NovelToon NovelToon

Balas Dendam Sang CEO

Bab 1: Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Lampu-lampu hotel megah itu berpendar indah, mengisi malam yang dingin di kota besar. Di tengah keramaian acara pesta perayaan ulang tahun perusahaan, Riska berdiri dengan canggung di sudut ruangan. Ia bukan siapa-siapa di acara ini—hanya seorang karyawan junior yang kebetulan mendapat undangan dari atasan. Namun, kesempatan ini tak disia-siakan olehnya, karena Riska ingin mengembangkan jaringan dan mendapatkan pengalaman di dunia kerja yang lebih luas.

Malam itu, dengan gaun biru sederhana dan riasan tipis, Riska tampak anggun meski hanya berdiri sendiri di pinggir ruangan. Ia memandangi sekeliling, berharap bisa bercakap-cakap dengan seseorang, ketika tiba-tiba sosok pria tampan dengan setelan jas hitam elegan muncul di hadapannya. Pria itu memiliki tatapan yang tajam namun dingin, seolah-olah menembus jiwa siapa pun yang berani menatapnya langsung.

"Riska, bukan?" Suara pria itu rendah namun tegas, seperti orang yang biasa memberi perintah.

Riska terkejut. “Iya, maaf, saya tidak ingat pernah bertemu Anda.”

Pria itu tersenyum tipis, menunjukkan sedikit kesombongan. “Saya Aldo Pratama. CEO dari perusahaan induk tempat Anda bekerja.”

Jantung Riska berdetak lebih cepat. Aldo Pratama, pria yang namanya selalu disebut-sebut di kantor. Sosok yang dianggap untouchable, seperti dewa bisnis yang tak tersentuh. Dan kini, pria itu berdiri di depannya, memandangnya dengan tatapan yang penuh misteri.

“Oh, maaf, Tuan Aldo. Saya... saya tidak menyangka Anda tahu nama saya.” Riska menundukkan kepalanya, merasa canggung di bawah tatapan tajam Aldo.

“Tenang saja, saya tidak menggigit,” kata Aldo dengan nada setengah bercanda. Namun, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Riska merasakan ketegangan aneh. “Anda berbeda dari kebanyakan orang di sini. Terlihat... tidak berpura-pura.”

“Terima kasih, Tuan. Saya hanya berusaha menjadi diri sendiri,” jawab Riska pelan, bingung apa maksud Aldo sebenarnya.

Aldo mengangguk kecil, lalu mengulurkan segelas anggur pada Riska. “Minumlah, untuk merayakan malam yang indah ini. Mari kita tinggalkan segala formalitas sejenak.”

Riska ragu sejenak, namun akhirnya menerima gelas itu. Mereka mulai berbicara, awalnya tentang pekerjaan, lalu beralih ke percakapan yang lebih personal. Ada kehangatan aneh dalam cara Aldo berbicara, meski pria itu tetap terkesan dingin dan tak terduga. Sementara itu, dalam hati kecilnya, Riska merasa ada bahaya yang mengintai di balik tatapan pria tersebut. Namun, pesonanya terlalu kuat, membuat Riska terjebak dalam obrolan yang semakin larut dan penuh daya tarik.

 

Beberapa jam kemudian, mereka berada di sudut ruangan yang sepi, di mana suasana berubah menjadi lebih intim. Aldo menatap Riska dengan tatapan tajam, dan tiba-tiba saja ia mendekat. Napas Riska tercekat. Hatinya berdebar keras ketika Aldo berbisik di dekat telinganya, “Apa kamu tahu betapa menariknya dirimu saat ini, Riska?”

Riska tak tahu harus menjawab apa. Ia merasa terperangkap dalam pesona pria ini, sementara pikirannya berteriak memperingatkan bahaya. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, Aldo menariknya lebih dekat, dan saat itu—hanya dalam sekejap—dunia terasa lenyap, meninggalkan mereka berdua dalam ketegangan yang membakar.

 

Paginya, Riska terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia mendapati dirinya sendirian di kamar hotel, dan Aldo sudah pergi tanpa meninggalkan pesan. Sesuatu di dalam dirinya bergemuruh. Ia merasa kosong, bingung, dan terluka. Pria itu muncul seperti badai dalam hidupnya, menghancurkan segala ketenangan yang pernah ia miliki.

Saat ia mengenang kejadian malam itu, sebuah pesan tiba-tiba muncul di ponselnya. Pesan dari nomor tak dikenal, dengan kata-kata yang menusuk.

> “Terima kasih untuk malam yang menarik, Riska. Anggap saja ini hanya sebuah pertemuan singkat. Jangan terlalu diambil hati.”

Pesan itu seakan menampar Riska. Betapa dinginnya pria itu, betapa mudahnya ia mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sementara itu, Riska hanya bisa terdiam, merasa dirinya telah dipermainkan.

 

Beberapa minggu kemudian

Ketika perasaan terluka Riska mulai mereda, sebuah kenyataan baru menghantamnya—ia hamil. Rasa panik dan bingung menyelimutinya. Bagaimana ia bisa menghadapinya sendirian? Bagaimana reaksi Aldo saat mengetahui hal ini? Berbagai pikiran bercampur aduk di benaknya, dan akhirnya ia memutuskan untuk menemui Aldo, berharap mendapat dukungan atau setidaknya tanggung jawab.

 

Riska duduk di lobi kantor pusat perusahaan Aldo, merasa cemas. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya ia dipersilakan masuk ke ruangan pria itu. Aldo duduk di balik mejanya, tatapannya dingin saat melihat Riska.

“Ada apa kau ke sini, Riska?” tanya Aldo tanpa basa-basi, suaranya tenang namun penuh kekuasaan.

Riska menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aldo... aku hamil,” katanya pelan, namun cukup jelas untuk didengar.

Aldo menatapnya, lalu tertawa sinis. “Dan kamu pikir aku akan percaya begitu saja?”

“Aku tidak datang ke sini untuk meminta belas kasihan atau simpati. Aku hanya ingin kamu tahu,” Riska membalas dengan nada yang tak kalah tajam, walau dalam hatinya ia hancur mendengar respons dingin Aldo.

Aldo mendekat, memandang Riska dengan tatapan tajam. “Baiklah, katakan, apa yang kau inginkan? Uang? Kehormatan? Atau...?”

Riska merasakan air mata hampir jatuh, namun ia menahan diri. “Aku tidak meminta apa pun, Aldo. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi.”

Setelah hening sejenak, Aldo tersenyum tipis. “Kalau begitu, bersiaplah. Kita akan menikah. Tapi jangan berharap pernikahan ini didasari cinta. Aku hanya ingin melindungi reputasiku, dan aku tidak akan membiarkanmu merusak itu.”

Riska terkejut dengan keputusan tiba-tiba itu, namun sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Aldo sudah meninggalkan ruangan, meninggalkannya sendirian dengan keputusan yang pahit dan tanpa pilihan lain.

 

Di luar ruangan itu, hati Riska berdebar hebat, antara rasa marah, kecewa, dan takut. Ia telah menyerahkan hidupnya pada pria yang sama sekali tidak peduli padanya, yang hanya melihatnya sebagai beban yang harus diselesaikan.

 

Malam itu, setelah memikirkan segalanya, Riska berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang penuh bintang. Dalam hatinya, ia berjanji untuk bertahan demi anak yang dikandungnya. Namun, ia juga sadar bahwa hidup bersama Aldo akan menjadi tantangan terbesar dalam hidupnya.

 

Bab ini berakhir dengan ketegangan yang masih membara, meninggalkan pembaca bertanya-tanya: Akankah Riska mampu menghadapi Aldo dan semua permainan psikologisnya? Atau, akankah Aldo benar-benar bisa melepaskan dendamnya di atas hubungan mereka yang baru saja dimulai?

Bab 2: Pernikahan Tanpa Cinta

Aula besar yang dipenuhi dengan bunga mawar putih dan lampu-lampu kristal itu tampak mewah, tetapi suasananya terasa dingin, hampir tanpa jiwa. Pernikahan Riska dan Aldo diselenggarakan dengan megah, sesuai dengan citra dan status Aldo sebagai seorang CEO besar. Namun, jauh dari kesan bahagia, pernikahan ini hanya terasa seperti sebuah perjanjian dingin, jauh dari bayangan pernikahan yang penuh cinta dan kehangatan.

Riska berdiri dengan gaun pengantin putih yang elegan, tapi wajahnya menyiratkan kegelisahan. Perasaannya campur aduk antara rasa takut, kecewa, dan tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Di sampingnya, Aldo berdiri dengan tenang, tatapannya dingin tanpa emosi sedikit pun. Ia menatap Riska sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain seolah-olah keberadaan Riska hanyalah formalitas belaka.

Di altar, ketika mereka saling bertukar janji pernikahan, Aldo mengucapkan kata-kata itu dengan suara yang jelas, tapi tanpa perasaan. Setiap kalimat yang ia ucapkan terdengar datar, tanpa kehangatan atau kelembutan. Riska hanya bisa menggigit bibir, menahan perih di dalam hatinya. Pernikahan ini bukan tentang cinta; ini tentang tanggung jawab, dan Aldo tidak pernah berusaha menyembunyikan fakta itu.

---

Setelah acara selesai dan para tamu mulai meninggalkan tempat, Aldo mendekati Riska, matanya tajam, seolah menguji reaksinya.

“Mulai sekarang, kamu adalah istriku. Tapi jangan berharap lebih dari itu, Riska,” katanya dengan nada dingin. “Aku tidak mencintaimu, dan pernikahan ini hanya demi reputasi perusahaan. Jadi jangan pernah berpikir untuk mendapatkan lebih dariku.”

Riska menatapnya dengan pandangan terluka, namun ia menolak untuk menunjukkan kelemahan di hadapan Aldo. “Aku tidak pernah meminta apa pun darimu, Aldo. Aku tahu ini semua hanya kesepakatan untuk melindungi nama baikmu.”

Aldo tersenyum tipis, sinis. “Bagus kalau kamu paham. Kalau begitu, mari kita jalani ini dengan baik, tanpa ada drama. Aku akan menyediakan semua yang kamu butuhkan, tapi jangan pernah berharap lebih dari itu.”

Riska merasakan hatinya semakin hancur mendengar kata-kata dingin itu. Tetapi ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang hanya melihatnya sebagai beban. Ia berusaha menguatkan dirinya, menatap balik dengan mata yang tegar.

“Baiklah, Aldo. Aku bisa menjalani hidup tanpa cinta darimu. Aku hanya berharap kamu tidak menghalangi hakku sebagai ibu dari anak yang kita miliki.”

Aldo menatapnya tajam, seolah kata-kata Riska itu sedikit mengguncangnya. Namun, ia segera mengembalikan ekspresinya yang dingin.

“Kamu bisa menjadi ibu, tapi jangan pernah berpikir untuk melibatkan anak ini dalam permainan perasaan,” kata Aldo dengan nada tajam. “Anak ini akan menjadi bagian dari hidupku juga, dan aku tidak akan membiarkan dia tumbuh tanpa disiplin dan kontrol.”

Riska mengangguk pelan, meski di dalam hatinya ia merasa khawatir. Bagaimana nasib anak mereka di tangan pria seperti Aldo? Ia tahu bahwa Aldo memiliki sifat yang dingin dan tegas, tapi ia juga tahu bahwa pria itu memiliki sisi yang gelap yang penuh dengan dendam dan ambisi.

---

Malam itu, di dalam kamar mereka yang besar namun terasa hampa, Aldo dan Riska duduk berseberangan, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Riska merasa suasana begitu mencekam, sementara Aldo terlihat tenggelam dalam pikirannya, tak mengatakan sepatah kata pun sejak mereka masuk ke kamar.

Akhirnya, Riska mengumpulkan keberanian untuk memecah kesunyian.

“Aldo, aku tahu pernikahan ini bukan yang kamu inginkan. Tapi aku harap, setidaknya, kita bisa menjaga hubungan yang baik demi anak ini,” kata Riska dengan suara lembut namun tegas.

Aldo menatapnya dengan ekspresi datar, lalu tersenyum sinis. “Hubungan yang baik? Riska, jangan berpikir terlalu jauh. Aku tidak peduli soal perasaan atau hubungan. Aku hanya ingin memastikan anak ini tumbuh dengan baik, itu saja.”

“Tapi apakah kamu tidak berpikir bahwa anak kita berhak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, Aldo?” tanya Riska dengan sedikit emosi.

Aldo mendengus. “Kasih sayang? Menurutku, yang terpenting adalah disiplin dan tanggung jawab. Cinta tidak selalu membuat seseorang menjadi kuat, Riska. Kadang-kadang, cinta hanya melemahkan.”

Riska merasa kata-kata itu menusuk hatinya, tetapi ia mencoba menahan emosi. “Kalau begitu, biarkan aku yang memberikan cinta itu. Aku akan pastikan anak ini mendapatkan yang terbaik, Aldo.”

“Silakan saja, tapi jangan pernah berpikir untuk mendikte caraku dalam mendidiknya. Aku punya hak yang sama sebagai ayahnya,” Aldo menjawab dengan tegas, menatap Riska dengan tatapan yang penuh tantangan.

Riska terdiam, menyadari bahwa pernikahan ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia bayangkan. Aldo bukan hanya dingin, tapi ia juga penuh dengan kontrol, tidak membiarkan siapa pun memasuki batas pribadinya.

---

Beberapa hari kemudian

Riska mulai menjalani kehidupannya sebagai istri Aldo. Ia tinggal di rumah mewah milik Aldo, tapi kebersamaan mereka sangatlah minim. Aldo sibuk dengan urusan bisnisnya dan hampir selalu pulang larut malam. Ketika berada di rumah, Aldo bersikap dingin dan hanya berbicara seperlunya, menciptakan jarak yang semakin lebar di antara mereka.

Namun, di tengah kesendiriannya, Riska merasa ada sesuatu yang aneh. Ia sering merasa diawasi. Terkadang, ia melihat bayangan seseorang di ujung lorong, atau mendengar langkah kaki di malam hari saat ia berpikir Aldo sudah tertidur.

Suatu malam, ketika ia tidak bisa tidur karena perasaan cemas yang tak beralasan, Riska akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan Aldo yang baru saja pulang.

“Aldo, aku merasa ada sesuatu yang aneh di rumah ini. Aku sering merasa seperti diawasi,” katanya dengan suara bergetar.

Aldo mengerutkan kening, lalu tersenyum sinis. “Kamu mulai berhalusinasi, Riska? Rumah ini aman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Tapi aku benar-benar merasakannya, Aldo. Mungkin ada seseorang yang masuk tanpa kita sadari,” balas Riska, berusaha meyakinkan Aldo.

Aldo menatapnya dingin. “Tidak ada yang bisa masuk ke rumah ini tanpa sepengetahuanku. Dan kamu, Riska, harus belajar untuk tenang. Jangan terlalu paranoid.”

Namun, malam itu, Riska kembali merasakan kehadiran yang aneh saat ia sendirian di kamarnya. Ia mendengar suara langkah kaki di lorong, dan tiba-tiba pintu kamarnya terdengar seperti diketuk, membuat jantungnya berdebar kencang. Dengan hati-hati, ia berjalan ke arah pintu dan mengintip dari balik celah kecil, namun tak ada siapa pun di luar sana.

Hatinya mencelos. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

---

Riska semakin merasa terjebak dalam kehidupan yang penuh dengan ketegangan. Aldo masih tetap dingin dan tak peduli, sementara rasa takutnya akan sosok misterius di rumah itu semakin membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Ketika ia berusaha mengungkapkan hal ini pada Aldo, pria itu selalu mengabaikannya, membuat Riska bertanya-tanya apakah Aldo memang menyembunyikan sesuatu darinya.

Bab 3: Di Balik Pintu Rahasia

Riska mulai merasa ada yang salah dalam hidupnya bersama Aldo. Meski telah tinggal di rumah mewah ini selama beberapa minggu, perasaan was-was tak pernah hilang. Ada keanehan yang selalu menyergap saat malam tiba, seakan ia berada dalam perangkap yang tak terlihat.

Pada suatu malam, saat hujan deras mengguyur, Riska merasa langkah kaki bergema di lorong dekat kamarnya. Rasa takut kembali menguasai hatinya, namun ia menahan napas, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya, tapi tak ada ketukan. Riska berusaha berani dan membuka pintu, namun lorong itu kosong. Tidak ada siapa pun.

Ketika ia hendak kembali ke dalam kamar, ia melihat sekilas, ada pintu kecil di ujung lorong yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Rasa penasaran membuncah. Ia merasa ada rahasia yang tersembunyi di dalam rumah ini, dan mungkin jawabannya ada di balik pintu itu.

---

Keesokan harinya, Riska mencoba mencari kesempatan berbicara dengan Aldo. Di meja makan saat sarapan, ia memberanikan diri untuk membuka percakapan.

“Aldo, aku... merasa ada sesuatu yang aneh di rumah ini,” katanya dengan hati-hati.

Aldo hanya melirik sekilas tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangannya. “Apa maksudmu, Riska?”

“Beberapa malam ini aku mendengar suara langkah kaki di lorong. Dan... ada sebuah pintu kecil di ujung lorong. Aku ingin tahu, ada apa di sana?”

Aldo mengangkat alisnya, seakan terkejut dengan pertanyaan Riska. Ia kemudian tersenyum dingin, menaruh ponselnya, dan menatap Riska tajam. “Pintu itu bukan urusanmu, Riska. Jangan coba-coba mencampuri hal-hal yang bukan bagian dari hidupmu.”

Riska mengernyit, merasa terluka dengan jawaban yang begitu dingin. “Aku hanya ingin tahu, Aldo. Aku tinggal di sini sekarang, dan aku berhak tahu.”

Aldo mendekatkan wajahnya ke arah Riska, menatapnya tajam. “Hakmu? Ingat, Riska, kamu menikah denganku untuk satu alasan: reputasi. Jangan pernah berpikir untuk mencari tahu lebih dari itu. Dan berhenti bertanya soal pintu itu. Aku memperingatkanmu.”

Riska merasakan ketegangan yang semakin pekat di antara mereka. Namun, di dalam hatinya, rasa penasaran justru semakin membesar. Aldo tidak hanya dingin; ia juga penuh rahasia, dan Riska merasa ada sesuatu yang disembunyikan pria itu darinya.

---

Malam itu

Riska tak bisa tidur. Pikirannya terus berputar pada pintu kecil itu dan peringatan Aldo yang menakutkan. Tetapi rasa ingin tahunya semakin kuat, seakan memanggilnya untuk menemukan apa yang tersembunyi di balik pintu itu. Dalam keheningan malam, ia akhirnya memutuskan untuk mencari tahu.

Ia melangkah perlahan ke lorong, memastikan tidak ada suara yang bisa terdengar. Saat sampai di depan pintu kecil itu, tangannya gemetar ketika menyentuh gagang pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu tersebut, dan... terdengar suara berderit kecil.

Di balik pintu itu ada tangga yang mengarah ke bawah. Sebuah ruangan tersembunyi di bawah rumah ini? Rasa penasaran dan takut bercampur menjadi satu. Dengan hati-hati, ia menuruni tangga, langkah demi langkah. Setiap langkah terasa berat, tapi Riska terus melangkah, merasa ada sesuatu yang harus ia ketahui.

Saat mencapai dasar tangga, ia menemukan sebuah ruangan dengan pintu besi besar. Tanpa sadar, ia mendekat dan memutar kenop pintu itu, dan pintu tersebut terbuka perlahan.

Di dalam ruangan, ia melihat foto-foto dan dokumen berserakan. Foto-foto itu adalah foto dirinya, di berbagai tempat dan waktu. Ada yang diambil saat ia berada di kampus, di kafe, bahkan saat ia tidak menyadari sedang diawasi. Riska merasakan bulu kuduknya meremang. Siapa yang mengambil foto-foto ini? Dan mengapa Aldo menyimpan semuanya di sini?

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di tangga. Jantungnya berdetak kencang. Dengan cepat, ia bersembunyi di balik rak besar di pojok ruangan, berharap Aldo tidak akan menemukannya.

Aldo masuk ke dalam ruangan, melihat sekeliling dengan tatapan tajam. Ia sepertinya menyadari ada yang tidak beres. Riska menahan napas, mencoba mengendalikan rasa takutnya. Saat Aldo berbalik untuk keluar, ia berkata lirih pada dirinya sendiri, “Riska, kamu tidak akan pernah tahu siapa aku sebenarnya.”

Riska terkejut mendengar kata-kata itu. Seperti apa sebenarnya sisi gelap Aldo yang disembunyikan selama ini?

---

Ketika Riska berpikir Aldo telah keluar dari ruangan, tiba-tiba tangan Aldo menyentuh bahunya dari belakang, membuat Riska terkejut. Ia berbalik dengan wajah pucat, bertemu dengan tatapan dingin Aldo yang seolah menembus batinnya. Aldo menatapnya dengan tatapan tajam, lalu berkata dengan suara dingin, “Aku sudah bilang, jangan pernah menyentuh hal-hal yang bukan urusanmu.”

Riska menelan ludah, merasa seluruh tubuhnya menggigil dalam ketakutan.

Ruangan itu terasa membeku, sementara Riska berusaha menahan rasa takut yang menyelimuti dirinya. Aldo menatapnya tanpa ekspresi, namun matanya mencerminkan kemarahan yang terpendam. Seakan pria itu mengerti bahwa Riska mulai mencurigai sesuatu yang lebih dalam.

Aldo melangkah mendekat, membuat Riska mundur selangkah. “Sudah kubilang, jangan pernah masuk ke ruangan ini, Riska.”

“Aku… aku hanya ingin tahu,” jawab Riska terbata, berusaha mencari keberanian dalam dirinya. “Mengapa ada begitu banyak foto dan informasi tentang aku di sini? Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?”

Aldo tersenyum dingin, sebuah senyum yang tak memberikan kehangatan, melainkan sebaliknya—sebuah ancaman. “Kau tidak perlu tahu. Hidup kita sudah diatur, Riska. Kau di sini hanya untuk satu alasan: menjaga reputasiku.”

Riska berusaha menahan air matanya. “Lalu… apakah semua yang terjadi antara kita hanya… sebuah kebohongan?”

Mendengar pertanyaannya, tatapan Aldo melunak sejenak. Ada keraguan dalam matanya, namun seketika kembali mengeras. “Ya, dan kau seharusnya sudah tahu itu.”

Riska terdiam, hatinya terasa remuk. Apa artinya semua momen yang mereka lalui jika ternyata hanya tipuan? Bagaimana bisa pria yang pernah ia anggap penuh perhatian ternyata menyimpan begitu banyak kebohongan? Rasa sakit itu semakin dalam, namun di balik rasa sakit, kemarahan mulai tumbuh dalam dirinya.

---

Beberapa Hari Kemudian

Riska mulai menjaga jarak dari Aldo. Ia mengamati setiap gerak-gerik pria itu, mencari tanda-tanda yang bisa membantunya mengerti siapa sebenarnya suaminya. Di dalam hatinya, Riska berjanji akan mengungkap semua kebenaran.

Sore itu, Riska berusaha mencari bukti di ruang kerja Aldo ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan cepat, ia merapikan semuanya dan pura-pura membaca buku di sofa.

Aldo masuk dengan ekspresi serius. “Kau mencari sesuatu di ruanganku, Riska?”

“Aku hanya… hanya ingin menanyakan sesuatu,” jawab Riska dengan suara pelan, mencoba mengalihkan perhatiannya.

Aldo mendekat dan duduk di sofa di hadapannya. “Apa yang ingin kau tanyakan?”

Riska berusaha menahan emosi, tetapi akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang selama ini terpendam dalam hatinya. “Mengapa kau melakukan semua ini padaku, Aldo? Mengapa harus menikahiku jika hanya untuk sebuah sandiwara?”

Aldo menatapnya sejenak sebelum menjawab dengan suara yang penuh perhitungan. “Karena kau hanyalah salah satu bagian dari rencana besarku, Riska. Keluargamu memiliki sesuatu yang kuinginkan, dan kau adalah jalannya.”

Riska merasa hatinya seperti diremas. “Apa kau benar-benar tidak pernah peduli padaku? Apa semuanya hanya permainan?”

Aldo menghela napas. “Riska, jangan mencoba mencari perasaan di antara kita. Ini semua tentang bisnis, bukan cinta.”

---

Pertengkaran yang Tak Terhindarkan

Malam itu, pertengkaran hebat pecah di antara mereka. Emosi yang selama ini Riska tahan akhirnya meledak.

“Kau begitu kejam, Aldo! Aku tak menyangka, pria yang kupercaya sepenuh hati ternyata berencana menghancurkanku!” teriak Riska dengan mata berair, tak mampu lagi menahan kepedihan.

“Jangan bertingkah seakan kau tak tahu, Riska,” Aldo menjawab dengan nada tajam. “Dari awal, ini sudah jelas. Kau hanya pion dalam permainan besar yang kulakukan.”

“Aku bukan pion, Aldo!” teriak Riska, menunjukkan ketegaran yang baru muncul. “Jika kau ingin menggunakan aku, kau salah besar. Aku tidak akan tinggal diam.”

Aldo tersenyum dingin. “Kau tidak akan bisa keluar dari permainan ini, Riska. Sekali kau masuk, kau terjebak selamanya.”

Riska menggelengkan kepala, tekadnya semakin kuat. “Kau salah, Aldo. Aku akan mencari cara untuk lepas darimu. Aku akan menemukan kebenaran dan menghancurkanmu dengan rahasia yang kau sembunyikan.”

Aldo menatap Riska dengan amarah yang menyala di matanya. “Kau tak akan pernah menang melawanku, Riska. Aku memiliki segalanya—kekuasaan, uang, pengaruh. Apa yang kau punya?”

---

Riska terdiam, tetapi ada tekad baru dalam dirinya. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi, ia berbalik dan meninggalkan Aldo dengan tatapan penuh kebencian. Di dalam hatinya, ia berjanji akan melakukan segala cara untuk membongkar kebenaran yang tersembunyi, meskipun harus menghadapi risiko besar.

Malam itu, Riska memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih berani. Ia membuka ponsel dan menghubungi seseorang dari masa lalunya, seseorang yang ia tahu dapat membantunya menghadapi Aldo. Riska hanya mengucapkan satu kalimat sebelum menutup telepon.

“Aku membutuhkan bantuanmu. Aku akan menghancurkan pria yang telah membohongiku.”

Di balik pintu, tanpa Riska sadari, Aldo mendengar percakapan tersebut dan menyadari bahwa perang sebenarnya baru saja dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!