti ini.”
Arini menahan air mata, lalu memeluk Kirana dari belakang. “Papa hanya ingin kita bahagia, Kirana. Kita harus bertahan, untuknya.”
Malam itu, mereka tidur di kamar sempit yang hanya memiliki satu tempat tidur. Kirana memeluk Arini erat, seperti mencari rasa aman yang hilang.
Hari itu menjadi awal dari kehidupan baru mereka kehidupan yang penuh perjuangan dan ketidakpastian, tetapi juga penuh harapan bahwa suatu saat, mereka akan kembali menemukan kebahagiaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!