Dua dekade yang lalu, ketika malam datang menyelimuti Desa Sindarasa. Surya Katulistiwa, seorang mandor Perhutani, tengah dilanda kegelisahan. Istrinya, Selviawati, sudah menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan, dan di tempat sunyi ini, hanya ada bayang-bayang pepohonan serta suara alam yang menemani mereka.
"Arya, kamu di mana, kenapa lama sekali tibanya?" Surya menggerutu, berusaha mengusir rasa cemas yang kian mencengkeram dadanya.
Di dalam rumah yang sederhana, Selviawati merintih kesakitan, "Mas! Sakit, Mas!"
Surya mencoba menenangkan, "Sebentar, Bu. Yang sabar ya!" Namun, keadaan semakin mendesak, dan membawa istrinya ke puskesmas tampak seperti angan semata. Jarak menuju fasilitas kesehatan terdekat tak hanya jauh, tetapi juga harus melewati jalanan berbatu, tikungan tajam, dan hutan belantara.
Menyadari keadaan yang tak memungkinkan, Surya akhirnya memutuskan untuk memanggil Mbah Rejo, dukun bayi yang dikenal mampu menangani kelahiran dengan cara-cara tradisional. Malam itu, langit desa bersiap menyambut gerhana bulan total, sebuah pertanda yang menggetarkan hati penduduk setempat.
"Kang, piye?" tanya Arya saat akhirnya tiba di rumah Surya.
"Mbak mu, Mbak mu mau melahirkan," jawab Surya singkat, segera menyuruh Arya menjemput Mbah Rejo dengan sepeda motor.
"Ndang cepet, selak gerhana bulan."
Malam semakin larut, dan kegelisahan makin dalam menyelimuti Surya. Di sudut ruangan, ia memandang jarum jam yang terasa bergerak lambat, seakan-akan waktu enggan berpihak padanya.
Sebelum Arya berangkat, Surya mengingatkan, "Arya... Arya, pesen e si Mbok! Kalau mau jemput Mbah Rejo jangan menoleh ke belakang."
Arya merasa heran, "Ada apa to, Kang? Kok pakai hal-hal kaya gitu!"
"Katanya si Mbok. Biar kita cepat sampai."
Dengan penuh kesungguhan, Surya menatapnya, "Dadi cah enom sing manut, yen ono kolo mengo ki. Biasane mandi omongan e!"
Tak mau membantah, Arya akhirnya menjawab, "Ya sudah, saya tak berangkat dulu, Kang!"
Malam itu, di bawah bayang-bayang gerhana, perjuangan seorang suami dan sahabat untuk menyambut kehidupan baru di tengah keterbatasan berlanjut. Rasa khawatir bercampur harap, seiring langkah Arya yang semakin menjauh, membawa secercah harapan untuk Surya dan Selviawati.
**
Malam semakin larut, dan bulan perlahan merangkak menuju puncak, menyelimuti Desa Sindarasa dalam keheningan. Di dalam rumah sederhana itu, Selviawati bergelut dengan rasa sakit yang datang tanpa ampun. Dengan napas terengah-engah, ia merintih,
"Mas… Mas Surya! Aku dah gak kuat lagi, Mas." Tangan halusnya meremas perut yang mulai berkontraksi, gelombang demi gelombang rasa sakit yang tak bisa lagi ditahan.
Surya yang duduk di sampingnya, mengelus lembut perut istrinya, berbisik penuh kasih, "Sabar, ya, Nak. Paklikmu baru pergi cari dokter."
Namun, Selviawati tiba-tiba bangkit dengan satu tangan memegang pinggangnya yang nyeri, "Mas, aku mau ke belakang!"
Surya segera menahannya, "Bu, kamu itu bukan mau buang hajat, jadi nggak usah ke belakang. Aku malah takut kalau kamu jatuh."
"Aku bingung, Mas," Selviawati bergumam, tatapan matanya samar menahan kesakitan yang kian mendera.
Kontraksi di rahimnya semakin sering, datang dengan jeda yang makin tipis, membuatnya menggeliat kesakitan. "Sabar, Nak. Bentar lagi Paklik-mu pulang," ucap Surya, meski hatinya pun diliputi kecemasan yang kian berat. Ia tak tega melihat istrinya harus melalui malam yang begitu menyiksa ini. Sejak tadi, wanita berambut sebahu itu terus mengeluh, meminta diantar ke kamar mandi untuk buang air besar.
Surya mencoba menenangkannya lagi, "Bu, wes toh, nggak usah bangun! Tiduran saja. Itu bukan karena mau ke kamar mandi. Itu karena Bu-e ini mau melahirkan."
Selviawati menggigit bibirnya, lalu merintih lagi, "Tapi Mas, aku kudu ngeden! Aku nggak bisa kalau harus ngeden di ranjang… aku pengennya…"
Surya menahan perasaan tak tega yang kian menggerogoti hatinya. "Bu, sebentar lagi dokter datang. Sabar, ya, Bu!" ucapnya, berusaha menyembunyikan kekhawatiran dengan kata-kata yang menenangkan, meski ia tahu sesungguhnya bukan seorang dokter yang akan datang. Namun, harapan kecil itu diucapkannya untuk meredakan hati wanita yang paling dicintainya. Di balik keremangan malam, Surya menunggu, menyimpan semua kecemasan dalam diam, sementara ia terus mengelus punggung istrinya dengan penuh kasih.
**
Malam itu, di bawah langit yang bersiap menyambut gerhana bulan, Arya melaju dengan sepeda motor buntut yang sudah renta.
"Ndek jaman pejuang! Njur kelingan anak lanang. Mbiyen tak openi ning saiki ono ngendi," ia bersenandung, berharap lagu sederhana itu bisa mengusir sepi dan takut yang mulai menjalar di perjalanan.
Lampu motornya yang redup dan klakson yang tak lagi berfungsi membuatnya harus lebih waspada. Udara malam begitu dingin, menembus lapisan jaketnya hingga terasa menggigil di tulang.
Sepanjang jalan, hanya suara binatang malam yang mengiringi langkah motornya. Ketika melewati perempatan, Arya bergumam pelan, "Nderek langkung, Mbah! Nuwun sewu, assalamualaikum," seolah mengucap salam pada sosok-sosok gaib yang mungkin bersemayam di sana.
Namun tiba-tiba, suara binatang yang sedari tadi riuh mendadak hening, hanya menyisakan desis angin yang seolah membawa isyarat.
"Astagfirullahaladzim! Opo kae!" Arya menghentikan motor dengan jantung yang berdegup kencang.
Di ujung jembatan, ia melihat sosok putih berdiri kaku. Mata Arya yang minus membuat penglihatannya semakin samar. Ia mengucek mata berulang kali, berharap apa yang dilihatnya hanyalah ilusi.
Jembatan itu adalah satu-satunya penghubung antara Desa Sindarasa dan Desa Sruwen. Dengan berat hati, Arya memberanikan diri melewatinya. Ia menutup mata dan menghela napas dalam-dalam, menerjang jembatan sepanjang lima meter itu dengan doa-doa yang terbisik di bibir.
Namun nahas, di tengah perjalanan, ada sesuatu yang menempel di lengannya. Arya terkejut dan menghentikan motor, berteriak ketakutan, "Ampun, Mbah! Saya tidak mengganggu!"
Namun ketika membuka mata, ia mendapati hanya sehelai kain putih yang tersangkut di lengannya. Ternyata, kain itu adalah kain berkabung yang sudah usang, terlepas dari bambu yang seharusnya menahannya di pinggir jalan.
"Sontoloyo!" maki Arya sambil menahan tawa lega.
Setelah perjalanan panjang dan menggelitik itu, Arya tiba di rumah Mbah Rejo, seorang bidan desa yang juga dikenal sebagai dukun bayi. Dengan napas tersengal, Arya langsung menyampaikan tujuannya.
"Le, iki Malam Sabtu Pahing tanggal 1 Suro," ujar Mbah Rejo dengan nada serius, "Ayo ndang mangkat! Bayi ini harus lahir sebelum gerhana bulan. Jika tidak, dia akan membawa nasibnya sendiri."
Arya mengangguk, "Enggih, Mbah. Monggo!" Ia segera mengajak Mbah Rejo naik ke motornya.
"Cepet sitik, Le!" Mbah Rejo mengingatkan.
"Motornya gak bisa ngebut, Mbah. Motor tua," jawab Arya, sedikit menunduk.
"Dua jam lagi gerhana datang!"
"Sabar, njih, Mbah," jawab Arya, berusaha agar motor tua itu tetap melaju dengan kecepatan terbaiknya.
Malam kian larut, angin semakin dingin, dan di belakang mereka, bayangan gerhana bulan seakan semakin mendekat, seolah-olah tak sabar menyaksikan datangnya kehidupan baru di tengah desa yang sunyi.
**
Dari dalam rumah, Surya mendengar suara langkah dan panggilan Arya yang diikuti oleh suara wanita tua yang membuatnya merasa lega. Ketika sosok Mbah Rejo memasuki rumah, perasaan cemas Surya seketika mereda.
"Alhamdulillah, Mbah Rejo pun rawuh," bisiknya penuh syukur.
Mbah Rejo hanya mengangguk dengan tatapan yang penuh ketenangan.
"Ndi bojomu?" tanyanya sambil melirik ke arah kamar.
Surya segera menuntun sang dukun ke tempat Selviawati, yang akrab dipanggil Selvi, terbaring lemah menahan sakit. Senyumnya hilang, berganti dengan tatapan tajam penuh pengamatan.
Tanpa banyak bicara, Mbah Rejo mulai menyiapkan segala peralatan yang dibawanya, dari pisau bedah kecil hingga kain steril, siap menghadapi kemungkinan apa pun. Meski dikenal sebagai dukun bayi, alat-alat medis Mbah Rejo cukup lengkap untuk seorang praktisi tradisional.
Selvi, yang tengah berjuang dengan kontraksi hebat, meringis kesakitan, tubuhnya menggeliat ketika Mbah Rejo mengumumkan, "Ini sudah pembukaan tujuh, Nduk. Sedikit lagi."
Selvi menjerit ketika kontraksi semakin intens. Dengan cermat, Mbah Rejo mengambil pisau bedah untuk membuat sedikit sayatan demi membantu ketuban keluar sedikit demi sedikit.
"Tarik napas, Nduk! Lepaskan dan tarik, lalu lepaskan lagi," arahannya bergema lembut, mencoba memberi ketenangan.
Selvi menggeliat dan menggenggam kain kuat-kuat, "Mbah... mules, Mbah!"
"Tarik lagi, lepas. Pelan-pelan ya, Nduk," Mbah Rejo menuntunnya dengan sabar. Surya, yang setia di samping, tampak ikut mengatur napas, seolah-olah beban itu juga menjadi miliknya.
Mbah Rejo memperhatikan, lalu menyindir dengan senyum tipis, "Le, kenapa kamu malah ikut-ikutan ambil napas?" Surya hanya tersipu, sementara keringat bercucuran deras di wajahnya, menyaksikan penderitaan wanita yang dicintainya.
Selvi meringis lagi, merasa semakin tak nyaman, "Saya mau ke belakang, Mbah! Saya gak kuat kalau ngangkang begini. Saya lebih baik jongkok!"
"Tidak, kalau mau BAB, keluarin di sini saja," jawab Mbah Rejo tegas, tahu itu hanya efek dari kontraksi yang semakin intens. Selvi menggigit bibir, menahan desakan yang semakin kuat.
Selvi terus berjuang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala sesuai arahan Mbah Rejo, dan sesekali ia mengangkat kepala, menarik napas, dan menghembuskannya perlahan.
Malam semakin larut, gerhana bulan hampir sempurna, dan di dalam rumah yang sederhana itu, sebuah keajaiban tengah terjadi di tengah perjuangan seorang ibu dan cinta seorang suami yang tak lekang oleh waktu.
Malam semakin larut, dan suasana tegang terasa menyelimuti rumah Surya. Tangan Mbah Rejo bergerak cepat, seraya melirik bulan yang semakin meredup menuju gerhana penuh.
"Tolong ambilkan handuk atau sapu yang bersih," perintahnya dengan nada genting. Rembesan air ketuban tak kunjung muncul, membuat Mbah Rejo was-was. Ia berbisik pada dirinya sendiri.
“Sebentar lagi gerhana bulan akan datang, bayi ini harus segera lahir.” Waktu seakan berpacu dengan setiap detik yang berlalu.
Surya, dengan wajah penuh kecemasan, segera meminta Laila, istri Arya, untuk mencari kain yang bersih. Tak lama kemudian, Laila bergegas kembali dengan sapu tangan yang ia bawa dari kamar Selvi dan menyerahkannya kepada Mbah Rejo.
“Taruh di mulut istrimu! Agar ia tidak menggigit lidahnya sendiri!” instruksinya tajam namun penuh perhatian, dan Surya hanya bisa mengangguk, menuruti setiap perintah.
Selvi mengejan dengan kuat, membuat Surya makin gelisah. Ia mulai merasa lelah, tetapi rasa cinta dan khawatir membuatnya bertahan. Melihat itu, Mbah Rejo menyuruhnya beristirahat sementara Laila yang bergantian menjaga Selvi. Namun, kontraksi hebat kembali terjadi, memaksa Selvi untuk mengejan dengan kekuatan yang tersisa.
Saat itulah, Mbah Rejo mengambil keputusan yang sangat mendesak. Ia melakukan tindakan untuk memberikan ruang bagi Selvi. Meskipun darah segar mengalir, air ketuban tetap tidak keluar.
Tanpa ragu, Mbah Rejo memanggil Arya. “Arya! Ambil peralatan dapur, panci, wajan, atau apa saja!” teriaknya, suaranya menggema di seluruh rumah.
“Njih, Mbah!” jawab Arya, bingung namun segera bergerak.
“Buat apa coba, Mbah minta panci wajan, kayak nggak masuk akal!” bisik Surya.
“Dituruti saja, Kang, demi keselamatan Mbak Selvi. Aku juga gak ngerti buat apa,” jawab Arya, setengah yakin.
Teriakan Mbah Rejo kembali terdengar. “Cepat, Arya! Jangan dicuci, bawa saja meski kotor!”
Di dalam rumah sederhana yang sebagian berdinding papan kayu dan anyaman bambu, teriakan dan perintah bersahutan. Kecemasan tergantung di udara, bersamaan dengan aroma tanah yang diterpa angin kencang gerhana bulan.
“Nduk, mengejan yang kuat, ya,” ujar Mbah Rejo, memberikan semangat pada Selvi. Keringat nenek tua itu bercucuran, diusapnya sesekali dengan selendang yang melingkar di leher.
“Mbah, ini alat dapurnya,” Arya datang dengan membawa panci tua dan wajan kecil.
“Arya! Tabuh panci di depan pintu!” titah Mbah Rejo lagi.
Arya, dengan wajah bingung, mulai mengetukkan panci dengan sebatang kayu, menciptakan denting suara yang bergema di malam sunyi.
“Aargh!” teriakan Selvi terdengar semakin keras, tubuhnya bergetar hebat di tengah proses persalinan yang menguras tenaga.
Mbah Rejo mengambil gunting lagi dan menekan sedikit perineum Selvi, berharap kali ini air ketuban akan keluar. Darah semakin banyak mengucur, namun ia tetap fokus.
“Tabuh terus pancinya, Arya! Jangan berhenti!” titah Mbah Rejo sambil terus mengatur napas dan menenangkan Selvi.
“Njih, Mbah!” Arya menabuh dengan irama yang semakin kuat, suara itu melawan sunyi malam yang mencekam.
“Mas, hawa malam ini bikin merinding!” ucap Arya sambil memandang ke arah Surya, yang juga merasakan keanehan.
“Ya, gerhana bulan memang sering bawa hawa begini,” sahut Surya, matanya tak lepas dari Selvi yang tengah berjuang.
Di luar, kampung kecil mereka hanya dihuni oleh lima belas keluarga yang bekerja di Perhutani. Di tengah keheningan desa, di bawah langit gerhana bulan yang mengintimidasi, satu keluarga sedang berjuang, ditemani suara tabuhan panci, doa yang terucap lirih, dan cinta yang tak tergoyahkan.
Sekali lagi, Mbah Rejo meminta Selvi untuk mengejan dengan sekuat tenaga. Namun, wanita berhidung mancung itu tampak kehabisan tenaga, tubuhnya lemas, dan wajahnya pucat.
"Haus, Mas!" keluhnya lirih, suara itu nyaris tenggelam di antara gemuruh dalam dirinya. Mendengar keluhannya, Laila segera menyodorkan air, memberi dukungan penuh pada Selvi, membisikkan semangat untuknya agar kuat bertahan.
Dengan sisa tenaga yang ada, Selvi kembali mengejan. Tangannya menggenggam erat sprei, berusaha menahan rasa sakit yang semakin memuncak. Mbah Rejo berdiri di sampingnya, mengelus perut Selvi dengan tangan penuh doa dan harap, sembari berkomat-kamit melafalkan mantra kuno:
Marmati Kakang Kawah Adi Ari-Ari Getih puser jabang bayine bin Surya Khatulistiwa. Ya, Allah ya Gusti, paringono dumateng kulo sedaya kebebasan saking musibah dunyo kelawan akhirat. Paringono kulo petunjuk ingkang leres kersanipun kulo kalian sederek kulo, Selvi lan larenipun ugi Panjenengan paringi pitulungan. Panjenengan paringi welas asih kekalihipun ugi saged gesang. Sedulur papat kalimo pancer ingkang katon lan ingkang mboten keton, ingkang kerumat lan mboten kerumat. Kalian ingkang medal saking margaino kalian ingkang mboten. Kadang Ingsun ingkang medal sedinten sedoyo. Bopo wonten ing ngajengan lan ibu wonten mburi, paringono kelancaran.
"Nduk, kamu harus kuat, ya," suara Mbah Rejo kembali terdengar di sela-sela mantra yang panjang, penuh kekhusyukan.
Selvi hanya mengangguk, bibirnya mengatup erat, berjuang mengatasi rasa sakit.
"Sekali lagi, Nduk. Yang kuat!" aba-aba terakhir itu terdengar seperti hentakan yang menyulut nyala tekadnya. Ia mengejan dengan sekuat tenaga, dan di saat bersamaan, bayangan gerhana bulan mulai menutupi langit malam.
Saat itulah, bayi yang dikandung Selvi akhirnya lahir, namun terbungkus kantung plasenta utuh. Mbah Rejo menghela napas panjang, pandangannya penuh makna.
“Surya! Kamu di mana?” panggilnya dengan suara yang menggema, memecah keheningan. Surya berlari dari dapur dengan wajah panik, melihat sang bayi yang masih terbungkus dengan takjub sekaligus kaget.
“Gigit pembungkus plasenta ini dengan gigimu, Surya!” perintah Mbah Rejo sambil menyerahkan bayi itu kepada ayahnya.
Tangan Surya gemetar saat mencoba menggigit kantung plasenta, tetapi aroma anyir dan pemandangan darah membuatnya mual. Berkali-kali Surya mencoba, tapi selalu gagal, mulutnya bergetar, dan akhirnya ia menyerah, terpaksa meminta bantuan.
Mbah Rejo, memahami keraguan dan ketakutan Surya, menyarankan pilihan lain.
“Kalau tidak bisa kamu lakukan, aku yang akan membuka selaput ini. Tapi kamu harus tahu, ada risikonya.” Dengan anggukan penuh kepasrahan, Surya memberi izin.
Mbah Rejo menempatkan bayi mungil itu di atas ranjang dan dengan hati-hati menggunakan pisau bedah untuk menyobek plasenta. Ketika selaput terbuka, air ketuban akhirnya keluar, membasahi lantai bambu. Suara tangis bayi itu memenuhi ruangan, getarannya menyentuh hati semua yang hadir.
“Namanya Kusuma Magnolya,” kata Mbah Rejo sambil menggendong bayi yang masih penuh darah itu, suara doa lirih mengalir dari bibirnya.
Ia memotong tali pusar bayi dengan cekatan, lalu menidurkannya di atas Selvi, memberikan waktu bagi ibu dan anak untuk merasakan ikatan pertama mereka.
Tak lama kemudian, Mbah Rejo mengangkat bayi itu lagi untuk memandikannya. Sementara itu, Surya mengumandangkan adzan di telinga Kusuma, suaranya bergetar menahan haru. Suara tangis bayi kecil itu terasa seperti nyanyian kehidupan, memenuhi ruang sempit dalam rumah kayu mereka yang sederhana.
Selvi terbaring, tubuhnya lelah namun hatinya penuh syukur. Malam itu, pengalaman berat yang dilaluinya seakan terbayar lunas ketika mendengar tangis buah hatinya yang pertama.
Rasa takut dan sakit bercampur menjadi satu, namun kini ia merasa hangat, ditemani bayinya yang telah lahir di bawah bulan gerhana, membawa kisahnya sendiri.
"Selvi, jangan tidur dulu. Tunggu sampai kamu bisa kentut, baru nanti boleh makan dan beristirahat," Mbah Rejo berpesan, mengingatkan Selvi dengan lembut.
Selvi mengangguk pelan, menahan kantuk sambil sesekali mengelus pipi bayi mungil di pelukannya.
Setelah semuanya selesai, Mbah Rejo mendekati Surya, berbicara dengan nada penuh arti. "Ingat baik-baik, Surya. Jangan biarkan anakmu terluka oleh benda tajam seperti gunting atau pisau, karena kekebalan anakmu akan berkurang jika ia terluka oleh benda-benda itu," ujarnya.
Surya mendengarkan dengan seksama, menyadari bahwa nasib putrinya bukan hanya sekadar kisah lahirnya.
Malam itu, di desa terpencil yang hanya dihuni oleh lima belas keluarga, mereka merasakan kehadiran bayi istimewa yang lahir di bawah lindungan sedulur papat kalimo pancer. Di desa Sindarasa, kisah tentang bayi yang lahir terbungkus plasenta dalam gerhana bulan akan menjadi legenda, menyatu dengan malam sunyi, doa yang terlantun, dan suara tangis yang kelak membawa harapan.
Suara binatang malam memecah kesunyian, menembus kedalaman gelap yang menyelimuti desa kecil tempat keluarga Surya tinggal. Bulan, seolah enggan menyinari kegelapan, menciptakan suasana sunyi dan suram, seakan alam pun turut merasakan kesedihan yang melingkupi malam.
Angin malam yang lembut menyusup melalui celah-celah jendela, menggerakkan tirai dengan bebas, seperti sehelai kain yang menari-nari. Udara dingin melingkupi ruangan kecil itu, membawa aroma tanah basah setelah hujan, mengingatkan akan harapan baru yang selalu datang di setiap pagi.
“Cup-cup.. anak ibu, tidur, ya, Sayang,” suara lembut Selvi menggema, menggenggam bayi mungil yang baru tujuh bulan menghiasi hidupnya. Sebuah nyanyian lullaby lembut pun mengalun, menyejukkan hati, melindungi sang buah hati dari kegelapan malam yang menakutkan.
Semilir angin bertiup semakin kencang, mengacak dedaunan yang tergeletak di halaman, menciptakan simfoni alam yang menyeramkan. Dalam hening yang tegang itu, terdengar suara burung gagak mengisi keheningan, terbang mengelilingi rumah seperti mengawasi setiap detak jantung keluarga kecil tersebut.
Selvi menatap ke arah atap, terheran-heran. Sejak kelahiran buah hatinya, burung hitam itu seakan tak pernah jauh dari rumah mereka. Beberapa kali, Surya mencoba mengusirnya, namun selalu kembali, seakan terikat oleh suatu misteri.
“Kenapa, sih, selalu ada burung itu selepas Maghrib?” gumam Selvi, ketidaknyamanan membayangi wajahnya. “Pak, bisa tolong usir burung itu lagi?” pintanya kepada Surya yang sedang duduk di ruang TV.
Surya menghampiri, wajahnya menunjukkan ketegasan. “Tak coba dulu, ya, Bu,” ujarnya, berjalan keluar mencari burung yang mengganggu.
Matanya melintasi atap, sampai akhirnya menemukan sosok burung gagak, hitam mengkilap, bertengger dengan tenang. Dengan hati-hati, ia mengambil batu, bersiap untuk melempar.
“Pergilah, burung!” teriak Surya, melempar batu dengan tujuan tepat. Burung itu terbang tinggi, melontarkan suara khasnya, Kiak! Kiak! Kiak! seolah menantang, menciptakan suasana yang kian mencekam.
“Ah, dasar, bikin pusing,” gerutunya saat ia kembali ke dalam rumah, menutup pintu, seolah menutup semua kekacauan di luar.
Selvi mendekat, menggenggam bayinya erat. “Gimana, Pak? Udah diusir?” tanyanya penuh harap.
“Ulah, Bu. Bawa Kusuma tidur, ini sudah malam,” jawab Surya, matanya melirik jam dinding. Sudah setengah delapan, saatnya sang bayi terlelap dalam mimpi yang indah.
“Iya, Pak. Ibu bawa Kusuma ke kamar dulu,” jawab Selvi, mengangguk patuh.
“Jangan lupa, Bu. Taruh kaca sama gunting di atas bantal bayi, kata Mbah Rejo biar gak ada yang ganggu, Bu,” Surya mengingatkan, suaranya lembut namun tegas.
“Iya, Pak. Nanti aku taruh,” Selvi berjanji, langkahnya sudah menuju ambang pintu kamar.
Di dalam kamar, dengan hati-hati, ia meletakkan Kusuma ke dalam box bayi yang terbuat dari kayu, dilengkapi kelambu berwarna senada, seolah menjaga putri kecilnya dari dunia luar. Bayi mungil itu tertidur damai, seolah tak terpengaruh oleh kegaduhan malam.
“Tidur, ya, Sayang,” bisik Selvi, senyum manis menghiasi wajahnya. Ia membelai lembut rambut halus Kusuma, merasakan ketenangan yang baru, saat tiba-tiba ingat.
“Ah, iya, aku lupa meletakkan gunting dan kaca,” gumamnya, cepat-cepat mengambil kedua benda itu dari atas meja, menyiapkan perlindungan untuk tidurnya yang nyenyak.
Malam ini, di bawah naungan bulan yang malu-malu, keluarga kecil itu berusaha menemukan ketenangan di tengah hiruk-pikuk dunia luar.
Selvi meletakkan gunting dan kaca di atas bantal bayi Kusuma, berpegang pada kepercayaan bahwa benda-benda itu dapat melindungi sang bayi dari gangguan makhluk halus.
Setelah memastikan putrinya tertidur lelap, ia beranjak dari box bayi, melangkah lembut menuju ruang TV untuk menemani Surya, suaminya yang sudah menunggu.
Detik pun berganti menit, dan keheningan malam mengisi setiap sudut ruangan. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama. Kedua tangan mungil Kusuma mulai bergerak, menandakan bahwa ia terbangun, tetapi tak ada tangisan yang keluar. Manik mata hitamnya menatap langit-langit kamar dengan penuh rasa ingin tahu, seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sana.
Di atasnya, sosok wanita berambut panjang tergantung di langit-langit, memutar kepalanya hingga 180 derajat, menghadapkan wajahnya yang hancur dan mengerikan ke arah bayi itu. Wajahnya terlihat seolah tergerus aspal jalanan; sebelah matanya melorot, menggantung di wajahnya, sementara darah hitam mengalir deras dari luka-lukanya.
“Anak.. manis,” bisik wanita itu dengan suara serak, lidahnya menjulur seakan-akan tak sabar untuk mencicipi manisnya daging segar bayi yang ada di hadapannya.
Kaki wanita itu hancur, tubuhnya remuk, dan tulang belulang mencuat dari daging yang tersisa. Belatung yang menggerogoti tubuhnya jatuh berjatuhan, menyentuh kulit lembut Kusuma. Anehnya, sang bayi tidak terkejut. Ia justru tertawa riang melihat sosok mengerikan itu, seolah menemukan mainan baru.
Tawa renyah Kusuma menggema, tangan mungilnya bergerak-gerak penuh suka. Tanpa sadar, telapak tangan kecilnya menyentuh sisi tajam gunting. Perlahan tapi pasti, goresan kecil muncul di telapak tangannya, darah segar mengucur, menambah kesan menyeramkan pada malam yang sunyi.
Sosok wanita itu terjatuh dari langit-langit, berdiri tepat di samping box bayi. Tangan panjangnya terulur ke arah sang bayi, kuku-kuku tajamnya siap mengoyak tubuh mungil yang rapuh itu. “Datanglah padaku, Anak manis,” ucapnya, suaranya mengerikan namun lembut, saat ia mulai menyentuh pipi Kusuma.
Dengan lembut, sosok itu terserap ke dalam tubuh sang bayi, membawa kegelapan yang tak terduga.
Sementara itu, di ruang TV, Surya dan Selvi masih asyik menikmati acara malam, seakan dunia di luar mereka terabaikan. Sejak kelahiran putri mereka, waktu berdua kian berkurang, tetapi malam ini, mereka mengupayakan kebersamaan dengan menonton televisi, sejenak melupakan tugas-tugas yang menunggu.
Namun, kedamaian itu segera terusik. Suara benda jatuh menggema dari arah kamar bayi, membuat kedua orang tua itu saling menatap dengan rasa cemas.
“Suara apa itu, Bu?” tanya Surya, ketidakpastian terlihat di wajahnya.
“Aku juga nggak tahu, Pak,” jawab Selvi, terkejut.
Suara benda jatuh terhenti, menggantung dalam keheningan yang tegang. Namun, tak lama kemudian, suara tangisan Kusuma terdengar nyaring, mengoyak malam dan melahirkan kecemasan dalam hati mereka.
“Itu Kusuma nangis, Bu. Takut ada apa-apa sama Kusuma,” pinta Surya, wajahnya penuh khawatir.
“Iya, Pak. Aku pergi dulu, lihat keadaan bayi kita,” jawab Selvi, segera melangkah menuju kamar bayi, bertekad untuk menenangkan putrinya yang tercinta.
Kamar bayi itu remang-remang, bayang-bayang melintas di sudut-sudutnya, membuat Selvi sedikit terhalang. Ia mendekat ke box bayi, hatinya berdebar saat ingin melihat keadaan sang buah hati yang baru lahir beberapa bulan lalu.
Ketika ia membuka tirai kelambu, kegelapan dan kehadiran sesuatu yang asing membuatnya terhenti. Rasa dingin merayap di sepanjang punggungnya, menyadarkannya bahwa malam ini, bukan hanya ketenangan yang menyelimuti ruang kecil itu.
Berikut adalah pengembangan kalimat yang kamu berikan menjadi sebuah narasi yang lebih puitis dengan nuansa "anak senja":
---
Namun, suasana tenang itu segera pecah ketika Selvi terkejut. Di dalam box bayi, hanya tersisa kain bekas gendongan, sementara bayi mungilnya, Kusuma, menghilang tanpa jejak.
"Di mana Kusuma? Bukankah dia tadi menangis?" batinnya bergetar dalam kegelisahan, langkahnya mulai mencari ke segala penjuru.
Ia berusaha mengingat kembali, takut jika bayinya terjatuh dari box. Namun, mustahil sisi box bayi itu tingginya mencapai setengah meter. Ketakutan mulai menyergap, dan berbagai pikiran buruk menyelimuti benaknya.
"Pak! Pak! Ke sini!" teriak Selvi, suaranya bergetar oleh kepanikan yang melanda. Keheningan malam seolah terdistorsi oleh teriakannya, menggema di dalam kamar yang seharusnya tenang.
Surya, mendengar jeritan histeris istrinya, segera berlari menuju kamar bayi. "Ada apa, Bu?" tanyanya, panik melihat wajah Selvi yang pucat ketakutan.
"Kusuma, Pak! Kusuma gak ada!" jawab Selvi, suaranya pecah oleh tangis yang sudah tidak tertahankan.
"Apa?! Kok bisa? Tadi kan ada di sini, Bu!" Surya merasa jantungnya berdegup kencang, ketakutan menyelimuti pikiran logisnya.
"Bagaimana ini, Pak! Kusuma diculik!" Selvi berspekulasi, kengerian merasuki jiwanya.
"Tenang dulu, Bu," pinta Surya berusaha menenangkan, meski dalam hatinya, kecemasan pun merasuk.
Tiba-tiba, suara tangisan bayi terdengar dari sudut kamar, membuat keduanya terkejut. "Itu Kusuma, Pak!" seru Selvi, mulai melangkah mencari sumber suara.
"Ayo kita cari, Bu. Suaranya gak jauh dari sini, dia ada di kamar ini," ujar Surya, harapan mulai menyala di antara kepanikan.
Mereka berdua segera melangkah mencari, mengikuti tangisan yang kian mendekat, seolah membawa mereka ke petunjuk yang diharapkan. Saat mendekati lemari kayu tempat mereka menyimpan baju, Selvi menunjuk, “Mungkin ada di sana, Pak.”
"Aku cek dulu," ucap Surya dengan hati-hati, melangkah mendekati lemari.
Perlahan, ia membuka pintu lemari, berharap menemukan putrinya. Namun, saat ia memeriksa, tak ada tanda-tanda bahwa Kusuma ada di sana. Suara tangisan itu pun menghilang, dan Surya merasakan kebingungan semakin mendalam.
"Gak ada, Bu," katanya, suaranya penuh kekhawatiran.
"Ya Tuhan. Di mana anakku," ucap Selvi, ketakutan menggerogoti hatinya.
Oek! Oek!
Suara tangisan kembali muncul, lebih dekat dari sebelumnya. Selvi dan Surya segera memalingkan pandang ke pojok kamar, terkejut oleh sebuah penampakan. Bayi yang mereka cari ada di sana, tetapi sesuatu terasa sangat salah. Itu bukanlah Kusuma, melainkan sosok wanita yang merasuk ke dalam tubuh bayi mereka.
Bayi itu berdiri tegap di pojok ruangan, matanya menatap tajam ke arah Surya dan Selvi, seolah menantang keberanian mereka. Manik matanya yang gelap menyiratkan sesuatu yang tidak biasa, dan kedamaian malam seakan sirna seketika, tergantikan oleh nuansa mencekam yang menyelimuti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!