NovelToon NovelToon

VARIOUS LOVES

Permintaan

Hari ini mendung menggantung di langit, seolah menjadi pertanda buruk. Mira baru saja selesai menyelesaikan pekerjaannya di toko bunga milik seorang teman dekatnya. Saat ia sedang mengunci pintu, ponselnya bergetar di dalam tas. Ia membuka layar dan melihat nama rumah sakit muncul di layar.

"Selamat sore, dengan Kakak dari Nadira?" suara seorang wanita di seberang terdengar tenang, tapi tetap memberi rasa dingin yang merambat ke tulang belakang Mira.

"Ya, saya Mira. Ada apa dengan adik saya?" tanyanya, berusaha agar suaranya tidak pecah.

"Nona Nadira saat ini dalam kondisi kritis. Dia baru saja dilarikan ke ruang ICU. Kami mohon Anda datang segera."

Tanpa berpikir panjang, Mira segera memanggil taksi dan bergegas ke rumah sakit.

Di sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi bayangan Nadira, adiknya yang selalu ceria meskipun tubuhnya semakin lemah beberapa bulan terakhir.

Nadira sering menyembunyikan sakitnya, berusaha terlihat kuat di depan orang lain, terutama Mira.

Sesampainya di rumah sakit, Mira langsung berlari menuju ICU. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan ketika dokter yang merawat Nadira menghampirinya.

"Anda kakaknya, benar?" tanya dokter itu dengan raut wajah serius.

"Ya, saya Mira. Bagaimana kondisi Nadira, Dok?" Suaranya nyaris tersendat di tenggorokan.

Dokter menghela napas panjang. "Nadira menderita encephalitis autoimun. Ini penyakit yang sangat langka, dan kondisinya sudah cukup parah. Kami telah melakukan yang terbaik, tetapi... secara medis, kecil kemungkinan ia akan sembuh."

Mira merasa dunianya runtuh seketika. Kata-kata dokter seolah menjadi palu yang menghancurkan harapannya. Tetapi ia harus kuat. Untuk Nadira, ia harus tegar.

Ketika akhirnya diizinkan masuk ke kamar adiknya, Mira melangkah dengan hati-hati.

Di dalam ruangan, hanya terdengar suara alat bantu pernapasan yang memecah keheningan. Nadira terbaring lemah, wajahnya pucat dan tubuhnya dipenuhi selang medis. Mira menghampiri, menggenggam tangan adiknya dengan lembut.

“Dira... Kakak di sini,” bisiknya, suaranya gemetar. Mata Nadira perlahan terbuka, tetapi ia terlihat sangat lelah. Bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara itu terlalu lemah untuk didengar.

Saat itu, pintu kamar terdorong pelan. Seorang pria tinggi dengan raut wajah tegas namun sedikit kusut masuk. Mira mengenalnya hanya dari cerita Nadira.

Revan, pria itu tampak ragu sejenak sebelum menghampiri ranjang Nadira.

“Mira?” Revan menyapa pelan, suara baritonnya terdengar berat.

Mira mengangguk singkat, memandang pria itu dengan sorot mata penuh pertanyaan. Ia belum sempat berkata apa-apa ketika Nadira membuka mata lebih lebar, seolah memaksakan diri untuk bangun.

“Revan...” suara Nadira lirih, hampir seperti desahan. Revan segera berdiri di sisi ranjang, menggenggam tangan Nadira yang lain.

“Aku di sini, Dira. Jangan memaksakan diri,” katanya lembut.

Nadira menatap keduanya dengan pandangan lemah namun penuh harap. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berusaha berbicara. “Kalian... dengar aku baik-baik.”

“Dira, kamu harus istirahat. Jangan memaksakan diri,” Mira mencoba menenangkan, tapi Nadira menggeleng lemah.

“Tidak... ini penting.” Nadira mengambil napas panjang sebelum melanjutkan.

"Revan, kamu tahu aku tidak punya banyak waktu lagi. Aku tidak ingin kamu sendirian setelah aku pergi."

Revan menunduk, ekspresinya berubah gelap. Ia mencoba membantah, tetapi Nadira melanjutkan dengan sisa kekuatannya.

“Kak Mira... aku ingin kamu menggantikan aku. Menikah dengan Revan.”

Ruangan itu mendadak sunyi. Kalimat Nadira menggema dalam benak Mira, membuatnya seakan kehilangan keseimbangan.

“Apa yang kamu bicarakan, Dira?” Mira bersuara, dengan tak percaya dengan permintaan itu.

“Revan... dia butuh seseorang yang bisa menggantikan ku. Aku tahu ini sulit. Tapi tolong, Kak...” Mata Nadira basah oleh air mata.

“Ini permintaan terakhirku.”

Revan mendongak, menatap Nadira dengan ekspresi tidak percaya.

“Dira, kamu tidak perlu melakukan ini.

Aku percaya padamu bahwa kau akan sembuh, kita akan menjalani hidup seperti biasa."

Nadira tersenyum lemah mendengar kata-kata Revan. Tetapi Nadira tahu apa yang ia rasakan jauh berbeda dari kenyataan.

Dengan sisa kekuatan, ia menggenggam tangan Revan dan Mira erat, mencoba menyampaikan betapa pentingnya permintaannya.

"Aku minta kepada kalian, turuti permintaan terakhirku ini. Agar aku bisa merasa lebih tenang, saat aku pergi."

Ruangan kembali sunyi, hanya suara alat medis yang terdengar samar. Mira memandang adiknya, lalu menatap Revan dengan sorot mata penuh kebingungan. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa permintaan ini terlalu berat. Tapi melihat mata Nadira yang penuh harap, ia merasa semua kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.

Revan menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun jelas ia pun merasa tertekan. Ia berlutut di samping ranjang Nadira, menggenggam tangannya lebih erat. “Dira... aku tahu kamu ingin yang terbaik untukku, untuk Mira. Tapi ini... bukan keputusan yang mudah. Aku hanya ingin kamu fokus pada kesembuhanmu.”

Nadira tersenyum tipis, tetapi air matanya mengalir. “Revan, aku tahu kamu orang yang kuat. Tapi aku juga tahu bagaimana rasanya kehilangan. Aku tidak ingin kamu menghadapi itu sendirian. Kak Mira adalah satu-satunya orang yang aku percaya.”

Mira merasa tubuhnya gemetar. “Dira, kenapa kamu meminta ini dariku? Aku bahkan tidak mengenal Revan. Aku... aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya.”

“Kak...” Nadira menatapnya dengan pandangan memohon. “Ini bukan tentang apa yang kamu bisa atau tidak. Ini tentang kepercayaanku pada kalian berdua. Aku tahu kalian bisa saling mendukung, bahkan saat aku tidak ada.”

Revan menunduk, matanya memerah. Ia tidak mengatakan apa pun, membiarkan keheningan menyelimuti mereka bertiga.

Mira akhirnya menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Baik, Dira. Jika ini yang benar-benar kamu inginkan, Kakak akan mencoba. Tapi jangan berharap Kakak bisa menjalaninya dengan mudah.”

Mata Nadira berbinar meski tubuhnya tampak semakin lemah. “Terima kasih, Kak. Terima kasih, Revan. Kalian telah membuatku merasa lebih tenang.”

Revan mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih menyiratkan keraguan. “Aku akan melakukan apa pun yang bisa membuatmu bahagia, Dira. Tapi aku tetap berharap... bahwa kau akan bertahan lebih lama dari yang kau pikirkan.”

Nadira tersenyum, seolah kata-kata itu adalah harapan yang ingin ia percaya. “Aku mencintai kalian,” bisiknya lemah sebelum perlahan matanya kembali terpejam.

Mira menatap adiknya yang kini tertidur dengan wajah tenang, meski napasnya terdengar berat. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah malam ini. Dan bersama Revan, ia akan menghadapi keputusan yang telah mereka buat demi Nadira.

Mira dan Revan keluar dari ruangan ICU dengan langkah berat, agar Nadira bisa beristirahat dengan tenang.

Keduanya berhenti di dekat jendela koridor.

Mira duduk di kursi dan Revan memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun.

Mira akhirnya memecah kebisuan, suaranya pelan tapi tegas, "Aku tidak mengerti apa yang Nadira pikirkan. Permintaannya... terlalu berat."

Revan menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku juga tidak tahu harus berkata apa. Ini bukan sesuatu yang pernah terlintas di pikiranku. Aku hanya ingin mendampinginya selama dia masih ada."

Revan menatap Mira, sorot matanya tajam namun penuh kejujuran. "Aku tidak akan memaksamu, Mira. Jika kamu merasa tidak sanggup, jangan paksakan. Nadira... mungkin hanya ingin memastikan kita tidak merasa sendirian setelah kepergiannya."

"Dia selalu begitu," ujar Mira lirih, tersenyum pahit.

"Selalu memikirkan orang lain, bahkan di saat dia sendiri kesakitan."

Mereka terdiam lagi, merenungi kata-kata masing-masing. Revan menyandarkan punggungnya ke dinding, pandangannya menerawang. "Aku tidak tahu banyak tentangmu, Mira. Tapi satu hal yang jelas, Nadira sangat mencintai dan percaya padamu. Itu sebabnya dia meminta hal ini."

Mira memeluk dirinya sendiri, mencoba menahan dingin yang tak berasal dari udara di sekitarnya. "Aku tidak bisa mengecewakannya, Revan. Tapi aku juga tidak yakin bisa menjalani ini."

Revan mengangguk pelan, menghormati keraguan yang dirasakan Mira. "Kita tidak perlu memutuskan semuanya sekarang. Fokus kita tetap pada Nadira. Kita lakukan yang terbaik untuknya selama dia masih bersama kita."

Mira memandang Revan, merasa sedikit lega dengan sikap bijaksananya. "Kamu benar. Kita pikirkan ini nanti."

Revan menatap Mira dengan lembut. "Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Demi Nadira."

Mira hanya mengangguk, tanpa menjawab, menatap kosong ke depan.

Revan memeriksa jam di pergelangan tangannya, lalu memandang Mira.

"Mira, aku harus pergi sekarang. Ada beberapa urusan mendesak yang belum selesai. Tadi aku meninggalkan semuanya begitu saja saat mendapat kabar tentang Nadira."

Mira mengangguk, meskipun masih ada sedikit keraguan di matanya. "Aku mengerti. Terima kasih sudah datang."

Revan tersenyum tipis. "Aku akan kembali nanti. Kalau ada kabar apa pun tentang Nadira, tolong hubungi aku segera."

"Ya, tentu. Hati-hati di jalan," jawab Mira.

Revan melangkah pergi dengan tergesa, meninggalkan Mira yang kini kembali termangu di koridor rumah sakit, sendirian dengan pikirannya.

Setelah beberapa saat, Mira menarik napas panjang, berusaha menguatkan dirinya, lalu masuk kembali ke dalam ruangan Nadira.

Ia duduk di kursi samping ranjang, memandang wajah pucat adiknya yang terbaring tak berdaya. Perlahan, ia menggenggam tangan Nadira yang dingin dan kurus.

"Kenapa kamu meminta hal yang begitu sulit untuk aku lakukan, Nad?" bisiknya, suara yang nyaris pecah karena emosi yang tertahan.

Mira memejamkan mata, seakan mencari kekuatan dari keheningan di ruangan itu.

Lelah, baik fisik maupun batin, akhirnya menguasainya. Tanpa sadar, ia menyandarkan kepala di tepi ranjang, dan dalam hitungan detik, ia tertidur.

Masalah

Setibanya di kantor, Revan segera merapikan jasnya, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah ke ruang kerja ayahnya. Aura tegang sudah terasa sejak ia membuka pintu.

“Revan! Dari mana saja kamu?!” suara berat dan tajam ayahnya menggema, menusuk telinga.

Di balik meja kayu besar, pria paruh baya dengan rambut yang sebagian memutih berdiri tegak. Wajahnya penuh amarah, matanya memancarkan kekecewaan yang tak disembunyikan.

Revan menghela napas, menahan diri untuk tidak membalas dengan nada yang sama. “Ayah, aku tahu Ayah tidak suka dengan caraku mengambil keputusan belakangan ini, tapi aku punya alasan.”

“Alasan?” Ayahnya mendengus sinis, tangannya mengepal di atas meja.

“Alasan apa yang cukup untuk mengabaikan tanggung jawabmu? Kau bahkan tidak hadir di pertemuan penting dengan klien terbesar kita tadi! Apa kau tahu betapa memalukannya itu?”

“Aku di rumah sakit,” jawab Revan tegas namun tetap tenang, matanya menatap lurus ke arah ayahnya.

“Rumah sakit?” nada suara ayahnya meninggi, penuh ejekan dan amarah. “Lagi-lagi Nadira!”

Revan mengepalkan tangan, berusaha keras mengendalikan dirinya.

“Kau mengorbankan semuanya demi seorang wanita yang berpenyakitan!” lanjut ayahnya, suara semakin tajam seperti pisau.

“Apa kau lupa siapa dirimu? Kau pewaris keluarga ini, Revan! Tanggung jawabmu adalah perusahaan, masa depan kita! Kau tidak bisa terus bertindak sembarangan seperti ini!”

Kata-kata itu menampar Revan, tapi ia tetap berdiri kokoh, tatapannya tidak goyah.

Dalam hatinya, kemarahan berkecamuk, tetapi ia tahu berdebat dengan emosi hanya akan memperburuk keadaan.

Setelah menghela napas panjang, ia akhirnya berkata dengan suara yang dalam namun penuh ketegasan.

“Ayah, aku tidak melupakan siapa diriku. Aku tahu apa yang harus aku jaga. Tapi Nadira... dia bukan sembarang orang. Dia berarti banyak untukku. Jika Ayah tidak bisa memahami itu, maka biarkan aku yang menghadapinya, dengan cara yang menurutku benar.”

Ayahnya tertawa sinis, suaranya penuh ejekan yang mengiris udara. Ia melangkah mendekati Revan, berdiri hanya beberapa langkah di depannya, menatap putranya dengan sorot tajam yang menusuk.

“Benar? Cara yang menurutmu benar? Revan, kau masih terlalu naif. Hidup ini tidak sesederhana mengikuti kata hati!” katanya, suaranya dingin namun tetap penuh tekanan.

Revan tidak bergeming. Ia berdiri tegak, menahan pandangan ayahnya yang mencoba mendominasi.

“Jika kau terus bertindak seperti ini, apa yang akan kau korbankan selanjutnya, hah?” Ayahnya melanjutkan, suaranya semakin tajam.

“Masa depanmu? Nama baik keluarga ini? Kau pikir itu semua tidak penting? Kau pikir hidup hanya tentang perasaan?”

Revan mengepalkan tangan lebih erat, tapi ia menahan diri untuk tidak meledak. Dengan napas yang sedikit berat, ia menjawab, suaranya tetap tenang, meski ada nada emosi yang tertahan.

“Bukan itu, yah. Aku tahu tanggung jawabku pada perusahaan, pada keluarga ini. Tapi aku juga punya tanggung jawab sebagai manusia, sebagai seseorang yang peduli pada orang lain. Nadira bukan hanya seseorang yang aku kenal begitu saja. Dia... dia bagian dari hidupku.”

Ayahnya mendengus, ekspresi wajahnya seakan mengejek. “Bagian dari hidupmu? Dan karena itu kau rela menghancurkan semua yang sudah dibangun keluargamu selama ini? Kau tahu berapa banyak orang yang bergantung pada perusahaan ini? Berapa banyak nyawa yang akan terkena dampaknya jika kau terus bertindak bodoh seperti ini?”

Revan menggeleng pelan, matanya tetap lurus menatap ayahnya. “Aku tidak akan menghancurkan apa pun, yah. Aku tidak seceroboh itu. Tapi jika menjaga Nadira berarti aku harus berjuang lebih keras untuk menyeimbangkan semuanya, aku akan melakukannya. Dan aku mohon... pahami ini. Aku hanya ingin melakukan yang benar, tanpa kehilangan jati diriku.”

Ruangan itu hening sejenak, hanya terdengar napas berat kedua pria tersebut. Ayahnya menatap Revan dengan sorot yang sulit diterjemahkan, seolah sedang mencoba menilai keteguhan hati putranya.

“Ayah,” Revan melanjutkan, suaranya melembut, tapi tetap penuh keyakinan.

“Aku tahu Ayah ingin yang terbaik untukku, dan aku menghargai itu. Tapi terkadang... yang terbaik itu bukan hanya tentang tanggung jawab keluarga atau bisnis. Ada hal-hal yang lebih besar, lebih penting, yang harus aku pertahankan. Dan bagi aku, Nadira adalah salah satunya.”

Wajah ayahnya mengeras, tapi kali ini ia tidak langsung merespons. Ia membuang napas panjang, berbalik kembali ke meja, dan menatap jendela besar di belakangnya, memandangi kota yang terlihat sibuk di kejauhan.

“Ayah tidak akan mengerti sekarang,” Revan menambahkan pelan.

“Tapi suatu saat, Ayah akan tahu kenapa aku melakukan ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Revan melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan ayahnya dalam keheningan yang berat, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Revan melangkah keluar dari ruangan ayahnya dengan langkah yang terlihat tenang, meski dalam hatinya gejolak masih berkecamuk.

Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban yang tidak bisa ia bagikan kepada siapa pun.

Saat melewati koridor kantor, ia tetap menjaga sikapnya. Beberapa karyawan yang masih bekerja menyapanya dengan sopan.

"Malam, Pak Revan," ucap Della, asistennya, yang sedang bersiap-siap pulang sambil merapikan beberapa dokumen.

Revan mengangguk kecil tanpa berhenti. "Malam," jawabnya singkat, suaranya hampir tidak terdengar. Ia terus berjalan menuju lift tanpa menoleh.

Della memandang punggungnya yang menjauh, keningnya berkerut. Ia bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa dari sikap Revan.

Wajahnya terlihat lebih tegang dari biasanya, seperti sedang memikul masalah besar.

Beberapa saat kemudian, Sila, seorang staf di departemen administrasi, berjalan melewati Della sambil membawa beberapa berkas.

"Eh, Sila," panggil Della, menghentikan langkahnya.

"Iya, Mbak Della?"

"Kamu tahu kenapa Pak Revan seperti itu? kelihatan... Lagi kesel gitu, kusut lagi," tanya Della penasaran.

Sila mengangkat bahu, namun suaranya merendah saat menjawab, seolah takut terdengar orang lain. "Tadi saya dengar, Pak Revan habis dimarahi Pak Darto di ruangan."

"Pak Darto? Waduh... pasti tentang perusahaan lagi," gumam Della, mencoba mencerna informasi itu.

Sila menambahkan sebelum berlalu, "Iya. Tapi saya dengar-dengar sih, masalahnya bukan cuma perusahaan. Mungkin... Soal wanita, karena tadi saya kurang merhatiin."

Della terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Sila. Meski informasi yang didapatnya tidak sepenuhnya jelas, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar urusan perusahaan.

"Masalah wanita?" gumam Della pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menatap ke arah lift yang kini telah tertutup, membawa Revan ke lantai bawah.

Sila, yang sudah bersiap pergi, menoleh sebentar. “Iya, Mbak. Tadi saya cuma dengar sepintas, sih. Tapi kayaknya ada hubungannya sama orang itu. Saya nggak tahu banyak, tapi... ya, saya rasa Mbak Della pasti lebih ngerti.”

Della hanya tersenyum tipis, tidak memberikan komentar apa-apa. Sila pun segera berlalu, meninggalkan Della sendirian di koridor.

Pikiran Della mulai berkelana. Ia memang tahu cukup banyak tentang Nadira, wanita yang sering disebut-sebut sebagai "beban" bagi Revan, terutama di mata keluarganya.

Tapi bagi Della, wanita itu lebih dari sekadar cerita kantor. Beberapa kali ia melihat bagaimana perhatian Revan terhadap Nadira, bagaimana caranya selalu menyempatkan waktu, bahkan di tengah kesibukan yang menumpuk.

Namun, hari ini Revan terlihat berbeda. Biasanya, meski banyak tekanan, ia tetap mampu menjaga sikap tenang dan profesional. Tapi malam ini... langkahnya tampak berat, dan sorot matanya kosong.

“Kenapa kamu begitu keras kepala, Revan?” bisik Della pelan, sambil menatap ke arah lift. Ia tidak bisa memungkiri rasa khawatir yang muncul.

Della menghela napas panjang, menepuk ringan pipinya sendiri untuk mengusir pikiran itu.

“Sudahlah, bukan urusanku,” gumamnya sambil kembali merapikan dokumen.

Namun, di sudut hatinya, ada keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Sementara itu, di dalam lift, Revan berdiri diam, menatap angka-angka yang turun perlahan. Kepalanya penuh dengan pikiran tentang percakapan dengan ayahnya, tanggung jawabnya pada perusahaan, dan yang paling besar, tentang Nadira.

“Apa aku benar-benar terlalu egois?” pikirnya dalam hati. Tapi setiap kali pertanyaan itu muncul, bayangan Nadira selalu hadir, mengingatkannya bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ia tinggalkan, tidak peduli sebesar apa pun konsekuensinya.

Saat pintu lift terbuka, Revan menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Baginya, malam ini belum selesai, dan ia tahu masih ada banyak hal yang harus dihadapi.

Setelah keluar dari gedung kantor, Revan memutuskan untuk tidak langsung pulang. Malam itu, ia merasa butuh tempat untuk melepaskan semua beban yang terus menghimpitnya sejak pagi.

Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Tak lama, sebuah pesan balasan masuk:

"Kita tunggu di tempat biasa, bro. Lu oke?"

Revan tidak menjawab. Ia hanya memasukkan ponselnya ke saku, lalu masuk ke dalam mobil, melaju dengan cukup kencang.

**********

Bar & Lounge "Stellar Nights"

Revan melangkah masuk ke tempat itu, suara musik jazz lembut mengisi ruangan. Lampu-lampu temaram memberikan suasana yang sedikit menenangkan. Beberapa temannya sudah duduk di sudut ruangan, meja mereka dipenuhi dengan beberapa gelas dan botol minuman, sekaligus rokok.

“Revan! Akhirnya datang juga,” ujar Daniel, salah satu teman lamanya, sambil mengangkat gelas.

Revan hanya tersenyum tipis, lalu duduk di kursi kosong di samping mereka. Seorang pelayan datang, dan tanpa berkata banyak, Revan memesan segelas whiskey.

“Ada apa, bro? Lu kelihatan kusut bener,” tanya Arman, teman lain yang duduk di depannya.

Revan mengambil gelas yang baru saja diantar pelayan, meneguk seteguk tanpa menjawab. Rasanya hangat, membakar tenggorokannya, tetapi itu lebih baik daripada harus memikirkan kembali apa yang terjadi di kantor tadi.

“Biasa,” jawab Revan akhirnya, dengan suara pelan. “Masalah keluarga, bisnis... dan Nadira.”

Daniel dan Arman saling bertukar pandang. Mereka sudah sering mendengar nama itu dari Revan.

“Lu serius banget sama cewek itu?” tanya Daniel, nada suaranya setengah bercanda tapi juga penuh rasa ingin tahu.

Revan meletakkan gelasnya dengan sedikit keras di meja, membuat Daniel terkejut. “Gue nggak main-main, Dan. Nadira bukan cuma... seorang cewek buat gue.”

Arman menyandarkan punggungnya ke kursi, menarik napas panjang. “Tapi gue ngerti kenapa bokap lu kesel. Lu tahu kan, Van, dunia kita ini beda. Kadang kita harus milih apa yang lebih penting, dan...”

“Dan gue udah milih,” potong Revan dengan suara tegas. Matanya menatap Arman, dingin tapi penuh keyakinan.

“Gue tahu tanggung jawab gue, tapi itu nggak berarti gue harus ninggalin orang yang gue sayang.”

Suasana di meja itu menjadi hening. Daniel dan Arman tidak ingin memancing lebih jauh, tetapi mereka juga tidak bisa sepenuhnya memahami keputusan Revan.

Setelah beberapa saat, Daniel akhirnya membuka suara. “Lu tahu apa yang lu lakuin, kan? Dunia bisnis nggak punya ruang untuk kelemahan, Van. Apalagi untuk hal-hal kayak gini.”

Revan hanya menatap gelasnya, memutar-mutar isinya dengan pelan.

“Gue udah lama hidup sesuai aturan mereka,” jawabnya.

“Sekarang gue cuma mau hidup sesuai aturan gue sendiri.”

Daniel mengangkat gelasnya, memberikan senyuman samar. “Fair enough, bro. Gue nggak ngerti lu sepenuhnya, tapi kalau itu bikin lu bahagia, gue dukung.”

Arman menghela napas, lalu mengangkat gelasnya juga. “Ya udah, kalau lu udah mutusin begitu, semoga lu nggak nyesel, Van.”

Revan hanya mengangguk pelan, lalu meneguk minumannya lagi. Malam itu, meski ia bersama teman-temannya, pikirannya tetap melayang jauh, kepada Nadira, kepada ayahnya, dan kepada pertarungan besar yang menantinya di hari-hari mendatang.

Karina

Musik yang terus mengalun lembut di dalam bar seolah menjadi latar belakang bagi percakapan yang terus berlanjut di meja Revan.

Sementara Daniel dan Arman tampak semakin terlarut dalam suasana, beberapa wanita mulai menghampiri meja mereka, tersenyum menggoda, membawa aura menggoda yang tidak asing di tempat seperti ini.

Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan gaun hitam yang pas tubuhnya, melangkah ke arah Revan.

Dengan senyuman manis, ia mendekat, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arahnya.

“Hai, sendirian saja?” tanyanya lembut, suaranya sedikit mendesah.

Revan menoleh sekilas, tetapi tatapannya dingin dan tanpa minat. Ia hanya mengangguk sopan sebelum kembali menatap gelasnya.

Wanita itu tidak menyerah. “Kamu kelihatan tegang sekali. Mungkin aku bisa bantu?” Ia menyentuh ringan bahu Revan, tetapi tangannya segera ditepis halus olehnya.

“Maaf,” ujar Revan singkat, tanpa nada keras, tapi cukup tegas untuk memberi tahu bahwa ia tidak tertarik.

Daniel yang duduk di sampingnya hanya tertawa kecil, sambil memeluk pinggang seorang wanita yang telah duduk di sebelahnya.

“Revan ini beda, dia punya aturan sendiri,” ujarnya sambil bercanda. “Nggak kayak kita, ya, Man?”

Arman tertawa keras. “Bener banget! Revan itu pasti tipe cowok setia, ya? Nggak ada ruang buat godaan-godaan kecil ini.” Ia melirik Revan dengan tatapan geli, tetapi Revan tidak menanggapi.

Wanita lain, yang duduk di sisi Arman, ikut menyahut. “Ah, cowok setia itu susah dipercaya kalau udah ada di tempat kayak gini,” ujarnya sambil tertawa pelan, mencoba memancing perhatian Revan.

Revan akhirnya mengangkat wajahnya, menatap mereka dengan pandangan yang serius. “Gue nggak datang ke sini buat itu,” katanya dengan nada datar, tapi tajam.

Daniel mengangkat kedua tangannya, pura-pura menyerah. “Oke, oke! Gue paham, bro. Tenang aja, nggak ada yang maksa.”

Wanita dengan gaun hitam itu tampak enggan menyerah. Ia tetap berada di dekat Revan, menyandarkan tubuhnya pada meja, mencoba menarik perhatian pria yang jelas-jelas tidak tertarik.

“Ah, jangan terlalu serius, dong,” katanya sambil tersenyum menggoda. “Bar ini untuk santai, bukan tempat buat mikir berat.”

Revan tidak menjawab. Ia hanya memutar gelas di tangannya, pandangannya menerawang, seolah tidak peduli pada keberadaan wanita itu. Namun, di sudut matanya, ia menangkap sosok lain di pojok ruangan.

Seorang wanita sedang duduk sendirian, dengan wajah termenung. Rambutnya tergerai lembut, membingkai wajah yang terlihat lelah namun tetap anggun. Wajah itu... terlalu mirip dengan Nadira.

Revan mengerjap, mencoba memastikan penglihatannya. Wanita itu menunduk, memandangi gelasnya, dan tampak seperti berada di dunia lain. Ada sesuatu pada ekspresi wanita itu yang membuat Revan tertegun, kesedihan yang diam-diam menembus dinding kesibukan bar.

"Hei, kamu dengerin aku nggak, sih?" Wanita di sampingnya mencoba menarik perhatian lagi, kali ini dengan nada sedikit kesal. Ia menyentuh dada Revan dengan gerakan lembut, tetapi Revan segera menggeser tubuhnya menjauh.

“Maaf, saya perlu pergi sebentar,” ujar Revan tegas, mengakhiri percakapan tanpa banyak basa-basi.

Sebelum wanita itu sempat membalas, Revan sudah berdiri. Ia berjalan ke arah pojok ruangan, melewati beberapa meja tanpa menoleh ke belakang. Jantungnya berdetak lebih cepat, setengah berharap wanita itu memang Nadira, meskipun logikanya berkata bahwa itu mustahil.

Ketika ia semakin dekat, wanita itu akhirnya mendongak, dan hati Revan serasa berhenti sesaat. Meski wajahnya tidak sepenuhnya identik dengan Nadira, ada kemiripan sedikit.

Tatapan mata yang kosong, bibir yang sedikit terkatup rapat, dan cara wanita itu memegang gelasnya... semua itu mengingatkannya pada Nadira saat pertama kali ia bertemu dengannya.

“Permisi,” ujar Revan dengan suara pelan namun jelas.

Wanita itu menoleh, terkejut melihat pria asing yang tiba-tiba menyapanya. “Iya?” jawabnya, suaranya terdengar lemah, seperti seseorang yang terlalu lelah untuk banyak bicara.

Revan berdiri beberapa detik tanpa berkata apa-apa, mencoba menenangkan pikirannya. “Maaf kalau saya mengganggu,” katanya.

“Tapi... kamu nggak apa-apa? Kamu terlihat... sedih.”

Wanita itu tersenyum samar, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam senyumnya. “Saya baik-baik saja,” jawabnya singkat, sambil meneguk minumannya.

Revan merasakan keinginannya untuk tahu lebih jauh, tetapi ia tidak ingin terkesan memaksa.

Ia menarik kursi di depan wanita itu tanpa meminta izin. Gerakannya tenang, tetapi tegas, menunjukkan bahwa ia tidak akan pergi begitu saja.

Wanita itu menatapnya dengan alis sedikit terangkat, seolah bertanya apa yang sedang ia lakukan, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Setelah beberapa saat diam, Revan akhirnya angkat bicara. “Boleh tahu siapa nama kamu?” tanyanya, suaranya terdengar hangat, meskipun wajahnya tetap serius.

Wanita itu menatap Revan sejenak, ragu untuk menjawab. “Kenapa kamu mau tahu?” tanyanya akhirnya, nada suaranya datar, namun matanya menyiratkan keingintahuan.

Revan tersenyum tipis, mencoba menghilangkan ketegangan. “Aku hanya penasaran. Kamu mengingatkanku pada seseorang.”

“Begitu?” Wanita itu tersenyum samar, lalu menunduk sebentar sebelum menjawab, “Namaku, Karina.”

Revan mengulang pelan nama itu dalam pikirannya. Karina, Ada sesuatu dalam nama itu yang terasa akrab, meskipun ia yakin belum pernah bertemu wanita ini sebelumnya.

"Karina," ulang Revan pelan, mencoba mengukir nama itu dalam ingatannya.

Namun sebelum ia sempat memberitahu namanya, Karina berdiri. Gerakannya tenang, namun penuh keyakinan, seolah sudah memutuskan bahwa pertemuan ini cukup sampai di sini.

Mata mereka sempat bertemu, dan pandangan Karina mengunci Revan untuk beberapa detik. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hanya tatapan yang dalam, meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, sebelum akhirnya ia melangkah pergi, membiarkan keheningan yang mengisi ruangan di belakangnya.

Revan tetap terpaku, memperhatikan punggung Karina yang semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang dari pandangan. Ada rasa ganjil yang menyelinap di dadanya, seperti kehilangan sesuatu yang tak pernah ia miliki.

Ia menarik napas panjang, lalu bangkit dari kursinya. Setelah memastikan Karina benar-benar tak terlihat lagi, Revan memutuskan untuk pergi.

Sebelum meninggalkan bar, ia menyempatkan diri menghampiri Arman dan Daniel, yang masih asyik dengan beberapa wanita.

“Aku duluan,” katanya singkat, suaranya datar namun cukup tegas.

Arman mengangguk pelan, sementara Daniel hanya menatapnya, tampak ingin bertanya tetapi menahan diri.

Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Revan melangkah keluar, membiarkan udara malam menyambutnya dengan dingin yang menggigit.

Revan berjalan pelan menuju tempat parkir, namun langkahnya terasa berat. Pandangannya mulai buram, dan dunia di sekitarnya seolah bergoyang. Ia memijit pelipisnya, mencoba menghalau rasa sakit yang tiba-tiba menghantam kepala.

"Bodohnya! Terlalu banyak minum whiskey," gumamnya pada dirinya sendiri, suara pelan itu nyaris tenggelam dalam kesepian malam.

Ia berhenti sejenak, menyandarkan tubuhnya pada dinding gedung di dekatnya. Udara malam yang dingin tidak membantu mengusir pusing yang semakin menjadi.

Pandangannya berusaha fokus, namun segala sesuatu di depannya tampak kabur, seperti lukisan yang meleleh.

“Seharusnya aku dengar kata Daniel,” gumam Revan lagi, mengingat peringatan temannya tadi tentang minum terlalu banyak. Namun, ia menepis pemikiran itu dengan helaan napas panjang.

Setelah merasa sedikit stabil, Revan kembali melangkah, kali ini lebih hati-hati.

"Aku harus pulang," katanya pelan, seperti memberi instruksi pada dirinya sendiri. Tapi di dalam hatinya, ia tahu itu bukan keputusan yang bijak dalam keadaan seperti ini.

Saat ia hampir mencapai mobilnya, rasa mual mulai menyerang. Revan menghentikan langkah, mencoba mengatur napas.

"Astaga, ini benar-benar parah," desahnya sambil memegangi pintu mobil, mencoba menopang tubuhnya yang lemas.

Revan mencoba mengatur napas di sisi mobilnya, namun tubuhnya terasa semakin lemah.

Ia mencoba kembali untuk berdiri, namun ia menyadari ada suara langkah ringan mendekat, dan berhenti di dekatnya.

“Makanya, kalau minum jangan banyak. Jadi gini, kan,” suara perempuan yang lembut namun penuh sindiran itu menyentak kesadarannya.

Revan mendongak perlahan, meskipun pandangannya masih buram. Sesaat kemudian, ia melihat sosok yang sangat ia kenal, tadi.

Wajahnya yang tenang tampak sedikit lebih jelas di bawah lampu jalan.

“Ka... Karina?” gumamnya dengan nada tidak percaya.

Karina menghela napas, memandangnya dengan alis sedikit terangkat.

"Iya, ini aku." jawabnya singkat, lalu meraih lengannya dengan gerakan tegas.

“Ayo, berdiri. Jangan tidur di sini.”

Revan tergagap, terkejut dengan keberadaan Karina

Ia mencoba mencari kata-kata, tapi kepalanya terlalu pusing untuk berpikir jernih. “Kenapa... kamu di sini?” tanyanya dengan suara lemah.

Karina tidak langsung menjawab. Ia membantu Revan berdiri, meski tubuh pria itu sedikit berat. “Aku lihat kamu keluar bar tadi. Kamu kelihatan seperti orang yang bakal jatuh di jalan, jadi aku ikuti.”

Revan menatapnya bingung, meski ada sedikit senyum di sudut bibirnya. “Kamu khawatir?” tanyanya, mencoba melontarkan lelucon meskipun nadanya lemah.

Karina mendesah, tapi ada senyum samar di wajahnya. “Jangan ge-er. Aku cuma nggak mau kamu bikin masalah di jalan.”

Revan tertawa kecil, meski tawanya terdengar lemah. "Baiklah. Terima kasih, meskipun kamu nggak mau mengaku kalau kamu peduli."

Karina tidak menjawab, hanya membantu Revan ke kursi penumpang mobilnya. "Kunci?" tanyanya, menatap Revan dengan pandangan serius.

Revan merogoh saku jaketnya dengan susah payah, lalu menyerahkan kunci mobil pada Karina. "Kamu mau bawa aku pulang?"

Karina mengangguk singkat. “ya, kecuali kamu mau tidur di sini sampai pagi.”

Tanpa banyak bicara, Karina masuk ke kursi pengemudi.

Revan hanya bisa bersandar lemah, memejamkan mata sementara mobil masih belum bergerak.

Karina melirik ke arah Revan.

"Revan?" panggil Karina, mencoba memastikan pria itu masih sadar.

Tidak ada jawaban. Karina menghela napas dan menyentuh lengannya dengan ringan. "Revan, aku nggak tahu rumahmu di mana. Bisa kasih tahu aku?"

Revan menggerakkan kepalanya sedikit, tapi tidak membuka mata. “Hmmm...” gumamnya pelan, suaranya tidak jelas.

Karina mengerutkan kening. Ia mengguncang bahu Revan sedikit lebih keras. "Hei, aku serius. Jangan pingsan dulu. Aku nggak mau salah bawa kamu."

Revan mengangkat tangannya lemah, seolah mencoba memberikan arahan, tapi kata-katanya terlalu tidak jelas untuk dimengerti. Setelah beberapa detik, tangannya jatuh lagi, dan ia benar-benar pingsan.

Karina mendesah panjang. “Astaga, kamu bikin repot saja,” gumamnya sambil melirik ke luar jendela.

Tidak ada pilihan lain. Ia harus membawa Revan ke tempat yang aman, dan satu-satunya tempat yang terpikirkan adalah rumahnya sendiri.

Dengan hati-hati, Karina mengubah arah mobil menuju rumahnya yang tak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan, ia melirik Revan beberapa kali, memastikan pria itu masih bernapas dengan normal.

Setibanya di rumah, Karina memarkir mobil di garasi, mematikan mesin, lalu keluar dengan langkah cepat menuju sisi penumpang.

Ia membuka pintu dan menatap Revan yang masih terlelap. “Hei, bangun. Kita sudah sampai,” katanya seraya mengguncang bahu Revan dengan kasar.

Revan hanya bergumam tidak jelas, matanya masih tertutup rapat. Karina menghela napas panjang, sedikit kesal sekaligus bingung.

"Ya ampun, nggak percaya aku sampai harus begini," gumamnya, setengah berbicara pada dirinya sendiri. Tanpa banyak pilihan, ia meraih lengan Revan dan berusaha membantunya keluar dari mobil.

Butuh usaha ekstra untuk membimbing Revan yang setengah sadar masuk ke dalam rumah. Setibanya di ruang tamu, Karina hampir kehabisan tenaga.

Dengan satu tarikan napas terakhir, ia membaringkan Revan di sofa, dengan sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.

Sambil berdiri di samping sofa, ia memandang lelaki itu dengan tatapan tak percaya.

“Kenapa juga gue repot-repot bawa pulang nih orang? Buat apa, coba?” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri, seraya mengusap wajah dengan frustrasi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!