Di pinggir pusat kota Banjarnegara, alun-alun yang ramai menjadi saksi kehidupan sehari-hari warga. Lina merasakan perutnya melilit, dan saat itu juga, dia menyadari bahwa dia kebelet pipis. Dia melihat sekeliling, mencari-cari papan petunjuk, tetapi tidak menemukan tanda WC terdekat. Dalam keadaan panik, dia melihat seorang cowok bertubuh besar berdiri di pinggir jalan. Blokeng, namanya. Dengan tatapan garang dan gaya berpakaian sok kaya, dia tampak seperti sosok yang bisa diandalkan—meski terlihat agak preman.
“Mas, WC mana ya?” tanya Lina, berusaha terdengar tenang meski rasa ingin pipisnya semakin mendesak.
Blokeng, yang sebelumnya tampak cuek, langsung mengalihkan perhatiannya. Dia mengernyitkan dahi, lalu menunjuk ke arah sebuah gedung tua di ujung alun-alun. “Di sana, ada WC umum, tapi harus antre,” ujarnya dengan nada datar.
“Makasi, Mas,” jawab Lina, berjalan cepat ke arah yang ditunjuk. Dalam hatinya, dia sedikit terkesan dengan ketulusan Blokeng yang tidak segan membantu, meski penampilannya terkesan garang.
Setelah beberapa menit, Lina akhirnya mencapai WC umum itu. Dengan lega, dia memasuki ruang sempit yang berbau tidak sedap. Dalam pikirannya, semua itu adalah hal sepele yang harus dilewati. Namun, saat dia mulai melepaskan rasa penasarannya, dia merasakan ada sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba, dia melihat bayangan bergerak di sudut matanya. Tanpa disadari, Blokeng telah memanjat atap gedung sebelah, dan dengan keterampilan akrobatiknya, dia mencoba mengintip ke dalam. Blokeng ingin tahu lebih banyak tentang gadis yang baru ditemuinya. Namun, rencana itu berubah menjadi bencana ketika Lina menoleh dan melihat bayangan gelap di atas.
“Oi! Apa yang kamu lakukan?!” teriak Lina, suaranya melengking penuh kemarahan. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, tetapi karena rasa ilfil yang tiba-tiba muncul.
Blokeng terkejut dan hampir terjatuh. “Aduh, maaf! Aku... aku cuma penasaran,” jawabnya, wajahnya memerah. Dia segera melompat turun dengan kecepatan tinggi, berusaha meredakan situasi.
“Penasaran? Lalu kamu mengintipku dari atap?!” Lina menggertak, kesal. Rasa ilfil semakin dalam ketika dia menyadari bahwa sosok yang dia tanya ternyata seorang pengintip.
Blokeng yang terlihat santai, sekarang gugup dan tidak tahu harus berkata apa. “Ya... maaf, aku tidak sengaja. Sumpah, aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin tahu siapa yang bisa bikin cowok sepertiku... eh, maksudku, aku cuma penasaran saja,” jelasnya, berusaha tersenyum meskipun situasi semakin canggung.
Lina menggelengkan kepala, berusaha menahan tawa meski rasa kesalnya belum sepenuhnya hilang. “Jadi, kamu sok kaya dan bertindak seolah-olah kamu keren, ya?” ujarnya sambil melirik pakaian Blokeng yang terlalu mencolok dan tidak sesuai dengan penampilannya yang sebenarnya.
“Eh, bukan sok kaya! Ini fashion, paham?!” jawab Blokeng, seolah ingin mempertahankan martabatnya. Namun, dia bisa merasakan bahwa usaha tersebut tidak cukup untuk menghapus kesan buruk yang telah dia buat.
“Ya sudah, aku pergi saja,” Lina berbalik, tetapi ada rasa penasaran yang mengganjal di hatinya. Meskipun Blokeng terlihat preman dan ilfil, ada sesuatu yang menarik perhatian Lina.
Blokeng memanggilnya, “Tunggu! Maaf, kalau mau, kita bisa makan bareng setelah ini. Aku akan bayar!” Dia berusaha memperbaiki kesalahan pertama mereka, meskipun dia tahu bahwa tidak ada jaminan Lina akan menerimanya.
Lina menoleh, mempertimbangkan tawaran itu. “Hmm, kamu mau mengundang gadis yang baru kamu intip untuk makan bareng? Berani sekali,” jawabnya, tersenyum sinis.
“Ya, anggap saja ini permintaan maafku,” Blokeng menjawab, berusaha terlihat meyakinkan.
Mendengar tawaran itu, Lina berpikir sejenak. Meski merasa ilfil, rasa penasaran dan ketertarikan pada sosok Blokeng yang berani itu muncul lagi. Dia akhirnya mengangguk. “Baiklah, tapi ingat, ini hanya permintaan maaf, bukan kencan.”
“Deal!” Blokeng menjawab dengan semangat, senyum lebar mengembang di wajahnya. Dalam hatinya, dia merasa sedikit lega, meskipun tahu bahwa langkah selanjutnya tidak akan mudah.
Dengan langkah yang masih sedikit canggung, Lina dan Blokeng berjalan menyusuri trotoar alun-alun. Suasana sore itu mulai terasa dingin seiring dengan datangnya malam. Lampu-lampu mulai menyala, menerangi jalanan dengan cahaya kuning lembut. Keduanya mencari tempat makan yang nyaman, sambil sesekali mencuri pandang satu sama lain.
“Jadi, kamu baru pindah ke sini?” tanya Blokeng, berusaha menciptakan suasana yang lebih santai.
“Ya, baru beberapa hari. Kebetulan ada pekerjaan di sini,” jawab Lina sambil tersenyum. “Kamu sendiri? Kerja di mana?”
“Ah, aku... ya, seperti yang kamu lihat,” Blokeng menjawab sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri, “Sok kaya dan berkarisma,” dia menambahkan dengan nada bercanda.
Lina menggeleng sambil tertawa. “Jangan bercanda. Sebenarnya kamu ada kerjaan lain?”
“Kerja? Ya, macam-macam lah. Terkadang membantu teman di toko, kadang juga ngelakuin pekerjaan sambilan. Eh, kamu sendiri? Kerja di mana?” Blokeng balas bertanya, dengan rasa penasaran yang semakin menggebu.
Lina mengambil napas, dan seolah merasa perlu jujur. “Aku sebenarnya Pemandu Lagu (PL) di sebuah tempat karaoke,” katanya dengan nada santai.
Blokeng terkejut. “Oh, jadi kamu PL? Keren! Berarti bisa nyanyi dong?” dia menanggapi, meskipun di dalam hatinya rasa ilfil itu kembali muncul. Dia tidak menyangka gadis secerah Lina bekerja di tempat yang sering diasosiasikan dengan kehidupan malam.
“Ya, sedikit-sedikit. Kadang sih jadi DJ juga, untuk nambah-nambahin pendapatan,” jawab Lina sambil tersenyum.
“Jadi, kamu menyanyi di karaokean? Menarik juga,” Blokeng mencoba meredakan rasa ilfilnya. “Berarti banyak cowok yang suka sama kamu dong?”
Lina tertawa. “Iya, banyak yang suka, tapi aku tidak tertarik. Mereka hanya datang untuk bersenang-senang. Lagipula, itu hanya pekerjaan, bukan cinta.”
Blokeng merasa sedikit aneh, mendengar Lina berbicara tentang pekerjaannya dengan begitu santai. “Eh, jadi kamu nggak ada pacar?”
“Enggak, aku lebih fokus sama kerjaan. Lagipula, cowok-cowok yang sering datang ke karaokean kebanyakan hanya mau cari kesenangan,” Lina menjelaskan, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Blokeng penasaran lebih jauh.
Saat mereka tiba di sebuah warung makan sederhana, Blokeng mengarahkan Lina untuk duduk. Dia merasa sedikit lebih nyaman. Mereka memesan makanan sambil bercerita lebih banyak tentang diri masing-masing.
“Jadi, kamu mau jadi PL selamanya?” tanya Blokeng, dengan sedikit rasa cemas.
“Enggak sih, aku pengen bisa punya usaha sendiri. Mungkin buka kafe atau tempat karaoke yang lebih bagus. Tapi ya, semua butuh waktu,” Lina menjawab dengan penuh semangat.
“Wow, impian yang bagus! Aku bisa bantu kamu, lho, kalau mau,” Blokeng menawarkan, meskipun dia tidak yakin apa yang bisa dia lakukan.
“Bantu? Dengan cara apa?” Lina penasaran.
“Ya, aku bisa jadi partner, atau promo di lingkungan sekitar. Kamu ajarin aku nyanyi, nanti kita bisa duet!” Blokeng menjawab dengan berani, berusaha mengubah suasana canggung menjadi lebih akrab.
Lina tertawa terbahak-bahak. “Kamu? Nyanyi? Baiklah, tapi kamu harus janji tidak akan sok kaya lagi saat nyanyi!”
“Tentu! Sumpah, aku akan nyanyi dengan tulus,” Blokeng berjanji, merasa senang karena bisa membuat Lina tertawa.
Semakin lama, keduanya mulai merasa lebih nyaman. Ketegangan dari pertemuan yang ilfil itu perlahan-lahan mulai menghilang, tergantikan dengan tawa dan cerita-cerita ringan. Meskipun Lina masih meragukan sifat Blokeng yang terkesan sok kaya, dia merasakan ada sisi lain dari dirinya yang menarik.
Namun, di benak Blokeng, rasa ingin tahu akan Lina semakin membara. Dia ingin mengetahui lebih dalam tentang gadis yang menarik perhatiannya meskipun dengan cara yang tidak biasa. Rasa ilfil yang awalnya menyelimuti kini berganti menjadi ketertarikan yang tak terduga.
Ketika mereka selesai makan dan berjalan kembali ke alun-alun, Blokeng merasa bahwa pertemuan ini bukan sekadar kebetulan. Mungkin, di balik semua kesan pertama yang aneh dan penuh ilfil, ada cerita menarik yang menunggu untuk dijalin di antara mereka.
Malam semakin larut di alun-alun kota Banjarnegara, namun suasana masih hidup. Pedagang kaki lima terus menjajakan dagangan mereka, sementara anak-anak muda mengobrol dan tertawa di pinggir taman. Lampu-lampu kota menciptakan nuansa yang syahdu, membuat malam itu terasa istimewa bagi Blokeng dan Lina.
Ketika mereka berjalan berdua, suasana di antara mereka terasa semakin akrab. Blokeng merasa tertarik dengan senyum Lina, dan saat dia menatap mata gadis itu, dorongan untuk lebih dekat tak bisa dia bendung.
“Lina, aku... ada yang mau kubilang,” Blokeng berkata, suaranya sedikit bergetar.
Lina menoleh, matanya menatap langsung ke wajah Blokeng. “Apa?” tanyanya, sedikit penasaran.
Tanpa berpikir panjang, Blokeng memajukan tubuhnya dan mendekat ke wajah Lina. Dalam satu gerakan cepat, dia mencium bibir Lina.
Ciuman itu berlangsung hanya beberapa detik, tetapi terasa seperti abadi. Namun, sesaat setelah itu, Lina merasakan sesuatu yang aneh. Aroma tidak sedap menyeruak ke hidungnya, dan saat dia menyadari bahwa mulut Blokeng berbau jengkol, dia terkejut. Bahkan, dia melihat ada selilit cabai yang nyangkut di gigi Blokeng.
Lina langsung mundur, wajahnya memucat. “Blokeng! Apa yang kamu lakukan?” serunya, masih dalam keadaan terkejut.
Blokeng tersenyum malu-malu, tetapi wajahnya segera memerah saat menyadari reaksi Lina. “Aku... aku nggak tahu, Lina. Aku cuma merasa ini saat yang tepat. Kamu berbeda dari cewek-cewek lain. Dan aku...”
“Berbeda? Kamu serius? Mulut kamu bau jengkol!” Lina tak bisa menahan diri, langsung mengungkapkan pikirannya dengan nada yang penuh jijik. “Dan ada cabai di gigi kamu!”
Blokeng terdiam sejenak, terkejut oleh reaksi Lina. Dia meraba mulutnya dan merasakan adanya sisa cabai yang menempel. “Oh, maaf... aku baru saja makan,” katanya dengan nada canggung, berusaha meredakan suasana.
Lina menggelengkan kepala, meski dalam hatinya dia merasa geli. “Blokeng, kita baru kenal beberapa jam. Kamu nggak bisa begitu saja mencium orang yang baru kamu kenal,” ucapnya, dengan sedikit rasa kesal.
“Maaf, aku nggak bisa tahan. Kamu bikin aku ngerasa nyaman, Lina,” Blokeng mencoba menjelaskan, meskipun dia tahu bahwa ciuman itu tidak akan membuat kesan yang baik.
“Nyaman? Dengan mulut bau jengkol?” Lina menanggapi, berusaha menahan tawanya. “Kamu harus lebih perhatian, Blokeng. Ini bukan cara yang tepat untuk mendekati cewek.”
Blokeng mengangguk, merasa sedikit malu. “Aku paham. Maaf kalau aku bikin kamu jijik. Aku hanya ingin menunjukkan perasaanku.”
Lina melunak melihat ketulusan Blokeng meski dengan cara yang salah. “Baiklah, kita semua pernah melakukan kesalahan. Tapi lain kali, jangan terburu-buru,” kata Lina, mencoba mengubah suasana menjadi lebih positif.
“Janji, aku akan sabar dan berusaha lebih baik,” jawab Blokeng, senyum di wajahnya kembali muncul.
Mereka melanjutkan langkah mereka, dan meskipun ada rasa canggung setelah insiden ciuman itu, Lina merasa sedikit tertarik dengan kepribadian Blokeng yang penuh percaya diri.
Malam itu, di bawah langit Banjarnegara yang bertabur bintang, hubungan mereka baru saja menemukan babak baru. Sesuatu yang tak terduga telah terjadi di antara mereka, dan meskipun ada aroma jengkol dan cabai, mereka berdua tahu bahwa kisah ini masih panjang.
Setelah insiden ciuman yang memalukan, suasana di antara Blokeng dan Lina tetap tegang. Meskipun mereka melanjutkan langkah dengan senyum, Lina tampaknya tidak bisa berhenti mengungkit tentang selilit cabai yang nyangkut di gigi Blokeng.
“Jadi, apa kamu selalu seperti ini? Ciuman sambil membawa aroma jengkol dan cabai?” Lina bertanya, dengan nada bercanda namun ada ketidakpuasan di dalamnya.
Blokeng mengernyit, merasa jengah. “Oke, aku minta maaf soal itu. Aku baru saja makan sebelum kamu datang,” jawabnya, berusaha meredakan situasi.
“Tapi, Blokeng, serius deh! Kamu tahu, itu bukan cara yang baik untuk membuat kesan pertama. Bayangkan kalau kita di depan teman-temanmu, dan kamu menciumku dengan mulut bau jengkol!” Lina berkata, tertawa kecil, tetapi dia masih meremehkan Blokeng.
Dari dalam hatinya, Blokeng merasa semakin kesal. Dia merasa Lina seolah-olah terus mengolok-oloknya tanpa henti. “Dengar, Lina. Aku sudah minta maaf, dan itu bukan masalah besar. Kenapa kamu terus mengulangnya?” Blokeng menanggapi, suaranya mulai meninggi.
Lina terkejut mendengar nada marah di suara Blokeng. “Eh, kamu marah? Ini hanya bercanda, Blokeng. Lagipula, aku cuma mengingatkan,” jawabnya, merasa sedikit defensif.
“Jangan salah paham! Aku cuma nggak suka ketika kamu terus-menerus menyinggung hal yang sudah terjadi,” Blokeng menjawab dengan tegas, meskipun dalam hatinya dia merasa bersalah karena marah. “Seharusnya kamu bisa mengerti. Kita baru kenal, dan aku mencoba berusaha mendekatimu.”
“Kalau kamu tidak suka dengan candaan, kenapa kamu yang mulai dengan ciuman?” Lina balik bertanya, matanya menatap Blokeng penuh tantangan.
Kedua orang itu saling memandang, suasana di antara mereka semakin memanas. Blokeng merasa emosi membakar dirinya. “Karena aku merasa ada ketertarikan, Lina! Tapi, kalau kamu terus mempermalukan aku seperti ini, lebih baik kita berhenti di sini saja!” ujarnya, sedikit marah.
Lina terdiam, terkejut dengan reaksi Blokeng. Dia tidak menyangka bahwa candaan yang dianggapnya sepele bisa menimbulkan reaksi sebesar ini. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya, tetapi dia juga merasa ingin memperjuangkan perasaannya.
“Blokeng, aku tidak bermaksud mempermalukanmu. Aku hanya bercanda. Mungkin kita terlalu terburu-buru?” Lina mencoba menjernihkan suasana, meskipun hatinya sedikit terluka dengan kemarahan Blokeng.
“Jadi, kamu mau berteman saja?” Blokeng bertanya, suaranya sedikit lebih tenang.
“Ya, aku ingin mengenalmu lebih baik. Tapi aku juga butuh kamu untuk mengerti bahwa kadang-kadang cara kita bercanda bisa melukai perasaan orang lain,” jawab Lina, berusaha menjelaskan.
Blokeng mengangguk, meresapi perkataan Lina. Meskipun dia masih merasa kesal, dia tahu ada kebenaran dalam ucapan Lina. “Oke, aku akan berusaha lebih baik. Dan... maafkan aku juga jika aku terlalu cepat,” katanya, menyesal.
Lina tersenyum kecil, merasa lega. “Tidak apa-apa, kita semua membuat kesalahan. Mari kita mulai dari awal lagi, ya?”
Dengan perasaan baru yang lebih baik, mereka melanjutkan perjalanan mereka di malam yang dingin, berharap bahwa kesalahpahaman ini bisa menjadi awal dari sebuah persahabatan yang lebih dalam. Meskipun ada rasa tegang dan marah, mereka tahu bahwa hubungan ini masih memiliki potensi untuk tumbuh.
Setelah insiden ciuman yang penuh kejutan, Blokeng dan Lina melanjutkan langkah mereka. Mereka berjalan sambil mengobrol, suasana di antara mereka perlahan kembali mencair meski masih ada sedikit rasa canggung.
Namun, saat mereka berada di dekat bangku taman, tiba-tiba Lina merasa perutnya bergemuruh. Dia berusaha menahan, tetapi rasa tidak nyaman itu semakin mengganggu. Dalam satu detik yang canggung, Lina keceplosan kentut tepat di depan Blokeng.
“Pfffffttt!” Suara kentutnya terdengar jelas dan seketika membuat suasana menjadi hening.
Lina langsung terbelalak, wajahnya memerah seketika. Dia tidak bisa percaya itu terjadi. “Oh tidak! Maaf! Maaf!” serunya sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, merasa sangat malu.
Blokeng terkejut, tetapi kemudian mendengar aroma yang menyengat. Meski awalnya ingin marah, dia justru tidak bisa menahan tawanya. “Lina, kamu... kentut?” Dia tertawa terbahak-bahak, kesan jijik dari sebelumnya lenyap seketika.
Lina, yang masih menyembunyikan wajahnya, merasa ada yang aneh. “Tolong, jangan tertawa! Ini sangat memalukan!” ujarnya, tetapi suara tawanya Blokeng membuatnya merasa sedikit lebih baik.
“Tapi itu lucu! Kira-kira apa yang kamu makan?” Blokeng mengolok, matanya bersinar dengan keceriaan. “Bisa-bisa kita sewa tukang kebersihan setelah ini.”
Dengan perlahan, Lina mulai merasa lebih santai. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa juga. “Ya ampun, ini bukan cara yang baik untuk mengesankan orang yang baru kamu kenal,” ucapnya sambil tertawa.
“Siapa yang bilang? Sekarang aku tahu kamu sangat alami,” jawab Blokeng, senyumnya tak kunjung pudar. “Cuma kamu yang bisa membuat momen kentut jadi lucu.”
Akhirnya, kedua mereka tertawa bersama, semua kecanggungan sebelumnya seolah menguap begitu saja. Lina merasa bahwa kehadiran Blokeng, dengan semua kekonyolannya, membuatnya lebih nyaman. Meski dia sempat merasa jijik, tetapi interaksi itu justru membuat mereka berdua lebih dekat.
“Lina, mungkin kita memang ditakdirkan untuk saling bertemu dengan cara yang aneh,” kata Blokeng dengan nada menggoda. “Siapa yang tahu? Mungkin kentut ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.”
“Jangan bilang begitu, nanti orang-orang mengira kita jodoh karena kentut!” Lina menanggapi dengan tawa, menggelengkan kepala.
Dengan segala kejadian konyol yang terjadi malam itu, Lina mulai merasakan bahwa meskipun pertemuan mereka dimulai dengan kesan ilfil, ada momen-momen lucu yang mengikat mereka. Mungkin Blokeng tidak sempurna, tetapi dia memiliki daya tarik tersendiri yang membuat Lina merasa ingin mengenalnya lebih dalam.
Malam itu berlanjut, dan di tengah canda tawa, mereka berdua tahu bahwa meskipun awalnya aneh, ada benih-benih perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka.
Setelah canda tawa menghilangkan rasa canggung di antara mereka, Blokeng merasa bersemangat. Suasana malam yang cerah semakin menyemarakkan niatnya untuk menjadikan pertemuan ini lebih berkesan. Dia teringat betapa dia sangat menyukai bakso, dan mendadak muncul ide di kepalanya.
“Lina, bagaimana kalau kita makan bakso? Aku tahu tempat yang enak dan murah di dekat sini,” tawar Blokeng dengan senyuman lebar.
Lina, yang masih merasa terhibur oleh kejadian sebelumnya, segera setuju. “Ayo! Aku juga suka bakso!” jawabnya penuh semangat.
Mereka pun berjalan menuju warung bakso yang terletak tidak jauh dari alun-alun. Aroma kaldu yang menggugah selera menyambut mereka saat memasuki warung yang sederhana itu. Mereka duduk di sebuah meja di sudut dan memesan dua mangkuk bakso besar.
Saat menunggu pesanan, Lina tak henti-hentinya bercerita tentang kehidupannya sebagai pemandu lagu. Blokeng mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa dengan cerita-cerita lucu yang Lina sampaikan.
Setelah beberapa menit, pesanan mereka pun tiba. Bakso yang disajikan panas, lengkap dengan kuah, mie, dan sambal yang menggoda selera. Keduanya segera menyantap makanan itu dengan lahap.
“Hmm, enak banget! Rasanya lebih baik dari yang aku bayangkan,” puji Lina, sambil mengunyah bakso yang lembut.
Blokeng mengangguk setuju. “Iya, ini memang favoritku. Aku sering kesini kalau lagi pengen makan enak dan murah.”
Setelah kenyang menikmati bakso, mereka memanggil pelayan untuk membayar. Namun, saat Blokeng merogoh kantongnya, wajahnya mendadak memucat. “Eh, tunggu… dompetku… ketinggalan!” teriaknya panik.
Lina mengerutkan dahi, merasa bingung. “Maksudmu dompet ketinggalan? Apa kamu nggak bawa uang?”
Blokeng menggelengkan kepala, wajahnya memerah karena malu. “Aku lupa bawa dompet. Tadi aku buru-buru dan tidak cek isi kantong.”
Melihat situasi itu, Lina mulai merasa khawatir. “Lalu, bagaimana? Kita sudah makan, dan pelayannya pasti menunggu bayaran.”
Blokeng menggaruk kepalanya, berpikir cepat. “Tenang, aku akan kembali ke rumah dan ambil uang. Ini semua salahku. Maaf ya, Lina,” ucapnya dengan nada menyesal.
“Jadi, bagaimana? Aku ditinggal sendirian?” Lina merasa sedikit cemas. Dia tidak tahu bagaimana jika harus menunggu sendirian di situ.
Blokeng menatapnya dengan serius. “Aku minta maaf banget. Sebagai jaminan, kamu bisa tinggal disini. Aku janji akan cepat kembali.”
“Jaminan? Kamu yakin ini aman?” Lina tidak yakin dengan ide itu, tetapi melihat Blokeng tampak sangat serius, dia akhirnya setuju.
“Ya, aku janji. Nggak akan lama, aku hanya perlu pulang ke rumah dan ambil uang. Tunggu aku, ya!” kata Blokeng sambil berdiri, kemudian bergegas pergi meninggalkan Lina di warung.
Lina duduk sendiri di meja, merasa sedikit canggung. Dia tidak tahu harus berbuat apa sementara menunggu Blokeng. Namun, saat melihat semangkuk bakso yang masih penuh, dia mengambil sendok dan melanjutkan untuk menyantapnya.
“Semoga Blokeng cepat kembali,” gumamnya dalam hati, sambil berharap momen-momen konyol ini tidak menjadi penghalang untuk mengenal Blokeng lebih jauh. Dia pun tersenyum, memikirkan bagaimana hubungan mereka bisa berlanjut setelah serangkaian kejadian lucu yang tak terduga ini.
Sementara Blokeng bergegas pulang untuk mengambil uang, Lina duduk sendirian di meja. Dia melihat sekeliling dan menyadari bahwa suasana warung bakso cukup ramai. Beberapa pengunjung lain tampak menikmati hidangan mereka, sementara pelayan di belakang barisan dapur saling berseliweran.
Di meja sebelah, dua orang pelayan sedang berbincang, terlihat cukup akrab. Satu dari mereka, seorang wanita berambut pendek, menggelengkan kepala sambil tertawa. “Uhh, dasar ada-ada aja ya, cakep-cakep dompetnya ketinggalan! Hahaha!” ejeknya.
Pelayan yang satunya, pria bertubuh tegap, ikut tertawa. “Ya, siapa yang mau pacaran sama cowok yang tidak bawa uang? Sialan!” Dia mengangkat gelas dan memandang ke arah Lina dengan pandangan menyelidik.
Lina, yang mendengar percakapan itu, merasa tersinggung meskipun dia mencoba untuk tetap tenang. “Eh, apa maksudnya kalian?” Dia merasa wajahnya memanas, tetapi tidak ingin menunjukkan rasa marahnya.
“Eh, maaf! Kami tidak bermaksud menyinggung,” kata pelayan wanita dengan senyum canggung. “Tapi siapa yang menyangka cowok seperti itu bisa kelupaan dompet? Mungkin dia berharap kamu yang bayar,” tambahnya sambil tertawa.
Lina mencoba tersenyum, tetapi hatinya sedikit terbakar. “Tidak mungkin aku yang bayar. Aku bukan orang yang suka menanggung beban orang lain,” jawabnya tegas.
Pria itu mengangkat bahu. “Ya, kamu bisa sabar menunggu. Toh, banyak cowok di luar sana yang lebih baik dari dia,” ujarnya sambil mengedipkan mata.
Lina mengalihkan pandangannya dari mereka, merasa jengah dengan komentar mereka. Dia berusaha tidak peduli, tetapi percakapan mereka terus berputar di pikirannya. Apakah Blokeng memang tipe yang seperti itu? Mungkinkah dia memang tidak bertanggung jawab?
Sambil menunggu, Lina memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan mengecek ponselnya. Dia melihat pesan masuk dari teman-temannya yang menanyakan kabar. Dalam chat, dia bercerita tentang pengalaman konyolnya hari ini.
Di tengah kesibukan warung, Lina tidak menyadari bahwa dia sudah duduk terlalu lama. Setengah jam berlalu, dan Blokeng belum kembali. Dia mulai merasa gelisah, khawatir apakah Blokeng benar-benar akan kembali.
Ketika suasana mulai tenang, pelayan wanita itu kembali menghampirinya. “Kamu tidak mau pesan apa-apa lagi? Mungkin kita bisa membawakan minuman segar untuk menunggu,” tawarnya dengan ramah.
“Tidak usah, terima kasih. Aku hanya berharap temanku segera kembali,” jawab Lina sambil melirik pintu keluar, menanti kedatangan Blokeng.
“Kalau begitu, semoga dia cepat kembali. Kasihan kalau kamu ditinggal sendirian di sini,” katanya, berusaha menghibur.
Akhirnya, setelah menunggu beberapa saat lagi, Lina mendengar suara pintu berderak terbuka. Blokeng muncul dengan napas terengah-engah, dan matanya terlihat penuh ketegangan.
“Maaf! Maaf! Aku terlambat!” serunya sambil berlari ke arah meja. “Aku tidak menemukan dompetku, jadi aku ambil uang di tempat yang lain.”
“Tidak apa-apa. Aku hanya khawatir kamu tidak kembali,” jawab Lina, merasa lega.
Blokeng tersenyum lebar. “Beruntungnya, aku tidak jadi utang! Mari kita bayar dan nikmati bakso ini!”
Mereka pun melanjutkan makan bakso, dan meskipun ada rasa jengkel dari insiden itu, Lina merasakan hubungan di antara mereka semakin dekat. Dengan semua kejadian yang terjadi, dia menyadari bahwa pertemuan ini mungkin tidak seburuk yang dia kira.
Setelah Blokeng duduk kembali di meja, mereka berdua kembali menikmati bakso yang tersisa. Makanan yang awalnya menggugah selera kini terasa lebih nikmat dengan canda tawa yang mengisi suasana.
“Jadi, apa rencanamu setelah ini?” tanya Blokeng sambil menyendok bakso ke dalam mulutnya.
“Aku mungkin akan pulang setelah ini. Besok ada pekerjaan lagi sebagai pemandu lagu,” jawab Lina, sambil menatap ke arah pintu keluar. “Tapi kalau ada waktu, aku suka pergi karaokean juga, sih.”
Blokeng langsung bersinar mendengar hal itu. “Karaoke? Wah, aku suka itu! Mungkin kita bisa karaoke bareng suatu saat. Pasti seru!”
Lina tersenyum, sedikit lebih terbuka. “Kamu bisa nyanyi?”
Blokeng mengangguk dengan percaya diri. “Tentu saja! Suaraku lumayan, meski kadang bisa fals. Tapi tidak ada salahnya mencoba, kan?”
Lina tertawa, merasa lebih nyaman. “Kalau kamu mau, kita bisa nyanyi duet. Tapi jangan salahkan aku kalau suaramu tidak sesuai harapan!”
Setelah beberapa saat, mereka selesai makan, dan Blokeng meminta tagihan kepada pelayan. Ketika tagihan datang, Blokeng membuka dompetnya dan menghitung uang yang dibawanya. Dia terlihat sedikit gelisah, dan Lina mulai meragukan apakah uang yang dia miliki cukup.
“Semoga uangku cukup,” gumamnya, menyipitkan mata pada tagihan. Namun, wajahnya terlihat lega ketika akhirnya dia menyelesaikan pembayaran.
“Syukurlah! Aku tidak mau menjadi utang seumur hidup karena dompet ketinggalan!” Blokeng bercanda sambil melangkah keluar dari warung.
Saat mereka melangkah keluar, suasana malam semakin terasa menyenangkan. Lampu-lampu kota berkilau di sekeliling mereka, menambah keindahan malam yang hangat itu. Lina merasa sedikit berdebar melihat Blokeng berjalan di sampingnya. Dia tidak tahu apa yang membuatnya merasa nyaman, tetapi ada sesuatu dalam diri Blokeng yang membuatnya tertarik.
“Blokeng, terima kasih sudah mentraktir. Meski ada kejadian konyol tadi, aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu,” ucap Lina tulus.
“Ah, itu bukan masalah. Senang bisa mengenalmu. Tapi lain kali, aku janji akan lebih hati-hati bawa dompet!” jawab Blokeng, kemudian mereka berdua tertawa.
Setelah itu, mereka berjalan beriringan menuju alun-alun. Saat tiba, Lina melihat suasana sekitar yang ramai dengan orang-orang yang sedang bercengkrama, anak-anak bermain, dan beberapa pedagang yang menjajakan makanan ringan.
“Aku penasaran, di sini biasanya ada acara apa ya?” tanya Lina, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa canggung yang masih tersisa.
“Kadang-kadang ada pertunjukan musik atau acara lokal. Tapi malam ini tampaknya sepi,” jawab Blokeng. “Mau kemana lagi? Masih ada waktu sebelum pulang.”
Lina berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita cari tempat duduk yang nyaman dan ngobrol lebih lama?”
“Setuju! Ayo!” Blokeng bersemangat. Mereka pun mencari tempat di pinggir alun-alun, menemukan bangku kayu yang nyaman untuk duduk.
Saat duduk, mereka melanjutkan obrolan tentang kehidupan masing-masing, bercanda dan berbagi cerita lucu. Waktu berlalu begitu cepat, dan keduanya merasa semakin dekat.
Namun, Lina tidak bisa mengabaikan aroma yang menyengat dari Blokeng. Dia berusaha menahan diri untuk tidak menyebutkan hal itu, tetapi ketika dia melihat Blokeng menyentuh hidungnya, dia tidak bisa menahan tawa.
“Eh, kamu tidak merasakannya? Sepertinya ada yang kurang dari mulutmu,” goda Lina sambil tertawa kecil.
Blokeng melongo, kemudian menyadari. “Astaga, jangan bilang aku masih bau jengkol! Maaf ya, Lina. Nggak ada waktu untuk sikat gigi,” jawabnya sambil tertawa lebar.
Lina tertawa terbahak-bahak, “Ya ampun, Blokeng! Kamu benar-benar bikin aku ketawa. Mungkin lain kali sebelum bertemu aku harus kasih kamu permen mint!”
Mereka terus tertawa, dan di tengah candaan itu, Lina merasa perasaan dalam hatinya semakin hangat. Meskipun pertemuan ini dimulai dengan kejadian yang bikin ilfil, kini semua terasa lebih menyenangkan.
Di antara senyuman dan tawa, mereka merasakan ada benang merah yang menghubungkan mereka. Keduanya tidak menyadari bahwa malam ini bisa jadi awal dari sebuah cerita yang lebih menarik di antara mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!