NovelToon NovelToon

Loves Ghosts

Bab 1

"Antara bagus tapi mahal dan murah tapi angker, kamu pilih yang mana?"

Rain memutar bola mata. Ia benar-benar jengah dengan pertanyaan kakaknya. Sudah berapa kali kakaknya bertanya?

"Langsung to the point aja, kak! Lo punya duit, gak?" tanya Rain malas.

Satu pukulan hendak mendarat di jidat Rain. Namun, detik itu juga Asyama mengalihkan tangannya mencubit pelan bibir Rain. kakak Rain itu merasa gemas dengan adiknya. "Mulutmu! Kalau gak punya duit, terus ngapain kakak cari kontrakan, Rain? Dan lagi, kamu kalau ngomong sama kakak bisa gak pake gue-lo? Kamu pikir aku ini teman sebayamu?"

"Iya-iya. Maaf!" Rain kemudian mendumel pelan. "Cuma beda beberapa tahun."

Rain kembali lanjut bicara. "Kita pilih yang lebih murah aja. Hitung-hitung, sisanya bisa kita tabung buat perbaikan motor Rain."

"Yakin? Tapi, kata orang angker, loh. Makanya kontrakannya murah," kata Asya. Ia kurang yakin dengan keputusan adiknya.

Rain kembali memutar matanya. "kata orang, kan? Buat memastikan, lebih baik kita langsung survei ke tempatnya. Kalo bener, cari yang lain aja," kata Rain.

Asyama mengangguk setuju. "Oke, deh, kalau gitu. Besok kamu yang ke sana. Periksa baik-baik, karena kakak cantikmu ini harus ngajar besok."

Rain mendelik tak suka. Asyama memang berprofesi sebagai guru di sekolah negeri tingkat menengah. Kakaknya sangat sibuk. Karena selain mengajar di sekolah, ia juga melakukan les di rumah-rumah orang. Kakaknya tidak kenal lelah. Asya bekerja dari pagi sampai malam.

Hanya akhir-akhir ini Asyama tidak sesibuk biasanya. Gadis berusia 25 tahun itu akhir-akhir ini menolak les yang ditawarkan untuknya. Entah karena apa, Rain tidak tahu.

Namun, sekarang Asyama kembali sesibuk biasanya. Rain pasti akan kesepian lagi. Sepertinya, ia harus sering-sering membawa teman kuliahnya ke rumah.

"Masa gue cuma sendirian?" gumam Rain.

"Aku sibuk, Rain," kata Asyama. Gadis itu memasukkan barang-barangnya ke dalam kardus. Beberapa kardus besar sudah terisi dan peralatan lain telah terbungkus dengan dengan rapi. Itulah kegiatan mereka sepanjang hari ini, mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa ke tempat baru.

"Besok, gak usah pakai motor. Kalo boleh, jangan terlalu sering pakai motor lagi. Pesan grab aja kalo bisa," kata Asya.

Rain mengernyit bingung. "kenapa? Naik motor lebih irit, gampang, cepet, gak ribet. Kenapa pake grab kalo motor gue ada."

Kegiatan Asya tiba-tiba terhenti. Ia menatap Rain tanpa bicara apa-apa. Rain membalas tatapan kakaknya dengan tatapan bingung.

Tak lama, helaan napas terdengar dari mulut Asya. Ia kemudian melanjutkan kegiatannya yang sempat berhenti. Tanpa menatap Rain, Asya berkata, "kamu dengerin kata kakak sesekali, Rain. Kakak tahu kamu sudah dewasa, sudah bisa mengatur diri sendiri." Ia kemudian menatap Rain dengan tatapan teduh. "Tapi, kakak gak mau kamu kenapa-kenapa. Tolong jaga diri. Apalagi kalau naik motor, jangan suka ngebut-ngebut."

"Aku gak ngebut-ngebut," bantah Rain.

"Kakak tahu kamu. Gak usah membantah."

Rain menutup mulutnya. Ia tidak lagi membalas ucapan kakaknya. Sebenarnya, ia bingung. Kakaknya terlihat aneh akhir-akhir ini. Asya sangat perhatian. Bukan berarti ia tidak pernah mendapat perhatian dari Asya, hanya saja akhir-akhir ini Asya sangat protektif. Berbeda dari biasanya.

"Boleh pakai motor, tapi harus hati-hati," kata Asyama akhirnya ketika melihat Rain terdiam. "Tapi untuk besok, jangan pakai motor dulu. Tunggu motornya diperbaiki. Kita gak tahu kalau motor kamu bisa aja ada kerusakan lain. Nanti bisa bahaya."

Rain akhirnya mengangguk. Namun, satu pertanyaan yang sering ia pikirkan melintas tiba-tiba di kepalanya.

"Kenapa motor gue bisa rusak?"

Asyama menoleh ke arah Rain dengan cepat.

Rain mengerjap melihat tatapan kakaknya. "Maksudnya, kenapa motor aku bisa rusak?" katanya mengubah kosa katanya.

Asya tidak menjawab. Dan hal itu jelas membuat Rain semakin kesal dengan kakaknya. Kenapa Asya seperti memiliki masalah dengan motornya itu?

"Nah, diem lagi, kan. Heran!" kesal Rain.

"Jatuh."

"Masa cuma jatuh bisa separah itu."

Asya menatap tajam. "Diem! Gak usah banyak tanya. Kerjaan kamu masih banyak itu. Lanjutkan sekarang, atau barang-barang kamu tinggal nanti semuanya."

Rain menggerutu. "Dih, gitu aja marah," katanya seraya mulai menyusun barangnya satu-persatu.

Asyama melihat itu sebentar. Lalu ia menghela napas seraya memejamkan mata sebentar. Tak lama kemudian, ia kembali melakukan kegiatan awalnya.

Mereka diam dalam keadaan saling melakukan kegiatan masing-masing. Hingga beberapa lama waktunya, akhirnya Rain memecah keheningan.

"Kak!"

"Hm?"

"Gue- maksudnya, aku kan masuk Minggu lalu."

"Hm... Trus?"

"Aku gak sempat cerita sama kakak. Minggu lalu, pas aku masuk, tiba-tiba aja dosen yang aku temui kasih aku banyak tugas. Berapa bulan kita jalan-jalan? Kenapa tugas aku bisa sebanyak itu?"

Asya menoleh cepat. Aktivitasnya langsung berhenti. "lumayan lama," katanya lalu menunduk kembali bekerja.

Rain ragu dengan jawaban itu. Asya seperti menghindari tatapannya.

"kenapa gue gak ingat?" gumamnya.

"Jangan dipikirkan, Rain. Kamu demam tinggi sepulang jalan-jalan. Badan kamu panasnya kayak api. Kata dokter, panasnya berpengaruh ke otak kamu. Makanya kamu gak ingat kejadiannya. Udah, jangan lagi berpikir banyak. Nanti kamu sakit lagi," jelas Asyama.

Rain menatap ragu kakaknya.

Asya seolah tahu isi kepala Rain. Gadis itu menghela napas. "Perlahan kamu pasti ingat."

"Yakin?"

"Hmm," jawab Asya tanpa melihat Rain.

Rain akhirnya kembali diam. Ia tidak tahu harus percaya dengan Asya atau tidak. Sebab, ia benar-benar tidak ingat kapan ia jalan-jalan dengan kakaknya itu.

Satu bulan yang lalu, Rain hanya melihat ruangan penuh alat medis. Rain tidak tahu pastinya. Namun, seingatnya, ketika membuka mata, hanya suasana rumah sakit itu yang ia lihat. Lalu, beberapa saat kemudian, keluarganya berbondong-bondong masuk ke ruangan tempatnya terbaring.

Rain masih ingat, waktu itu ayahnya dan kedua saudara ayahnya ada di sana. Karena ayahnya tinggal jauh di kota lain, kota asal mereka. Ia, paman dan kakaknya hanya perantau di kota ini. Menempuh pendidikan di kota ini bersama.

Saat itu, Rain benar-benar terkejut ketika melihat Ayah dan kedua pamannya ada di sana. Saat itulah mereka menjelaskan jika Rain demam tinggi hingga membuatnya lupa beberapa hal. Tapi, Rain benar-benar masih ragu dengan itu. Sekarang, Asya kembali menjelaskannya.

Ayah dan satu pamannya sudah kembali ke kota asal. Sementara pamannya satu lagi tinggal di kota ini menempuh pendidikannya untuk mencapai gelas Master. Dan satu hal, pamannya yang bernama Medra itu satu kampus dan satu jurusan dengan Rain. Awal Rain tertarik dengan jurusannya juga karena mengikuti jejak pamannya.

Rain jelas ingat tentang mereka. Tapi, tetap saja walau ia tahu alasannya, pertanyaan itu selalu muncul di otaknya. Kenapa ia tak ingat sepenggal kejadian itu?

Sosok di Rooftop

Seperti halnya perintah Asyama kemarin, hari ini Rain melakukan survei lokasi. Rain benar-benar menuruti ucapan kakaknya. Ia datang ke tempat tujuan tanpa motornya.

Rain belum masuk langsung ke dalam kontrakan kecil itu. Ia malah sibuk berbincang dengan beberapa penghuni komplek.

"Yang bener, Bu?" tanya Rain.

"Iya, nak Rain. Ibu dengar sendiri dengan telinga ibu. Itu sebabnya, satu bulan yang lalu, anak-anak gadis yang baru menempati kontrakan itu langsung pindah. Iya kan, nak Nelli?" Paruh baya itu menatap Nelli meminta persetujuan.

Gadis bernama Nelli itu mengangguk cepat. "Iya. Mbak kalo gak percaya, tanya semua penghuni komplek ini. Kami semua saksi ketika mereka berteriak histeris keluar dari rumah pas malam-malam. Mereka bilang rumah itu ada penghuninya. Besoknya mereka langsung pindah."

"Nak Rain, cari kontrakan yang lain aja. Jangan yang itu, bahaya!"

"E hemm!"

Dehaman keras membuat mereka menoleh terkejut. Termasuk Rain.

"Kalian jangan bicara sembarangan tentang kontrakan saya, ya!"

Inilah orang yang Rain tunggu-tunggu sejak tadi. Pemilik kontrakan.

"Kontrakan saya gak angker. Lagi pula, dimana-mana itu ada hantu. Nah, kamu Jumi." Pemilik kontrakan menunjuk ibu-ibu yang bercerita tadi. "Di samping kamu juga ada hantu."

Ibu Jumi melirik sampingnya dengan takut. "Bu Halidah jangan bercanda," katanya memelas.

"Sudah-sudah! Pada bubar semuanya! Jangan ada cerita-cerita begitu lagi, semuanya itu hoaks. Kalian semua senang sekali pembeli saya pada kabur semua," kata Bu Halidah dengan menatap mereka semua tajam.

Satu-persatu, orang-orang mulai bubar. Bu Jumi sempat-sempatnya berbisik ke arah Rain. "Makanya kontrakannya murah, emang karena ada hantunya, nak Rain."

"Bu Jumi!" kesal Bu Halidah.

Bu Jumi segera lari terbirit-birit, meninggalkan Rain yang terkekeh pelan dan Bu Halidah yang siap menguliti paru baya itu.

Bu Halidah segera tersenyum setelah Bu Jumi tak nampak. Ia menatap Rain. "Jangan percaya omongan mereka, nak Rain. Mari, ikut ibu memeriksa tempatnya!"

Rain mengangguk dan mengikuti Bu Halidah dari belakang. Bukan hanya mereka berdua, ada satu lagi paru baya yang ikut beserta mereka. Kemungkinan, dia adalah penjaga keamanan di komplek itu.

Mereka berhenti di depan kontrakan paling sudut. Posisi paling ekstrim memang. Beberapa pohon, sekitar dua atau tiga mengelilingi kontrakan itu. Dibandingkan dengan kontrakan yang lain, kontrakan satu ini terlihat lebih sejuk. Dari luar, Rain langsung menyukai tempat ini.

Posisi Kontrakan di komplek ini tidak terlalu berdempetan. Setiap bangunannya memiliki jarak 3-5 meter. Semuanya sederhana dan terdiri dari satu lantai. Kontrakan yang sangat ideal bagi kaum muda seperti Rain.

"Ayo masuk!"

Rain mengangguk dan mengikuti Bu Halidah masuk ke dalam.

Saat mereka sudah di dalam, pintu yang tadinya terbuka sedikit, tiba-tiba terbuka lebar.

Brak!

"Astagfirullah!"

"Allahuakbar!"

Rain hanya terperanjat sedikit sambil memegang dadanya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Mereka serentak menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar.

"hehehe... Maaf! Saya boleh ikutan, gak?"

"Nelli!" teriak Bu Halimah dengan ekspresi marahnya. Tangannya memegang dada. Hampir saja jantungnya copot.

Rain geleng-geleng kepala melihat gadis muda itu. Rain tahu, gadis itu mungkin berusia beberapa tahun di bawahnya. Jadi, ia bersikap ala kadarnya saja dengan gadis itu ketika baru mengenalnya tadi.

"Maaf Bu Ali!" kata gadis itu cengengesan.

"CK! Nyusahin aja."

Nelli segera berlari ke arah Rain. "Saya ikut mbak, ya! Hehehe..."

Rain tersenyum sambil mengangguk.

Setelah itu, Bu Halidah mulai menunjukkan bagian-bagian ruangan.

Rain mengamati seluruh isi ruangan. Kalau boleh jujur, ini terlalu berantakan untuk ukuran ruangan sebagus ini. Rain suka desainnya yang tidak ribet. Hanya saja, caranya menyusun perabotan sangat berantakan.

Saat masuk, di depan bagian kiri Rain adalah ruang tamu, sementara di kanan ada satu kamar. Di depannya lagi, di bagian kiri ada meja panjang dan dua kursi yang menghadap ruang tamu. Itu adalah meja makan sederhana. Antara meja makan dan ruang tamu ada pembatas setinggi meja. Dari atas pembatas, menjuntai tanaman gantung berwarna ungu yang memanjang. Benar-benar asri.

Kemudian, di bagian kanan belakang ada dapur dan kamar mandi/toilet. Benar-benar simpel. Rain benar-benar suka desainnya.

Ketika Bu Halimah menjelaskan lebih banyak lagi, mata Rain terpaku pada lukisan-lukisan abstrak yang melekat di dinding kanan, di samping pintu kamar. Di bawah lukisan itu, berdiri satu laci besar. Dan atas laci dipenuhi patung-patung tanah liat dan kayu.

Namun, Rain lebih tertarik dengan lukisan-lukisan itu. Ia hendak menyentuhnya, namun dengan cepat Nelli mencekal tangan gadis itu.

"Jangan!" kata Nelli.

"Kenapa?" Rain bertanya bingung.

Mata Nelli menyipit. "Mbak jangan sentuh karya-karya di sini. Nanti pemiliknya marah."

"Siapa? Bu Halidah?" tanya Rain.

Nelli menggeleng kuat. "Bukan. Lain kali aja saya ceritakan sama Mbak Rain. Sekarang bukan waktu yang tepat. Tapi, yang pasti jangan sentuh barang-barang ini kalau mbak gak mau diganggu."

Dahi Rain berkerut dalam. Siapa? Apa hantu yang mereka bicarakan itu? Akhirnya Rain tidak jadi mengusap lukisan itu. Padahal ia sangat penasaran dengan teksturnya.

"Lukisan ini milik siapa? Hantu yang kalian bicarakan?" tanya Rain.

Nelli mengangguk spontan.

"Tahu dari mana kalau ini lukisan hantu itu?" tanya Rain lagi.

Bulu kuduk Nelli langsung berdiri ketika mendengar pertanyaan Rain. "Mbak Rain jangan ngomong sembarangan. Lagian, ini kayaknya emang lukisan dia. Coba lihat nama pelukisnya!" kata Nelli sambil menunjuk sebuah nama di sudut kanan paling bawah di lukisan itu.

Rain membaca dengan seksama. "Ghio?" tanyanya. "Jadi, maksudnya nama hantunya Ghio?"

Brak!

"Aaaa..." teriak Nelli kencang.

"Allahuakbar!"

Baik Nelli maupun Rain, begitu juga dengan dua orang lainnya terperanjat kaget.

Bu Halidah dan asistennya yang awalnya berada di dapur berlari cepat ke raung tamu.

"Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Bu Halidah.

Nelli menggeleng kuat sambil memeluk lengan Rain. Sementara Rain memegang dadanya karena terkejut.

"Barusan yang jatuh itu apa?" tanya Surya, asisten Bu Halidah.

Rain menunjuk kursi yang tadi menghadap ruang tamu kini tergeletak di bawah.

"kursinya jatuh, pak."

Pak Surya mengelus dada. "Oh... Kirain apa, neng. kenapa bisa jatuh? Kalian gak hati-hati, ya?"

Nelli menggeleng kuat. "Jatuh sendiri, pak Sur," katanya.

"Jatuh sendiri? Bagaimana ceritanya?"

"Enggak, tadi cuma disenggol kucing, pak. Kucingnya sudah kabur," kata Rain. Ia memang sempat melihat kucing. Mungkin saja kucing itu yang menyebabkan kekacauan.

"Kirain apa," kata Bu Halidah sambil menghembuskan napas lega.

"Kucing apa bisa menjatuhkan kursi kayu seberat itu? Mbak Rain, itu pasti hantu. Hantunya marah gara-gara Mbak Rain nyebutin namanya," kata Nelli pelan. Gadis itu masih memeluk lengan Rain dengan kuat.

"Itu bukan hantu," kata Rain seraya meyakinkan dirinya. Lagi pula, ia sangat suka dengan tempat ini. Di tambah lukisan-lukisan bagus ini. Tahu saja jika Rain pecinta seni rupa.

Rain mengamati kembali lukisan itu.

"Kalau nak Rain tidak suka dengan barang-barang di sini, bilang, ya! Nanti pak Sur simpan barang-barang yang tidak di butuhkan ke dalam gudang. Kalau gak suka lukisan itu, sekarang juga bisa dibawa."

Rain menggeleng kuat. "Eh, enggak, Bu. Saya suka lukisan ini. Trus, patung-patung ini biar aja di sini. Kebetulan, saya anak seni rupa juga. Jadi, saya suka barang-barang ini," kata Rain cepat.

Rain kemudian mengelus lukisan yang tak sempat dia sentuh tadi. Mata Nelli membola melihat itu. Hampir saja ia berteriak.

"lukisannya bagus," kata Rain sambil tersenyum senang.

Saat itu juga, Nelli merasa aneh. Hawa dingin mulai menerpa telinga dan lehernya. Ia melirik takut sekelilingnya.

Nelli mengusap tengkuknya. "Mbak Rain merasa kedinginan gak?"

Rain menatap Nelli, lalu menggeleng pelan.

Nelli menggigit bibirnya. "Apa cuma saya yang merasakan, ya?"

"Heh! Kamu ini mulai, ya. Kamu gak senang lihat ibu dapat pembeli, hah? Niat kamu datang ke sini cuma mau nakut-nakutin apa gimana?" kata Bu Halidah kesal.

"Saya gak nakut-nakutin, Bu. Kalian tidak merasakan sesuatu?" tanya Nelli.

Mereka semua menggeleng.

Raut wajah Nelli terlihat seperti ketakutan. Saat itu juga, gadis itu segera berlari keluar rumah.

"Anak itu," kesal Bu Halidah. "Jangan hiraukan Nelli, nak Rain. Ayo, ikut ibu ke belakang. Di bagian belakang ada tangga buat naik rooftop kecil. kalau kamu suka yang sejuk kamu bisa ke sana."

"Iya, Bu."

Rain mengikuti Bu Halidah dan pak Surya. Kali ini ia tidak lagi mengamati, ia hanya bertanya-tanya tentang kebiasan-kebiasaan disana dan banyak hal terkait pembelian kontrakan.

Hingga waktu berlalu, sore pun tiba. Matahari yang hampir tenggelam terlihat sangat indah. Warna kemerahan mulai menghiasi langit.

Rain dan Bu Halimah berdiri di luar rumah. Saat itu juga, Bu Halimah menyerahkan kunci ke tangan Rain. Pembelian sudah deal. Sekarang Rain adalah penghuni kontrakan itu.

"Besok saya transfer, Bu. Terima kasih," ucap Rain seraya menunduk singkat.

Bu Halimah tersenyum lebar. "Ah... Boleh-boleh, nak Rain. Minggu depan juga boleh. Yang penting, nak Rain suka dulu tempatnya. Kalau begitu, ibu permisi. Semoga aman dan nyaman tinggal di sini."

"Baik, Bu."

Bu Halimah kemudian meninggalkan Rain sendirian di tempat itu. Pak Surya sudah lebih dulu pergi, karena ada kerjaan.

Rain menghela napas. ia mengotak-atik ponselnya dan menempelkannya ke telinga.

"Beres," kata Rain.

"Bisalah. Besok gas aja, langsung beberes."

"Yoo... Hati-hati." Rain mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku.

Lantas Rain mulai berjalan meninggalkan kontrakan itu. Namun, ketika beberapa langkah ia berjalan, ekor matanya menangkap sesuatu di atas rumah.

Rain belum berbalik. Namun, walau pun ia melihat ke depan, ekor matanya masih bisa melihat sesuatu di sampingnya.

Tepat di rooftop kecil kontrakannya, Rain menemukan sesuatu.

Rain berbalik dan ingin melihat secara langsung. Saat itu juga, pupil matanya membesar.

Sosok di rooftop itu... siapa?

Jadi namanya Ghio?

Nyaman dan aman adalah hal pertama yang dicari orang ketika memilih tempat tinggal. Tapi tidak dengan Rain. Selagi tempatnya murah, ia akan mengambilnya. Hitung-hitung sisa uang untuk ditabung. Ditambah Rain dan Kakaknya hanya anak perantau yang berkecukupan, bukan orang kaya yang bisa sepuasnya mengeluarkan uang.

Namun, selain karena murah, salah satu alasan Rain memilih kontrakan ini adalah karena tempatnya yang sejuk. Rain sudah bosan hidup dalam kost-kostan kecil, sumpek, panas, dan jangan lupa pekarangannya yang sangat jauh dari kata asri.

"Ini beneran? Kok, bisa semurah itu?" tanya Asyama. Matanya menatap takjub kontrakan sederhana di depannya.

Rain tersenyum. "kan, katanya tempatnya horor. Makanya murah. Tapi, percaya sama gue, kak. Tempat ini dijamin aman," ucap Rain.

"Tau dari mana?" tanya Asyama. "Bisa aja kemarin pas kamu datang hantunya lagi gak di sini."

Rain memutar bola mata. "Jangan bahas hantu lagi, deh. Ayo kita bersihkan sekarang, karena sebentar lagi barang-barang kita mau sampai," kata Rain sambil melirik jam tangannya.

Hari ini Asyama meminta libur sehari. Ia harus membantu adiknya mengurus perpindahan. Ia yakin, Rain tidak akan bisa menyelesaikannya sendirian.

Akhirnya, mereka mulai membereskan kontrakan.

"Kak!"

Asyama menoleh untuk melihat Rain yang berada dalam kamar. "Apa?"

"Kayaknya, biar Rain aja yang mengurus kamar sama ruang tamu." Rain tampak berpikir. "Barang-barang di sini kayaknya penting-penting semua. Kakak bagian dapur aja, gimana?" kata Rain sambil tersenyum.

Asyama menatap bingung. Namun, ia tetap menuruti kemauan adiknya. Ia lalu beberes di bagian dapur dan kamar mandi.

Rain memastikan apakah kakaknya sudah pergi. Setelahnya, ia mulai mengeluarkan benda yang dia temukan dalam laci paling bawah di dalam kamar.

Rain menatap lurus. "Sejak kapan gue bisa lihat begituan," gumamnya. Lantas, ia memasukkan foto kecil yang didapatkannya ke dalam saku.

Rain tidak membuang barang-barang yang ada di sana. Ia hanya membersihkan dan menyusunnya lebih rapi lagi. Begitu juga di ruang tamu, ia menyusun sofa dan meja menjadi lebih rapi. Ia memangkas sedikit bunga gantung yang jumlahnya sudah terlalu banyak.

Setelah itu, mereka mulai menyapu, mengepel, dan membersihkan bagian dinding-dinding tempat itu.

Pagi sampai siang, itulah pekerjaan mereka. Tempat itu sudah bersih. Pekerjaan mereka tinggal memasukkan barang-barang yang mereka bawa dari kost sebelumnya.

Rain dan Asyama tidak langsung melanjutkan kegiatan mereka. Keduanya memilih makan siang terlebih dahulu. Mereka hanya memakan nasi bungkus. Seluruh perlengkapan memasak mereka sudah dibungkus, terlalu lelah jika harus mengeluarkannya lagi.

Suara klakson mobil terdengar dari luar.

"Mereka sampai," kata Asyama seraya pergi keluar. Ia meninggalkan Rain sendirian di meja makan.

Rain masih mendengar suara mereka dari dalam. Ia tidak berniat keluar. Perutnya lebih penting sekarang.

"Rain mana?"

Samar-samar Rain mendengar suara pamannya dari luar.

Rain berteriak dari dalam. "Makan!"

Kepala pamannya langsung muncul dari balik pintu. "Makan apa, Rain?"

"Ayam penyet. Paman Medra mau?" tawar Rain. Ia menunggu was-was jawaban Medra.

"Makan aja. Paman udah makan tadi. Paman lanjut turunin barang dulu, ya," katanya, lantas keluar dan menutup pintu.

Rain menghela napasnya lega. Untung saja Medra menolak tawarannya. Kalau iya, Rain tidak akan mau berbagi. Ia masih lapar.

Rain menatap makanan Asya yang ditinggalkan gadis itu. Rain tersenyum jahil, lalu mencomot sedikit ayamnya.

Saat Rain mengangkat kepala, ia seperti tersadar. Rain melirik sekelilingnya. Gelap. Ya ampun, ia tidak sadar jika sejak tadi lampu tidak dinyalakan. Ditambah, Medra menutup pintu.

Rain berdecak, lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ia mendongak ke luar. "Kalian dulu aja, ya! Rain masih makan!" katanya yang mendapat anggukan dari mereka.

"Jangan sentuh makanan aku, Rain!" peringat Asya.

"Kagak." Rain panik, tapi ia segera mengalihkan topik. "Oh, ya. Pintunya jangan ditutup, ya. Di dalam gelap." Lalu, Rain segera masuk ke dalam.

Mata Rain terpaku pada aqua gelas di atas meja. Rain masih ingat, tadi aqua gelas itu masih berdiri. Apa ia tidak sengaja menyenggolnya saat ingin keluar?

Rain mengangkat bahu sekilas, lantas mengambil aqua gelas itu dan membukanya. Ia meneguk tanpa merasa aneh, lalu melanjutkan makannya.

Rain kembali terpaku ketika makanannya masuk ke dalam mulut. "Kok, dingin?" tanyanya entah kepada siapa.

Ia kembali menyentuh makanannya dan sayangnya semuanya dingin.

"Aneh," katanya sambil menggaruk kepala.

Rain menatap makanan Asya. Ia berpikir sebentar, lalu menyentuh makanan itu.

"Gila, sih. Kok, cuma nasi gue yang dingin?" kesalnya. Tapi, Rain tak ambil pusing. Ia kembali memakan nasinya.

Hingga waktu berlalu, matahari telah menyingsing ke barat, meninggalkan kegelapan yang berkuasa.

Seluruh barang-barang mereka telah tersusun rapi. Tak memerlukan waktu yang banyak untuk menyusunnya, karena barang-barang Rain dan Asyama tidak terlalu banyak.

Saat ini mereka berkumpul di ruang tamu. Bukan hanya Rain dan Asya, tapi ada paman Medra dan satu temannya yang membantu mengangkut barang. Selain itu, Rain juga mengundang tetangganya, Nelli dan beberapa tetangga lain.

Sebenarnya, Asya yang meminta Rain untuk mengundang mereka. Tidak ada alasan penting, hanya untuk mengenal tetangga dan menjalin silaturahmi saja agar mereka tinggal dengan nyaman di sana.

Makan malam sudah mereka habiskan beberapa menit yang lalu. Sekarang, mereka tinggal berbincang dan saling berkenalan lebih dalam lagi.

"Semoga kalian nyaman, Mbak Asya." Nelli membuka suara. "Kalau semisalnya hantunya mengganggu, kalian bisa ke tempat saya," katanya dengan pelan saat menyebutkan hantu.

Rain yang kebetulan duduk di samping Nelli menyenggolnya dengan siku. "Syuut! Jangan bahas itu lagi!" peringat-nya.

"Kalian hati-hati, ya. Terima kasih untuk makan malamnya, nak Asya, nak Rain. Saya pamit dulu."

"Saya juga langsung pamit kalau begitu. Terima kasih."

"Sama-sama, bapak, ibu."

Satu-persatu mereka mulai pergi. Kini tinggal Rain, Asya, Medra dan temannya.

Rain tahu alasan mereka pergi secepat itu. Apalagi kalau bukan takut.

"Langsung pulang, bro?" tanya Medra kepada temannya yang sibuk bermain ponsel.

"kamu juga mau pulang?" tanya Asya kepada Medra. "Gak mau di sini dulu malam ini?"

"Kayaknya aku pulang, Sya. Besok ada kelas."

"Hm. Gue juga pulang. Kalian tahu sendiri akibatnya kalau gue gak pulang," kata Lario, teman Medra.

Mereka tertawa bersama, kecuali Rain. Ia tidak tahu apa yang mereka tertawakan.

"Iya, juga. Atau gak, siap-siap aja Lario langsung diusir dari rumah," kata Asya.

Medra menggelengkan kepala. Temannya satu ini memang beda. Dia itu anak papa. Kalau saja papanya tidak melihat Lario berada di rumah, sudah pasti papanya marah dan mengancamnya dengan menyuruh untuk tidak perlu kembali lagi. Kecuali jika Lario izin karena ada urusan penting, seperti mengerjakan tugas kuliahnya. Itu pun, harus benar-benar ada bukti kuat.

Rain diam memperhatikan mereka mengobrol. Yah, usia mereka memang sedikit jauh di atasnya. Pembahasan mereka pun sudah seputar hal-hal pekerjaan. Walaupun Medra masih kuliah, namun pria itu juga melakukan pekerjaan sampingan. Jadi, kali ini, Rain tidak ikut campur dalam pembahasan mereka.

Namun, kelamaan dalam keadaan seperti ini, Rain jadi bosan juga. Akhirnya ia memilih menyerah.

"Rain tidur duluan, ya. Rain ngantuk," ucap Rain.

Mereka menghentikan obrolan mereka sebentar.

"Tidur aja sana. Udah jam tidur juga ini," ujar Asyama.

"Rain duluan. Dah, paman Medra, bang Rio," Rain melambai seraya masuk ke dalam kamar.

"Selamat malam, Rain. Tidur yang nyenyak," seru Medra sebelum Rain menutup pintu.

Rain tak menoleh. "Iya," katanya, lalu menutup pintu.

Rain langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Kasur yang lumayan luas, muat untuk dirinya dan Asya.

Rain tak langsung menutup matanya. Pandangannya tertuju kepada langit-langit kamar. Ia merentangkan kedua tangannya sambil menghembuskan napas. Hari ini sangat melelahkan. Tenaganya langsung terkuras habis. Entah kenapa, akhir-akhir Rain merasa badannya terlalu mudah lelah.

Rain mencoba menutup matanya. Tapi, hanya dalam beberapa detik, matanya langsung terbuka lebar. Rain bangkit dari tidurnya tiba-tiba. Ia duduk diam seperti berpikir keras. Hingga beberapa saat, gadis itu berlari keluar dari kamar.

"Astaga!"

"Rain?"

Asya dan manusia dalam ruang tamu menatap terkejut ke arah Rain yang tiba-tiba keluar dari kamar.

"Dia mau kemana?" tanya Medra.

Sementara itu, Rain berlari ke dalam kamar mandi. Ia mengacak-acak pakaian kotor dalam ember, mengeluarkan celana dari dalam ember itu. Tangannya merongoh saku celana itu satu-persatu.

"Ini dia," katanya senang.

Rain hampir saja lupa. Foto yang ia temukan dalam laci ternyata masih tersimpan di dalam saku celananya yang kotor.

Rain kemudian menyimpan foto itu ke dalam saku celana yang ia pakai. Lantas, berjalan kembali ke kamar.

Tatapan bertanya terpampang di wajah mereka saat melihat Rain berjalan santai ke arah kamar.

Rain mengabaikan tatapan mereka dan berlari masuk ke dalam kamar.

"Gila, sih. Cuma gara-gara ini gue lari kayak orang kesetanan," gumam Rain seraya mengeluarkan foto itu dari sakunya.

Rain mulai menatap foto itu.

"Jadi namanya Ghio?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!