NovelToon NovelToon

Iparku Adalah Maut

Kisah Amira yang berada di Kuala Lumpur dan kaget atas khabar kehilangan ayahnya

Sinar mentari pagi menerobos celah-celah gedung pencakar langit Kuala Lumpur, menyinari jalanan yang mulai ramai dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di sebuah rumah kontrakan sederhana berdekatan dengan bangunan KLCC, jam alarm di ponsel Amira berbunyi nyaring, menandakan pukul 7 pagi. Amira, dengan rambutnya yang masih berantakan, terbangun dari tidurnya. Hari ini, seperti biasa, dia harus bergegas bersiap untuk bekerja di Menara KLCC, gedung megah yang menjulang tinggi di jantung kota.

Amira beranjak dari tempat tidur, matanya masih setengah terpejam. Dia berjalan menuju lemari dan mengambil seragam pembersih berwarna biru tua yang sudah familiar dengannya.

Setelah mengenakan seragam itu, Amira melangkah keluar dari kamar kontrakannya.

"Aduh!" Amira tersentak saat tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.

"Eh, Amira! Lo ngapain sih jalan gak liat-liat?" Ani, rekan kerjanya, memarahi Amira dengan nada tinggi.

Amira hanya diam, memilih untuk tidak menanggapi omelan Ani. Dia sudah terbiasa dengan sikap Ani yang selalu sinis dan suka mencari-cari kesalahan. Ani memang terkenal sebagai sosok yang keras kepala dan suka membanggakan dirinya sendiri.

"Lo pikir lo cantik banget, sampai gak liat-liat jalan?" Ani mencibir, matanya melotot tajam.

Amira menghela napas, mencoba untuk mengabaikan perkataan Ani. Dia tahu bahwa Ani iri padanya karena Amira selalu menjadi pusat perhatian di tempat kerja. Amira memang ramah dan memiliki paras yang menawan, berbeda dengan Ani yang selalu berwajah masam dan tertutup.

Tanpa membuang waktu lagi, Amira berlari menuju halte bus. Dia harus segera sampai di KLCC sebelum pukul 7.30 pagi, waktu dimulainya jam kerja. Sayangnya, tidak ada bus yang lewat. Amira menggerutu kesal. Dia tidak punya pilihan selain berjalan kaki menuju KLCC.

Amira berlari kecil di sepanjang jalan raya yang ramai. Rambutnya yang terurai tertiup angin, semakin memperlihatkan kecantikannya. Di pinggir jalan, banyak pengendara mobil yang terkesima melihat Amira berlari. Beberapa dari mereka bahkan mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam Amira dan mengunggahnya ke TikTok.

"Eh, itu cewek cantik banget! Kayak model!"

"Iya, bener! Rambutnya juga bagus!"

"Kayaknya dia lagi buru-buru nih."

Amira tidak peduli dengan komentar-komentar orang di sekitarnya. Dia terus berlari, fokus pada tujuannya untuk sampai di KLCC tepat waktu.

Amira akhirnya sampai di KLCC, jantungnya masih berdebar kencang. "Huf, untung gak telat!" gumamnya lega sambil buru-buru menuju mesin punch card. Dia menempelkan kartu kerjanya dan bernapas lega. "Syukurlah, tepat waktu! Lewat satu menit aja, gajiku dipotong."

Ani muncul beberapa saat kemudian, wajahnya masam seperti biasa. Dia menempelkan kartu kerjanya ke mesin punch card, tapi telat dua menit dari Amira. Ani melirik Amira dengan pandangan sinis, tapi Amira cuek aja. Dia udah biasa sama tingkah Ani yang suka cari-cari kesalahan.

Amira mengambil ember dan mop, siap ngelap lantai di seluruh bangunan KLCC. Dia jalan melewati lorong-lorong yang ramai dengan pengunjung, gak peduli sama keramaian. Dia udah terbiasa sama hiruk-pikuk gedung perkantoran ini.

Dua puluh menit berlalu, keringat mulai nempel di kening Amira. Dia mulai ngerasa capek, tapi dia harus tetep semangat.

"Amira, kamu gak boleh capek," gumamnya dalam hati. "Kamu harus cari rezeki buat dirimu dan keluarga kamu yang ada di Jakarta."

Amira menarik napas dalam-dalam, lalu semangat lagi ngelap lantai.

Tiba-tiba, ada yang nepuk bahunya. Amira menoleh dan ngeliat Mirna, sahabat baiknya yang juga kerja di KLCC.

"Hoi, Amira!" sapa Mirna dengan suara ceria.

"Hi, Mirna. Kamu sehat hari ini?" balas Amira.

"Sihatlah, sayangku Amira, hehe," jawab Mirna dengan nada sedikit tomboy.

"Baguslah itu, Mirna," sahut Amira sambil tersenyum.

Mirna mendekat dan ikut bantu Amira ngelap lantai. Mereka berdua ngobrol dan bercanda, bikin suasana kerja jadi lebih asik.

Wakty istirahat pagi pun tiba. Amira dan Mirna memutuskan untuk makan bersama di kafe kecil di dekat kantor.

"Mirna, terima kasih ya udah jadi sahabat terbaik aku selama di Kuala Lumpur," ucap Amira sambil tersenyum.

Mirna terkekeh, "Apa ini? Biasa lah, santai kali."

Tiba-tiba, kepala Amira terasa berputar dan perutnya mual. Dia langsung berlari ke toilet. Mirna mengerutkan kening, bingung. "Dia alergi apa ya?" gumamnya dalam hati.

Di toilet, Amira muntah sedikit demi sedikit. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dan jantungnya berdebar kencang. "Tak, tak mungkin..." gumamnya.

Ingatan Amira melayang ke dua bulan lalu, saat dia diajak makan malam oleh Roy, mantan pacarnya. Saat itu, Roy memasukkan pil tidur ke dalam jus Amira.

"Roy, kamu jahat!" teriak Amira dalam hati.

Amira teringat saat dia terbangun di atas tempat tidur, bersama Roy. Dia langsung menampar Roy dan memarahi pria yang selama tiga tahun dia percayai itu.

"Kita belum menikah, Roy! Kenapa kamu buat aku jadi perempuan kotor?" teriak Amira.

Roy hanya tersenyum sinis, "Nggak apa-apa, Amira. Santai aja. Kalau ada apa-apa, aku akan bertanggung jawab."

Setelah kejadian itu, Roy menghilang. Amira berusaha menghubunginya, tapi tidak pernah berhasil.

Amira kembali ke kenyataan dan air matanya mengalir deras. Tiba-tiba, Mirna masuk ke toilet. Amira buru-buru mencuci muka, takut Mirna melihatnya menangis.

"Kau okay, bestieku?" tanya Mirna dengan nada khawatir.

Amira berusaha tersenyum, "Sangat okay, Mir."

Amira dan Mirna kembali ke tempat kerja, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Amira berusaha menenangkan dirinya. "Tak mungkin aku hamil," gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Jam menunjukkan pukul 7 malam. Amira sedang membersihkan lantai di luar bangunan KLCC. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Dia melihat nama "Melissa" tertera di layar ponselnya. Melissa adalah kakak tirinya yang paling disayanginya, yang tinggal di Jakarta. Senyum tipis terukir di bibir Amira.

"Halo, Lis?" sapa Amira, suaranya sedikit gembira.

"Amira, kakak  punya kabar buruk," jawab Melissa, suaranya terdengar sedih.

Amira merasakan jantungnya berdebar kencang. "Apa, Lis?" tanyanya, cemas.

"Ayah kita..." Melissa terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara bergetar, "...Ayah kita meninggal dunia."

Amira tercengang. "Hah? Ayah? Ayah meninggal?" tanyanya, tak percaya.

Ponselnya terjatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. Air matanya mengalir deras. Dia merasa dunia seakan runtuh.

Lepas itu, Amira balik ke kaunter untuk mengambil beg nya untuk pulang ke rumah kontrakan nya.

Tiba-tiba Mirna sampai.

Mirna, yang melihat Amira menangis membasahi seluruh mukanya, langsung menghampirinya. Dia memeluk Amira erat dan mengelus punggungnya lembut. "Amira, sayang...Kamu kenapa ??," bisik Mirna dengan suara lembut. "

Amira terisak, "Ayahku...ayahku meninggal."

Mirna mengangguk terkejut dan mengucapkan takziah kepada Amira, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu ini berat, Amira. Tapi kamu harus kuat. Ayahmu pasti bahagia melihat kamu tegar."

"Aku harus balik ke Jakarta besok pagi," ucap Amira, suaranya masih bergetar. "Aku akan pakai uang tabungan untuk pesan tiket."

Mirna mengangguk, "Tenang, Amira. Aku akan bantu kamu cari tiket. Kamu fokus aja ke kemas barang kamu di rumah kontrakan kamu ya"

................

Amira bergegas berlari menuju kontrakannya. Dia berjalan kaki sambil berlari, air matanya tak henti-hentinya mengalir deras. Rasa kehilangan dan kesedihan menyelimuti hatinya.

Amira sampai di kontrakannya dan langsung mengunci pintu. Dia terduduk di lantai, air matanya mengalir deras. Dia menangis sepuas-puasnya, melepaskan semua kesedihan yang menghantam hatinya. Rasa kosong dan hampa menyelimuti dirinya. Ayahnya, satu-satunya orang yang selalu ada untuknya, telah pergi.

Dia membuka tasnya dan mulai mengemas barang-barang. Amira mengambil nasi campur sardin yang sudah dingin di atas meja. Dia makan dengan lahap, tetapi air matanya tak henti-hentinya mengalir. Nasi campur sardin itu terasa hambar, bahkan air matanya pun ikut membasahi nasi itu.

Ingatan Amira melayang ke masa lalu, saat dia berpamitan dengan ayahnya sebelum berangkat ke Kuala Lumpur. Dia teringat pelukan hangat ayahnya dan kata-kata nasihat dari ayahnya.

"Amira, di mana pun kita berada, kita harus jaga harga diri kita sebagai perempuan ya," ujar ayahnya.

"Ayah ingin kamu jaga harga diri kamu di KL nanti. Ayah tak ingin kamu terjebak dengan apa pun. Semenjak ibumu meninggal sejak kamu dilahirkan, kamu adalah tanggung jawab ayah yang paling ayah tak nafikan. Kamu anugerah dari ibumu yang ayah cinta sampai mati. Walaupun ayah sudah menikah dengan Mak Sarah, tetapi ayah takkan melupakan mak kamu."

Amira terisak semakin keras. Dia teringat betapa sayangnya ayahnya padanya. Dia teringat bagaimana ayahnya selalu mendukung dan menjaganya. Dia teringat bagaimana ayahnya selalu memberikan nasihat dan pelajaran hidup yang berharga. Amira merasa kehilangan sosok yang sangat berarti dalam hidupnya. Ayahnya adalah tempatnya berkeluh kesah, tempatnya mencari perlindungan, dan tempatnya menemukan kekuatan.

Amira menangis sepuas-puasnya, melepaskan semua kesedihan dan kerinduannya. Dia tahu bahwa ayahnya akan selalu ada di hatinya, meskipun kini ayahnya telah pergi untuk selamanya.

Amira masih terisak di lantai, matanya sembab dan wajahnya pucat. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Dia mengambil ponselnya dan melihat pesan dari Mirna.

"Mirna?" gumam Amira, matanya langsung berkaca-kaca. Dia membuka pesan dari Mirna.

"Ini uang untukmu, Mira. Gunakan ini untuk balik. Aku minta maaf kalau ini sedikit. Ini duit simpanan aku, Amira. Kamu gunakan ya. Jangan risau, tak usah bayar. Aku ikhlas kok."

Amira terharu membaca pesan Mirna. Air matanya kembali mengalir deras. Dia bersyukur kepada Tuhan karena mengurniakan sahabat sebaik Mirna dalam hidupnya. Mirna selalu ada untuknya, baik dalam suka maupun duka.

Amira membalas pesan Mirna, "Terima kasih, Mirna. Kamu selalu ada dengan aku, tak kira susah dan senang."

Mirna pun membalas pesan Amira "Its okay my bestie"

Amira langsung memesan tiket pesawat untuk kembali ke Jakarta besok pagi.

Bersambung

Kesedihan Amira

Amira tiba di Jakarta dengan perasaan campur aduk. Rasa sedih masih menyelimuti hatinya, tetapi ada juga rasa lega karena bisa kembali ke rumah dan berkumpul dengan keluarga.

Dia langsung naik bus menuju rumahnya di kawasan Jakarta Selatan. Saat sampai di depan rumah, Amira tak melihat seorang pun. Rumah itu sepi. Dia memanggil Kak Melissa, "Kak Melissa, Kak...," tetapi tak ada jawaban.

Tiba-tiba, Mak Siti, tetangganya, memanggil Amira. "Amira, nak...," sapa Mak Siti.

Amira mendekat dan bertanya, "Mak Siti, Kak Melissa dan semua orang mana? Kok gak ada di rumah?"

Mak Siti menghela napas, matanya berkaca-kaca. "Amira, semua orang sedang di tanah perkuburan sekarang. Mereka sedang mengebumikan ayahmu." Mak Siti memeluk Amira erat. "Kamu perlu sabar ya, Amira."

"Kenapa mereka gak tunggu aku?" tanya Amira, suaranya bergetar. "Aku gak sempat melihat muka ayahku untuk terakhir kalinya."

Mak Siti hanya menggelengkan kepala, tak tahu harus berkata apa.

Mak Siti mengantar Amira ke tanah perkuburan. Di sana, Amira melihat banyak orang sedang mendoakan ayahnya yang sedang dikebumikan. Amira langsung berlari ke sana. Semua orang terkejut melihat Amira datang.

"Amira...!" bisik Melissa, matanya berkaca-kaca.

Amira langsung merebahkan badannya ke tanah perkuburan ayahnya, menggenggam tanah erat-erat. Tanah itu telah dibaling Amira ke tepi karena dia tak percaya ayahnya telah meninggal.

"Ayah...ayah...kenapa ayah tinggalkan aku...aku tak boleh hidup tanpa ayah...duniaku gelap tanpa ayah," teriak Amira, suaranya bercampur isak tangis.

Mak Sarah, ibu tiri Amira, bermonolog dalam hati, "Aku harus menunjukkan kepada orang ramai bahwa aku prihatin terhadap Amira."

Sebenarnya, Mak Sarah menyimpan rahasia buruk. Dia lah yang menyebabkan kematian ayah Amira.

Mak Sarah teringat kembali kejadian itu. Saat Melissa dan semua orang tak ada di rumah, Mak Sarah bertengkar dengan ayah Amira. Ayah Amira ingin menyerahkan semua harta warisan kepada Amira jika dia meninggal. Mak Sarah marah dan tak sengaja mendorong ayah Amira hingga jatuh dari tangga. Ayah Amira pun meninggal.

Mak Sarah memberi alasan kepada semua orang bahwa suaminya meninggal jatuh sendiri.

Di tanah perkuburan, Mak Sarah ketakutan dan trauma. Dia telah menjadi pembunuh. Dia takut kebusukannya itu diketahui dan dia tak mau mengdekam di penjara seumur hidup.

Mak Sarah mencoba menenangkan Amira. "Amira, sayang...ayahmu sudah tenang di sana. Kamu harus kuat. Ayahmu pasti bahagia melihat kamu kuat."

Amira menatap Mak Sarah dengan pandangan curiga. "Mak Sarah, kenapa kamu gak bilang kalau ayah meninggal?" tanya Amira, suaranya bergetar.

Mak Sarah mengelus rambut Amira. "Amira, aku takut kamu pingsan kalau tahu ayahmu meninggal. Aku ingin kamu datang dengan tenang."

Amira terdiam, tak yakin dengan penjelasan Mak Sarah. Dia merasa ada yang disembunyikan oleh Mak Sarah.

Suami Melissa, Roy, baru saja tiba di perkuburan. Dia terkejut melihat Amira di sana. Amira tak melihat Roy. Roy teringat kembali bahwa Amira adalah pacar gelapnya selama di Kuala Lumpur. Amira tak tahu bahwa Roy adalah suami adik tirinya, Melissa. Selama ini, Melissa bersama suami dan anak-anaknya tinggal di London.

"Tak...tak..." gumam Roy dalam hatinya, wajahnya pucat pasi.

Roy berlari secepat kilat meninggalkan perkuburan, jantungnya berdebar kencang. Dia tak ingin Amira melihatnya lebih lama lagi, takut rahasia hubungan mereka terbongkar.

Di mobil, Melissa menoleh ke arah suaminya dan bercakap dengan suaminya di tepi kereta, "Mas, kamu ke mana? Kok buru-buru banget?"

Roy berusaha bersikap tenang. "Aku ada urusan di kaunter, sayang. Nggak lama kok."

Melissa mengerutkan kening. "Kaunter? Kaunter apa? Kok kamu nggak bilang dari tadi?"

Roy menghela napas. "Urusan penting, sayang. Nanti aku ceritain ya."

Melissa masih merasa curiga, tetapi dia tak mau memaksa Roy. Dia hanya mengangguk dan kembali fokus ke jalan.

Semua orang bersiap-siap untuk meninggalkan perkuburan. Hanya Melissa dan Amira yang masih tertinggal di sana. Aliya, anak sulung Melissa, menarik tangan ibunya. "Mak, kita pulang yuk. Nenek udah nunggu di mobil."

Melissa tersenyum dan mengelus kepala Aliya. "Kamu pulang dulu sama nenek ya, sayang. Mama mau ngobrol sebentar sama Amira."

Aliya mengangguk dan berlari menuju mobil bersama Mak Sarah.

Amira masih terdukung di samping pusara ayahnya, merasakan kesedihan yang mendalam. Melissa, dengan hati yang penuh kasih, duduk di sebelahnya.

"Amira, kamu harus kuat. Ayah pasti ingin kamu tegar menghadapi ini," ujarnya lembut, suaranya bergetar tetapi penuh pengertian.

Melissa memang selalu menjadi adik yang baik untuk Amira, meskipun mereka tidak memiliki ibu yang sama. Mereka berbagi satu ayah yang mencintai mereka tanpa syarat.

"Kita mungkin berbeda ibu, tapi kita sama ayah. Ayah kita selalu bangga pada kamu, Amira," tambah Melissa, berusaha menguatkan semangat adiknya.

Amira mengangguk, tetapi air mata terus mengalir. "Kak, aku merasa sangat kehilangan. Rasanya seperti dunia ini gelap tanpa ayah," ucap Amira, suaranya penuh kesedihan.

Melissa merangkul Amira, memberikan kenyamanan yang sangat dibutuhkan. "Aku tahu, Amira. Tapi kita harus saling mendukung. Kita masih punya satu sama lain," katanya, matanya penuh empati.

Di sudut lain, Daniel dan Winda, anak-anak Mak Sarah dari pernikahan sebelumnya, mereka tidak memiliki hubungan dekat dengan Amira dan Melissa, tetapi mereka merasakan kesedihan yang sama. Hanya Melissa yang benar-benar berbagi ikatan dengan Amira, dan mereka berdua saling memahami perasaan satu sama lain.

"Amira, kamu tidak sendirian. Kita semua di sini untuk kamu," kata Melissa lagi, berusaha menenangkan Amira lagi.

Amira mengusap air matanya dan menatap pusara ayahnya. "Aku ingin ayah tahu betapa aku mencintainya. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik, seperti yang dia inginkan."

"Ya, Amira. Ayah selalu ada di dalam hatimu. Jangan lupa kenangan indah bersama dia," jawab Melissa, sambil menggenggam tangan Amira erat.

Amira menunduk, air matanya kembali mengalir. "Kak, aku kangen ayah."

Melissa memeluk erat adik tirinya itu. "Aku juga, Amira. Tapi kita harus kuat. Ayah pasti selalu ada di hati kita."

Amira terdiam, matanya menatap pusara ayahnya. Dia merasa sangat kehilangan.

"Kak, kamu pulang aja dulu. Kamu lagi hamil 3 bulan. Aku takut kamu kecapekan," kata Amira.

Melissa mengangguk. "Iya, Amira. Nanti kamu pun balik rumah ya. Kamu jangan sedih terus ya."

Melissa berpamitan dan pergi meninggalkan Amira.

Setelah 30 menit, Amira masih terduduk di samping pusara ayahnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir.

Di kejauhan, seorang lelaki bernama Romeo, seorang lelaki asing, sedang menziarahi makam ibunya. Dia melihat Amira menangis dari kejauhan.

Tiba-tiba, hujan turun dengan lebat. Amira tak peduli, badannya basah kuyup. Dunianya sudah hancur, hujan tak berarti apa-apa baginya.

Romeo melihat Amira yang terduduk di bawah guyuran hujan. Dia langsung membuka payungnya dan berlari ke arah Amira.

"Maaf, Mbak. Hujan ini sangat deras. Silahkan pakai payung ini," kata Romeo, menawarkan payungnya kepada Amira.

Amira tertegun. Dia menatap Romeo dengan pandangan sedih dan heran.

"Hari ini hujan, dan kamu harus pulang," kata Romeo, matanya menatap Amira dengan penuh perhatian.

Amira terdiam, hatinya sedikit tersentuh oleh perhatian Romeo.

Di rumah Mak Sarah, suasana berbeda terpancar. Daniel dan Winda, dengan senyum licik, bersorak-sorak di belakang rumah. Mereka sengaja bersembunyi agar Aliya dan Benny(Anak Melissa), cucu-cucu Mak Sarah, tidak mendengar percakapan mereka.

"Ayah Amira sudah tiada, lepas ni tanah warisan dia di kampung akan kita jual!" ujar Daniel, matanya berbinar-binar.

"Betul tu, Daniel. Ayah Amira memang bodoh, nak lagi hidup miskin. Kenapa dia tak nak jual tanah tu selama masih hidup? Kalau jual, pasti kita kaya raya!" timpal Mak Sarah, nada suaranya penuh keserakahan.

Winda pun mengangguk setuju, "Iya, Mak. Kita jual tanah itu, pasti hidup kita akan lebih senang."

Daniel, yang selalu cerdik, bertanya dengan penuh curiga, "Tapi Mak, macam mana kalau tanah tersebut akan diberikan oleh mendiang ayah ke nama Amira. Macam mana kita nak jual?"

Mak Sarah tersenyum sinis, "Kamu berdua jangan risau. Tunggu saja nanti."

Flashbacn memori Mak Sarah muncul. Setelah Ayah Amira meninggal dunia akibat jatuh dari tangga, Mak Sarah dengan licik langsung mengganti nama kepemilikan tanah warisan tersebut ke nama Daniel. Dia yakin Amira yang masih muda dan naif tidak akan menyadari hal itu.

Di perkuburan, Romeo masih setia menemani Amira. Hujan semakin lebat. Melissa yang khawatir, langsung berputar balik dengan mobilnya. "Amira berteriak, kak balik jom. Hari hujan," ujar Melissa, sambil turun dari mobil dan mengulurkan payungnya ke arah Amira.

Melissa melihat heran kepada lelaki asing yang sedang memakaikan payung kepada Amira.

Romeo tersenyum ramah, "Namaku Romeo. Aku tadi menziarahi kubur makku di sana. Terlihat perempuan ini tak berpayung, jadi aku payungkan dia."ujar Romeo kepada Melissa

Melissa tersenyum, "Terima kasih, Romeo. Ini adik saya, Amira. Kami baru saja kehilangan ayah."

Romeo mengangguk, "Oh, ya. Saya ucapkan takziah."

Amira dan Melissa pun berpamitan kepada Romeo dan beranjak meninggalkan perkuburan. Di dalam mobil, Amira masih memikirkan Romeo.

"Kak, Romeo baik ya. Dia mau repot-repot payungkan aku," ucap Amira dengan nada heran.

"Iya, Amira. Dia orang baik. Tapi kita harus hati-hati, ya. Jangan terlalu cepat percaya orang," jawab Melissa, sambil mengelus rambut Amira.

Di perjalanan pulang, Amira terus memikirkan kejadian di perkuburan. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Mak Sarah. Kenapa Mak Sarah macam begitu gembira dengan kematian ayahnya?

................

Amira dan Melissa akhirnya sampai di rumah, suasana sepi menyelimuti kediaman mereka.

Melissa memandang Amira dengan penuh perhatian. "Amira, kamu perlu rehat. Pergilah ke kamar dan tenangkan diri," ujarnya lembut, berusaha menjaga perasaan adiknya.

Setelah Amira masuk ke kamarnya, Melissa mengambil ponselnya. Suaminya, Roy, menelefon. "Sayang, kamu di rumah kan? Amira ada bersama?" tanya Roy di ujung telepon.

Melissa sedikit merasa aneh. "Ya, Amira ada di sini. Kenapa, Mas? Kamu tak balik ke rumah ke?"

Roy terdengar ragu. "Esok kita perlu pindah ke Bandung. Kamu dan anak-anak harus ikut aku," jawabnya singkat.

Melissa terkejut. "Pindah? Kenapa?"

"Jangan banyak tanya. Nanti aku jelasin," Roy mematikan telepon tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.

Roy mahu mereka pindah sebab dia tak mahu hubungan gelap silam bersama Amira akan terbongkar.

Melissa mengerutkan kening, perasaan tidak enak mulai menyelimuti hatinya. Dia memikirkan alasan di balik keputusan mendadak itu. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Roy.

Di kamar, Amira merasakan kesedihan yang mendalam. Dia berbaring di tempat tidurnya, berusaha menenangkan pikiran. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Itu adalah Mirna, sahabatnya dari Kuala Lumpur.

"Amira! Aku baru dapat berita buruk. Kamu dipecat dari kerja!" suara Mirna terdengar sedih di telepon.

Amira terdiam sejenak. "Iya, Mirna. Aku tahu. Mereka bilang aku tidak memberi pamitan," jawabnya, berusaha terdengar tenang.

"Tapi tak apa. Aku sudah malas mau bekerja di sana lagi."

Mirna menghela napas. "Tapi Amira, kamu tidak bisa begitu. Ini semua sangat berat. Apa kamu baik-baik saja?"

Amira mengangguk meskipun Mirna tidak bisa melihatnya. "Aku baik-baik saja, Mirna. Aku di sini bersama Kak Melissa. Kami akan cari jalan keluar."

Setelah menutup telepon, Amira merasa campur aduk. Kehilangan pekerjaan dan kematian ayahnya membuat hidupnya terasa goyah. Namun, dia bertekad untuk tetap kuat dan mencari cara untuk melanjutkan hidup.

Dalam pikirannya, dia mulai merencanakan langkah selanjutnya. Dia tidak ingin terjebak dalam kesedihan dan akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan kebahagiaan baru, meskipun semua tampak gelap. Amira mahu cari kerja di Jakarta sahaja mulai sekarang.

Bersambung

Amira diketahui hamil oleh keluarganya

Pada waktu malam, Amira dan keluarganya malam malam. Suasana di rumah Mak Sarah terasa tegang saat mereka berkumpul untuk makan malam. Amira duduk di meja, berusaha fokus pada makanan di hadapannya meskipun hatinya masih penuh duka.

"Amira, kamu masih kerja di Kuala Lumpur atau tidak?" tanya Mak Sarah dengan nada tajam, seolah ingin mengorek informasi lebih lanjut.

Amira menatap Mak Sarah dan menjawab dengan tegas, "Tak, Mak. Aku sudah dipecat."

"Amboi, kamu harus cari kerja! Di sini makan bukannya free," Mak Sarah menjawab tanpa ragu, suaranya terdengar pedas.

Winda, adik perempuan Mak Sarah, ikut menyampuk, "Betul tu, Amira! Kamu harus cari kerja, jangan buang waktu."

Melissa yang baru saja kembali dari dapur, membawa lauk ikan, menunjukkan wajah tidak senangnya kepada Mak Sarah dan Winda. Dia merasa tindakan mereka sangat tidak peka terhadap perasaan Amira. "Mak, Winda, jangan terlalu memaksa Amira. Kita semua baru kehilangan ayah. Biarkan dia berehat setidaknya satu minggu," tegas Melissa.

Mak Sarah merespon dengan nada defensif, "Salahkah mak suruh Amira kerja? Yang mati matilah. Kita yang masih hidup harus meneruskan hidup."

Amira, berusaha menjaga suasana, menyampuk dengan sopan, "Dahlah, Mak. Dahlah, Melissa. Tak perlu bertengkar. Kakak akan cari kerja esok, ya Melissa. Betul cakap Mak, hidup harus diteruskan."

"Ahh, itu Amira pun okay saja, kamu yang berlebihan, Melissa," Mak Sarah menjawab sambil mengalihkan pandangannya.

Melissa terdiam, merasa frustrasi tetapi juga tahu bahwa perdebatan lebih lanjut tidak akan membawa kebaikan. Dia mencoba mengingatkan dirinya untuk bersabar, terutama demi Amira.

Amira menatap wajah Kak Melissa dan kemudian menunduk. Dia merasakan tekanan dari semua arah. Dalam hati, dia berjanji untuk bergerak maju, meski jalan yang harus dilaluinya terasa berat.

Makan malam berlanjut dalam suasana hening, dengan pandangan masing-masing anggota keluarga yang penuh dengan pemikiran dan ketidakpastian. Amira tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan dan berusaha memperbaiki hidupnya, meskipun harus melawan banyak halangan, terutama dari dalam keluarganya sendiri.

..........

Melissa memanggil kedua anaknya, Aliya dan Benny, untuk mengemas barang-barang mereka. "Aliya, Benny, cepat kemas barang. Kita akan pindah ke Bandung besok," perintah Melissa.

Aliya dan Benny dengan semangat mulai mengemas pakaian mereka. Pintu kamar yang terbuka memberikan Daniel, abang Melissa, kesempatan untuk masuk dan bertanya, "Melissa, kamu semua nak ke mana?"

Melissa menjawab dengan tenang, "Itu suami aku, Roy. Dia suruh kami pindah ke Bandung esok."

Tetapi tidak lama kemudian, Mak Sarah tiba-tiba muncul di pintu kamar. "Hahh, kenapa kalian ke sana? Aneh nya! Sini apa kurang? Adakah mak buat masalah?" tanyanya dengan nada curiga.

Melissa merasa tertekan, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Mak, tak ada buat salah apa pun. Roy yang mendadak suruh kami ke sana. Entah apa sebabnya," jawabnya.

Mak Sarah hanya terdiam, tidak bisa berkata apa-apa.

Dalam hati, dia mulai bermonolog, "Siapalah yang akan belikan makanan dan lauk kalau Roy tak ada di sini. Takkan aku keluarkan duit aku sendiri?"

Dia merasa cemas dan sedikit marah dengan keputusan mendadak itu. Dia khawatir tentang bagaimana hidup mereka akan berjalan tanpa Roy di rumah.

Di dalam kamar, Aliya dan Benny terus mengemas dengan ceria, tidak menyadari ketegangan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. Melissa menghela napas, merasa bingung dan khawatir tentang masa depan mereka. Dia berharap segalanya akan berjalan dengan baik di Bandung, tetapi perasaannya tetap tidak nyaman tentang apa yang mungkin terjadi.

........

Sebelum tidur, Melissa mengetuk pintu kamar Amira. "Amira, boleh aku masuk?" tanyanya lembut. Amira mengangguk, dan Melissa masuk, memeluk adiknya dengan hangat.

"Tak usah dipikirkan kata mak ya," ucap Melissa, berusaha memberikan semangat.

Amira membalas dengan suara pelan, "Aku dah terbiasa, Melissa. Aku okay saja."

Namun, dalam hati, dia teringat kembali masa kecilnya. Dia teringat bagaimana Mak Sarah selalu bersikap jahat padanya. Air mata mulai mengalir di pipi Amira. Dia tak pernah merasakan kasih sayang dari Mak Sarah, yang selalu lebih menyayangi anak-anaknya sendiri.

Hanya Melissa dan arwah ayahnya yang selalu ada untuknya. Kini, Melissa adalah satu-satunya tempat dia bergantung.

Melissa melihat Amira yang meneteskan air mata dan segera mencubitnya lembut. "Amira, jangan sedih. Besok aku dan anak anak aku akan pindah ke Bandung ya. Roy menyuruh kami ke sana. Kamu harus jaga diri, ya?"

Amira mengangguk. "Jangan risau, ya Melissa. Aku akan jaga diri di sini."

Amira kemudian mengingat sesuatu. "Selama ini, aku tak pernah tengok muka suami kakak. Kakak sudah berkahwin selama 16 tahun, tapi aku tak pernah lihat muka Roy."

Melissa tersenyum. "Oh ya, tunggu sebentar. Aku akan tunjukkan mukanya. Banyak fotonya di HP aku," kata Melissa sambil mencari di ponselnya. "Dia esok pun ke sini ambil kami."

Namun, saat Melissa bersiap untuk menunjukkan foto suaminya, Amira tiba-tiba merasa mual. Dia menutup mulutnya dan berlari ke kamar mandi, muntah sebelum sempat melihat wajah Roy.

Amira tidak tahu bahwa Roy, suami Melissa, adalah mantan pacarnya yang pernah memperkosanya di Kuala Lumpur dua bulan yang lalu. Perasaan campur aduk menyelimuti Amira, tetapi dia tidak menyadari betapa pentingnya untuk mengetahui siapa sebenarnya Roy.

Melissa merasa khawatir dan berlari mengikuti Amira. "Amira, kamu baik-baik saja?" tanyanya penuh perhatian, sambil menepuk punggungnya.

Amira hanya mengangguk, tetapi hatinya bergejolak. Dia merasa ada yang aneh, namun tidak bisa mengungkapkan perasaannya saat itu.

......

Di kamar mandi, Amira tiba-tiba merasa pusing dan mual. Dia mencoba menahannya, tapi tubuhnya lemas dan akhirnya dia pingsan. Melissa, yang mendengar suara Amira terjatuh, langsung berlari ke kamar mandi.

Melissa terkejut melihat Amira tergeletak di lantai. Dia langsung memanggil keluarga Amira. Mak Sarah, Daniel, dan Winda yang sedang asyik berdiskusi tentang tanah warisan peninggalan ayah Amira di ruang tamu, terkejut mendengar teriakan Melissa. Mereka langsung berlari ke kamar Amira.

Melissa meminta bantuan Daniel untuk mengangkat Amira. Mereka segera membawa Amira ke rumah sakit. Melissa mengajak Winda dan Mak Sarah, tetapi mereka menolak. Mak Winda beralasan bahwa dia tidak mau pergi ke rumah sakit karena takut tertular penyakit. Winda hanya pura-pura sakit kepala karena dia juga tidak ingin ikut.

Aliya dan Benny, anak-anak Melissa, terpaksa tinggal di rumah bersama Winda dan Mak Sarah. Hanya Daniel dan Melissa yang menemani Amira ke rumah sakit.

Di rumah sakit, dokter memeriksa Amira dan memberitahu Melissa dan Daniel bahwa Amira hamil. Daniel, yang sedang minum air kotak, langsung tersedak kaget mendengar berita itu. Melissa juga terkejut. Mereka tidak menyangka Amira hamil.

Melissa dan Daniel masuk ke kamar Amira dan bertanya bagaimana Amira bisa hamil. Daniel, dengan nada mengejek, bertanya, "Hoi, wanita murahan, bagaimana kamu bisa hamil? Siapa ayah dari anak ini?"

Melissa, dengan sedih, bertanya kepada Amira, "Siapa ayah dari anak ini, Amira?"

Amira, dengan air mata berlinang, menjawab, "Aku tidak tahu, Daniel, Melissa. Aku diperkosa di Kuala Lumpur dua bulan yang lalu."

Melissa hanya bisa berkata, "Aduh, Kak."

Daniel, dengan senyum licik, keluar dari kamar rumah sakit. Dia tak sabar untuk menyebarkan berita ini kepada Winda dan Mak Sarah. Dia membayangkan bagaimana mereka akan bereaksi, bagaimana Mak Sarah akan marah besar kepada Amira, dan bagaimana dia akan diusir dari rumah. "Mak akan marah besar! Haha, dia akan mengusir Amira!" pikirnya dalam hati, menikmati antisipasi kekacauan yang akan terjadi.

Setibanya di rumah, Daniel dengan penuh semangat berteriak, "Mak, Winda, kalian tidak akan percaya! Amira hamil!" Wajahnya berseri-seri, seolah-olah dia telah memenangkan lotre. Winda, yang sedang asyik bermain ponsel, mengangkat wajahnya dengan malas. "Apa? Hamil? Siapa ayahnya?" tanyanya, suaranya datar.

Amira, yang baru pulang dari rumah sakit bersama Melissa, berdiri di ambang pintu, tubuhnya gemetar. Dia merasa takut dan tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia melirik Melissa, berharap mendapatkan sedikit dukungan, tetapi Melissa hanya bisa menggelengkan kepala dengan sedih.

Mak Sarah, mendengar berita itu, langsung berdiri dengan wajah memerah. "Hah? Hamil? Bagaimana bisa hamil?" tanyanya, suaranya bergetar dengan amarah.

Amira, dengan suara bergetar, menjawab, "Aku diperkosa, Mak."

Mak Sarah, mendengar jawaban itu, langsung mendekat dan menampar wajah Amira dengan keras. "Dasar kamu tidak pandai menjaga diri, Amira! Kalau orang luar tahu kamu hamil anak luar nikah, pasti nama baik keluarga ini akan tercemar!" Mak Sarah berteriak, suaranya menggema di seluruh rumah.

Melissa, yang berusaha menghentikan tindakan ibunya, merasa sangat tertekan. "Mak, tunggu! Ini tidak adil!" serunya, tetapi suara Melissa tenggelam dalam kemarahan Mak Sarah.

Winda, yang selama ini membenci Amira, langsung menyeringai. "Mak, benar juga. Dia tidak pantas tinggal di sini lagi. Kita harus mengusirnya!"

Daniel, dengan senyum jahat, langsung menyambar tas Amira dan membuangnya ke luar rumah. "Pergi kamu! Keluar dari rumah ini!" teriaknya.

Amira, yang merasa terasing dan tidak berdaya, hanya bisa berdiri tertegun. Air mata mengalir di pipinya, tetapi dia tidak berani melawan. Dia tahu, di luar sana, dunia menunggu dengan segala tantangan dan ketakutan yang tak terbayangkan.

Dengan hati yang berat, Amira melangkah keluar dari rumah, meninggalkan semua yang pernah dia kenal. Dia merasakan bahwa jalan di depannya tidak akan mudah, tetapi dia bertekad untuk berjuang demi masa depannya dan calon anak yang ada dalam rahimnya.

....

Amira terduduk di tepi jalan, tubuhnya gemetar hebat setelah diusir dari rumah. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Rasa sakit dan kekecewaan bercampur aduk dalam hatinya. Ia tak tahu harus kemana, tak punya tempat untuk berteduh. Kegelapan malam Jakarta menyelimuti dirinya, menambah rasa takut dan kesepian yang mendera.

Tiba-tiba, sebuah mobil melaju kencang di depannya. Amira tersentak, tubuhnya terhuyung ke belakang. Mobil itu hampir saja menabraknya. Amira terduduk di pinggir jalan, tubuhnya gemetar.

"Astaga" Suara seorang perempuan terdengar panik.

Seorang perempuan berambut cokelat keluar dari mobilnya. Matanya terbelalak melihat Amira yang terduduk di pinggir jalan.

"Kamu tidak apa-apa? Maaf, aku tidak sengaja," kata perempuan itu dengan suara cemas.

Amira menggeleng, masih terisak. Ia menatap wajah perempuan itu. Matanya membulat, tak percaya.

"Elena?" Amira terbata-bata, suaranya bergetar.

"Amira?" Elena terkesiap.

Matanya berkaca-kaca. "Astaghfirullah, Amira, kamu... kenapa kamu di sini?"

Amira terdiam, tak bisa berkata-kata. Elena menghampirinya, memeluk Amira erat.

Elena adalah sahabat terbaik Amira di sekolah SMA.

"Amira, aku tak sangka jumpa kamu di sini. Kenapa kamu di sini? Apa yang terjadi?" tanya Elena dengan suara lembut.

Amira terisak semakin keras, tubuhnya gemetar. Ia tak bisa menahan tangisnya.

"Elena... aku... aku diusir dari rumah," bisik Amira di antara isak tangisnya.

Elena mengerutkan kening, tak percaya. "Diusir? Kenapa?"

"Mama... Mama marah sama aku. Aku disuruh sebab aku hamil anak luar nikah," jelas Amira, suaranya terendam.

Elena pun berkata "hamil".

Elena memeluk Amira semakin erat. "Tenang, Amira. Kamu bisa tinggal di rumahku dulu. Aku akan bantu kamu," kata Elena.

Amira terdiam, matanya menatap Elena dengan penuh harap.

"Ayo, kita pulang. Kamu bisa cerita semuanya di rumah," kata Elena, menarik Amira ke dalam pelukannya.

Amira mengangguk pelan, air matanya masih mengalir deras. Ia bersyukur bertemu Elena di tengah kesedihannya.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!