NovelToon NovelToon

Bukit Takdir

"Awal Mula Janji "

Aku tidak tahu sejak kapan aku berhenti merasa utuh.

Rasanya seperti luka yang tidak berdarah, tak tampak, tapi perihnya nyata. Seperti ada sesuatu yang tinggal di dada, diam di sudut, tak bicara, tapi keberadaannya terasa setiap kali aku menarik napas.

Setiap kali ditanya, “Kamu kenapa?” Jawabanku hanya satu: “Nggak apa-apa.”

Padahal jelas-jelas ada yang salah. Sudah lama. Tapi tak juga sembuh. Seperti tamu asing yang datang tanpa permisi, lalu menetap di ruang paling dalam. Tak pernah pergi. Tak pernah akrab. Tapi juga tak bisa diusir.

Kehilangan ini... tidak meledak. Tidak pakai tangis. Tidak ada adegan dramatis di bawah hujan. Tapi tetap sesak.

Ada sesuatu yang hilang dari hidupku. Dan aku tahu persis apa itu. Tapi tidak bisa menyentuhnya lagi. Tidak bisa menggenggamnya kembali.

Cinta, kadang datang di waktu yang salah. Bukan karena cintanya salah. Tapi karena tanah tempat ia bertumbuh terlalu lama kering. Tidak disiram. Tidak disiapkan. Maka jangan heran jika ia tak tumbuh. Atau tumbuh sebentar, lalu layu. Bukan karena cintanya lemah. Tapi karena tempat ia singgah tak mampu menampung harapan.

Tapi hidup tetap berjalan, bukan?

Pagi datang. Mata terbuka. Mandi, berpakaian rapi, tersenyum pada orang-orang yang hanya tahu permukaan. Padahal di dalam kepala masih penuh suara. Kenangan, kemungkinan, dan pertanyaan-pertanyaan kecil yang tidak pernah dijawab.

“Habis ini mau ke mana, Pak Jo?”

Suara Pak Dedi, sopir kantor, membuyarkan lamunanku. Suara datar yang membumi, tapi cukup untuk menarikku kembali ke dunia nyata.

Aku mengangguk pelan. “Ke kantor saja, Pak. Sudah ada tamu yang menunggu.”

Nada suaraku datar. Terlalu datar. Seolah semuanya baik-baik saja. Padahal tidak.

Aku masuk ke mobil. Tapi hatiku tertinggal di luar. Ada bagian dari diriku yang belum ikut. Yang tertahan oleh sesuatu yang tak bisa kujelaskan.

Mobil melaju, menembus kota Padang yang mulai ramai. Lewat kaca jendela, aku memandangi jalan. Tapi pikiranku tertinggal di satu ruang kecil, gelap, yang belum pernah kututup rapat.

Langkahku hari ini berat. Bukan karena pekerjaan. Tapi karena kenangan. Ada satu hal yang dulu sangat aku jaga, dan kini hilang begitu saja. Bukan karena tak dicari. Tapi karena memang tidak bisa kembali.

Hari ini jadwalku padat. Tiga seminar. Tiga universitas. Temanya sama: Building a Business from Zero.

Ironis. Karena ada satu hal penting yang tak pernah bisa kutumbuhkan lagi dari nol:

How to heal from losing someone.

“Pak Jo, kita langsung ke kantor, ya?”

Suara Pak Dedi menyela keheningan. Sopir kantor itu memang begitu nyinyir bukan karena curiga, tapi karena peduli. Mirip orang tua yang cerewet, tapi setia.

Johan menarik napas dalam. “Iya, Pak. Langsung.”

Ia menyandarkan punggung, tapi pikirannya belum juga duduk tenang. Mobil melaju perlahan, menyusuri kota Padang yang sudah mulai padat. Suara klakson, motor berseliweran, dan langit mendung yang belum juga tumpah, semuanya seperti latar dari sesuatu yang tak selesai di dalam dirinya.

Johan Suhadi.

Namanya belum genap sepuluh tahun berseliweran di seminar, majalah bisnis, atau obrolan antar pemilik modal. Tapi kalau ada yang menyangka hidupnya lurus dan mudah sejak awal, mereka keliru.

Ia tidak muncul dari dunia yang instan. Ia lahir dari proses.

Proses yang panjang. Sepi. Menyakitkan.

Ia bukan anak konglomerat. Bukan jebolan kampus luar negeri. Tidak punya orang dalam. Tidak punya peta. Yang ia punya cuma satu hal: kemauan.

Kemauan untuk bangun pagi-pagi saat yang lain masih tidur. Kemauan untuk mendengar kata "tidak" berkali-kali, tanpa kehilangan arah. Kemauan untuk tetap berdiri, bahkan saat hidup sendiri menyuruhnya duduk.

Ia memulai segalanya dari gudang kecil, menjual barang-barang sisa, menjadi reseller Lois Jeans saat merek itu belum sepopuler sekarang. Barangnya kadang datang telat. Kadang tidak laku. Kadang diminta balik karena salah ukuran.

Ia pernah ditolak. Pernah rugi. Pernah ditertawakan—bahkan oleh orang yang paling ia percaya.

Tapi Johan tidak berhenti.

Bagi Johan, kegagalan bukan alasan untuk pulang. Justru itu undangan untuk berjalan lebih jauh.

"Kalau kita nggak pernah paksa kaki untuk jalan," katanya suatu kali, "kita nggak akan tahu seberapa jauh kita bisa pergi."

Ia belajar menata kecewa. Belajar menerima kritik, bahkan saat mulut ingin membalas. Belajar menunduk, bukan karena kalah, tapi karena tahu kapan harus rendah hati.

Karena bagi Johan, impian besar tidak datang dengan gratis. Ia datang dengan harga mahal, dan harus dibayar lunas dengan waktu, tenaga, dan kadang, kesepian.

Lalu saat roda hidupnya mulai berputar stabil, Johan tak serta-merta duduk tenang. Justru saat itu, ia mulai merancang sesuatu yang lebih dalam dari sekadar untung.

Ia ingin membuat sesuatu yang bertahan. Yang hidup lebih lama dari dirinya.

Dari situlah lahir Johan Style. Atau lebih dikenal dengan nama JoS.

Sebuah merek. Sebuah perjalanan. Sebuah bukti bahwa dari jalan yang paling sepi pun, seseorang bisa membangun sesuatu. Asal tidak menyerah. Asal tidak berhenti di tengah jalan.

JoS bukan sekadar soal pakaian. Ia adalah cermin dari sebuah perjuangan. Dari pilihan untuk tetap berjalan, saat dunia menyuruh berhenti. Dari lelah yang dibayar lunas oleh keberanian.

Di setiap potongan kain, di setiap jahitan yang rapi, ada cerita. Tentang seorang anak muda yang dulu dianggap biasa-biasa saja, tapi menolak hidupnya berlalu tanpa arti.

JoS tumbuh perlahan. Bukan karena iklan mahal atau strategi rumit. Tapi karena kisahnya jujur. Dan jujur, entah bagaimana, selalu menemukan jalannya sendiri.

Merek itu mulai hadir di mana-mana. Masuk ke toko-toko kecil, menembus pasar yang lebih luas, bahkan sampai ke kota-kota yang belum pernah Johan kunjungi.

Nama Johan ikut naik. Bukan hanya sebagai pengusaha muda. Tapi sebagai inspirasi.

Undangan datang silih berganti. Seminar. Wawancara. Ajakan kolaborasi.

Salah satu yang paling mengejutkan datang dari seorang nama besar: Bapak Mulyono. Pejabat senior, sekaligus pengusaha berpengaruh.

Tapi begitulah hidup. Di atas panggung, orang terlihat sempurna. Di balik jas mahal dan senyum yang selalu pas di depan kamera, ada bagian dari Johan yang masih kosong.

Bagian yang tidak bisa diisi oleh uang, popularitas, atau prestasi.

Luka lama itu masih tinggal. Tidak berdarah, tapi juga tidak sembuh. Diam-diam mengendap seperti sedih yang tak pernah diajak bicara.

Dan justru luka itulah yang membuat semua tepuk tangan terdengar sunyi. Semua pencapaian terasa ringan.

Seolah semuanya berhasil, tapi tak pernah benar-benar utuh.

Di kantor, tamu itu telah tiba.

Namanya: Mulyono.

Pejabat tinggi. Wajahnya akrab di layar kaca,

suaranya kerap mengisi ruang-ruang berita ekonomi dengan analisis yang tajam dan penuh pengaruh.

Banyak yang percaya,

jika kamu sudah duduk satu meja dengannya,

itu tandanya kamu sedang berada di jalur tercepat menuju puncak permainan.

Hari ini, mereka akan membahas kerja sama besar.

Angkanya cukup untuk membuat siapa pun berhitung ulang.

Sebuah kesepakatan yang jika berhasil akan menjadi lompatan yang tak lagi bisa dianggap sebagai keberuntungan.

Di luar ruang rapat,

bisik-bisik mulai tumbuh seperti ilalang setelah hujan.

Orang-orang menebak JoS akan berubah selamanya jika ini berjalan sesuai rencana.

Tapi di dalam diri Johan, segalanya tetap hening.

Kesempatan sebesar ini...

tak cukup untuk menggetarkan dinding hati yang telah lama berlubang.

Bukan karena ia tak bersyukur,

melainkan karena ada sesuatu yang dulu pernah ia genggam erat—

dan kini tak bisa ia raih lagi, meski dengan kedua tangan terbuka.

Celakanya, lubang itu tak pernah bisa benar-benar ditambal.

Karena kehilangan bukan sekadar tentang ketiadaan.

Ia adalah tentang kekosongan yang menetap,

dan belajar hidup berdampingan dengannya.

Johan menarik napas sebelum membuka pintu.

Dalam. Berat. Seperti menata ulang topeng sebelum naik ke atas panggung.

Dan saat ia melangkah masuk ke ruang rapat,

senyumnya terbit rapi dan profesional.

Senyum yang ia pelajari bertahun-tahun lalu.

Senyum yang cukup hangat untuk membuat orang merasa aman,

tapi cukup berjarak agar tak ada yang berani terlalu dekat.

“Maaf, sudah menunggu lama, Pak?”

Suaranya tenang. Stabil.

Seperti seseorang yang tidak sedang dihantui apa pun.

Padahal... tidak begitu kenyataannya.

Pak Mulyono terkekeh.

“Tenang, Jo. Saya malah betah nunggu. Sekretarismu ramah, cantik, ngerti kopi. Hati-hati, bisa dicomot orang kalau kamu kelamaan.”

Ia melirik ke arah Wilda.

Wilda tersenyum kikuk, lalu menunduk.

Johan membalas dengan senyum tipis.

Senyum yang sudah terlatih.

Di luar, ia tampak baik-baik saja.

Di dalam, kosong.

Candaan seperti itu terdengar biasa.

Tapi bagi Johan, nadanya seperti pisau kecil.

Tidak menyakitkan terang-terangan, tapi cukup tajam untuk menusuk pelan.

Ada satu pintu di dadanya yang sudah lama terkunci. Bukan karena tidak ada yang ingin masuk. Justru karena terlalu banyak yang pernah mengetuk.

Masalahnya, ruangan di balik pintu itu berantakan.

Pecahan kenangan berserakan di setiap sudut.

Siapa pun yang masuk, bisa saja terluka sebelum sempat membereskan apa pun.

Tahun 2007.

Masa ketika hidup Johan terasa lengkap.

Ia punya cinta. Ia punya arah.

Dan yang paling penting, ia punya Keysha.

Vinda Puti Keysha. Nama yang tidak pernah benar-benar pergi dari kepalanya.

Keysha bukan sekadar kekasih. Ia adalah rumah. Tempat pulang setelah hari-hari panjang dan melelahkan.

Bersama Keysha, masa depan tampak jelas.

Mereka merancang pernikahan. Undangan sudah disebar. Gaun sudah dijahit. Catering sudah dipesan.

Semuanya siap.

Hanya tinggal menunggu waktu.

Tapi hidup tidak pernah memberi aba-aba.

Dua minggu sebelum hari bahagia, Keysha pergi ke Yogyakarta. Urusan keluarga. Hanya sebentar.

Namun pesawat yang membawanya tergelincir saat mendarat di Bandara Adisutjipto.

Dan Keysha tidak pernah kembali.

Namanya tercantum di daftar korban tewas.

Hitam di atas putih.

Saat itulah dunia Johan ambruk.

Ia kehilangan segalanya.

Bukan hanya seseorang, tapi juga arah hidup.

Hari-hari berikutnya penuh kabut. Ia hidup, tapi kosong. Ia bekerja, tapi hanya untuk sibuk. Ia tersenyum, tapi hanya agar orang berhenti bertanya.

Setiap pertanyaan kecil pun bisa membuka luka yang belum kering.

Kota ini menyimpan terlalu banyak kenangan tentang Keysha. Bangku taman tempat mereka bicara soal masa depan. Langit senja yang pernah menyaksikan tawa mereka.

Hujan yang turun seperti membawa pesan yang tak pernah sempat diucapkan.

Enam tahun sudah berlalu.

Waktu terus berjalan.

Tapi luka itu tetap tinggal.

Beberapa perempuan datang.

Mencoba mengisi kekosongan itu.

Tapi hati Johan tidak bisa disentuh.

Bukan karena ia belum siap.

Tapi karena ia tidak tahu lagi caranya jatuh cinta. Dunia telah merampas terlalu banyak.

Setiap malam, Johan menatap langit-langit kamarnya.

Diam.

Bertanya dalam hati.

Apa yang terjadi jika pesawat itu tidak tergelincir?

Bagaimana jika ia bisa memeluk Keysha sekali lagi?

Tapi hidup bukan tentang "bagaimana jika."

Hidup adalah tentang bertahan.

Bahkan ketika kehilangan menjadi bagian dari napas.

Dan pelajaran terbesar yang Johan pelajari adalah :

"Tidak semua yang hilang bisa kembali.

Tapi manusia bisa terus berjalan.

Meski jiwanya tertinggal di masa lalu"

“Bisa saja, Pak Yono.”

Johan menjawab dengan senyum tipis.

Senyum yang terlihat ramah, meski sebenarnya rapuh.

Ia sudah terlalu sering melatih senyum itu di depan cermin.

Sebuah senyum yang tahu cara menyembunyikan luka.

“Mari, kita ke ruang rapat pak.”

Johan melangkah tenang menuju ruang pertemuan.

Wilda mengikuti di belakang.

Langkahnya cekatan. Ekspresinya tenang.

Seperti biasa.

Proyek hari ini bukan proyek biasa.

Kerja sama ekspedisi internasional.

Tawaran dari Pak Mulyono.

Jika berhasil, ini akan membuka gerbang baru.

JoS bisa menembus batas negara.

Bisa diakui dunia.

Sebuah mimpi yang sudah lama Johan simpan diam-diam.

Mimpi yang lahir dari tempat yang sama dengan kehilangan.

Dari ruang hati yang pernah runtuh.

Yang perlahan dibangun kembali dengan susah payah.

Diskusi berlangsung hampir satu jam.

Meja rapat penuh dengan rencana dan kemungkinan.

Ide-ide berseliweran seperti peluru.

Johan mencatat setiap detail.

Matanya berbinar.

Bukan karena ambisi kosong.

Tapi karena ia tahu, peluang sebesar ini tidak datang dua kali.

“Saya perlu waktu untuk membahas ini dengan tim, Pak.

Semua harus benar-benar matang.”

Nada suaranya mantap.

Pak Mulyono mengangguk, puas.

“Keputusan yang bijak. Tidak perlu terburu-buru.”

“Semoga satu bulan ke depan, kita bisa membuat keputusan yang mengguncang pasar internasional.”

Johan menjabat tangan Pak Mulyono.

Genggamannya mantap.

Matanya menatap lurus.

Penuh keyakinan.

Dua senyum bertemu di ujung jabat tangan itu.

Dua generasi.

Dua kepentingan.

Dua ambisi.

Bertemu di satu titik.

~

Di Kota Padang, matahari mulai kalah.

Langit memudar, mewarnai ufuk barat dengan semburat jingga. Seperti seseorang yang perlahan menutup tirai hari.

Senja datang dengan langkah pelan.

Menyelimuti kota dengan sisa cahaya, sebelum gelap mengambil alih panggung.

Dari lantai enam gedung kantornya, Johan berdiri diam di depan jendela.

Ia tidak bergerak.

Pandangannya menembus kaca.

Menyaksikan hiruk pikuk di bawah sana.

Orang-orang yang bergegas pulang.

Klakson bersahutan.

Motor saling menyalip di ruang sempit yang nyaris tak masuk akal.

Kota Padang seperti biasa.

Sibuk. Gaduh. Hidup.

Tapi Johan tidak.

Ia sedang diam.

Sepi.

Ada kehampaan yang pelan-pelan menggerogoti dari dalam.

Dan tak ada seorang pun yang tahu.

Seorang polisi terlihat berdiri di perempatan.

Sigap memberi aba-aba, di tengah desakan kendaraan yang tak sabar.

Ia berdiri tegak, menjalankan tugas tanpa lelah.

Entah kenapa, Johan merasa iri.

Iri pada orang-orang yang bisa berdiri kuat di tengah kekacauan.

Sementara dirinya.

Berdiri saja sudah terasa berat hari ini.

Tubuhnya letih.

Jiwanya lebih payah.

Kemarin, ia baru kembali dari Pontianak.

Setelah perjalanan panjang dan pertemuan melelahkan dengan pemilik lahan.

Pontianak akan jadi cabang ke-13 perusahaannya.

Johan turun langsung.

Menilai peluang. Mencium angin. Menimbang untung rugi.

Ia tiba di Padang pukul satu dini hari.

Hanya sempat rebah sebentar.

Lalu kembali mengejar waktu.

Seminar di tiga kampus.

Rapat penting dengan Pak Mulyono.

Tubuhnya kelelahan.

Tapi hatinya jauh lebih hancur.

Tok tok tok.

Ketukan pelan itu memecah keheningan.

Johan menoleh perlahan.

Seolah dunia baru saja menariknya kembali dari kedalaman laut.

“Masuk.”

Suaranya pelan.

Nyaris tanpa tenaga.

Pintu terbuka perlahan.

Sosok di ambang pintu itu membuat napas Johan sesak, seolah udara pun ikut tertahan.

Seorang wanita siluetnya terpatri kuat dalam ingatan.

Terlalu dekat, terlalu akrab.

Namun sekaligus terlalu menyakitkan.

“Han... kamu sudah lupa, ya?”

Suara itu—lembut, penuh rindu—mengalir seperti angin dingin yang menyentuh pipi, menampar halus namun mengguncang jiwa.

Johan terpaku.

“K-Key...? Kamu... kamu masih... ternyata?”

Tangannya terulur, tanpa sadar, mencari.

Tapi tubuh itu... tembus.

Tak bisa diraih.

Tak ada hangat.

Tak ada nyawa.

Hanya ada kekosongan.

Air mata Johan jatuh tanpa izin. Vinda Puti Keysha. Satu nama yang mengiris-iris setiap detik waktu setelah kepergiannya. Wanita yang semestinya ia nikahi. Yang semestinya duduk di sebelahnya sekarang, menertawakan hidup bersama. Tapi takdir berkata lain. Keysha pergi—meninggalkan rencana, cinta, dan luka yang tak sembuh.

"Han, kamu masih ingat janji kita?"

Johan menahan isak. “Aku ingat... setiap detiknya Key... Jadi jangan pergi dulu, ya. Temani aku sebentar. Aku mau cerita banyak... tentang kerjaan, tentang si Keti kucing malang yang makin kurus semenjak kepergian kamu... tentang semuanya. Aku nggak peduli meski kita beda dunia. Yang penting... aku bisa lihat kamu. Dengar suara kamu.”

Keysha tersenyum. Lembut. Seolah menghapus perih yang sudah bertahun mengendap.

“Ingat nggak waktu kita di Puncak Gunung Marapi, Han? Kita lihat Bukit Barisan dari atas sana. Indah, seperti lukisan.”

Angin seolah ikut mengembuskan ingatan.

—Flashback—

Di puncak Merpati, Gunung Marapi, mereka berdiri berdampingan. Angin menari di antara rambut Keysha yang terurai. Matanya berbinar.

“Kamu tau nggak, Han? Bukit Barisan itu penuh misteri. Katanya ada manusia bunian di balik pohon-pohon tua. Ada harta karun yang tertimbun dalam perut bumi. Bahkan... bidadari yang konon hidup di sana.”

Johan tertawa. “Kalau aku lihat bidadari, pasti kamu colok mataku, ya?”

Keysha mencubit lengan Johan. “Iya! Karena kamu nakal!”

Johan tertawa makin keras. “Mana bisa kamu colok? Aku pakai kacamata hitam, jadi ga ketauan dehh!”

Keysha tertawa. Tapi lalu ia menatap lurus ke cakrawala. Serius. “Tapi beneran, ya... misteri itu ada nggak, sih?”

“Entahlah. Tapi kalau kamu mau tahu... ayo kita cari tahu. Kita ekspedisi. Kita jelajahi Bukit Barisan sama-sama.”

Keysha mengangguk mantap. “Setuju! Kita harus dicatat sebagai penjelajah pertama yang membongkar misteri itu!”

“Mari kita janji di sini,” kata Johan, menatap matanya dalam.

“Siapa takut!” sahut Keysha, mengulurkan kelingking.

Johan menyambut. Jari kelingking mereka bersatu. Janji mengikat, tidak hanya di bumi. Tapi mungkin juga di langit.

“Saya Johan Suhadi.”

“Saya Vinda Puti Keysha.”

“Berjanji akan mengungkap misteri Bukit Barisan.”

—Kembali ke masa kini—

Keysha menatap Johan, dalam dan hangat.

“Han, aku khawatir kamu lupa janji itu. Aku tidak bisa tenang. Aku tahu kamu sibuk, tapi... kamu harus ingat.”

Johan menggenggam udara, seolah itu tangan Keysha. “Key... kita lakukan bersama, ya? Meski kita sudah beda dunia... aku nggak peduli dianggap gila. Kita tetap bisa pergi bareng, kan?”

Keysha menggeleng perlahan, matanya berkaca. “Maaf, Han... waktuku sudah habis. Aku harus pamit.”

“Jangan!” Johan panik. “Jangan pergi lagi! Aku belum siap ditinggal!”

Keysha menatapnya penuh kasih. “Aku akan menunggu. Tuhan mungkin tak mentakdirkan kita di dunia ini. Tapi aku yakin, di surga, kita akan bertemu. Tapi jangan cepat-cepat menyusul, ya…”

Dan dengan senyum terakhirnya, Keysha menghilang. Membawa separuh nyawa Johan bersamanya.

“Key! Jangan pergi! KEY!”

Tok tok tok.

Johan tersentak. Basah oleh keringat dingin. Nafasnya memburu. Mimpi itu... terlalu nyata.

Tok tok tok.

Ketukan itu lagi. Kali ini bukan mimpi.

“Iya, masuk!” Johan menjawab cepat.

Pintu terbuka perlahan. Keyla, satpam wanita, muncul. “Ada apa ya, Pak? Kenapa Bapak manggil saya?”

Johan bingung. “Eh? Kapan saya manggil Mbak Keyla?”

Keyla tertawa kecil. “Saya mau pulang, Pak. Jadwal shift saya sudah habis. Tapi saya dengar Bapak teriak-teriak manggil ‘Key’. Kirain saya Bapak kangen saya.”

Johan berusaha tersenyum. “Salah dengar, kali, Mbak.”

Keyla mengedip nakal. “Pak Johan nggak usah malu. Bilang aja kangen. Tapi saya udah punya suami, loh. Tapi kalau Bapak mau... boleh jadi suami kedua saya.”

Johan tertawa. Tertawa yang getir. “Mbak Keyla ini ada-ada aja.”

Keyla, tetangganya, tahu segalanya. Tentang Keysha. Tentang rencana pernikahan yang gagal. Tentang luka yang belum sembuh.

“Oh ya, Mbak. Saya mau tanya sesuatu. Masih ada waktu, kan?”

“Untuk Pak Johan, semua waktu saya... saya berikan,” jawab Keyla, tulus.

Johan mengangguk tersenyum kecil. Memandang langit dari jendela. Senja sudah lewat. Malam datang. Tapi di dalam hatinya, sebuah janji mulai menyala kembali.

"Janji yang Tak Boleh Mati"

Suasana ruangan yang semula sunyi berubah riang. Ada tawa. Ada nostalgia. Dan di balik itu semua, ada kehangatan masa kecil yang pelan-pelan mencairkan beban batin Johan.

Mbak Keyla duduk bersandar santai di sofa kecil ruangan Johan. Seragam satpamnya sudah dilepas, diganti dengan jaket tipis dan sandal jepit—penanda bahwa peran profesionalnya sudah usai. Kini, dia hanya seorang tetangga yang pulang kerja, kembali jadi sosok penggoda penuh canda, yang menyebut Johan dengan nama kecilnya: Jo.

“Jo, kamu masih ingat nggak waktu kecil aku bilang kalau kucing punya sembilan nyawa, dan kamu langsung percaya?” tanyanya, sambil menahan tawa.

Johan mengernyit, mengeruk memori lamanya. “Lupa-lupa ingat sih, Mbak. Emang gimana ceritanya?”

Keyla menyeringai. “Dengerin baik-baik, biar kamu malu dua kali.”

Dan mulailah kisah itu terurai, perlahan.

Katanya, waktu itu si Enjel, kucing oranye kesayangan Johan, tertabrak motor. Tepat di depan matanya. Tubuh mungil itu menggelepar lalu terdiam. Johan kecil panik, tak mengerti kematian. Ia membawa Enjel ke dalam kamar, memberinya makan dan minum seperti biasa. Ditemani doa anak-anak dan harapan polos bahwa tidur itu hanya sementara.

Malam datang, dan orang tuanya baru menyadari tubuh Enjel yang mulai dikerubuti semut, darah kering masih melekat di bulu-bulunya. Papa Johan bersiap menguburkannya, membungkus tubuh kecil itu dengan kain lusuh.

Tapi Johan kecil berdiri di depan pintu, menghalangi langkah sang ayah.

“Pa, jangan dikubur dulu. Dia sebentar lagi hidup lagi,” ucapnya yakin.

“Lho, kok bisa gitu, Jo?” tanya Papanya heran.

“Kucing kan punya sembilan nyawa, Pa. Ini baru nyawa pertama. Masih ada delapan lagi.”

Papanya terdiam, lalu tertawa pelan. “Siapa yang bilang?”

“Mbak Keyla yang bilang, Pa,” sahut Johan polos.

Keyla, yang kini duduk bersila di sofa, tak sanggup menahan tawa saat mengulang cerita itu. “Demi Tuhan, Jo. Muka kamu waktu itu kayak nabi kecil yang yakin banget mukjizat akan turun malam itu juga!”

Johan menutup wajah, tertawa malu. “Pantes aja sekarang aku agak takut sama kucing. Mbak yang bikin trauma.”

Keyla ikut tertawa. Tapi tawa itu perlahan meredup, digantikan jeda hening yang hangat.

Johan menatap ke luar jendela. Senja sudah benar-benar berlalu. Malam menggantung di langit Padang.

“Tapi ngomongin soal hidup dan mati, Mbak...” suaranya menurun, lebih berat. “Menurut Mbak, janji ke orang yang udah tiada itu... harus ditepati nggak, sih?”

Keyla menoleh. Tatapannya berubah. Ada pemahaman yang muncul, seolah ia tahu persis beban yang kini menggelayuti Johan.

Tapi seperti biasa, dia tak langsung menjawab. “Gini, Jo. Menurut kamu, kenapa laut rasanya asin?”

Johan menatapnya bingung. “Kenapa, Mbak?”

“Karena yang manis itu cuma dua: janji palsumu yang manis... dan senyummu yang manis.” Dia terkekeh sendiri.

“Ihhh, Mbak!” Johan memukul bantal kecil di sofa. “Mode serius dong, please.”

“Hahaha, oke oke.” Keyla mengangkat tangan, menyerah. Lalu berkata dengan nada lebih dalam, “ Kamu pernah dengar teori butterfly effect gak Jo ? Intinya perubahan kecil dalam suatu hal dapat menghasilkan dampak besar dan tidak terduga di masa depan. Begitu juga dengan janji, walau itu hanyalah janji yang terdengar sepele. Manusia itu jadi sejati, bukan karena sanggup bikin seribu janji... tapi karena bisa menepati satu janji, walau yang dimintai janji sudah tiada.”

Johan tercenung. Kalimat itu menancap pelan, tapi dalam.

“Biar kamu ngerti lebih jelas, Mbak ceritain sesuatu ya,” ucap Keyla. Nadanya berubah. Tak lagi bercanda.

Johan mengangguk.

Keyla menarik napas panjang, menatap kosong ke sudut ruangan. Suaranya tenang, tapi ada getir yang tertahan.

“Dulu, Mbak kenal seorang anak perempuan. Dia dibesarkan bukan oleh ibu atau ayahnya. Waktu usianya belum genap tiga tahun, keluarganya pecah. Ayahnya—yang katanya orang bertanggung jawab—ketahuan selingkuh. Dan bukan cuma selingkuh, tapi juga menghamili wanita itu.

Ayahnya pergi. Nikah sama selingkuhannya. Pergi ke kampung halaman istri barunya. Nggak pernah nengok balik. Nggak pernah tanya kabar.

Ibunya... juga pergi. Tapi dengan luka yang lebih dalam. Dia nggak kuat lihat wajah anaknya—wajah yang terlalu mirip mantan suaminya. Setiap kali menatap mata anak itu, luka-luka masa lalu kembali terbuka. Akhirnya... dia juga pergi. Meninggalkan anak itu.”

Keyla terdiam sejenak. Johan mendengarkan, tak berani menyela.

“Anak itu... tinggal sama nenek dari pihak ibu. Nenek tua yang mungkin satu-satunya orang yang benar-benar tulus dalam hidupnya. Anak itu tumbuh tanpa tahu wajah orang tuanya. Tanpa tahu kenapa mereka pergi. Tanpa tahu kenapa ia ditinggalkan seperti barang tak berharga.”

Suara Keyla makin lirih.

“Tapi dia nggak pernah marah. Nggak pernah dendam. Dia cuma punya satu rasa... penasaran. Kenapa? Kenapa harus dia?”

Dua puluh tahun telah berlalu. Gadis kecil itu tumbuh menjadi perempuan dewasa yang mandiri, keras hati, dan tak mudah tumbang. Di usia lima belas, nenek yang selama ini menjadi satu-satunya keluarga, pergi untuk selamanya. Dunia menjadi sunyi, tapi tidak lantas membuatnya runtuh. Nenek telah meninggalkan banyak warisan berharga, bukan harta, melainkan kebijaksanaan dan keberanian untuk bertahan dalam hidup yang serba tak pasti. Lewat tangan terampilnya yang piawai membuat kue—keahlian yang diwariskan neneknya—ia menamatkan sekolah menengah atas, bahkan mendapatkan sertifikat satpam demi menyambung hidup.

Dan ya, gadis itu adalah aku.

“Hah!” Johan, yang sedari tadi mendengarkan, tak kuasa menyembunyikan keterkejutannya. Ia tak menyangka arah cerita yang begitu personal itu adalah kisah Mbak Keyla sendiri.

“Yapss,” jawab Keyla, senyum tipis menggantung di bibirnya, seperti mengenang sesuatu yang lama dipendam.

Lalu ia melanjutkan. Tentang hidup yang semula mulai tertata, ketika seorang pria datang dan melamarnya. Mereka merancang masa depan, menyusun hari-hari dengan harapan. Tapi hidup seperti biasa, tak pernah berjalan seindah rencana. Sebuah kabar mengejutkan datang. Ibunya—yang selama ini dikira telah tiada—ternyata dirawat di rumah sakit.

Tanpa pikir panjang, aku—yang saat itu sudah menjadi perempuan dewasa—bergegas ke sana. Bertahun-tahun aku menyimpan tanda tanya besar dalam hati. Nenek selalu berkata bahwa kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan saat aku masih balita. Tapi dari bisik-bisik tetangga, aku mendengar cerita berbeda. Tentang perselingkuhan, pengkhianatan, dan luka yang terlalu dalam untuk diungkap. Semua itu berputar dalam kepala saat aku melangkah menuju ruang perawatan.

Dan saat aku bertatapan dengan ibuku untuk pertama kalinya, semuanya seperti hening. Tak ada kata. Hanya tatapan yang berbicara. Air matanya mengalir lebih dulu, lalu dengan suara yang gemetar, ia berkata, “Sini, Nak, peluk ibumu.”

Aku sempat terdiam. Tapi itu adalah pelukan yang aku rindukan sepanjang hidupku. Maka aku melangkah maju, memeluknya erat. Pelukan yang bukan sekadar rindu, tapi juga pengampunan.

Dalam diam itu, ibu mulai bercerita. Tentang luka, tentang ayahku yang berselingkuh, tentang dirinya yang pergi bukan karena tidak cinta, tapi karena terlalu takut untuk menyakiti. "Ibu minta maaf, Nak," katanya lirih, "Ibu pergi karena Ibu takut. Takut melukai kamu dengan kebencian yang menggerogoti hati ini. Tapi sekarang, Ibu cuma ingin satu hal. Jangan ulangi kesalahan Ibu. Jangan biarkan hidupmu dikendalikan oleh luka."

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa mengangguk, air mata mengalir begitu saja. Aku berjanji padanya bahwa aku akan menjalani hidup yang berbeda.

Dua hari setelah itu, ibu meninggal. Tenang. Dan meski masih ada pertanyaan yang belum terjawab, aku tahu satu hal pasti: hidup ini milikku. Aku tak bisa terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Janji pada ibu akan menjadi kompas yang menuntunku melangkah ke depan.

Johan mengusap sudut matanya diam-diam. Tapi air matanya tetap lolos. Kisah itu terlalu dalam. Ia tidak menyangka, bahwa di balik sosok ceria dan kuat mbak Keyla, ada luka yang begitu besar.

Keyla tersenyum, seolah memahami kekalutan Johan. “Nah, Jo... dari cerita itu, gimana menurutmu soal janji?”

Johan menelan ludah, lalu bertanya pelan, “Mbak... maaf. Tapi... gak ada sedikitpun rasa benci untuk orang tuamu?”

Keyla menarik napas panjang. Matanya menerawang jauh. “Bagaimana mungkin aku membenci orang yang bahkan tak pernah benar-benar aku kenal? Wajah mereka, suara mereka, semuanya asing. Tidak ada ruang untuk kebencian di hatiku.”

Johan mengangguk pelan, menyimpan kata-kata itu dalam dadanya. “Masuk akal, Mbak. Menurutku... janji itu harus ditepati, entah kepada siapa. Kepada orang, kepada hewan, bahkan kepada mereka yang sudah tiada. Apalagi kepada Tuhan.”

Keyla menatapnya dengan mata penuh makna. “Bagus, Jo. Kamu akhirnya mengerti.”

Johan tersenyum kecil, agak malu.

“Jo,” ucap Keyla lebih lembut, “kalau kamu memang masih menyimpan janji itu, jalani. Tuntaskan. Janji yang ditepati akan membebaskanmu dari beban masa lalu.”

Johan diam. Lalu mengangguk. “Iya, Mbak. Terima kasih... kata-kata Mbak menyentuh banget.”

Keyla memiringkan kepala, menatap Johan lebih dalam. “Jo... boleh jujur gak? Selama enam tahun ini, kamu seperti mayat hidup. Terjebak dalam kenangan. Setelah semua ini selesai, bukalah hatimu untuk yang baru. Jangan biarkan hidupmu layu.”

Johan tersenyum. Tapi itu senyum getir. “Aku bakal coba, Mbak...”

Vinda Puti Keysha. Nama itu kembali muncul di benaknya. Dan seperti biasa, setiap kali nama itu disebut dan terkenang, senyum Johan selalu berubah jadi pura-pura. Ada luka yang tak pernah sembuh di balik mata yang tampak tenang.

Ia mengalihkan pandangan ke jendela. “Eh, Mbak. Kayaknya suami Mbak nunggu di bawah tuh.”

Keyla ikut melongok, lalu tertawa pelan. “Iya juga, Jo. Gangguin aja terus. Padahal kita lagi asyik ngobrol.”

Tiba-tiba ponsel berdering. “Kring... kring... kring…”

“Eh, beneran. Dia nelfon. Tau aja kalau kita lagi ngomongin dia,” ujar Keyla sembari tertawa. Johan ikut tertawa, tawa yang jauh lebih ringan dari sebelumnya.

“Ya udah, Jo. Aku pamit ya. Terima kasih udah jadi pendengar yang baik.”

“Iya, Mbak. Terimakasih juga atas sarannya, hati-hati. Sampai ketemu lagi.”

Keyla berjalan pergi. Sementara Johan tetap di tempatnya. Terdiam. Tenggelam dalam pikiran tentang masa lalu, tentang janji yang belum tuntas, dan tentang kemungkinan untuk memulai kembali hidupnya yang tertunda

"Pertemuan Lama, Perjalanan Baru"

Pagi di Kota Padang terasa begitu syahdu, seperti bumi sedang berbisik dalam diam. Embun yang menggantung di ujung dedaunan luruh perlahan, menyatu bersama tanah yang telah lama menanti. Matahari merambat masuk lewat celah-celah daun, menyentuh lembut setiap sudut halaman rumah Johan, menghidupkan warna hijau yang selama ini diam-diam menyimpan rindu.

Dan di tengah kesunyian pagi itu, sebuah tekad telah tumbuh bulat di dalam hati. Nasehat Mbak Keyla semalam tak sekadar masuk telinga lalu pergi begitu saja—ia mengakar, membangkitkan keberanian yang telah lama tertidur. Johan tahu, waktunya telah tiba. Janji itu... harus ditepati.

Dengan gerakan yang pelan tapi mantap, Johan meraih ponsel di meja samping ranjang. Namanya tertera jelas di layar—Bu Wilda, sekretaris andal yang selama ini menjadi tangan kanan sekaligus penopang di tengah kesibukan.

“Halo, assalamualaikum, Bu Wilda,” ucap Johan, suaranya rendah, dalam, tapi tak lagi ragu.

“Waalaikum salam, Pak Johan. Ada apa ya, Pak? Tumben, pagi-pagi sudah nelpon,” jawab Bu Wilda di seberang, dengan suara khasnya yang selalu terdengar ramah dan hangat.

“Begini, Bu. Saya ingin mengajukan cuti... dalam waktu dekat. Ada urusan pribadi yang harus saya tuntaskan. Untuk sementara, Ibu yang saya percayakan urusan kantor. Pastikan semuanya berjalan lancar, ya.”

“Baik, Pak. Saya akan buatkan suratnya, biar nanti Bapak tinggal tanda tangan.”

“Terima kasih, Bu. Saya ke kantor sebentar lagi.”

“Siap, Pak. Sampai ketemu nanti.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Percakapan itu singkat. Tapi dalam hati Johan, ada gelombang panjang yang belum juga tenang. Ia sadar, perjalanan ini bukan sekadar berpindah tempat. Ini adalah perjalanan hati. Perjalanan yang menuntutnya berdamai dengan masa lalu—dengan luka, dengan kenangan, dengan janji yang terlalu lama dibiarkan menggantung di langit kenangan.

Ia menarik napas panjang. Lalu mengenakan jaket kulit favoritnya. Tali sepatu diikat rapi. Hari ini bukan hari biasa. Hari ini adalah awal dari penebusan.

Begitu urusan kantor beres, Johan langsung tancap gas ke arah Padang Barat. Hatinya sudah duluan sampai, motornya hanya menyusul belakangan. Ada satu nama yang muncul lagi di kepalanya belakangan ini—nama yang sudah lama tidak ia temui, tapi tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.

Kalmi Virza Andika.

Atau, kalau mau pakai gaya khas anak kampus zaman dulu: Kalmi, si Raja Sewa Tenda dan Pendongeng Api Unggun paling absurd yang pernah dilahirkan oleh bumi Andalas.

Mereka pertama kali bertemu di MAPALA, organisasi yang lebih mirip keluarga daripada sekadar UKM. Di sanalah semuanya bermula. Dari gunung pertama yang mereka daki bareng, sampai cinta pertama Johan yang tumbuh diam-diam untuk seorang gadis bernama Keysha. Ya, almarhumah Keysha. Nama yang masih menggema seperti doa malam, walau sudah lama pergi.

MAPALA bukan cuma tempat belajar survival. Bukan cuma soal tali temali dan logistik tenda. Itu tempat mereka jatuh cinta pada banyak hal—alam, teman, mimpi, dan pada hidup itu sendiri. Tempat di mana tawa bisa muncul di tengah hujan deras, dan air mata bisa jatuh diam-diam di balik sleeping bag.

Dan Kalmi... Kalmi itu semacam ikon.

Mantan ketua demisioner yang kalau ngomong, setengah serius setengah ngelawak. Tapi selalu berhasil bikin ruangan yang tegang jadi lebih manusiawi. Gayanya legendaris.

“Hai, my name is Kalmi Virza Andika... You can call me Kalmi,”

Begitu katanya—dengan nada sok bule, wajah tanpa dosa, dan gaya sok pede yang nggak pernah berubah sejak dulu. Dan anehnya, tetap saja berhasil bikin orang ketawa.

Begitulah Kalmi—seseorang yang datang membawa tawa, dan pulang meninggalkan kesan.

Johan masih ingat betul suara tawa itu. Tawa yang meledak seperti petasan malam tahun baru, tak peduli sekeliling sedang diam atau genting. Ia bisa mendengarnya jelas—tawa Kalmi, saat mereka kemah di kaki Gunung Marapi, nyaris beku karena hujan turun tiga hari tanpa henti. Atau waktu mereka nyasar di lembah barat Gunung Talang, berjam-jam memutar tanpa sinyal, tanpa kompas, tapi tetap tertawa... hanya karena mie instan dan cerita absurd Kalmi tentang mantan-mantan pacar imajiner yang katanya sering minta balikan.

Tawa itu bukan sekadar suara. Ia bagian dari kenangan yang membatu di kepala—kenangan tentang hari-hari gila, tentang tawa yang menyelamatkan kewarasan.

Dan hari ini, Johan akan menemuinya.

Bukan sekadar mau sewa tenda. Bukan urusan logistik biasa.

Hari ini tentang janji. Tentang bab lama yang sudah lama ia lipat dan sembunyikan di laci paling dalam.

Saat Johan memarkir motornya di depan toko kecil yang catnya mulai pudar, suara itu langsung menyambutnya. Tawa. Lantang, familiar, dan tak berubah sedikit pun.

"Wah, wah, wah... kita kedatangan investor nih!" seru Kalmi, sambil berdiri dari kursinya. Ada nada bercanda di sana, tapi juga guratan rindu yang sulit disembunyikan.

Johan tersenyum kecil, melangkah pelan seperti seseorang yang sedang pulang setelah perjalanan panjang.

"Hahaha... udah sebesar ini aja ya toko lu, Mi. Gak sia-sia dulu gue kasih lo modal. Sekarang lo malah jadi juragan tenda."

Kalmi menunjuk kursi rotan di sisi depan toko. "Sini, Han. Duduk dulu. Kopi, seperti biasa?"

"Yo i, seperti biasa. Jangan lupa, panas dan pahit."

Kalmi melirik ke dalam toko, lalu memanggil seseorang.

"Dio! Buatkan kopi buat tamu spesial kita. Gula dikit aja, dan ambil cemilan yang masih sisa di dapur."

Johan menimpali dengan suara lebih nyaring, "Sama rokok gue, Dio. Sampoerna Hijau. Masih inget, kan?"

"Siap, Senior! Serasa balik ke masa Diksar MAPALA, nih..." jawab Dio, dengan nada menggoda.

Tawa pecah. Ringan, jujur, tanpa beban. Sejenak, mereka bukan lagi orang dewasa dengan hidup yang ruwet, melainkan anak-anak muda yang dulu pernah berlari menantang kabut hutan dan hujan badai.

Lalu, di antara sisa tawa yang mulai mereda, Kalmi menatap Johan dengan mata menyipit penasaran.

"Ngomong-ngomong, ada angin apa nih? Bos muda kita bisa nongol sepagi ini? Belum jam sepuluh. Bukannya lo kerja, Han?"

Johan menarik napas pelan. Panjang. Seolah mengumpulkan kembali keping-keping perasaannya yang tercecer entah sejak kapan.

"Gue nggak mau muter-muter, Mi. Ada sesuatu yang perlu banget gue omongin."

Kalmi mencondongkan tubuh, matanya menyelidik. Tapi kalimat selanjutnya keluar tanpa ragu.

"Ini pasti soal Keysha, kan?"

Johan terdiam sesaat. Lalu mengangguk perlahan. "Lah, kok lo bisa tahu, Mi?"

Kalmi tersenyum. “Han... kita udah jalanin puluhan pendakian bareng. Gue hafal tiap ekspresi lo. Lo nggak pernah bisa nyembunyiin sesuatu yang serius.”

Johan tertawa kecil. “Dari dulu gue udah curiga lo dukun, Mi.”

"Hahaha... mana ada dukun setampan gue," balas Kalmi, menyeringai percaya diri.

Johan menyipitkan mata. “Tampan-tampan kok belum nikah?”

Tawa meledak lagi. Tapi yang ini beda. Ada luka kecil yang ikut terkuak di sela-sela suara riang itu. Luka yang tidak lagi menganga, tapi belum sepenuhnya sembuh.

Beberapa menit setelah itu, mereka duduk berdua di depan toko. Johan memegang secangkir kopi hangat. Aromanya menusuk hidung, memantik kenangan. Angin pagi Padang Barat berhembus lembut. Membawa serta bayangan Keysha, yang entah kenapa, hari itu terasa begitu dekat.

"Mi," suara Johan pelan, seperti gumaman. "Gue mimpi lagi tentang Keysha."

Kalmi menoleh. Wajahnya tidak berubah. Tenang, penuh perhatian. “Mimpi apa lagi, Han?”

“Mimpi yang sama... Dia datang. Duduk di samping gue. Lalu dia bilang—tentang janji. Janji yang gue buat sebelum semua ini berubah jadi sunyi.”

Kalmi mengangguk, lambat. Ia tahu betapa Keysha adalah orang yang memegang janji lebih erat dari siapa pun. Dulu, ketika ia telat dua jam menghadiri rapat MAPALA, Keysha tak mau bicara selama dua hari. Hanya karena satu janji kecil yang ia langgar, walau Kalmi adalah ketua nya sendiri. Keysha bukan tipe yang mudah memaafkan pengingkaran, sekecil apa pun.

“Sekarang gue makin paham, Mi... Janji itu bukan sekadar kata. Buat Keysha, itu semacam ikatan suci. Jadi... gue udah ambil cuti tiga minggu. Gue mau selesaikan apa yang dulu pernah kami mulai. Perjalanan ini... harus dimulai.”

Johan menatap Kalmi dengan sorot mata penuh harap, nyaris memohon.

“Lo mau ikut, Mi?”

Kalmi hanya tersenyum. “Masih juga lo nanya. Tentu aja gue ikut. Masa gue biarin lo jalan sendirian ke hutan belantara Bukit Barisan, kayak tokoh novel.”

Johan menghela napas lega. “Thanks, Mi. Lo selalu ada.”

“Gue ikut bukan karena kasihan. Tapi karena ini perjalanan penting. Buat lo, buat janji lo. Dan mungkin, juga buat gue. Kita siapin semuanya. Lo urus logistik, makanan. Gue yang urus alat-alat dan izin.”

"Siap, Ketua!" Johan mengangkat tangan, setengah hormat.

Mereka tertawa. Tawa kecil yang sejuk. Tapi di balik tawa itu, keduanya tahu: perjalanan ini bukan lagi soal hobi atau nostalgia. Ini perjalanan menuju pengampunan. Menuju sebuah akhir yang tak pernah sempat mereka tempuh.

"Dua hari lagi kita berangkat. Besok kita cek semua peralatan,” ucap Johan.

"Aman. Dan malam ini, lo nginep sini aja. Gue kabarin anak-anak. Kita kumpul, sekalian nostalgia," Kalmi mengusulkan.

“Ide bagus. Tapi satu hal...” Johan menatap serius. “Jangan kasih tahu mereka soal alasan gue berangkat. Gue nggak pengin dengar omongan orang. Bukan sekarang.”

Kalmi mengangguk pelan. “Gue ngerti, Han. Gue tahu kapan harus diam.”

Hening kembali turun. Tapi itu bukan keheningan canggung. Itu seperti jeda dalam lagu. Sebelum petikan nada selanjutnya dimulai. Johan memejamkan mata sesaat. Angin menyapa wajahnya. Ia merasa... mungkin, untuk pertama kalinya sejak Keysha pergi, dia siap melangkah.

"Eh, Mi... gue denger kabar si Deri ditangkap?"

Kalimat itu keluar pelan dari mulut Johan, seperti sepotong berita yang berat untuk dilontarkan, tapi terlalu penting untuk diabaikan.

Kalmi tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, seakan mencari jeda untuk menenangkan gelombang kecil dalam pikirannya.

"Iya, Han..." suaranya lirih, tapi jelas. "Sebelum dia ditangkap, kita sempat ribut besar. Dia sering nongkrong di toko ini. Tempat kita biasa ketawa, diskusi, ngopi. Tapi waktu itu, dia ngelinting ganja di sini. Gila bener. Udah gue larang keras. Gue bilang, kalau lo masih makai, jangan bawa-bawa ke sini. Tapi dia keras kepala... Nggak lama kemudian, gue denger kabar itu. Dia ditangkap."

Johan mengangguk pelan. Tak ada kejutan di wajahnya—hanya luka lama yang disinggung kembali. "Semoga ini jadi tamparan buat dia. Tapi... makin ke sini, ganja kayaknya makin gampang didapat. Orang-orang udah main terang-terangan. Gimana mereka nggak kecemplung?"

Kalmi mengangguk, menatap langit yang mulai berubah warna di ujung atap toko.

"Katanya... ada yang jagain. Orang besar. Makanya mereka makin berani."

"Semoga yang di balik semua ini segera ketahuan..." Johan menghembuskan asap rokok perlahan, seperti melepaskan sesuatu dari dalam dadanya. "Gue sedih, Mi. Satu per satu teman kita jatuh. Padahal mereka bukan orang jahat. Mereka cuma... lelah. Nggak kuat hadapin hidup. Akhirnya lari ke tempat yang salah."

Angin siang kembali berembus, lembut tapi cukup untuk menggoyangkan ujung daun waru di samping toko.

"Loe pernah denger, Han?" Kalmi memecah hening. "Hidup itu masalah. Solusinya bukan lari, tapi diselesaikan. Kalau mentok, baru kita nyerah... tapi nyerahnya ke Allah, bukan ke barang haram."

Johan menoleh. Matanya berbinar tipis, separuh takjub, separuh geli. "Ini nih... Kalmi Virza Andika, mantan ketua MAPALA, mulai ceramah lagi."

Kalmi menyipitkan mata, pura-pura marah. "Anj—lo, Han. Gue lagi serius malah diledekin."

"Hahaha!" Johan tertawa, dan dunia sejenak terasa ringan. Seperti hari-hari ketika hidup hanya tentang tenda, peta, dan arah mata angin.

Tiba-tiba Johan berseru, nada suaranya berubah lebih jenaka. "Eh, ngomong-ngomong... si Desi gimana kabarnya? Jangan-jangan lo belum nikah juga karena janji bodoh kita dulu?"

Dulu, mereka pernah taruhan di pos pendakian: siapa yang kalah catur harus nunggu yang menang nikah dulu. Johan menang, dan Kalmi... ya, Kalmi masih sendiri.

"Kagak lah! Gue masih pacaran, tapi rencana nikah tahun depan. Asal nggak putus aja sih. Hehe."

Kalmi berhenti sejenak, lalu menatap Johan serius. "Lo juga, Han. Setelah perjalanan ini selesai, lo harus berani jalan lagi. Keysha nggak bakal mau lo begini terus. Dia... pasti pengin lihat hidup lo tetap berjalan. Bukan membatu di tempat."

Johan tertawa pelan. Ada sesuatu dalam tawanya kali ini—seperti menertawakan luka yang sudah terlalu lama ia simpan sendiri. "Agak nyesel gue nanya lo, Mi. Ceramah mulu. Hahaha."

Hari itu mengalir seperti sungai tua. Mereka membicarakan segalanya—tentang hidup yang tak pernah adil, tentang teman-teman yang satu per satu menjauh, tentang rindu-rindu yang tidak pernah selesai. Dan tentu saja, tentang masa lalu yang begitu membekas, seperti ukiran di kayu tua—tidak bisa dihapus, hanya bisa dikenang.

Malamnya, tanpa rencana, toko Kalmi berubah jadi tempat berkumpul. Satu per satu anak-anak MAPALA datang. Tak ada undangan resmi, tak ada agenda. Tapi seolah semesta mengatur waktunya: malam itu jadi reuni kecil yang hangat.

Di tengah suara tawa, pelukan lama, dan aroma kopi yang tak pernah berubah, Johan berdiri di sudut toko. Menatap semuanya. Menyimpan diam.

Sebab malam itu, ia tahu satu hal:

Perjalanan panjangnya baru saja dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!