Lily menghela nafas panjang sebelum memutar gagang pintu di depannya. Hari ini pekerjaannya begitu melelahkan. Banyak tuntutan yang harus dihadapi sebagai seorang news anchor. Belum lagi atasan yang begitu menyebalkan.
Lily memasuki ruang tamu dengan hati yang berat, langkahnya berat seolah membawa beban yang tak terlalu jauh dari pandangannya. Di sofa, Isaac, suaminya, tengah duduk dengan santainya, sibuk dengan ponsel kesayangannya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Lily, seakan terikat oleh dunia maya yang terbentang di genggamannya.
Sesaat Lily terdiam, matanya memandang Isaac dengan tatapan yang sulit diartikan. Seburuk apapun laki-laki yang dia lihat sekarang, Isaac tetaplah suaminya dan dia masih mencintainya.
Lily memilih menikah dengan Isaac karena permintaan ibunya sebelum meninggal dunia. Sebenarnya permintaan itu cukup berat bagi Lily. Namun, dia tetap memenuhi sebelum akhirnya sang ibu meninggal setelah Lily menikah satu bulan dengan Isaac.
Lily dan Isaac mengenal satu sama lain selama dua bulan sebelum menikah. Pada saat pendekatan, Isaac merupakan seseorang yang pekerja keras, penyayang, dan lembut. Lily begitu kagum kepada Isaac dan memutuskan untuk menikah. Namun, kini Lily merasa terjebak dalam pernikahan yang menyesakkan hatinya.
Keadaan semakin buruk ketika Isaac kehilangan pekerjaannya dan menjadi pengangguran. Sekarang, Lily menjadi tulang punggung keluarga, mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
“Aku mau daftarin kamu kerja di kantor temenku,” ujar Lily seraya duduk di seberang Isaac. Dia bersandar dan memandang Isaac dengan sedikit jengkel.
Isaac menghentikan aktivitasnya, memandang Lily sekilas, kemudian kembali fokus pada benda pipih di genggamannya.
“Kerja? Gaji kamu aja udah cukup, kok.”
Jawaban Isaac merupakan jawaban yang sering Lily dengar. Cukup? Ya, gajinya memang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Namun, Lily ingin memiliki tabungan untuk masa depan.
“Cukup? Kita harus punya tabungan! Banyak hal yang harus-”
“Apa?” potong Isaac membuat Lily mendesah kasar. Dia mencengkeram sofa, mencoba untuk tidak terpancing emosi. Dia sudah cukup lelah di tempat kerja. Seharusnya dia bisa pulang ke rumah dengan nyaman dan melepas lelah.
Beban yang Lily pikul semakin berat saat dia menyadari bahwa Isaac tidak hanya menjadi beban finansial, tetapi juga beban emosional. Dia merasa tertekan karena suami yang dia cintai begitu tidak berguna dan tidak memperhatikan kebutuhan dan perasaannya. Dia terjebak dalam lingkaran kesedihan dan penyesalan, bertanya-tanya apakah ada jalan keluar dari kehampaan ini.
Lily beranjak dari sofa dengan kasar. Sudut matanya melirik Isaac yang sedang sibuk dengan ponselnya. Ekspresinya berubah-ubah dengan jari yang sibuk mengetik sesuatu.
Lily berjalan dengan gontai menuju kamarnya. Dia benar-benar lelah dan butuh istirahat. Setelah mandi, dia mengeringkan rambutnya dengan handuk sembari menatap novel favoritnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur.
Lily memang hobi membaca novel, bahkan di kamarnya terdapat rak buku yang berisi banyak novel. Dia mulai suka membaca novel setelah lulus kuliah. Novel-novel yang dia baca adalah novel romance. Dia menyukai setiap adegan-adegan romantis di dalam novel.
Dengan perasaan lelah namun berharap sedikit ketenangan, Lily mengambil novel itu dan duduk di tepi tempat tidur.
Sepuluh menit berlalu dalam keheningan, halaman demi halaman beralih di tangan Lily yang lembut. Kata-kata di buku itu sedikit menghibur hatinya yang berat. Namun, momen ketenangan itu tidak berlangsung lama. Pintu kamar terbuka dan Isaac masuk, langkahnya terdengar berat dan tidak sabar.
"Sayang, aku butuh kamu," katanya dengan nada yang terdengar genit namun tak tulus, mendekati Lily yang masih tenggelam dalam bacaannya. Isaac duduk di sampingnya, tangannya mulai mengelus punggung Lily dengan gerakan yang awalnya lembut namun segera menjadi menuntut.
Lily mendesah pelan, menutup novelnya dan menaruhnya di samping. "Isaac, aku capek," katanya dengan suara lemah. "Aku butuh istirahat."
Namun, Isaac tidak mendengarkan. Tangannya semakin liar, mencumbu Lily dengan cara yang semakin kasar. "Ayolah, sayang. Seharian tadi kan kamu kerja, aku kesepian," desaknya, bibirnya mendekat, mencium Lily dengan penuh gairah yang tidak diinginkan.
Lily mencoba melawan, menepis tangan Isaac, tapi dia semakin memaksa. "Isaac, tolong... aku benar-benar capek," katanya dengan nada memohon, namun Isaac tidak peduli. Dia meraih Lily, menarik tubuhnya lebih dekat, memaksa untuk melayaninya.
Dengan kekuatan yang tidak terduga, Isaac membanting tubuh Lily ke atas kasur membuat Lily terkejut. Sebelum dia bisa bereaksi, Isaac sudah menindihnya, berat tubuhnya menekan keras, membuat Lily sulit bergerak.
Lily mencoba melawan, tetapi Isaac menahan kedua tangannya di atas kepala. "Isaac, berhenti!" teriak Lily, air mata mulai mengalir di pipinya.
Isaac tidak menghiraukan teriakan istrinya itu, bahkan dia tidak peduli dengan rasa lelah yang terpancar jelas di wajah Lily. Bibirnya dengan kasar menciumi wajah Lily dengan paksa, tangannya yang kuat meremas tubuhnya tanpa ampun. "Kamu milikku, Lily," desisnya, nadanya penuh hasrat yang menakutkan.
Lily meronta, mencoba membebaskan diri, tetapi Isaac terlalu kuat. "Isaac, please," isaknya, rasa takut dan putus asa menyelimuti dirinya.
Isaac terus memaksanya, tidak peduli dengan tangisan dan permohonan Lily. Tubuhnya yang berat menindih dengan keras, menghilangkan setiap kesempatan Lily untuk melawan. Dia merasa hancur dan merasa diperlakukan seperti pemuas di kala Isaac membutuhkannya.
Air mata mulai mengalir di pipi Lily. Dia merasa terjebak, tak berdaya menghadapi suaminya sendiri. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, Lily menyerah. Dia melayani Isaac dengan air mata yang terus mengalir, menangis dalam hening malam yang dingin.
Di balik setiap ciuman yang kasar dan sentuhan yang memaksa, Lily hanya bisa merasakan sakit dan keputusasaan. Tangisan Lily terus berlanjut, menggema dalam gelapnya malam yang sunyi, mengiringi setiap detik yang terasa begitu menyakitkan.
“Jadilah istri yang baik,” desis Isaac di sela-sela aktivitasnya.
Setelah merasa puas, Isaac menarik diri dari atas tubuh Lily. Dia meraih pakaiannya yang tergeletak di lantai tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia mengenakan celana dan kaosnya dengan gerakan cepat dan acuh tak acuh.
Lily terbaring lemah di tempat tidur, tubuhnya terasa hancur dan hatinya berantakan. Air mata terus mengalir di pipinya, dan isaknya yang pelan terdengar dalam keheningan kamar. Dia merasa tidak berdaya.
Isaac, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Lily, berjalan keluar kamar.
Isaac berjalan menuju rooftop. Dia mengeluarkan sebatang rokok dari saku, menyalakannya dengan gerakan yang sudah terlalu akrab. Asap rokok pertama keluar dari bibirnya, dia merasa rileks, seakan tidak ada yang terjadi.
Isaac merokok dalam diam, seakan dunia di sekitarnya tidak berarti. Dengan setiap hisapan, dia semakin jauh dari kenyataan yang harus dihadapi, memilih melarikan diri dalam kepulan asap yang menyesakkan.
JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️ TERIMAKASIH
Lily terbangun karena suara alarm yang memecah keheningan pagi. Matahari baru saja terbit, cahayanya menyusup melalui celah tirai. Tubuhnya terasa sakit dan berat, bekas ulah Isaac tadi malam masih terasa nyata. Dia meringis saat mencoba bergerak, setiap gerakan mengingatkannya pada peristiwa yang baru saja terjadi.
Isaac terbaring di sampingnya, tertidur pulas dengan wajah yang tenang. Lily menatapnya dengan campuran perasaan antara cinta dan kepahitan yang menguat. Wajah Isaac terlihat begitu damai dalam tidurnya, seakan tidak ada yang salah di dunia ini.
Lily perlahan beranjak dari tempat tidur, menahan nyeri di tubuhnya. Dia berjalan menuju dapur, langkahnya pelan dan hati-hati agar tidak membangunkan Isaac. Di dapur, dia mulai memasak sarapan dengan gerakan mekanis. Suara mendesis dari wajan dan aroma makanan mengisi ruangan, sedikit menghibur hati yang terluka.
Setelah memasak, Lily beralih membersihkan rumah. Dia harus bangun lebih awal dan bekerja lebih keras. Isaac biasanya baru bangun sekitar jam 10 pagi, meninggalkan Lily kerepotan mengurus rumah sendirian. Sejak awal, mereka tidak memiliki asisten rumah tangga sehingga Lily yang menangani sendiri.
Saat membersihkan meja makan, pikiran Lily melayang ke masa-masa awal pernikahan mereka. Dulu, Isaac begitu perhatian dan romantis. Mereka saling mencintai dengan tulus, dan Lily merasa seperti wanita paling beruntung di dunia. Setiap pagi mereka habiskan dengan canda tawa, sarapan bersama, dan janji-janji manis untuk masa depan.
Namun, seiring berjalannya waktu, Isaac mulai berubah. Dia menjadi malas, cuek, dan semau sendiri. Setiap hal kecil bisa membuatnya marah, dan Lily selalu menjadi sasaran kemarahannya. Kenangan manis itu terasa seperti mimpi yang jauh, tergantikan oleh kenyataan pahit yang kini harus dia hadapi.
Dengan perasaan yang campur aduk, Lily bersiap untuk berangkat kerja. Dia mengenakan setelan blazer, memastikan penampilannya tetap rapi meski hatinya berantakan. Rambutnya yang panjang dan berwarna cokelat dia gerai begitu saja.
Setelah menyemprotkan parfum, Lily menatap Isaac sejenak. Gerakan Lily tak mampu membangunkan Isaac sedikitpun.
Lily menatap rumahnya sejenak sebelum melangkah keluar. Rumah yang dulu penuh dengan cinta dan kebahagiaan kini terasa seperti penjara yang dingin. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diri sebelum melangkah untuk menghadapi dunia luar.
Dengan perasaan sedih, kosong, dan muram, Lily mengendarai mobilnya. Langit yang cerah di pagi hari terasa kontras dengan kegelapan yang menyelimuti hatinya. Dia hanya berharap suatu hari nanti, ada secercah cahaya yang mampu menghapus kesedihan yang telah begitu lama menghantuinya.
Jalanan yang begitu padat membuat Lily menghela napas beberapa kali. Suara klakson berbunyi tanpa henti, menciptakan simfoni yang tidak harmonis di antara deretan mobil yang berhenti dan melaju pelan. Jalanan penuh sesak dengan kendaraan, mulai dari mobil pribadi, bus kota, hingga sepeda motor yang mencoba menyelinap di antara celah sempit.
Lily melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Dia memastikan jika waktu yang dimilikinya masih cukup untuk sampai di kantor. Hari ini dia harus membawakan berita pukul 9 pagi.
Sudah 3 tahun Lily bekerja sebagai news anchor di salah satu stasiun televisi ternama yang merupakan saingan langsung dari INK TV, stasiun milik mertuanya, Samuel Brandon.
Lily tersenyum getir mengingat siapa Isaac. Ya, suaminya merupakan anak dari Samuel Brandon, pemilik stasiun TV nasional. Namun, karena sesuatu hal, Isaac dicoret dari ahli waris oleh ayahnya. Satu-satunya harta yang diberikan Samuel kepada anaknya adalah rumah yang kini ditinggali oleh Lily dan Isaac.
Setelah berhasil melewati jalanan yang begitu padat, akhirnya Lily sampai di gedung dengan tinggi puluhan meter.
Satu-satunya hal yang membuat Lily semangat adalah bekerja. Setiap pagi, Lily tiba di studio televisi dengan semangat yang membara, siap untuk memberikan performa terbaiknya di depan kamera.
Kebiasaannya untuk selalu mencari informasi terbaru membuatnya menjadi sumber berita yang dapat diandalkan, dan kemampuannya untuk menyampaikan berita dengan kejernihan dan ketajaman membuatnya dihormati oleh rekan-rekan seprofesinya.
“Pagi, Lily, cantik banget, deh,” puji salah satu rekan kerjanya.
Lily memang begitu cantik dengan mata coklatnya yang besar dan bercahaya, memancarkan kehangatan. Wajahnya oval sempurna dengan kulit yang halus seperti porselen membuatnya sering di puji banyak orang.
“Pagi, juga,” balas Lily ramah. Tak hanya cantik dan anggun, dia juga ramah dan mudah bergaul. Kecantikannya itu yang membuat Isaac tergila-gila padanya. Namun setelah mendapatkan Lily, Isaac justru menyia-nyiakannya.
Selesai membawakan berita, Lily menuju kantin bersama Agatha, sahabatnya. Mereka berteman sejak hari pertama Lily bekerja. Agatha menjadi saksi semua kisah cinta Lily, termasuk pernikahannya dengan Isaac.
“Lil, malem nongkrong, yuk,” ajak Agatha, disela kunyahannya.
Lily ingin sekali mengangguk antusias. Tapi, Isaac pasti tidak mengizinkannya.
“Weekend aja gimana?”
“Kenapa? Nggak boleh sama Isaac?” selidik Agatha.
Lily hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum getir. Mau bagaimanapun, isaac adalah suaminya. Dia tidak bisa berlaku sesuka hati tanpa menghiraukan Isaac.
“Ya udah, ajak Isaac sekalian,” saran Agatha meskipun dia tahu jika Isaac akan menolak mentah-mentah.
Lily menghela napas berat. Jika di depan banyak orang Lily bisa menutupi kesedihannya, tapi di depan Agatha tidak. Dia bisa mengeluh dan menyampaikan apa yang dia rasakan kepada Agatha.
“Kenapa? Kamu ada masalah lagi sama dia?” tanya Agatha yang peka melihat raut wajah Lily.
“Aku heran, deh, sama Isaac. Dia dulu baik banget, bahkan tergila-gila sama kamu. Eh setelah dapet, malah seenak jidat,” dumel Agatha dengan jengkel.
“Dia nggak tau apa kalo istrinya secantik bidadari? Gila aja main seenaknya gitu,” sambung Agatha setelah menelan makanannya.
“Ck, aku aja heran. Kenapa dia berubah drastis,” lirih Lily. Dia meraih gelas, lalu meneguk minumannya hingga tandas.
“Baru beberapa bulan aja gini, gimana kedepannya?” tanya Agatha seraya mendorong piring kosongnya ke samping.
Pertanyaan Agatha juga menjadi pertanyaan besar Lily. Pernikahan yang dia bangun belum genap setengah tahun, namun sudah banyak masalah yang menghantui.
“Lagian kamu juga aneh, kenal dua bulan langsung nikah,” cecar Agatha membuat bahu Lily semakin merosot.
“Kamu kan tau sebaik apa Isaac waktu PDKT. Dia sayang banget sama aku, perhatian, lembut, pekerja keras juga,” jelas Lily. Bahkan hal ini yang membuat Lily jatuh cinta padanya.
“Tapi sekarang? Kerja aja males! Kenapa kamu masih cinta sama dia, sih?” sindir Agatha.
“Lagian papa Isaac kan kaya, kenapa nggak kerja di kantor papanya aja? Kan bisa jadi CEO disana,” tambah Agatha.
“Kalo gitu dia nggak akan mandiri,”ucap Lily berbohong. Selama ini dia tidak memberi tahu Agatha jika Isaac dicoret dari ahli waris. Dia sendiri sebenarnya penasaran mengapa suaminya dicoret dari ahli waris dan tidak mendapatkan apa-apa selain rumah yang ditinggalinya.
JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️ TERIMAKASIH
Lily mengendarai mobilnya menuju kafe favoritnya. Sebelum pulang ke rumah, dia memutuskan untuk mampir ke kafe untuk membeli minuman matcha yang selalu berhasil menyegarkan pikirannya. Hari itu cukup melelahkan karena dia harus mengikuti rapat dan mengurus beberapa hal.
Kafe itu terletak di sudut jalan yang ramai, tempat yang selalu dipenuhi pasangan muda yang bercengkrama sambil menikmati waktu luang mereka. Aroma kopi dan teh yang hangat menyambutnya begitu dia membuka pintu kafe.
Di dalam, suasana cukup ramai dengan deretan meja yang diisi oleh pasangan-pasangan yang asik berbincang sambil sesekali tertawa. Musik jazz yang lembut mengalun di latar belakang, menambah kehangatan suasana.
Lily duduk sembari menunggu pesanannya datang. Di tengah keramaian itu, pikirannya melayang ke masa lalu, ke masa ketika Isaac, suaminya, selalu menjemputnya di kantor. Dia teringat bagaimana Isaac dengan setia menunggunya di depan gedung, dengan senyum hangat dan sebuah cup minuman matcha kesukaannya di tangan.
"Capek?" tanyanya sambil menyerahkan minuman itu. Setiap kali Isaac memeluknya, rasa lelah setelah seharian bekerja seolah lenyap seketika. Pelukan Isaac adalah tempat paling nyaman bagi Lily, tempat di mana dia merasa dicintai dan dilindungi.
Namun, semua itu kini tinggal kenangan. Isaac yang dulu penuh perhatian dan kasih sayang telah berubah. Sekarang, Isaac bersikap acuh tak acuh, dan bahkan kadang bersikap semaunya sendiri tanpa memperdulikan perasaan Lily.
Lily merindukan Isaac yang dulu. Isaac yang selalu ada untuknya, yang selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa. Tapi kini, rumah yang dulu hangat terasa dingin dan kosong. Lily berusaha tetap kuat, meski hatinya hancur setiap kali melihat Isaac yang begitu jauh dan tak peduli lagi.
Lamunannya buyar ketika seorang lelaki tiba-tiba menghampirinya. "Hai, kamu Lily, kan? Aku sering liat kamu di TV. Aku boleh duduk di sini?" Lelaki itu tersenyum ramah, mencoba memulai percakapan. Lily sedikit terkejut namun berusaha tetap tenang.
“Oh, hai. Iya, saya Lily. Silakan duduk," jawabnya sambil tersenyum kecil.
Meskipun merasa tidak nyaman, Lily tetap berusaha untuk ramah. Dia tidak mau dianggap sebagai seseorang yang sombong.
“Ternyata kamu lebih cantik aslinya, daripada di TV,” puji lelaki itu.
Lily tertawa kecil, lalu mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Dia sudah sering mendengar pujian semacam itu.
Lelaki itu kemudian mulai berbincang ringan, memuji penampilan Lily saat membawakan berita di TV yang sering dia tonton. Meskipun Lily terlihat santai dan menikmati obrolan, tapi dia telah membangun tembok yang amat sangat tinggi. Dia tidak mau melewati batas dan di anggap sebagai istri tidak tahu diri.
Setelah beberapa waktu, lelaki itu memberanikan diri untuk bertanya, "Aku boleh minta nomor HP kamu? Mungkin kita bisa ngobrol lagi kapan-kapan."
Lily tersenyum tipis, menggeleng pelan. "Maaf, aku tidak bisa memberikannya. Aku khawatir suamiku akan marah jika aku memberikan nomor HP ke orang lain," ujar Lily dengan sopan, takut menyinggung perasaan lawan bicaranya.
Lelaki itu tampak kecewa namun tetap tersenyum. "Oh, maaf. Aku nggak tahu kalo itu cincin pernikahan," ujarnya sambil melirik jari manis Lily.
Dilihat dari sisi manapun, Lily masih tampak muda dan fresh. Banyak orang yang mengira bahwa dirinya belum menikah.
Setelah lelaki itu pergi, Lily kembali memikirkan Isaac. Rasa rindunya pada Isaac yang dulu semakin kuat. Dengan minuman matcha di tangan, dia berjalan keluar dari kafe untuk pulang.
***
Isaac menunggu Lily tak sabaran. Sesekali matanya melirik ke arah jam dinding dan mendengus kesal.
“Dia kemana, sih? Harusnya udah pulang dari tadi!” oceh Isaac. Dia meraih ponsel yang ada diatas meja berniat untuk menelepon Lily. Namun, sebelum tangannya berhasil meraih ponsel, dia mendengar suara mobil Lily memasuki pekarangan rumah.
Dengan tergesa-gesa, isaac keluar rumah untuk menghampiri Lily.
“Kenapa lama banget?” tanya Isaac ketus begitu melihat Lily keluar dari mobil,
“Aku tadi-”
“Aku minta uang,” potong Isaac. Dia tidak peduli dengan penjelasan Lily, dia hanya peduli dengan uang.
“Uang? Kamu mau pergi?” tanya Lily. Dia berdiri di depan Isaac, mengamati penampilan suaminya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Bukan urusan kamu! Udah cepet kasih aku uang, udah telat, nih!” seru Isaac.
"Isaac, aku udah ngasih uang beberapa hari lalu, loh. Kebutuhan kita juga banyak," kata Lily dengan lembut.
Mata Isaac menyipit, rahangnya mengeras. "Kamu nggak ngasih aku uang?" suaranya bergetar penuh amarah.
Lily mencoba berbicara dengan tenang. "Aku bukan nggak mau ngasih, tapi kita harus lebih bijak. Uang kita semakin menipis, Isaac."
Namun, kata-kata Lily hanya membuat Isaac semakin marah. Tanpa peringatan, dia merebut tas Lily dari tangannya. Lily berusaha merebut kembali, tetapi Isaac terlalu kuat. Dengan kasar, Isaac membuka tas, merogoh dompet Lily, dan mengambil sejumlah uang.
Isaac, yang sedang memegang uang di tangannya, memandang Lily dengan penuh kebencian. "Kamu, tuh, bener-bener istri yang nggak tahu diri! Nggak patuh sama suami!" teriaknya.
Lily ingin melawan, ingin memukul, ingin menjerit. Namun, tubuhnya terasa kaku, mulutnya terkunci. Dia hanya bisa berdiri di sana, menerima semua penghinaan Isaac. Tangannya gemetar, air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi dia tidak ingin menangis di hadapan Isaac.
Setelah mengambil uang yang diinginkannya, Isaac melemparkan tas ke arah istrinya dengan begitu kasar.
Lily mendengar deru mobil Isaac menjauh, meninggalkan dirinya dalam kehampaan.
Begitu Isaac menghilang dari pandangan, air mata yang sejak tadi ditahannya mulai mengalir. Kenapa dia tidak bisa marah? Kenapa dia tidak bisa melawan?
Dengan hati yang remuk, dia berjalan masuk ke dalam rumah, pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi lembut namun memilukan. Tanpa melepas sepatunya, dia melemparkan tubuhnya ke sofa. Segala rasa lelah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu. Dia menatap langit-langit, bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir. Apakah ada harapan bagi mereka?
Lily menutup matanya, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan berlalu. Namun, rasa sakit di hatinya mengatakan sebaliknya. Ini adalah kenyataan pahit yang harus dia hadapi, dengan atau tanpa Isaac di sisinya.
Ada sebersit keinginan untuk berpisah dengan Isaac, namun dia segera menggeleng kuat. Rasa cinta membuatnya tidak mau berpisah dengan Isaac, meskipun dirinya tersiksa
“Sabar, Lily. Ini hanya ujian,” lirihnya seraya menghapus sisa-sisa air mata di pipinya.
“Suatu hari nanti, Isaac pasti akan kembali. Aku cuma butuh bersabar,” tambahnya dengan penuh keyakinan. Mungkin Isaac merasa terpukul karena kehilangan pekerjaan, pikir Lily.
Setelah dirasa cukup tenang, Lily beranjak dari sofa menuju ke dapur. Dia butuh air untuk membasahi tenggorokannya yang terasa begitu kering.
JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️ TERIMAKASIH
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!