Sebelumnya…
Pukul 11 malam, di ruang kerja megah penuh buku, Julias Hartono, tenggelam dalam pekerjaan. Mata tajamnya menelusuri berkas-berkas, sementara jemarinya bergerak lincah di atas keyboard laptop.
Tak ada yang aneh. Malam-malam panjang seperti ini sudah menjadi rutinitas bagi pria berambisi tinggi itu. Namun, tiba-tiba Julias tampak memegang kepalanya karena pusing. Tak lama kemudian, matanya berubah menjadi kosong, tatapannya lurus ke depan seolah menatap sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
Dalam sekejap, tanpa alasan jelas, dia berdiri, mengambil kunci mobil, dan berjalan keluar dengan langkah mantap, seolah-olah tubuhnya dikendalikan kekuatan tak kasatmata.
Julias langsung menuju mobil, tanpa membangunkan sopir. Dia memilih mengemudi sendiri, hal yang tak pernah dilakukannya selama bertahun-tahun. Mobil itu melaju pelan di bawah sinar lampu jalan, menembus kesunyian malam kota yang mulai meredup.
Tidak ada tujuan jelas, tetapi arah mobilnya tampak pasti, seperti dipandu sesuatu di luar kehendaknya. Dia terus menyusuri jalan-jalan yang tak biasa dia lewati, hingga akhirnya hilang dari pandangan kamera keamanan di suatu titik tak dikenal.
* * *
Pagi ini Raisha melangkah ringan memasuki minimarket di sudut jalan yang selalu ramai setiap akhir pekan. Ia tampil santai dengan celana jeans dan jaket hoodie pink bergambar kucing.
Hari ini adalah hari liburnya, momen langka bagi seorang agen rahasia yang hampir tak pernah punya waktu untuk diri sendiri. Minimarket itu penuh sesak dengan pembeli, namun Raisha tidak merasa tergesa. Ia menghela napas panjang, menikmati momen kebebasan singkat ini sambil memeriksa rak-rak makanan ringan.
“Hmm, tinggal satu,” gumamnya saat matanya menangkap sebuah cokelat favoritnya yang tersisa di rak. Cokelat itu seperti mengedipkan mata padanya dari antara rak-rak penuh, seolah memanggilnya.
Dengan cepat, Raisha mendekat, meraih cokelat tersebut. Namun, tepat saat tangannya akan menyentuh cokelat itu, sebuah tangan lain tiba-tiba muncul, menjulur dari arah berlawanan.
“Maaf,” ujar seorang laki-laki yang tingginya sedikit lebih dari Raisha sambil mengambil cokelat itu dengan gerakan secepat kilat, “Tapi saya duluan,” sambungnya, dingin.
Raisha menoleh, kaget dengan kehadiran orang itu. Lelaki tersebut tampak rapi, memakai kemeja kotak-kotak lengan pendek dan celana jeans yang disetrika halus. Matanya tajam, namun ada aura dingin menyebalkan di sana.
“Tidak mungkin,” balas Raisha, tegas. “Saya yang lihat lebih dulu.”
Laki-laki itu tersenyum kecil, seolah menikmati situasi. “Kamu mungkin yang melihat lebih dulu, tapi saya yang butuh ini,” jawabnya, sambil memperlihatkan cokelat tersebut dengan gaya menyebalkan.
Raisha, marah. Gadis itu bergerak cepat. Hampir tak tertangkap mata, Raisha menangkap pergelangan tangan si laki-laki dengan gerakan tangkas lalu memelintirnya ke belakang, membuat laki-laki itu meringis kesakitan.
“Oke, oke,” kata si laki-laki, menahan nafas “Kamu menang. Ambil cokelat ini! Sudah, lepaskan saya!”
Raisha menghela napas lega. Dia merebut kembali cokelatnya dari tangan laki-laki itu. Sementara si laki-laki menjauh sambil menatap tajam ke arah Raisha. Dia tampak memijit-mijit bahu dan tangannya, mencoba meredam rasa sakit akibat gerakan mendadak tadi.
Raisha melangkah ke antrian kasir yang cukup panjang, sambil menggenggam cokelat kemenangannya. Kepuasan kecil ini menambah semangatnya pagi itu. Tetapi ia tidak menyadari bahwa laki-laki itu masih mengintainya. Diam-diam si laki-laki mengintip dari sela-sela rak, menunggu kesempatan beraksi.
Saat antrian maju sedikit demi sedikit, laki-laki itu mulai bergerak. Dia tersenyum licik, otaknya yang cemerlang mulai memutar strategi. Dengan kecerdasannya tidak sulit baginya untuk memanipulasi situasi.
Ketika Raisha hampir sampai di kasir setelah antri cukup lama laki-laki itu melangkah cepat ke depan, menyela antrian tanpa ragu. Dia menyentuh bahu kasir dengan sikap santai dan tindakannya itu sukses menarik perhatian orang-orang di sekitar.
“Maaf, saya rasa ada kesalahpahaman,” ucap si laki-laki dengan nada lembut tapi meyakinkan. “Cokelat itu sebenarnya milik saya. Dan teman saya di sini,” dia melirik Raisha dengan senyum licik, “mungkin bingung, bagaimana sebuah barang di minimarket ini bisa menjadi miliknya.”
Kasir tampak ragu, tetapi dengan cepat mulai memeriksa barang di hadapannya. Raisha yang semula tenang mulai gelisah, merasa ada yang tidak beres.
“Tidak!” seru Raisha, suaranya sedikit meninggi, membuat beberapa orang di antrian menoleh. “Saya yang lihat cokelat itu lebih dulu, dan saya yang akan membayarnya.”
“Baiklah, kalau begitu... saya ingin bertanya ke kasir, bagaimana barang-barang di sini menjadi hak bagi seorang pelanggan untuk dibawa ke kasir, apakah setelah melihatnya atau memegangnya?” tanya si laki-laki.
Kasir itu tampak berpikir, kemudian temannya membisikan sesuatu ke telinganya, lalu kasir itu berkata, “Memegang, Pak, ya, mungkin… itu aturan tidak tertulisnya,”
“Dan… siapa tadi yang memegang lebih dulu?” tanya laki-laki itu pada Raisha.
Raisha tampak kesal.
“Siapa?” ulang laki-laki itu. “Tangan saya masih sakit loh!” bisiknya dengan gaya menyebalkan.
Para kasir dan orang-orang yang mengantri memperhatikan mereka berdua. Raisha berpikir lebih lanjut. Ia rasa mungkin ada beberapa petugas yang memperhatikan keributan mereka di dekat rak makanan ringan tadi. Atau lebih jauh lagi, CCTV merekam semuanya. Memikirkan semua itu, Raisha merasa tak berdaya.
“Kamu,” jawab Raisha akhirnya dengan wajah kesal.
Laki-laki itu tersenyum puas. Tanpa banyak bicara ia segera menaruh barangnya di samping barang Raisha di meja kasir dan memindahkan cokelat itu ke tengah-tengah barangnya lalu bicara :
“Tolong punya saya dulu,” katanya kepada kasir.
“Loh, kok nyerobot antrian sih?” protes Raisha.
“Kamu juga sudah nyerobot barang saya, dan... dengan ini kamu tak perlu membayar biaya pengobatan tangan saya,” jawab laki-laki itu, kemudian beralih ke kasir, “Tidak apa-apa kan?”
“Tapi…” kata-kata Raisha menggantung seolah tak menemukan kata-kata lagi.
Raisha tak percaya apa yang terjadi. Kasir, seolah terpengaruh oleh permainan dan pembawaan tenang si laki-laki. Kasir pun mengangguk dan membiarkan si laki-laki maju lebih dulu.
“Ini tidak benar!” protes Raisha, tetapi orang-orang di antrian tampaknya lebih menikmati drama kecil ini daripada ikut campur.
Si laki-laki dengan wajah penuh kemenangan, melakukan pembayaran kemudian berlalu membawa semua barang-barang belanjaannya termasuk cokelat itu.
Raisha hanya bisa berdiri tertegun. Dia masih di depan kasir, bingung dan marah. Apa yang baru saja terjadi? Bagaimana bisa seseorang dengan begitu mudah memanipulasi situasi dan membuatnya kalah begitu saja? Apakah dia benar-benar secerdik itu, ataukah dirinya yang lengah karena terlalu fokus pada liburannya?
Dengan perasaan tidak karuan, Raisha membayar barang-barang yang tersisa di keranjang belanjanya, semuanya kecuali cokelat yang sekarang sudah ada bersama-sama laki-laki itu. Sambil menjauhi meja kasir, Raisha mencoba menenangkan pikiran. Namun, kejadian ini mulai mengusik insting profesionalnya sebagai agen.
Siapa sebenarnya laki-laki itu? pikirnya sambil melangkah menuju pintu keluar.
Raisa segera keluar dari minimarket. Ketika baru saja menutup pintu kaca tiba-tiba ponselnya berdering. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan melihat nama yang muncul di layar. Raisha terkejut. Dengan sedikit keraguan, ia menjawab panggilan tersebut.
“Raisha,” suara di ujung telepon terdengar tegas dan mendesak, jelas itu suara Greg, sang kepala agen. “Kamu secepatnya diminta untuk ke markas. Ini sangat mendesak dan tidak bisa ditunda lagi.”
“Di hari libur?” tanya Raisha, heran. “Ada masalah, Pak?” tanya Raisha dengan enggan.
“Lebih dari sekadar masalah. Ada tugas mendesak yang sangat penting, dan aku butuh kehadiranmu segera. Detailnya akan aku jelaskan saat semua agen berkumpul,” jelas suara tersebut.
“Tugas mendesak? Semua agen?” tanya Raisha, terkejut.
“Ya, semua agen harus berkumpul sekarang juga,”
“Tapi ini hari libur, Pak, saya…”
“Maafkan saya, saya tahu, tapi sekali lagi ini mendesak, ini… perintah langsung dari Presiden!”
“Perintah langsung Presiden?” Raisha terbelalak. Selama ia bertugas, belum pernah ada perintah langsung Presiden seperti ini. Semendesak apa tugas ini sebenarnya.
“Ya, itulah kenyataannya. Baik, tak ada waktu lagi, saya harap kamu segera ke markas. Saya tunggu.”
Raisha merasa berdebar. Dia tahu bahwa setiap panggilan mendesak dari atasannya berarti ada sesuatu yang serius, apalagi kini perintah langsung Presiden. Meski untuk ini ia merasa me-time-nya sedikit terganggu.
“Baiklah, saya segera menuju markas,” jawabnya cepat, seraya berusaha menutupi perasaan kesal.
Raisa melirik jam tangannya sesaat. Pukul delapan pagi. Jam tangan Hello Kitty masa kecilnya itu masih saja menemaninya bahkan setelah dia bertugas sebagai agen rahasia. Raisha tak peduli meski kadang teman-temannya sesama agen rahasia mengejeknya. Raisha selalu merasa cukup dengan memberi alasan bahwa jamnya itu bisa jadi penyamaran yang bagus untuknya. Ketika melihat jam itu, musuh akan lengah bahwa dirinya adalah ahli taekwondo sabuk hitam.
Raisha segera masuk ke dalam mobil. Dengan cepat dia memutar kunci kontak dan merasakan mesin menyala nyaring. Tanpa membuang waktu, gadis itu memindahkan tuas gigi lalu menginjak pedal gas, melesat membelah angin Jakarta, menelusuri jalan menuju markas.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di novel ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Sampai jumpa di chapter berikutnya, daaah... !!!
Markas NIMBIS tersembunyi dengan cerdik di balik fasad sebuah hotel mewah di pusat kota. Dari luar, hotel ini tidak tampak berbeda dari hotel-hotel bintang lima lainnya di Jakarta. Megah, ramai, dan selalu sibuk dengan arus keluar-masuk para tamu.
Tidak ada satu pun yang mencurigakan, seolah tempat ini hanya sebuah destinasi untuk bisnis dan pelancong yang mencari kenyamanan. Namun, di balik kilauan gedung tinggi itu, terdapat bagian lain yang tak pernah diketahui oleh siapa pun kecuali mereka yang terlibat langsung dengan biro khusus ini.
Raisha mengendarai mobilnya dengan tenang memasuki jalur parkiran hotel. Layaknya pengunjung biasa ia mengikuti alur menuju parkiran bawah tanah, tempat di mana mobil-mobil pengunjung terparkir.
Lampu-lampu neon menyala terang, memberikan suasana normal yang mengesankan bahwa tidak ada sesuatu yang luar biasa di sini. Parkiran itu dipenuhi dengan mobil-mobil mewah tamu hotel, tampak seperti parkiran pada umumnya.
Namun, mobil Raisha terus melaju ke area parkir yang lebih dalam, ia mengarahkan mobilnya ke area parkir khusus staf hotel, bahkan semakin dalam lagi hingga Raisha berhenti di depan sebuah pintu gerbang baja tebal yang terletak di sudut dan sedikit menjorok ke dalam. Pintu baja itu tampak kurang mencolok dan bertuliskan sebuah tulisan kecil dan samar :
GUDANG BARANG
Orang awam termasuk staf hotel akan mengira itu hanya akses lain menuju area penyimpanan barang keperluan hotel. Meski mereka tak pernah bisa memeriksanya. Tak ada yang tahu bahwa gerbang baja itu adalah pintu masuk menuju markas NIMBIS.
Raisha mengeluarkan kartu anggota khususnya, sebuah kartu kecil yang tampak biasa saja namun memiliki chip keamanan tertanam di dalamnya. Dengan tenang, dari jendela mobil dia menempelkan kartu itu pada sebuah pemindai tersembunyi di dinding samping.
Suara desis halus terdengar saat pintu gerbang baja terbuka perlahan, memperlihatkan sebuah lorong gelap berlapis baja, sangat berbeda dengan suasana terang di bagian luar.
Raisa segera melajukan mobilnya. Sebuah sensor membaca pergerakan itu dan dengan segera pintu baja tertutup kembali bersamaan dengan lampu modern bercahaya putih yang menyala di sepanjang lorong.
Lorong itu memutar, membawa Raisha ke bagian lain gedung hotel—area yang tak terlihat oleh tamu mana pun. Ini adalah parkiran khusus agen, terpisah dari parkiran tamu biasa bahkan dari staf hotel biasa. Tentu saja, para anggota NIMBIS mungkin dikenal sebagai staf hotel logistik, namun kenyataannya mereka semua adalah para petugas intejen rahasia negara.
Raisha memarkir mobilnya di parkiran dalam yang luas, sebuah pintu masuk lain tampak belasan meter di depannya. Sementara mobil-mobil agen berderet rapi, mencerminkan profesionalisme mereka.
Raisha keluar dari mobil, menutup pintu dengan cepat. Raisha membuka pintu belakang. Ransel besar bergambar Hello Kitty tergolek di kursi belakang, dan ia dengan santai menggendong ransel itu di punggungnya.
Sudah beberapa kali penampilannya sangat bertolak belakang dengan agen rahasia yang biasanya tampil formal dan rapi. Jaket hoodie pink yang ia kenakan, dipadu dengan jeans longgar dan sepatu kets, memberikan kesan seperti anak muda biasa.
Saat berjalan menuju gerbang utama, ia sempat tersenyum kecil kepada seorang penjaga keamanan yang mengenalnya.
Sang penjaga keamanan tersenyum kembali, meski tak dapat menyembunyikan keterkejutannya setiap kali melihat Raisha yang berpenampilan santai. Bagaimana mungkin gadis ini, yang terlihat seperti anak-anak dengan ransel bergambar karakter kartun, sebenarnya adalah salah satu agen dengan prestasi tertinggi di NIMBIS?
"Selamat pagi, Bu Raisha," sapa penjaga keamanan dengan sopan, menundukkan kepala sedikit.
"Pagi," jawab Raisha singkat sambil berjalan melewatinya dengan langkah tenang, tanpa tergesa.
Penjaga keamanan itu kemudian menatap kepergian Raisha lebih lama. Ia kembali menggelengkan kepala, teringat bahwa Raisha adalah peraih sabuk hitam Taekwondo dan memiliki IQ 155, yang diakui sebagai agen dengan otak terpandai di NIMBIS. Meski tubuhnya tampak mungil dan penampilannya jauh dari kata formal, Raisha memiliki reputasi luar biasa.
Raisha melangkah mantap menuju lobi markas, sebuah ruangan dengan interior modern, luas dan kokoh, seakan melambangkan kekuatan yang tersembunyi di dalamnya. logo NIMBIS terpampang jelas di depannya diikuti kepanjangan dari singkatan itu :
National Intelligence and Military Bureau of Indonesia Specialties
Namun suasana modern yang memajakan mata di bagian lobi itu bukan tujuannya, melainkan markas inti di bawah tanah, Raisa bergegas masuk ke dalam lift dan turun ke ruang bawah tanah beberapa lantai.
Begitu tiba di sana, suasana terasa berbeda. Beberapa agen rahasia lain sudah berkumpul di ruang briefing, semuanya telah berseragam hitam dengan emblem resmi NIMBIS di lengan kanan mereka. Sementara seragam staf logistik hotel tersampir di masing-masing sandaran kursi.
Ruangan ini dipenuhi layar besar, peta dunia interaktif, dan meja konferensi yang panjang. Semua agen duduk dengan fokus pada layar yang sedang menampilkan slide dengan kata "WELLCOME" dalam huruf kapital besar-besar.
Raisha masuk ke dalam ruangan tanpa terburu-buru. Beberapa agen langsung melirik ke arah Raisha, menyadari ada pemandangan tidak biasa. Penampilan Raisha yang masih santai membuatnya tampak berbeda dari rekan-rekannya yang sudah berseragam rapi.
Meski begitu, Raisha sudah punya jawaban untuk membalas semua tatapan aneh mereka. Setelah menatap semua anggota agen rahasia, Raisha langsung berkata dengan nada datar, "Ini hari libur, dan aku membawa seragamku di ransel."
Beberapa agen yang tadinya ingin berkomentar hanya mengangguk kecil, mengerti bahwa Raisha datang dengan panggilan mendadak di hari libur, seperti yang mereka semua alami.
Raisha duduk di kursi yang masih kosong dan membiarkan ranselnya tergolek di lantai. Matanya langsung tertuju pada slide yang ada di depan, fokus pada tugas yang akan diberikan.
Greg, kepala agen yang berwibawa, sudah berdiri di samping layar besar. Pria bertubuh tinggi besar dengan rambut mulai memutih itu menatap Raisha sekilas dengan sedikit rasa heran di wajahnya. Namun dia tahu, ini memang panggilan di hari libur.
Raisha adalah agen yang luar biasa, seorang agen dengan IQ tertinggi di antara rekan-rekannya serta rekam jejak prestasi yang menonjol di berbagai misi. Greg sadar, setelan santai Raisha tidak mengubah ketangguhan Raisha sama sekali. Lagi pula bukan salah Raisha jika kali ini harus memenuhi panggilan tugas di hari libur. Namun, Greg tetaplah orang yang disiplin.
"Raisha," panggil Greg dengan nada sedikit tegas, tapi tak menunjukkan kemarahan. "Waktumu nanti hanya dua menit setelah ini."
Raisha mengangguk mengerti, matanya tetap terfokus pada Greg. Tanpa banyak bicara, dia menegaskan dirinya siap untuk mengikuti apa pun instruksi yang diberikan.
Greg menatap semua agen yang telah berkumpul, termasuk Raisha yang belum berseragam. Dalam pikirannya, Greg menghargai dedikasi dan kemampuan luar biasa Raisha. Dia tahu Raisha tak pernah mengecewakan dalam tugasnya, bahkan dalam keadaan mendesak sekalipun. Dan dia tahu kali inj tugas khusus menanti Raisha.
"Baik, briefing akan segera dimulai," ucapnya dengan nada berat dan dalam, menunjukkan bahwa yang akan disampaikan kali ini bukanlah hal biasa.
"Meski kita dalam suasana mendadak, semua harus tetap fokus," lanjut Greg, sambil menatap layar besar di belakangnya. Matanya mengamati setiap agen yang duduk di depannya, menilai kesiapan mereka.
Greg adalah pria yang sangat dihormati di NIMBIS. Tubuhnya yang tegap dan wajah kerasnya mencerminkan sifatnya yang tegas dan tanpa kompromi. Dia telah memimpin banyak operasi besar dan menjadi ujung tombak dalam menangani krisis intelijen yang mengancam keamanan nasional.
Pengalaman puluhan tahun di dunia intelijen membuatnya mampu membaca situasi dengan ketenangan luar biasa. Namun, di balik sikap dinginnya, Greg juga sangat mengutamakan keberhasilan timnya dan tidak ragu memberikan apresiasi pada agen-agen yang berprestasi, termasuk Raisha.
Meskipun Greg tahu Raisha memiliki bakat luar biasa dan menjadi salah satu agen paling berharga, dia juga tahu pentingnya kedisiplinan. Dia harus memastikan Raisha, meskipun dalam suasana libur, tetap menjaga etos kerjanya, dan dalam hal ini dia memberikan waktu singkat untuk Raisha berganti seragam setelah briefing usai.
"Bersiaplah. Penjelasan ini takkan lama. Setelah itu, kita semua akan beralih ke mode operasional penuh." Suara Greg terdengar tegas dan membuat semua orang di ruangan itu menyadari betapa serius situasi kali ini.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di novel ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Sampai jumpa di chapter berikutnya, daaah... !!!
Ruang briefing dipenuhi ketegangan yang hampir bisa dirasakan di udara. Setiap agen duduk tegak di kursi mereka, tatapan fokus terpaku pada Greg dan sebuah layar besar di sampingnya~~~~.
Meski ruangan itu sepi, keheningan tersebut bukanlah keheningan yang nyaman, melainkan keheningan penuh tekanan. Suara detak jam di dinding seolah memperkuat suasana, sementara layar proyektor di depan memantulkan cahaya di tengah suasana remang, memunculkan data-data yang tak seorang pun dari mereka berharap untuk melihat.
Setiap informasi yang muncul hanya menambah tegang suasana.
Raisha, meskipun terlihat berbeda dengan hoodie pink, bisa merasakan ketegangan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Matanya yang tajam memperhatikan setiap pergerakan Greg, menanti apa yang akan disampaikan.
Meskipun ia belum berseragam, kehadirannya tetap terasa kuat di antara para agen lain. Detak jantungnya berpacu cepat, meski wajahnya tetap tenang, seolah tubuhnya siap bereaksi kapan saja terhadap kabar buruk yang akan segera diumumkan.
Semua agen tahu bahwa panggilan darurat seperti ini bukan hal biasa, terutama jika Greg yang langsung memimpin. Apalagi kali ini berdasarkan perintah langsung presiden.
Ruangan terasa semakin berat ketika Greg telah mempersiapkan semua informasi di slide, dan tatapan tajamnya terlempar ke arah para agen membuat semua orang diam tak berkedip.
Para agen tampak tegang, tubuh mereka kaku, menanti instruksi yang akan membawa mereka ke misi baru. Tidak ada yang berani bergerak, tidak ada yang berani berbicara. Suasananya bagai sebuah ketenangan sebelum badai, semua orang merasa, setelah penjelasan Greg, mereka akan dihadapkan pada tugas tak biasa.
“Selama minggu ini,” Greg memulai dengan suara berat, “terjadi serangkaian kasus orang-orang menghilang dari kalangan peneliti dan ilmuwan, juga... kasus kematian misterius dari berbagai kalangan orang penting yang membuat kami semua bingung. Mayat-mayat ditemukan tanpa jejak luka atau memar, seakan-akan mereka meninggal begitu saja tanpa ada tanda-tanda kekerasan fisik.”
Ruangan itu sunyi, hanya suara napas para agen yang terdengar. Mereka semua menunggu penjelasan lebih lanjut dari Greg. Kasus pembunuhan yang aneh ini sudah menjadi topik utama di kalangan agen selama beberapa hari terakhir, namun hingga saat ini tidak ada yang tahu bagaimana atau mengapa para korban meninggal.
“Setiap autopsi yang dilakukan hasilnya nihil,” lanjut Greg, sambil melirik layar yang mulai menampilkan foto-foto korban. “Tidak ada racun, tidak ada trauma fisik, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan apa penyebab pasti kematian mereka. Dalam beberapa hari terakhir, kami menemukan sembilan korban di berbagai lokasi berbeda.”
Greg berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap dalam pikiran semua agen yang hadir. Raisha duduk dengan tenang, tapi pikirannya terus bekerja, mencoba menganalisis setiap potongan informasi yang diberikan.
“Mayat-mayat ditemukan di lokasi yang sangat berbeda,” lanjut Greg. “Salah satunya ditemukan di depan pertokoan beberapa puluh meter dari rumahnya di kawasan menteng, dia adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan. Yang lainnya, seorang profesor di bundaran HI. Seorang perwira militer ditemukan tewas di ancol, dan ilmuwan ahli bioteknologi, yang dikenal sebagai otak dari banyak penelitian penting, ditemukan di pinggir jalan dekat hutan tak jauh dari laboratoriumnya. Korban-korban lainnya kami temukan di tempat yang berbeda lagi, di stsiun kereta api, di dekat pangkalan militer, di pelabuhan dan tempat-tempat lain.”
Informasi pembuka itu menggema di benak para agen. Para korban tampaknya memang merupakan tokoh-tokoh terkenal di bidang masing-masing, orang-orang yang memiliki profesi cukup penting. Jelas bukan kalangan biasa.
Namun, tak seorang pun dari mereka menunjukkan tanda-tanda cedera atau trauma fisik. Apa yang membuat mereka semua meninggal dengan cara yang sama misteriusnya? Itulah yang sedang dicoba dipecahkan oleh NIMBIS.
“Tapi, ada sesuatu yang baru kami temukan,” suara Greg terdengar lebih serius. Ia menatap seluruh ruangan, matanya menyipit seakan berusaha membaca reaksi semua agen. “Dan inilah alasan kenapa kalian semua dipanggil di hari libur.”
Ruangan semakin sunyi. Ketegangan di udara terasa semakin tebal. Bahkan Raisha, yang biasanya tenang dan terkendali, merasakan ada sesuatu yang lebih besar di balik kasus ini. Tangannya meremas tali hoodienya, berusaha tetap fokus.
“Pola yang kita temukan ini sangat jelas, namun sebelumnya tak ada yang menyadarinya,” Greg berkata sambil menggeser slide di layar besar. Foto-foto para korban muncul satu per satu, disertai dengan deskripsi singkat tentang mereka.
“Korban pertama,” Greg menunjuk foto seorang pria berusia lima puluh tahun, “Prof. Dr. Rinaldi Suryo, seorang ahli matematika yang dikenal dengan rumus ciptaannya yang digunakan di banyak bidang teknologi. IQ-nya 167.”
Semua mata tertuju pada foto itu. Rinaldi Suryo adalah nama yang tak asing bagi para agen, seorang ilmuwan terkemuka di bidang matematika terapan.
“Korban kedua,” Greg bergeser ke foto berikutnya. “Mayor Jendral Tito Mulyadi, perwira militer jenius yang dikenal karena taktik perangnya. IQ-nya juga di atas rata-rata, 153.”
Raisha mengernyitkan dahi. Mayor Tito adalah salah satu tokoh militer yang terkenal karena strategi militernya yang brilian. Kematian ini jelas bukan hal biasa.
“Korban ketiga, Julias Hartono,” Greg melanjutkan, “seorang pejabat jenius di kementerian pertahanan, ahli dalam strategi keamanan nasional. IQ-nya juga di atas 150, tepatnya 154.”
Setelah mendengar nama-nama itu, beberapa agen mulai saling berbisik. Mereka tahu betapa pentingnya para korban tadi bagi negara ini. Kejeniusan dan kehalian mereka semua tak tergantikan di negara ini.
“Dan yang terakhir,” Greg memutar slide ke foto seorang wanita, “Prof. Dr. Anastasia Widjaja, seorang ahli bioteknologi yang terkenal dengan kontribusinya dalam penelitian medis mutakhir. IQ-nya 162.”
Sebuah bisikan melingkupi ruangan. Agen-agen mulai saling berpandangan, beberapa tampak bingung, yang lain tampak gelisah. Raisha diam tak bergerak, menyadari bahwa semua korban ini memiliki satu kesamaan.
Greg menatap mereka semua dengan tajam, lalu berkata, “Ya, kalian semua sudah melihat polanya. Mereka semua adalah orang-orang jenius. Korban-korban ini memiliki IQ yang sangat tinggi, dan mereka adalah aset berharga bagi negara. Mereka ahli di bidangnya masing-masing.”
Kemudian Greg melanjutkan penjelasan mengenai korban lain, dan semua korban itu rata-rata memiliki IQ di atas 150.
Greg berhenti sejenak, memberi waktu bagi semua orang untuk mencerna informasi yang baru saja mereka dengar. Raisha merasakan kegelisahan semakin besar. Pembunuhan ini tidak hanya misterius, tapi juga terencana dengan cermat. Sasaran para pembunuh jelas: orang-orang dengan IQ tinggi, yang memiliki peran penting dalam kemajuan negara.
Tiba-tiba Greg terusik oleh notifikasi di komputernya. Reaksi halus di matanya menunjukan keterkejutan. “Mmm... ada informasi baru, ada satu hasil autopsi.” Greg melanjutkan dengan nada ragu, “Baru saja ditemukan bahwa volume otak para korban rata-rata berkurang dari ukuran manusia biasa." tuturnya sambil membaca sesuatu di layar.
Greg tampak berpikir keras, dan sedikit gugup. Jelas ini kasus baru yang tak pernah ia hadapi sebelumnya. "Ya kecuali ini, hasil autopsi tak menemukan hal lain.”
Ruangan menjadi sunyi. Seperti Greg, setiap agen tampak terkejut dan tegang. Raisha merasakan ada sesuatu yang lebih gelap di balik kasus ini. Siapa yang cukup berani membunuh orang-orang penting tanpa jejak seperti itu? Dan yang lebih mengerikan, apa yang terjadi dengan otak para korban?
Greg kembali berdiri tegap berusaha menenangkan diri dan bersiap memberikan penekanan terakhir.
“Kita semua tahu bahwa korban-korban ini adalah aset penting bagi negara kita, termasuk orang-orang nomor satu di bidangnya,” Greg menatap para agen satu per satu. “Dan inilah kenapa Presiden sendiri yang memerintahkan misi ini.”
Suasana hening, penuh ketegangan.
“Kami sampai saat ini terus berusaha untuk menemukan pelaku sebelum lebih banyak aset berharga negara kita terbunuh. Dan tugas kalian adalah, melindungi orang-orang yang tercatat presiden sebagai orang yang perlu dikawal untuk dilindungi,”
Raisha menatap Greg, otaknya berputar cepat. Raisha tahu, tugas ini lebih dari sekadar tugas pengawalan. Ini adalah pertempuran untuk melindungi orang-orang terbaik yang dimiliki negara.
Setelah itu Greg membagi tugas untuk masing-masing agen, siapa melindungi siapa. Hampir semua agen mendapat tugas melindungi orang penting. Mulai dari kalangan ilmuwan, pejabat, guru besar, militer, tetapi hingga pembagian akhir Raisha belum mendapat bagian.
Greg memerintahkan kepada setiap agen untuk segara berangkat menuju tugas operasi masing-masing. Setelah itu Greg menatap Raisha, di matanya jelas terpampang bahwa ada tugas khusus baginya. “Raisha, kau punya waktu dua menit untuk ganti seragam. Setelah itu, saya akan beritahukan segera tugasmu.”
Ketika semua agen berdiri dan Raisha baru saja akan beranjak menuju ruang ganti, tiba-tiba seorang petugas dari bagian informasi datang ke ruang breafing dengan wajah tegang,
“Pak, maaf, kami menemukan sesuatu yang mungkin berhubungan dan bisa jadi petunjuk baru… Baru saja ada kasus kematian, seorang guru besar ahli bela diri silat, mayatnya ditemukan di pinggir jalan di Bekasi, dan di dadanya ditemukan sebuah cap.”
Cap? Greg menyipitkan mata. Sementara para agen termasuk Raisha melirik. Semua berdiri mematung, bersiap mencerna informasi baru mengejutkan itu.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!