Amara memandang Bima dari ujung meja, merasakan keheningan yang menyelimuti mereka. Makan malam yang ia persiapkan dengan sepenuh hati terasa hampa. Di hadapannya, Bima makan dengan cepat, sesekali mengangkat wajahnya, namun lebih sering menunduk, fokus pada piringnya. Mata Amara tertuju pada wajah Bima yang terlihat lelah—garis di wajahnya semakin dalam, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul setiap harinya.
> "Kapan terakhir kita makan bareng tanpa terburu-buru, ya?" tanya Amara, mencoba membuka percakapan meski ia tahu betapa klise pertanyaan itu.
Bima mengangkat kepalanya, tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia berhenti sejenak, menatap Amara, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa menjawab.
Amara bisa merasakan ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Semakin lama ia menunggu, semakin sering ia mendapati dirinya menatap ponsel, berharap Bima akan memberi kabar bahwa ia akan pulang lebih awal, atau bahkan hanya memberi kabar sejenak di tengah malam. Tapi yang ada, Bima justru tenggelam dalam dunia kerjanya, seakan Amara adalah bagian dari rutinitas yang bisa ditunda.
Bima akhirnya menyelesaikan makan malamnya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Ia menatap layar sejenak, seakan menunggu sesuatu. Ketika melihat Amara yang masih menatapnya dengan pandangan lembut namun penuh pertanyaan, Bima kembali menaruh ponselnya, tampak sedikit canggung.
> "Amara, aku cuma… banyak yang harus diselesaikan besok," katanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Besok aku janji, kita bisa jalan-jalan bareng. Aku mau coba lebih sering ada di rumah."
Amara tersenyum tipis, meski hatinya sedikit terluka. Ini bukan pertama kalinya Bima berjanji akan lebih banyak meluangkan waktu. Setiap kali janji itu terucap, selalu ada alasan lain yang menghalanginya. Mungkin pekerjaan, atau ada urusan bisnis yang tak bisa ditunda.
> "Aku ngerti kok," jawab Amara pelan, meski ia tahu seiring berjalannya waktu, janji-janji itu semakin terasa seperti kata-kata kosong. "Aku cuma nggak mau kita makin jauh aja. Jangan sampai kita kehilangan satu sama lain karena sibuk."
Bima diam, lalu menatap Amara, seolah meresapi kata-katanya. Tapi, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ia hanya menghela napas dan berdiri untuk mencuci tangan.
Di ruang tamu, suasana mulai sunyi. Amara duduk di sofa, memandangi televisi yang tak ia tonton. Pikirannya melayang, teringat pada hari-hari ketika Bima masih pulang lebih awal, masih sempat berbicara panjang lebar tentang apa yang terjadi di hari itu. Kehidupan mereka dulu terasa lebih hidup, lebih penuh tawa, lebih dekat. Tapi sekarang, semuanya terasa seperti rutinitas yang harus dijalani tanpa ada ruang untuk berbagi perasaan.
Amara meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Ia menemukan foto-foto lama mereka, waktu mereka berdua berlibur di pantai, tertawa lepas tanpa beban. Bima yang menggenggam tangannya erat, berjanji akan selalu ada. Foto itu mengingatkannya pada janji-janji yang dulu mereka buat, dan ia merasakan ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa ia sentuh, namun begitu nyata.
Sementara itu, Bima keluar dari kamar mandi dan duduk di samping Amara. Ada rasa canggung di antara mereka, meskipun mereka sudah bersama bertahun-tahun. Ia melihat Amara yang masih menatap ponselnya, seakan menghindari tatapannya.
> "Amara…" Bima memulai, suara rendah namun penuh penyesalan. "Aku nggak ingin kamu merasa terabaikan, aku cuma… terlalu fokus dengan pekerjaan."
Amara menoleh ke arah Bima, melihat tatapan penuh kekhawatiran di matanya. Untuk sesaat, ia merasakan kehangatan itu kembali, tapi ia tahu perasaan itu tak bisa disembuhkan dengan kata-kata belaka.
> "Aku tahu, Bim," jawab Amara, suaranya lembut. "Aku cuma takut kalau kita mulai kehilangan arah. Semua janji-janji itu… apakah kita masih bisa menjaga semuanya?"
Bima menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Aku berjanji akan lebih baik lagi, Amara. Kamu nggak perlu khawatir."
Tapi kata-kata itu terasa kosong, dan Amara tahu, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa takut bahwa janji itu tidak akan pernah terwujud. Mereka berdua terdiam, menatap satu sama lain tanpa kata-kata, dalam kesunyian yang semakin dalam.
Di luar sana, kehidupan terus berjalan, namun di dalam rumah mereka, sepasang suami istri ini berjuang untuk menemukan kembali jejak cinta yang mulai terhapus oleh waktu dan ambisi.
Amara duduk di sana, menatap ponselnya dengan mata kosong. Waktu terus berjalan, tetapi rasa sepi itu tak juga pergi. Sejak pernikahan mereka berjalan, ia merasa seperti hanya ada dua dunia yang berbeda di dalam rumah ini—dunia Bima, yang dipenuhi dengan pekerjaan, kesuksesan, dan ambisi, dan dunia dirinya sendiri, yang sepi tanpa perhatian, tanpa ada waktu untuk berbicara lebih dalam tentang kehidupan mereka.
Pernikahan mereka, yang dulu terasa begitu sempurna, kini terasa seperti rutinitas yang tak berujung. Setiap pagi Bima berangkat ke kantor dengan penuh semangat, dan setiap malam ia pulang, lelah dan hanya ingin tidur. Amara tahu Bima mencintainya, tapi rasa cinta itu seakan terkubur dalam tumpukan pekerjaan yang semakin menggunung.
Amara ingin berbicara lebih banyak, ingin mengungkapkan perasaannya yang tertahan. Namun setiap kali ia mencoba, Bima selalu tampak terlalu sibuk. Ia merasa seperti bayangan dalam kehidupan suaminya—ada, tapi tidak sepenuhnya ada. Ia ingin Bima kembali melihatnya, ingin kembali merasakan kehangatan yang dulu ada di antara mereka. Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa bahwa mungkin ia yang harus mengubah dirinya sendiri untuk bisa bertahan dalam hubungan ini.
Pikiran Amara pun terus berlarian. Ia tahu, seiring dengan semakin seringnya Bima bekerja, semakin besar kemungkinan bagi perasaan lain untuk muncul dalam kehidupan suaminya. Ia tak ingin mengakui, tetapi ketakutan itu ada di dalam dirinya. Tak ada yang lebih menakutkan daripada membiarkan jarak semakin lebar antara mereka. Apalagi jika Bima mulai merasa lebih nyaman dengan orang lain. Amara sudah mendengar cerita-cerita tentang bagaimana suami yang sibuk akhirnya terjebak dalam hubungan dengan orang luar.
Di saat itulah, sebuah pesan masuk ke ponsel Amara. Ia mengangkatnya dengan cepat, berharap itu dari Bima, namun ternyata itu adalah pesan dari salah satu temannya.
> "Amara, ada kabar baru. Sekar baru mulai bekerja di perusahaan Bima, kan? Aku dengar dia bukan hanya pintar, tapi juga sangat ambisius. Jangan-jangan dia jadi favorit Bima sekarang…"
Amara membacanya berulang-ulang. Sekar? Siapa lagi dia? Baru saja beberapa hari lalu, Amara mendengar dari salah satu kolega Bima bahwa Bima baru saja merekrut seorang sekretaris baru yang berbakat dan sangat ambisius. Amara tidak terlalu memikirkannya pada awalnya, tetapi saat ini, pesan tersebut membuatnya merasa gelisah. Mengapa orang itu menyebut Sekar sebagai "favorit" Bima? Apa maksudnya?
Amara menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, dalam dunia kerja Bima yang penuh persaingan dan ambisi, banyak orang yang memiliki cara untuk mendapatkan perhatian. Namun, apakah Sekar benar-benar hanya sekadar sekretaris biasa?
Setiap pertanyaan itu mulai berputar dalam benaknya, meresap lebih dalam dari sebelumnya. Mungkin ia mulai khawatir lebih dari yang seharusnya, namun semakin ia berpikir, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa Bima tak pernah bercerita tentang Sekar lebih jauh? Kenapa ia tak pernah memberi tahu Amara tentang hubungan profesional mereka?
Amara memutuskan untuk menenangkan pikirannya. "Mungkin hanya khawatir berlebihan," katanya dalam hati, berusaha menghibur diri. Namun, jauh di dalam hatinya, perasaan tak menentu itu tetap ada, semakin dalam, semakin gelap.
Pagi itu, seperti biasa, Amara bangun lebih dulu. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun ia sudah duduk di depan meja makan, menyeduh secangkir kopi hangat. Tak ada suara lain selain desiran angin yang menembus celah-celah jendela rumah besar mereka. Keheningan pagi di rumah ini begitu kontras dengan hiruk-pikuk kota di luar.
Amara menatap secangkir kopi di tangannya, pikirannya mulai melayang pada percakapan yang terjadi semalam. Suasana makan malam yang penuh ketegangan masih terasa, meskipun Bima sudah berlalu ke kantor sejak pagi. Bima memang berjanji akan lebih sering di rumah, tapi janji itu sudah sering kali diucapkan tanpa ada bukti nyata. Ia hanya berharap kali ini janji itu tidak seperti yang lainnya—seperti janji manis yang hilang ditelan kesibukan.
Suasana pagi terasa lebih sepi tanpa kehadiran Bima. Amara tidak tahu apakah itu hanya perasaan atau memang benar, tapi ia merasa rumah ini mulai kehilangan kehidupannya. Ia merasakan ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan mereka. Sesuatu yang tak dapat ia sentuh, namun begitu nyata. Kehilangan itu tidak datang tiba-tiba, tetapi perlahan, seperti debu yang menutupi permukaan benda yang sudah lama tidak dibersihkan.
Pagi yang sunyi membuatnya lebih banyak berpikir tentang hubungan mereka. Ia ingin berbicara, meluapkan semua kekhawatirannya, tapi entah kenapa, setiap kali ia ingin membuka hati, kata-kata itu terasa berat untuk keluar. Bima, suaminya, adalah pria yang penuh dengan ambisi dan tekad. Semua yang dilakukan Bima selalu berhubungan dengan pekerjaannya—perusahaan yang ia bangun, proyek-proyek besar yang harus diselesaikan, dan jadwal yang padat.
Namun, di balik semua itu, ada rasa sepi yang tak terhindarkan. Amara tahu Bima mencintainya, tetapi apakah itu cukup? Apakah hanya cinta saja yang bisa menyelamatkan mereka?
"Amara, kamu belum sarapan?" Suara Bima yang tiba-tiba membuat Amara terkejut. Ia menoleh, melihat Bima berdiri di ambang pintu ruang makan dengan jas rapi dan dasi yang masih terpasang. Wajahnya terlihat lebih segar dari kemarin, meskipun ada kelelahan yang tersisa di matanya.
Amara tersenyum lemah, meletakkan cangkir kopinya. "Aku sudah sarapan, kok," jawab Amara dengan nada ringan. "Kamu kelihatan sibuk, sudah siap berangkat?"
Bima mengangguk, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di kursi samping Amara, menyandarkan tubuhnya. "Iya, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini. Tapi aku ingin berbicara sebentar."
Amara mengangkat alisnya. "Tentang apa?"
Bima menghela napas, menatap Amara dengan tatapan serius. "Tentang kita."
Hati Amara berdegup kencang. Kata-kata itu menggetarkan hatinya. Ia sudah menunggu percakapan ini, meski ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Bima. Apakah Bima merasa hal yang sama dengan dirinya? Apakah Bima merasakan ketegangan yang ada di antara mereka?
"Aku sadar belakangan ini kita semakin jauh, Amara," lanjut Bima dengan suara pelan. "Aku ingin memperbaikinya. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini terus."
Amara menatap Bima, melihat kerutan di dahi suaminya yang tampak penuh dengan beban. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Bima berbicara kali ini. Seperti ada kesadaran bahwa sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas hidup mereka harus diperbaiki.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," Bima berkata, menggenggam tangannya dengan lembut. "Tapi aku janji, aku akan berusaha lebih baik."
Amara merasa seolah sebuah beban berat jatuh di pundaknya. Semua kekhawatirannya, keraguannya, mulai mereda. Bima memang berusaha, dan itu adalah langkah pertama. Namun di sisi lain, hatinya masih dipenuhi keraguan. Mungkinkah janji ini akan bertahan lama? Ataukah ini hanya satu lagi janji yang menguap begitu saja, seperti sebelumnya?
"Aku juga ingin lebih dekat lagi, Bima," jawab Amara dengan suara lembut, meskipun hatinya penuh dengan perasaan yang campur aduk. "Tapi… kita berdua harus saling memberi ruang, kan? Kita nggak bisa cuma mengandalkan kata-kata."
Bima terdiam sejenak, menatap Amara dengan tatapan penuh penyesalan. "Kamu benar. Aku harus menunjukkan itu dengan tindakan, bukan hanya janji."
Keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka. Amara tahu, ini bukanlah akhir dari masalah mereka, melainkan awal dari perubahan yang harus terjadi. Mereka harus lebih dari sekadar pasangan yang ada di dalam satu rumah. Mereka harus kembali menjadi dua orang yang saling berbagi, saling mengerti, dan saling mendukung.
Setelah beberapa saat, Bima berdiri dan berjalan menuju pintu. "Aku harus berangkat sekarang. Kita bicara lagi nanti, ya?" Bima menoleh sekali lagi, tersenyum kecil pada Amara. "Aku berjanji."
Amara mengangguk, merasa sedikit lebih lega meskipun hatinya masih penuh pertanyaan. "Hati-hati di jalan, Bim."
Begitu Bima keluar dari rumah, Amara kembali ke kursinya. Ia menatap jendela besar yang menghadap ke taman. Udara pagi yang sejuk menyapu wajahnya, namun hatinya masih terasa panas. Ia tahu perubahan ini tidak akan terjadi dalam semalam. Mereka harus melalui banyak hal untuk menemukan kembali cinta yang pernah ada di antara mereka. Tidak mudah, dan Amara tahu, jalan yang mereka pilih mungkin akan penuh dengan rintangan.
Amara meraih ponselnya dan membuka pesan-pesan yang masuk. Salah satunya dari temannya, Lina, yang mengirimkan foto Sekar—sekretaris baru Bima yang disebut-sebut ambisius itu. Lina menulis pesan singkat: "Sekar itu bisa jadi ancaman, loh, Amara. Dia terlihat sangat dekat dengan Bima."
Amara menatap foto Sekar yang ada di ponselnya. Wanita itu terlihat profesional dengan gaun hitam yang elegan, rambut panjang tergerai dengan rapi, dan senyum yang memikat. Meskipun sekilas terlihat seperti wanita biasa, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Amara merasa tak nyaman. Apakah ini hanya perasaan saja? Amara bertanya dalam hati.
Dia menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu ia tidak bisa hidup hanya dengan kecemasan. Jika Bima berkata ia akan berusaha, maka ia harus memberi ruang bagi suaminya untuk membuktikan kata-katanya. Namun, bayangan Sekar tetap terlintas dalam benaknya, menggoyahkan keyakinannya.
"Jangan terlalu khawatir," Amara berbisik pada dirinya sendiri. "Tapi tetap waspada."
Di sisi lain kota, Sekar baru saja menyelesaikan rapat pagi dengan Bima. Ia adalah sosok yang ambisius, penuh semangat, dan sangat profesional. Keberhasilannya dalam dunia kerja bukanlah hal kebetulan. Sejak kecil, ia selalu diajarkan untuk bekerja keras, dan kini, ia telah berhasil menempatkan dirinya di posisi yang sangat penting dalam perusahaan Bima. Ia tidak hanya menjadi sekretaris, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam berbagai keputusan yang diambil oleh Bima.
Sekar berjalan keluar dari ruang rapat, ponsel di tangan, matanya memeriksa pesan yang masuk. Ia tersenyum kecil ketika melihat pesan dari Bima yang memberitahunya tentang makan siang yang akan datang. Sekar merasa semakin dekat dengan Bima—suaminya yang baik hati dan selalu peduli. Namun, ia juga tahu, meskipun Bima sudah berkeluarga, perasaan itu tidak bisa dihindari. Terkadang, rasa tertarik bisa muncul begitu saja, tanpa bisa diatur.
Namun, Sekar juga tahu bahwa ia harus berhati-hati. Menarik perhatian Bima bukanlah hal yang mudah, dan ia tidak ingin terjebak dalam permainan yang berbahaya. Tapi perasaan itu terus mengganggunya, dan ia tidak bisa menahannya.
Di luar jendela kantor, hujan mulai turun dengan deras. Sekar menatap keluar, merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi—sesuatu yang tidak bisa ia kontrol, sesuatu yang membuat hatinya berdegup lebih cepat setiap kali ia berada dekat dengan Bima.
Sekar berjalan keluar dari ruang rapat, ponsel di tangan, matanya memeriksa pesan yang masuk. Ia tersenyum kecil ketika melihat pesan dari Bima yang memberitahunya tentang makan siang yang akan datang. Makan siang itu sudah direncanakan jauh sebelumnya, tetapi entah kenapa, kali ini rasanya berbeda. Ada sesuatu yang mengusik dalam dirinya, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Sekar tahu bahwa ia sudah terbiasa bekerja dengan Bima, tetapi sekarang ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional yang tumbuh di antara mereka. Itu bukan perasaan cinta yang besar, tapi ketertarikan yang tak bisa dihindari.
Dia sudah mencoba untuk mengabaikannya, meyakinkan dirinya bahwa ini hanya rasa kagum terhadap sosok Bima yang begitu sukses, begitu penuh ambisi, dan sangat profesional. Namun, semakin lama ia bekerja dengannya, semakin sulit untuk menahan perasaan itu. Ada sesuatu dalam cara Bima berbicara, dalam caranya melihatnya, yang membuat hatinya berdegup lebih kencang. Ia tahu bahwa Bima sudah menikah, dan ia tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan itu, tetapi terkadang, perasaan itu muncul begitu saja, tak bisa ia kendalikan.
Sekar menghela napas, menekan perasaan yang membebani dadanya. Ia tidak bisa terus menerus merasa seperti ini, karena itu hanya akan merusak segalanya. Ia harus bisa menjaga jarak, tetap profesional, dan tidak membiarkan perasaan pribadinya mengaburkan tugasnya sebagai sekretaris.
Namun, pada saat yang sama, ia juga merasa ada sesuatu yang lebih dalam dalam hubungan mereka. Bima sering melibatkan Sekar dalam keputusan penting, memberi kepercayaan lebih dari yang biasanya diberikan kepada seorang sekretaris. Ini bukanlah sekadar pekerjaan—ini adalah tanda bahwa Bima melihat sesuatu lebih dari sekadar peran profesional yang dimilikinya. Meskipun demikian, Sekar berusaha menepis perasaan itu, mencoba untuk fokus pada pekerjaan dan tidak membiarkan emosi menguasai dirinya.
Langkahnya terhenti sejenak ketika ia melihat Bima keluar dari ruang kerjanya. Bima berjalan menuju lift, sibuk dengan ponselnya, seolah tak melihat keberadaan Sekar. Namun, Sekar bisa merasakan ada ketegangan dalam langkahnya, seperti ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya. Sekar pun melangkah mengikuti Bima, menyadari bahwa ia sudah tidak bisa menahan rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya. Apa yang sedang terjadi dengan Bima? Mengapa belakangan ini Bima tampak begitu tertekan?
“Bima,” Sekar memanggil dengan suara lembut, mencoba untuk tidak terdengar terlalu tergesa-gesa. Bima menoleh, sedikit terkejut melihat Sekar yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
“Oh, Sekar. Ada apa?” Bima tersenyum tipis, namun Sekar bisa merasakan ada kerutan di keningnya, sebuah tanda bahwa Bima sedang berpikir keras tentang sesuatu.
“Ada yang mengganggumu, Bima?” tanya Sekar dengan hati-hati. “Kamu terlihat sedikit lelah akhir-akhir ini. Apa ada yang bisa aku bantu?”
Bima terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia harus menceritakan apa yang sedang mengganggunya atau tidak. Setelah beberapa detik, ia akhirnya menggelengkan kepala.
“Tidak, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Sekar,” jawab Bima sambil tersenyum lagi, meskipun kali ini senyumannya tidak sehangat sebelumnya. “Aku hanya sedikit tertekan karena beberapa proyek yang harus selesai. Tapi itu bukan masalah besar. Terima kasih sudah memperhatikan.”
Sekar mengangguk, mencoba untuk menunjukkan perhatian yang tulus. Namun di dalam hatinya, ia merasakan gelombang kekhawatiran yang semakin besar. Mungkin Bima sedang berjuang dengan lebih banyak hal daripada yang ia perlihatkan. Mungkin ada masalah pribadi yang tak ia bicarakan. Ia ingin sekali bertanya lebih banyak, tetapi ia tahu bahwa itu bukan tempatnya untuk ikut campur dalam urusan pribadi Bima.
Namun, perasaan itu tetap ada. Sekar merasa ada jarak yang semakin besar antara dirinya dengan Bima—meskipun mereka berdua bekerja sangat dekat, meskipun mereka sering berbicara tentang hal-hal penting, namun ada dinding yang tak terlihat yang mulai terbentuk di antara mereka. Bima tidak lagi terlihat seperti pria yang mudah didekati. Kini, dia lebih seperti seorang bos yang penuh tekanan dan tanggung jawab, yang menyembunyikan ketidakpastian dalam hatinya.
Sekar mencoba untuk mengabaikan perasaan itu dan memfokuskan diri kembali pada pekerjaannya. Setelah Bima masuk ke lift dan melanjutkan perjalanannya, Sekar kembali ke meja kerjanya, tetapi pikirannya tidak bisa berhenti berputar. Ia tahu ia harus menjaga profesionalisme, tetapi semakin lama ia bekerja bersama Bima, semakin sulit baginya untuk menjaga jarak antara hubungan kerja dan perasaan pribadinya.
Ketika jam makan siang tiba, Sekar menerima pesan dari Bima yang mengingatkannya tentang pertemuan mereka. Mereka akan makan siang bersama di restoran favorit Bima, tempat yang selalu dipilih untuk urusan bisnis. Sekar merapikan mejanya, mempersiapkan dirinya untuk makan siang yang akan datang, meskipun hatinya masih dipenuhi pertanyaan dan kekhawatiran yang belum terjawab.
Di sisi lain, Amara, yang merasa cemas tentang Bima dan Sekar, tidak bisa menahan rasa curiganya. Ia mengamati semua perubahan kecil yang terjadi di rumah. Bima lebih sering keluar rumah, lebih jarang pulang tepat waktu, dan lebih sering terlihat tertekan. Meskipun Bima mengatakan semuanya baik-baik saja, Amara merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas dalam hidup mereka.
Amara merasa bingung. Ia tidak ingin terlalu menghakimi Bima, tetapi pada saat yang sama, ia merasa ada ketidakadilan dalam hubungan mereka. Bima telah berjanji untuk memperbaiki segalanya, tetapi Janji itu tampaknya mulai pudar. Ia merasa terjebak antara keinginannya untuk memperbaiki hubungan mereka dan ketakutannya terhadap kemungkinan Bima yang lebih tertarik kepada Sekar.
Pikiran itu datang begitu saja, menggema di dalam kepalanya. Amara tahu bahwa ia harus berbicara dengan Bima, tetapi ia juga tahu bahwa percakapan itu tidak akan mudah. Apakah Bima akan jujur tentang perasaannya? Ataukah ia hanya akan berusaha untuk menghindari topik yang sulit itu?
Malam itu, Amara duduk sendirian di ruang keluarga, terbungkus dalam keheningan yang menusuk. Hanya lampu meja yang menyala, cahayanya redup menyinari ruangan yang tampak begitu luas dan kosong. Suara detik jam di dinding terdengar jelas, menghitung waktu yang berjalan perlahan, seperti ikut mempermainkan perasaan Amara yang tak tenang.
Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami setiap petunjuk yang bisa ia temukan tentang Bima dan perubahan yang terjadi di antara mereka. Ia ingin sekali percaya pada janji suaminya, namun bayangan tentang Sekar—wanita muda yang baru bekerja di kantor Bima—terus menghantui pikirannya. Dalam diam, ia menahan segala kegelisahan yang perlahan mulai mengikis kepercayaan dirinya.
Keesokan harinya, Amara merasa tidak bisa lagi menyimpan semua perasaannya sendirian. Ia memutuskan untuk menelepon salah satu teman terdekatnya, Laila. Mereka sudah berteman sejak kuliah, dan Laila selalu menjadi tempat Amara untuk berbagi cerita, terutama tentang hal-hal yang sulit ia ungkapkan pada orang lain. Laila bukan hanya seorang sahabat, tapi juga seorang kakak bagi Amara, seseorang yang selalu tahu cara menenangkannya di saat-saat sulit.
Saat Laila mengangkat teleponnya, suara ceria yang biasa terdengar kini terasa menjadi obat bagi hati Amara yang resah. "Hai, Amara! Sudah lama nggak dengar kabar kamu. Ada apa?"
Amara tersenyum lemah, mencoba menahan perasaan sedih yang berkecamuk di hatinya. "Hai, Laila. Aku... cuma ingin ngobrol. Rasanya lagi butuh teman bicara."
"Oh, baiklah, ada apa? Kamu tahu aku selalu di sini buat kamu, kan?" Laila berkata dengan nada lembut namun tegas, membuat Amara merasa sedikit lebih tenang.
Amara menghela napas panjang sebelum menjelaskan perasaannya. Ia menceritakan semua kekhawatirannya tentang Bima, tentang jarak yang semakin membesar di antara mereka, dan tentang Sekar, sekretaris baru yang akhir-akhir ini selalu mengisi pikirannya dengan rasa curiga.
"Aku nggak tahu, Laila... Mungkin aku terlalu paranoid, atau terlalu banyak berpikir, tapi semua ini nggak terasa benar," Amara mengakui, suaranya bergetar saat ia bicara.
Laila mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa memotong cerita Amara. Setelah Amara selesai berbicara, ia memberi jeda sejenak, memberikan kesempatan bagi Amara untuk menenangkan dirinya. "Amara, aku ngerti perasaan kamu. Aku tahu sulit buat kamu untuk melihat ini dengan jelas, tapi aku yakin kalau kamu masih sangat mencintai Bima, dan kamu cuma takut kehilangan dia."
"Tapi, Laila… apa yang harus aku lakukan? Aku nggak tahu bagaimana caranya supaya perasaan ini hilang."
Laila berpikir sejenak, lalu menyarankan sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan oleh Amara sebelumnya. "Coba deh, kamu jangan terlalu fokus pada Bima. Kadang, ketika kita terlalu memperhatikan seseorang, kita malah mengabaikan diri sendiri. Ambil waktu buat kamu, buat hidup kamu sendiri, biar kamu nggak selalu merasa cemas soal dia."
Saran itu terdengar sederhana, tapi cukup sulit untuk diterapkan. Selama bertahun-tahun, hidup Amara memang berpusat pada Bima, pada rumah tangga mereka. Ia sudah terbiasa menjadi pendukung setia Bima, menjalani perannya sebagai istri tanpa terlalu memikirkan dirinya sendiri. Tapi mungkin ini saatnya untuk mengambil langkah kecil, memberikan ruang untuk dirinya sendiri.
"Mungkin kamu benar, Laila," kata Amara dengan suara pelan. "Mungkin aku terlalu berfokus pada dia sampai aku lupa siapa diriku. Aku akan mencoba."
Setelah berbicara dengan Laila, Amara merasa sedikit lebih ringan. Saran Laila memicu semangat dalam dirinya yang sudah lama terlupakan. Amara mulai berpikir untuk kembali melakukan hal-hal yang dulu ia sukai, hal-hal yang sempat ia tinggalkan ketika menikah dengan Bima. Namun, di satu sisi, ia tetap tidak bisa mengabaikan perasaannya yang masih belum yakin sepenuhnya tentang Bima dan Sekar.
Beberapa hari kemudian, Amara memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ia pergi mengunjungi rumah orang tuanya yang terletak di pinggir kota, sebuah rumah sederhana namun penuh kehangatan. Kedua orang tuanya selalu menyambut Amara dengan senyum hangat dan pelukan hangat. Ketika ia tiba, ibunya langsung memeluknya erat, seolah-olah ia telah lama tidak pulang ke rumah.
"Amara, sayang. Kamu terlihat sedikit kurus, apa kamu baik-baik saja?" tanya ibunya, mengusap pipi Amara dengan lembut.
Amara tersenyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang ada dalam hatinya. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya saja sedikit lelah karena pekerjaan dan urusan rumah tangga."
Ibunya mengangguk, meskipun Amara tahu bahwa tatapan mata ibunya menunjukkan sesuatu yang lebih. Seperti setiap ibu yang mengenal anaknya lebih dalam, ia mungkin bisa merasakan bahwa Amara menyembunyikan sesuatu. Tapi ia tidak mendesak, hanya memberikan Amara ruang untuk berbicara jika memang ia ingin berbagi.
Selama di rumah orang tuanya, Amara merasa seperti kembali ke masa lalu, saat hidupnya masih sederhana dan bebas dari beban-beban berat. Ia menghabiskan waktu bersama adiknya yaitu Aldi, yang kini beranjak dewasa dan kuliah di kota. Aldi selalu menjadi sosok yang ceria dan sering kali menghibur Amara dengan candaan-candaan yang konyol.
"Mbak Amara, kamu kenapa kelihatan murung banget, sih?" Aldi bertanya sambil memainkan gitarnya. "Jangan terlalu serius hidupnya. Lihat aku, hidup tanpa beban, tanpa pasangan, bebas sebebas-bebasnya!" katanya, tertawa riang.
Amara hanya bisa tertawa kecil. Kehadiran Aldi memang selalu membawa keceriaan, mengingatkannya untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal yang membuatnya tertekan. Namun, Aldi juga sering bertanya dengan nada bercanda tentang hubungannya dengan Bima, seolah tanpa sadar menyentuh bagian terdalam hati Amara yang masih diliputi kecemasan.
"Aldi, hidup kamu itu baru sebatas kuliah ya, nggak tahu gimana ruwetnya kehidupan rumah tangga," kata Amara sambil tertawa kecil, menepuk pundak adiknya dengan lembut.
"Makanya, Mbak, kalau ada masalah jangan terlalu dipikirkan sendiri. Siapa tahu masalahnya bisa selesai kalau dibawa santai," Aldi berujar dengan nada enteng.
Obrolan dengan Aldi membuat Amara merasa sedikit lebih ringan. Namun, di dalam hatinya, bayangan Bima dan Sekar tetap menghantui. Meskipun ia berusaha keras untuk melupakan, rasa penasaran itu tetap ada, menggerogoti pikirannya. Setiap malam, sebelum tidur, ia tidak bisa menahan diri untuk berpikir—apakah Bima benar-benar setia? Apakah rasa curiganya hanyalah bayang-bayang kecemasan yang tidak berdasar?
Kehidupan Amara terus berlanjut dengan segala ketidakpastian yang menyelimutinya. Meskipun ia mencoba mencari pelarian, mencoba berbicara dengan teman dan keluarga, perasaan gelisah itu tidak sepenuhnya hilang. Ia hanya bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa semua kecemasannya akan hilang seiring berjalannya waktu.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Amara merasa bahwa perubahan besar akan datang. Ia hanya belum tahu apakah perubahan itu akan membawa kebahagiaan atau malah sebaliknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!