NovelToon NovelToon

Turun Ranjang

Kehilangan

***

Tidak terbayang olehku kalau aku akan kehilangan orang yang paling aku sayangi setelah kedua orang tua-ku. Aku anak bungsu dari dua bersaudara, aku tidak memiliki saudara lain selain kakakku. Dia sudah menikah dan memiliki dua anak, yang satu cowok dan yang satu cewek. Dan sekarang aku harus kehilangan kakak satu-satunya yang ku miliki itu.

Malam itu sekitar pukul sebelas malam, aku yang baru saja keluar dari kamar mandi untuk menuntaskan hajatku. Aku seorang perawat yang kebetulan sedang jaga malam kala itu. Saat hendak kembali ke meja Nurse station, tiba-tiba salah satu rekan perawat yang jaga denganku mencegatku lalu memeluk secara tiba-tiba. Aku yang sedang kebingungan tentu saja langsung melepaskan pelukan dan menatapnya heran.

"Kesambet apaan lo tetiba meluk gue?"

Bukannya menjawab, Rita, rekan sejawatku itu malah kembali memelukku. Hal ini membuatku semakin kebingungan, apalagi perempuan yang satu tahun lebih tua dariku itu malah menangis dan bukannya menjelaskan apa yang sedang terjadi.

"Lo abis lihat sesuatu?" tanyaku ragu-ragu.

Percaya tidak percaya namanya rumah sakit kalau malam hari kan terkadang ada sesuatu yang tidak kasat mata. Meski aku sendiri belum pernah menemui, tapi beberapa rekan kerjaku sudah melihatnya. Jadi mungkin saja Rita baru mengalaminya makanya dia sedikit shock. Bisa jadi kan?

"Kakak lo."

Aku mengerutkan dahi bingung. Kakakku?

"Kenapa sama kakak gue? Dia lagi kelon kali sama anak suaminya."

Jujur, saat mengatakannya aku sambil tertawa sedikit. Karena gimana ya, kakak iparku itu orangnya bisa dibilang kaku, berwajah datar, dingin, kayak judes gitu. Jadi, aku sedikit merasa geli sendiri saat membayangkan mereka sedang berpelukan di atas ranjang dengan Alin, ponakanku yang paling bontot berada di tengah-tengah mereka. Tapi meski pembawaannya tegas dan sedikit menyeramkan aslinya baik banget. Sekolah keperawatanku saja yang biayain beliau.

For information, kakak iparku ini anak pemilik rumah sakit tempat aku bekerja. Tidak banyak yang tahu kalau aku ini adik ipar dari anak pemilik rumah sakit, hanya beberapa orang yang benar-benar mengenalku saja yang mengetahuinya.

"Kakak lo nggak ada, Ge."

Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Kepalaku pening dan aku mulai merasakan cemas berlebih. Pikiranku pun sudah berkecamuk tidak tahu arah.

"Enggak ada gimana maksudnya?" tanyaku dengan suara yang entah kenapa terdengar seperti bergetar.

"Meninggal. Kakak Runa udah nggak ada."

"Lo kalau ngomong jangan sembarangan deh!"

"Gue nggak ngomong sembarangan, ini gue baru dapet kabarnya dari IGD. Kakak lo dibawa ke sini sebelumnya."

Saat itu aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Hanya mampu dituntun Rita menuju lantai bawah, di mana IGD berada. Lalu sesampainya di sana, tubuhku mendadak lemas saat melihat tubuh kaku Kak Runa. Aku bahkan tidak sempat menangis, langsung kehilangan kesadaran saking shocknya.

Yang membuatku semakin shock adalah penyebab kematian Kak Runa. Ternyata selama ini dia sakit tanpa memberitahuku.

Aku marah tentu saja.

Aku marah dengan semuanya. Kedua orang tuaku, bahkan kakak iparku, dan juga semua orang yang bersekongkol.

"Sejak kapan Ibu tahu?" todongku pada perempuan yang sudah membuatku terlahir di dunia ini.

Karena kekecewaan yang teramat besar, sejenak, aku melupakan sopan santun dan juga tata krama. Hatiku terlanjur hancur dan aku sangat ingin memarahi semua orang.

"Bu, tolong jawab Geya!" seruku frustasi.

"Geya, Mas harap kamu tenang!" sahut Mas Yaksa. Yang tak lain tak bukan suami Kak Runa, alias kakak iparku sendiri.

Aku menatap tajam ke arah pria yang dulu sangat aku hormati maupun aku segani ini.

"Mas Yaksa minta aku tenang? Aku baru saja kehilangan kakakku dan Mas masih minta aku tenang?" jeritku histeris.

"Di sini yang kehilangan bukan cuma kamu, Geya!" balas Mas Yaksa dengan nada yang terdengar sedikit membentak.

Jujur, aku sedikit takut karena ini pertama kalinya aku dibentak oleh Mas Yaksa. Aku cukup jarang mendengar suaranya karena dia tipe yang jarang mengobrol, lalu sekarang aku dibentak. Tentu saja aku ketakutan. Maka yang dapat aku lakukan hanya menangis tersedu-sedu. Ibu yang sedari tadi tidak bersuara pun hanya ikut menangis, tak lama setelahnya Mama Mas Yaksa datang dan memarahi Mas Yaksa lalu memelukku.

"Yaksa, kamu ini kenapa Geya yang kamu marahin?" omelnya. Beliau langsung mengelus jilbab instanku sambil sesekali melirik sang putra, "minta maaf nggak sama Geya sekarang!"

Mas Yaksa terlihat masih kesal, ia hanya melirikku sekilas lalu memilih untuk pergi begitu saja.

Sejujurnya, aku di sini juga salah. Mas Yaksa nggak sepenuhnya salah juga, dia benar, di sini yang kehilangan nggak cuma aku tapi semua orang. Tapi dengan egoisnya aku masih ingin menyalahkan semua orang.

Kepalaku kembali terasa pening karena terlalu banyak menangis dan memikirkan semuanya. Otakku tidak bisa berpikir jernih, lalu secara tiba-tiba semua berubah gelap. Samar-samar aku mendengar teriakkan Mama Mas Yaksa, aku juga sempat merasakan tepukan pelan pada kedua pipiku selama sesaat sebelum akhirnya tubuhku dibopong entah oleh siapa. Lalu setelahnya aku sudah tidak ingat lagi.

***

Tok Tok Tok

Perlahan aku membuka mata saat mendengar suara pintu kamar diketuk. Susah payah aku mencari jilbabku namun tidak kunjung ketemu.

"Geya?" panggil suara dari luar.

Tubuhku spontan menegang. Itu suara Mas Yaksa.

"Bentar, Mas," balasku sambil berteriak.

Cklek!

Aku langsung mematung, tidak berani berbalik atau sekedar menggerakkan tubuh karena paniknya.

"Nyari ini?"

Kali ini aku menoleh ke arah pintu, di mana hanya tangan Mas Yaksa yang terlihat sambil memegang jilbabku, tubuhnya pun masih tetap di luar.

Aku berlari kecil menghampirinya lalu meraih jilbabku dan memakainya buru-buru.

"Sudah?" tanyanya hati-hati.

Aku mengangguk dan mengiyakan. Lalu membuka pintu lebih lebar. Penampilan Mas Yaksa kali ini terlihat santai dengan celana pendek di bawah lutut dan kaos polo andalannya.

"Sudah enakan?"

"Eh?"

"Dari kemarin kamu pingsan terus."

"Oh." Aku kemudian mengangguk dan mengiyakan.

"Mama sama Ibu ngajakin sarapan. Mau makan di sini atau di bawah?"

Aku menundukkan kepala karena masih teringat suara bentakannya kemarin.

"Di bawah aja, Mas."

Mas Yaksa tidak membalas dan hanya mengangguk. Ia tidak perlu repot-repot mengeluarkan suara lalu pergi begitu saja dengan aku yang mengekor di belakangnya. Meski tanpa memberi kode atau memerintahku untuk mengikutinya, tapi aku secara naluriah paham kalau kakak iparku itu menginginkan hal tersebut.

"Soal semalam--"

"Mas minta maaf," potong Mas Yaksa.

Aku mengangguk sambil mengigit bibir bawahku. "Iya, Mas, Geya juga minta maaf--"

"Berarti impas kan?" potong Mas Yaksa tiba-tiba.

Aku sedikit merengut, namun, tidak berani protes dan hanya mampu mengekor di belakangnya dengan kepala tertunduk.

Saat sampai di dapur, gue sedikit heran karena tidak ada siapa-siapa di sana.

"Loh, Mas, kok sepi? Yang lain mana?"

"Udah duluan."

Aku meringis malu. "Aku kesiangan ya, Mas?"

Dengan wajah datarnya, Mas Yaksa mengangguk untuk mengiyakan. Pria itu tidak mengeluarkan suara dan memilih langsung menarik kursi untuknya duduk dan mulai agenda sarapannya. Tanpa dipersilahkan sekali lagi, aku pun mengikutinya.

"Nggak subuh?" tanya Mas Yaksa tiba-tiba.

Aku mengangguk cepat sambil mengambil sendok. "Subuh kok, cuma tidur lagi," ringisku dengan wajah menahan malu.

"Jangan dibiasain."

Aku kembali mengangguk, kali ini dengan kepala tertunduk. "Iya, Mas."

"Masih pusing?"

Kali ini aku menggeleng. Mas Yaksa mengangguk paham.

"Abis sarapan Mas mau ngomong."

"Soal?" Aku mengerutkan dahi karena penasaran.

"Nanti."

Lagi-lagi aku hanya mampu mengangguk paham tanpa perlu melayangkan aksi protes. Meski sebenarnya sangat ingin, tapi ya sudah lah, tahan dulu sampai selesai makan.

Hm, kira-kira Mas Yaksa mau ngomong apa ya?

To be continue,

Surat Wasiat

***

Selesai sarapan, aku memilih pamit undur diri lebih dahulu karena merasa gerah dan ingin mandi. Awalnya, Mas Yaksa terlihat tidak setuju, tapi pada akhirnya ia pasrah dan mengizinkan aku untuk mandi lebih dahulu.

Jujur, aku juga penasaran sih sebenarnya tapi mau bagaimana lagi. Aku benar-benar merasa gerah dan tidak tahan kalau tidak mandi lebih dahulu.

Selesai mandi dan berganti pakaian, aku memutuskan untuk menemui kedua ponakanku, Alin dan Javas. Javas ini belum genap 4 tahun, tapi sudah sangat pintar dalam mengurus sang adik yang belum genap setahun. Sedih banget rasanya kala mengingat Alin, bayi mungil itu bahkan kini sudah tidak memiliki seorang ibu. Hatiku sakit kala mengingat fakta ini. Dia masih terlalu kecil ya Tuhan, Alin harusnya masih dapat ASI eksklusif.

"Geya, ayo, bicara!"

Aku spontan menoleh ke asal suara dan menemukan Mas Yaksa yang masih mengenakan pakaiannya yang tadi.

"Geya... kamu... menangis?"

Reflek aku meraba pipiku dan benar saja, ternyata pipiku sudah basah oleh air mataku. Cepat-cepat aku mengusap dengan telapak tanganku lalu berdiri dengan buru-buru. Karena tidak hati-hati, aku hampir terjengkang kalau saja Mas Yaksa tidak menahan lenganku.

Kakak iparku itu berdecak galak. "Hati-hati, Geya," ucapnya memperingatkan.

Aku meringis malu, lalu cepat-cepat menjauhkan diri.

"Mau bicara di mana, Mas?"

Mas Yaksa tidak membalas, dan pergi meninggalkanku lebih dahulu. Aku langsung menggerutu dan mengejarnya. Kebiasaan banget deh.

"Mas Yaksa mau ngomong apa sih?"

"Duduk!" perintahnya sambil menuang air panas ke dalam cangkir. Dari aromanya sih itu coklat panas.

Padahal aku masih kenyang banget karena baru saja sarapan, masa iya sekarang disuruh minum coklat panas. Bisa-bisa begah nih perutku.

Aku tidak berani membuka suara sampai akhirnya Mas Yaksa selesai membuat coklat panas untukku dan segelas kopi untuknya.

"Makasih, Mas," ucapku sambil menerima cangkir yang disodorkannya.

Mas Yaksa hanya mengangguk, ia duduk di hadapanku sambil menyesap kopi hitamnya.

Tidak pernah terbayangkan olehku kalau aku akan duduk berhadapan dengan kakak iparku, dengan atmosfir yang tidak mengenakkan seperti sekarang. Aku benar-benar merasa tegang dan juga gugup.

Aku tidak akan diapa-apakan bukan?

"Geya," panggil Mas Yaksa.

Kedua telapakku mendadak berkeringat dingin.

"Ya, Mas?"

"Sebelum Mas ngomong, Mas mau minta maaf dulu. Mungkin habis denger ini kamu bakalan benci sama Mas, tapi, di sini Mas cuma mau menyampaikan pesan wasiat Kakak kamu. Oh, ya, soal kita yang nggak kasih tahu kamu tentang penyakit Aruna, Mas juga minta maaf. Ini bukan kemauan Mas, melainkan kemauan kakak kamu."

Meski sejujurnya aku kesal karena diingatkan. Tapi aku tidak boleh menyimpan dendam. Ini bukan sepenuhnya kemauan Mas Yaksa, jadi aku tidak boleh marah bukan? Mungkin orang yang berhak mendapatkan luapan amarahku adalah Kak Runa sendiri. Tapi sayang aku tidak dapat melakukannya karena Kak Runa sudah tidak ada di sini. Aku kembali sedih kala mengingat hal ini. Semoga aku tidak tiba-tiba menangis lagi.

Tapi sepertinya aku gagal, terbukti karena Mas Yaksa tiba-tiba menyodorkan tisu kepadaku. Aku menerimanya lalu mengusap kedua pipiku, dan ternyata tisunya berubah menjadi basah, itu artinya aku kembali menangis. Ingusku bahkan keluar.

"Maaf, Mas."

Mas Yaksa mengangguk. "Take your time, Geya."

"Aku rasanya kayak nggak percaya kalau Kak Runa udah nggak ada."

"Mas juga. Meski Mas tahu hari itu akan tiba dalam waktu dekat, tapi tetap saja Mas belum siap."

Sudut bibir Mas Yaksa terlihat membentuk senyuman, tapi senyuman pilu. Benar-benar menyakitkan kala melihatnya.

"Maafin Geya ya, Mas?"

"Geya, kamu ada pacar?"

Seketika gue tidak dapat menahan kerutan di dahi, saat tiba-tiba mendengar pertanyaan Mas Yaksa. Menurutku selain tidak sopan, pertanyaan ini terlalu mendadak.

"Mas Yaksa kenapa tiba-tiba nanya itu?"

"Ada atau enggak, Geya?"

"Maaf, Mas, ini privasi aku. Aku rasa ini bukan ranah aku buat jawab pertanyaan Mas."

"Tolong, Geya!"

"Aku mau pulang ke rumah aja lah," ucapku memilih untuk langsung berdiri, "asal Mas Yaksa tahu, Mas nggak punya hak buat nanya hal ini karena Mas Yaksa itu cuma ayah dari kedua ponakan aku."

"Kita akan menikah, Geya."

Duar!!

Bagaikan disambar petir siang bolong. Tubuhku seketika langsung lemas, aku berbalik dan menatap Mas Yaksa, menuntut penjelasan, siapa tahu aku memang salah dengar kan?

"Maksud Mas Yaksa?"

"Aruna minta Mas buat nikahin kamu. Setahu Mas, kamu nggak ada pacar, tapi Mas tetap perlu memastikan kamu beneran ada pacar--"

"MAS YAKSA! MAS YAKSA TAHU NGGAK HARI INI BAHKAN MASIH MALAM TIGA HARIAN KAK RUNA, TAPI BISA-BISANYA MAS YAKSA UDAH MIKIR BUAT NIKAH LAGI? DAN MAS BERHARAP AKU YANG AKAN NIKAH SAMA MAS? JANGAN HARAP MAS!"

"Geya, tolong dengerin Mas dulu!"

"Ada apa ini ribut-ribut? Alin yang mau tidur sampai kebangun loh."

Tak lama setelahnya Ibu datang sambil mengomel. Pandangannya beralih ke arahku dan Mas Yaksa secara bergantian, lalu kembali fokus kepada sang menantu.

"Kamu sudah ngomong sama Geya, nak?" tanya Ibu dengan lembut.

Mas Yaksa langsung mengangguk dan mengiyakan.

"Ibu tahu?" Aku memandang ibu dengan raut wajah tidak percaya.

"Tentu saja ibu tahu, Ge. Ibu denger sendiri kalau ini memang permintaan kakak kamu, dia ingin kamu menikah sama Nak Yaksa dan mengurus Alin dan Javas. Mereka terlalu muda kalau harus diurus baby sister, kasian."

"Lalu aku? Ibu nggak kasian?"

"Geya, duduk! Minum coklat panas kamu dan tenangkan diri. Mas akan jelaskan."

"Maaf, Mas, nggak semua orang bisa kayak Mas Yaksa atau Kak Runa yang bisa selalu tenang dalam menghadapi segala situasi. Aku nggak bisa tenang kecuali kalau sekarang Mas lagi prank aku."

"Geya, kamu pikir Mas kurang kerjaan sampai repot-repot ngeprank kamu? Istri Mas baru meninggal dan anak-anak Mas masih terlalu kecil untuk Mas urus sendirian. Bisa kamu enggak mancing emosi Mas?"

Aku diam. Pikiranku kalut. Tidak tahu harus bereaksi apa, aku memilih meninggalkan Ibu dan Mas Yaksa. Samar-samar aku mendengar upaya Ibu yang mencoba menghibur Mas Yaksa.

Semua terlalu mendadak buatku. Aku yang baru saja kehilangan kakak, dan sekarang aku sudah harus memikirkan untuk menikah dan mengurus keponakanku? Dengan situasi yang semendadak ini, tentu saja aku tidak bisa tenang. Bahkan kalau bisa aku ingin mengamuk karena saking muaknya dengan semua.

Kenapa nasibku begini banget Tuhan?

Tidak bisa kah aku bertukar dengan yang lain? Ini terlalu berat untukku, aku merasa tidak sanggup menghadapi semuanya.

To be continue

Bimbang

***

Setelah pertengkaran kecil kami, aku memutuskan untuk menyendiri dekat kolam renang yang ada di rumah Mas Yaksa. Rumah Mas Yaksa selain besar dan luas memang terdapat kolam renang dan taman bunga yang cantik. Semua tanaman yang ada di sana, Kak Runa yang menanamnya, katanya. Setidaknya begitu yang dibilang tapi kenyataannya aku sendiri juga tidak tahu, apakah kakakku sendiri yang menanam atau dibantuin ART-nya yang jumlahnya lebih dari dua.

Aku melipat kedua lututku dan memeluknya, bayangan Kak Runa mondar-mandir di hadapanku seolah terasa nyata. Tanpa sadar aku tersenyum tipis. Belum genap seminggu ditinggal Kak Runa, aku sudah rindu dengannya. Rindu omelannya, kebawelannya, cerewetnya dan bahkan sikap manjanya. Meski dia lebih tua dari ku, tapi tidak jarang memang dia bersikap lebih manja daripada aku.

"Sayang, lagi ngapain? Boleh Mama duduk di sini?"

Itu suara Mama Mas Yaksa. Sejak Kak Runa resmi menikah dengan Mas Yaksa, beliau memang memintaku untuk memanggilnya Mama. Kata beliau, Mama Runa itu artinya juga Mama-nya aku.

Sambil tersenyum tipis dan meluruskan kaki, aku kemudian mengangguk dan mengiyakan. Ya kali nggak kuiyakan, lha wong ini rumah anaknya. Aku kan cuma numpang.

"Yaksa udah ngomong?"

Sekali lagi aku mengangguk saat merespon pertanyaan beliau. Kemudian beliau mengelus pundakku dan menarik ke dalam pelukannya.

"Kamu pasti kaget dan shock ya?"

Dengan kedua bibir bergetar, aku mengangguk dan mengiyakan. Tak lama setelahnya aku menangis.

"Semua terlalu mendadak buat Ge, Ma. Ge baru kehilangan Kak Runa, dan sekarang Ge harus nikah sama kakak ipar Ge sendiri?"

Mama Mas Yaksa mengangguk paham sambil mengelus rambutku yang tertutup jilbab instan.

"Iya, Mama paham, sayang. Kalau Mama jadi Ge, Mama juga bakalan sama shock dan kagetnya. Tapi abis itu Mama bakalan coba terima semua pelan-pelan."

Mendengar pernyataan beliau, spontan aku langsung menjauhkan diri dari pelukannya.

"Ini amanah dari almarhumah kakak kamu, sayang. Kamu mau mengecewakan kakak kamu?"

Aku diam.

"Kamu ada pacar?" tanya beliau lembut.

Aku melirik beliau selama beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng pelan.

"Yaksa anak yang baik kok, sayang, selama ini dia juga nggak neko-neko. Insha Allah dia bisa bimbing kamu nantinya, dia mungkin keliatan agak keras tapi sebenernya dia baik dan perhatian."

"Tapi Mas Yaksa itu kakak ipar aku, Ma."

"Enggak papa, sayang, demi kakak kamu, demi Alin dan juga Javas. Mereka masih terlalu muda untuk jadi anak piatu. Kamu nggak kasian sama mereka? Kalau kita carikan Mama baru buat mereka, belum tentu mereka beneran bisa sayang sama Alin dan Javas dengan tulus. Lagian nanti kita jadi nggak bisa ngejalanin amanah dari kakak kamu. Tolong jangan tolak Yaksa ya, sayang! Dipikirin baik-baik dulu."

Awalnya aku ragu-ragu, tapi mendengar rayuan Mama Mas Yaksa, aku jadi merasa serba salah. Perasaan bimbang dan tidak tahu harus apa. Aku bingung. Di satu sisi aku nggak mau mengecewakan Kak Runa, nggak mau bikin Mama dan Ibu sedih, nggak tega membiarkan Alin dan Javas tubuh besar tanpa seorang ibu, tapi di sisi lain, aku juga tidak yakin sanggup kalau harus menikah dengan Mas Yaksa.

Lantas aku harus bagaimana?

***

"Alin sudah tidur, Ge?"

Aku mengangguk dan mengiyakan pertanyaan Ibu yang baru saja masuk ke dalam kamar Kak Runa dan Mas Yaksa. Alin baru saja aku tidurkan di box bayi-nya, dari semalam Alin maunya tidur digendongan terus, tapi denganku Alin mau tidur di box bayinya.

"Ayo, keluar, Ibu mau ngomong bentar," ajak Ibu.

Aku menghela napas berat, karena tahu topik apa yang akan ibu bahas. Jujur aku masih enggan membahas hal ini. Aku masih tetap bergeming, kakiku berat untuk melangkah dan mengekor di belakang ibu.

"Geya," panggil Ibu pada akhirnya, karena aku yang masih belum mau beranjak.

Aku ingin protes, tapi aku sadar diri kalau aku tidak bisa melakukannya. Maka dari itu aku memutuskan untuk mengekor pasrah di belakang beliau.

Ternyata Ibu mengajakku ke kamar tamu yang semalam aku tiduri. Setelah aku masuk, Ibu menutup pintu kamar dan menghampiri aku yang kini sedang duduk di tepi ranjang. Kepalaku tertunduk dengan tangan yang sibuk memainkan ujung piyama yang sedang aku kenakan.

"Kamu sudah membuat keputusan kan, Ge?"

"Bu," panggilku dengan frustasi.

Ini masih terlalu sulit buatku, tapi kenapa ibu tega menanyakan hal tersebut?

"Apa lagi yang kamu pikirkan, Ge? Pertama ini wasiat dari kakak kamu, lalu yang kedua kamu bisa membalas kebaikan Yaksa dengan ini. Kamu nggak lupa kan, kamu bisa kuliah berkat Nak Yaksa. Lalu apa lagi yang kamu pikirkan? Kamu nggak kasian sama Alin dan Javas?"

"Bu, bisa nggak mikirin perasaan aku sebentar, ini masih terlalu tiba-tiba buat aku. Enggak semudah itu membuat keputusan, aku harus mempertimbangkan banyak hal karena ini menyangkut masa depan aku. Bagi aku pernikahan itu bukan main-main."

"Kurang apa lagi Yaksa, Ge? Dia punya segalanya."

"Kurangnya Mas Yaksa di sini karena dia nggak cinta sama aku, Bu. Lagi pula dia kakak iparku. Aku tidak bisa dengan mudahnya memutuskan menerima dia jadi suami aku sementara mungkin aku hanya akan jadi bayang-bayangnya Kak Runa," ucapku menjelaskan.

Bagaimana bisa aku menjalani kehidupan pernikahan dengan bayang-bayang Kak Runa?

"Jadi kamu berencana menolaknya? Kamu mau mengabaikan permintaan terakhir kakakmu?" tuduh Ibu yang membuatku semakin terisak.

"Bukan begitu, Bu--"

"Lalu apa? Cepat atau lambat pada akhirnya kamu akan dinikahi Yaksa dan kamu akan jadi ibu sambung untuk kedua ponakan kamu. Itu takdir kamu, Ge. Jangan coba-coba kabur dengan menolak permintaan ini. Ibu nggak mau menanggung malu, sudah cukup selama ini keluarga Yaksa bantuin kita, dan sekarang waktu yang tepat untuk kita membalas budi. Ibu mohon, sayang, lakukan ini demi ibu juga."

Hatiku semakin hancur saat mendengar kalimat Ibu yang penuh dengan permohonan. Sekarang aku merasa bersalah. Seolah aku adalah manusia paling egois kalau aku menolak permintaan tersebut.

Lidahku kelu, aku tidak sanggup membalas kalimat ibu. Dan yang dapat kulakukan hanya terisak dengan isi kepala yang berkecamuk ribut.

Kenapa aku harus memiliki nasib seperti ini?

Kenapa hidupku harus begini?

Kenapa harus aku yang mengalami ini semua?

Kenapa harus aku?

Terlalu banyak pertanyaan kenapa, kenapa, dan kenapa. Sampai-sampai otakku benar-benar seberisik itu. Aku tidak mampu menemukan jawaban itu. Haruskah aku benar-benar melepas kehidupanku demi kedua ponakanku, Mas Yaksa, dan semuanya?

To be continue,

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!