NovelToon NovelToon

Antara Dua Sisi

Bayangan yang terpahat cahaya

Di sudut kamar asrama yang luas dan sunyi, Libelle Talitha duduk di meja belajarnya. Jendela besar di hadapannya membingkai pemandangan taman sekolah yang tampak sempurna—rumput hijau yang terawat rapi, bunga-bunga bermekaran dengan anggun, dan jalan setapak yang berkelok-kelok seperti bagian dari dongeng. Namun, bagi Belle, keindahan itu terasa palsu, seperti tirai yang menyembunyikan sesuatu yang kelam di baliknya.

Sinar matahari pagi menyelinap masuk, menghangatkan ruangan dengan lembut, menciptakan ilusi kedamaian yang menyilaukan. Banyak siswa di sekolah elite ini mengidamkan kehidupan seperti yang mereka jalani—gemerlap, penuh kehormatan, dan tampak tanpa cela. Tapi Belle tahu lebih baik. Cahaya itu bukan miliknya, melainkan hanya pantulan dari kehidupan orang lain yang tidak pernah benar-benar ia genggam.

Dua tahun lalu, Belle melangkah ke dunia ini—sekolah elite di Inggris yang menawan dan penuh prestise. Dua tahun yang ia jalani dengan mengenakan topeng; tersenyum saat dibutuhkan, berbicara dengan elegan di antara anak-anak dari keluarga berpengaruh, dan menikmati fasilitas yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, semakin ia menyelami dunia ini, semakin ia merasa hampa. Status sosial tinggi, pesta-pesta glamor, dan kehidupan yang tampak sempurna hanyalah fatamorgana.

Perlahan, Belle mengalihkan pandangan dari jendela dan menatap meja belajarnya. Di sana, di antara buku-buku pelajaran dan tumpukan kertas ujian, berdiri sebuah bingkai foto yang mulai pudar. Wajah ibunya, Rina, menatapnya dengan tatapan lembut yang selalu memancarkan kehangatan meski dihiasi gurat-gurat kesedihan. Belle menatapnya lama, jari-jarinya menyentuh tepian bingkai. Ia bisa membayangkan suara ibunya, lembut dan menenangkan, meski kini hanya bergema dalam pikirannya.

"Ibu selalu bisa menerima segalanya... Mengapa aku tidak bisa?" bisiknya lirih.

Sejenak, pikirannya melayang jauh, kembali ke Indonesia, ke rumah kecil mereka yang tersembunyi di pedesaan yang damai. Di sanalah ia dan ibunya hidup dalam ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari sorotan dunia. Belle ingat bagaimana ia kecil dulu berlari di antara pohon-pohon rindang, tertawa lepas bersama ibunya, tanpa perlu memikirkan dunia luar.

Namun, kenyataan hidupnya jauh lebih rumit dari sekadar kenangan indah. Belle bukanlah anak yang diakui secara terbuka. Ayahnya—seorang pria berpengaruh dengan nama besar—hidup dalam gemerlap dunia lain, tersenyum di depan kamera bersama istri pertamanya dan anak-anaknya yang tampak sempurna. Sebuah keluarga yang ideal di mata publik. Belle? Ia hanyalah bayangan yang tersembunyi di balik layar.

Menghela napas panjang, Belle bangkit dari kursinya, melangkah perlahan keluar kamar. Koridor sekolah masih sepi, hanya suara langkah kakinya yang menggema di dinding-dinding batu. Buku-buku pelajaran yang digenggamnya terasa ringan dibandingkan beban yang selalu menghantui pikirannya.

"Belle!"

Suara ceria menghentikan lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Emily, teman sekamarnya, mendekat dengan senyum lebar.

"Hai, Em," jawab Belle dengan anggukan kecil.

Emily mengamati wajahnya dengan tatapan penuh perhatian. "Kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan melamun sejak tadi."

Belle tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja. Hanya sedang memikirkan ujian besok."

Emily menyipitkan mata, seolah tidak percaya. "Belle, kamu selalu tampak menyimpan sesuatu. Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, aku di sini, ya?"

Belle menatapnya sesaat sebelum tersenyum lebih tulus. "Terima kasih, Em. Aku akan ingat itu."

Emily menepuk pundaknya sebelum melanjutkan langkahnya. Belle berdiri diam di tempat, merasakan sesuatu bergetar di dalam tasnya. Ponsel. Ia mengeluarkannya dan menatap layar—sebuah pesan dari ayahnya. Jarang sekali pria itu menghubunginya.

Pesan itu singkat. "Semoga semuanya baik-baik saja di sana. Jaga dirimu."

Belle menatap layar ponselnya lama, sebelum akhirnya membalas dengan kalimat sederhana, "Baik-baik saja, Pa. Terima kasih."

Jawaban yang formal. Datar. Sama seperti hubungan mereka. Kata-kata mereka selalu terasa jauh, seolah ada jurang yang tidak bisa diseberangi. Setiap pesan yang ia terima dari ayahnya semakin menegaskan bahwa, meskipun ia dikelilingi kemewahan, kasih sayang yang tulus tetap terasa seperti sesuatu yang mustahil untuk digapai.

Langit mulai gelap saat Belle kembali ke kamarnya. Lampu-lampu koridor memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang di dinding. Ia menyalakan lampu meja, menatap foto ibunya sekali lagi, lalu mengambil pena dan selembar kertas.

"Bu, aku baik-baik saja di sini, meski kadang hari-hari terasa berat..." tulisnya perlahan. "Aku selalu menyimpan rindu padamu. Semoga Ibu di rumah juga sehat dan bahagia."

Ia berhenti, menghela napas panjang. Kata-kata di atas kertas tidak pernah cukup untuk menggambarkan perasaannya. Ia merasa seperti hidup dalam dua dunia yang berbeda—satu yang terlihat sempurna, dan satu yang tersembunyi dalam bayang-bayang. Di Inggris, ia bisa menjadi siapa pun yang ia inginkan, namun di dalam hatinya, ia tetap Libelle Talitha yang tidak pernah benar-benar memiliki tempat.

Malam semakin larut. Belle berjalan ke jendela, menatap langit Inggris yang kelam. Di kejauhan, bulan bersinar lembut, cahayanya merayapi kaca jendela dengan samar.

"Apakah Ibu juga melihat bulan yang sama?" gumamnya lirih.

Jauh di pedesaan Indonesia, mungkin ibunya juga berdiri di ambang jendela, menatap bulan dengan kerinduan yang sama. Di sisi lain dunia, ayahnya mungkin sedang tersenyum di tengah pesta atau konferensi bisnis, menjalani kehidupannya yang tampak sempurna. Sementara Belle, ia terjebak di antara keduanya—tidak benar-benar berada di salah satu dari dunia itu.

Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, matanya menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. "Sampai kapan aku harus hidup seperti ini?"

Tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menyelimuti.

Di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kepalsuan, Belle sadar bahwa yang paling ia rindukan bukanlah pengakuan, bukan status, bukan kejayaan. Yang ia inginkan hanyalah sesuatu yang lebih sederhana—sebuah rumah, sebuah pelukan hangat, dan kasih sayang yang tulus tanpa syarat.

Pertemuan tak terduga

Saat malam mulai menjelang, Manchester menampakkan wajah yang berbeda. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menciptakan pendaran lembut di sepanjang jalan-jalan yang dipenuhi oleh bar dan restoran. Kelompok itu memutuskan untuk berhenti di salah satu pub paling terkenal di kota, The Oast House, yang menawarkan suasana hangat dengan dekorasi kayu yang klasik. Musik akustik mengalun pelan di latar belakang, menciptakan suasana santai bagi mereka untuk berbincang.

“Manchester memang luar biasa, ya? Selalu ada sesuatu yang bisa dilakukan di sini,” kata Ronan, salah satu anggota kelompok Draven yang selalu ceria dan penuh semangat.

Draven mengangguk, tapi pikirannya melayang jauh. Meskipun ia menikmati kebersamaan dengan teman-temannya, ada sesuatu yang tidak bisa ia hilangkan dari benaknya. Kota ini memiliki aura yang membuatnya merenung lebih dalam, seperti ada sebuah misteri yang menunggu untuk ditemukan, atau mungkin, sebuah keputusan yang harus diambil.

Malam itu berakhir dengan canda tawa dan cerita-cerita ringan, tetapi Draven tahu bahwa di balik semua kesenangan ini, ada sesuatu yang harus ia hadapi. Liburan ini adalah pelarian yang ia butuhkan, namun tidak sepenuhnya bisa menghapus perasaan bahwa ada tanggung jawab besar yang menantinya di dunia nyata.

Manchester, dengan segala keindahannya, telah memberi mereka kenangan yang tak terlupakan. Namun bagi Draven, lebih dari itu, kota ini telah menyentuh bagian terdalam dari dirinya mengingatkannya bahwa hidup bukan hanya tentang kesenangan sementara, tetapi juga tentang pilihan-pilihan yang akan menentukan masa depannya.

***

Malam itu, Belle keluar dari pub kecil di pusat kota Manchester, melangkah ke jalanan yang mulai sepi. Suhu mulai turun, dan udara malam yang dingin menusuk kulitnya. Dengan mantel tebal melindungi tubuhnya, ia memutuskan untuk berjalan sedikit lebih jauh sebelum kembali ke penginapan. Kota ini memiliki suasana yang berbeda di malam hari, sesuatu yang membuat Belle merasa terasing tapi sekaligus tertarik untuk mengeksplorasi lebih dalam.

Tanpa tujuan jelas, Belle berjalan melewati Northern Quarter yang ramai, menelusuri lorong-lorong sempit yang dihiasi mural-mural unik. Di kepalanya, pikiran-pikiran tentang keluarganya, kehidupannya yang penuh rahasia, dan apa yang akan ia lakukan setelah ini, terus berputar. Dia merasa begitu jauh dari rumah, tetapi di saat yang sama, begitu dekat dengan sebuah kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Saat ia hendak berbelok ke jalan yang lebih besar, tiba-tiba terdengar bunyi kaca pecah di sebuah gang sempit di sebelahnya. Refleksnya mendorong Belle untuk menoleh, dan di sana, di kegelapan gang, ia melihat seorang pria tinggi berusaha berdiri dengan susah payah. Kaca jendela di belakangnya tampak pecah berantakan, dan pria itu tampak tersandung, kehilangan keseimbangan.

Itu Draven Faelen, meskipun Belle tentu saja tidak mengenalnya. Wajahnya terlihat sedikit kusut setelah hari yang panjang, dan bau alkohol samar tercium dari dirinya. Sepertinya dia baru saja terlibat dalam sesuatu yang tidak biasa. Sementara teman-temannya tertinggal di pub, Draven memutuskan untuk mencari udara segar, tapi entah bagaimana, ia justru menemukan dirinya di situasi yang kacau. Barangkali ada sedikit ketidaksengajaan yang membuat kaca pecah, atau mungkin ia terlalu asyik mengejar sesuatu yang ia sendiri tidak pahami.

Belle berdiri diam, menimbang-nimbang apakah ia harus mendekat atau segera pergi. Namun, instingnya berkata bahwa pria itu butuh bantuan. Ia ragu sejenak, sebelum akhirnya berjalan mendekat dengan hati-hati.

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Belle dengan suara tenang namun khawatir.

Draven mendongak, sedikit terkejut mendengar suara asing itu. Ia memandang Belle sekilas, lalu mencoba tersenyum, meski wajahnya terlihat sedikit bingung.

“Ya… ya, aku baik-baik saja,” jawabnya serak, meski jelas ia sedang tidak dalam kondisi terbaik.

Belle mengamati lebih dekat. Draven tampak mengalami sedikit cedera, mungkin akibat pecahan kaca di lantai yang berserakan di sekitar kakinya. Tanpa berpikir panjang, Belle menghampirinya dan meraih tangan Draven untuk membantunya berdiri.

“Kau terluka,” kata Belle, menatap kakinya yang berdarah ringan.

Draven menatapnya, kali ini dengan lebih serius. Ada sesuatu dalam tatapan Belle yang membuatnya terdiam sejenak mungkin karena perhatian yang tulus dari seorang asing, atau mungkin karena ia sendiri tak terbiasa menerima bantuan dari orang yang tidak ia kenal.

“Ini tidak parah,” jawab Draven cepat, sambil mencoba menyandarkan dirinya ke dinding bata di samping. “Aku hanya… tersandung.”

Belle meragukan jawabannya, tetapi ia tidak ingin mendesak. Ia mengeluarkan saputangan dari tasnya, lalu berlutut, membersihkan luka kecil di kaki Draven dengan hati-hati. “Aku Belle, by the way,” ujarnya sambil bekerja, berharap bisa sedikit menghilangkan ketegangan.

Draven menatapnya sesaat, lalu mengangguk pelan. “Draven.”

Keduanya terdiam beberapa saat. Malam yang dingin semakin membuat suasana terasa sunyi, hanya ada suara samar-samar dari kejauhan kota yang masih hidup di luar sana. Belle melanjutkan dengan lembut, “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kau seharusnya tidak berjalan sendirian seperti ini. Manchester bisa sedikit liar di malam hari.”

Draven tersenyum tipis, merasa ironis mendengar peringatan itu. “Sepertinya aku mengalami malam yang liar, meskipun itu tidak seperti yang kau kira.”

Mereka berdua tertawa kecil, tetapi itu cukup untuk mencairkan suasana. Setelah Belle selesai merawat lukanya, Draven berdiri lebih tegap. “Terima kasih… untuk bantuanmu,” katanya, suaranya lebih lembut kali ini. “Aku bisa mengurus sisanya.”

Belle tersenyum singkat. “Tidak masalah. Aku hanya kebetulan lewat.”

Mereka berdiri di sana, dua orang asing yang tiba-tiba terhubung dalam situasi yang tak terduga, namun terasa anehnya natural. Manchester, yang luas dan asing bagi Belle, tiba-tiba menjadi lebih akrab di bawah cahaya lampu jalan yang temaram.

“Apa kau butuh tumpangan ke mana pun?” tanya Belle, menawarkan kebaikan terakhir sebelum mereka berpisah.

Draven memandangnya dengan sedikit keheranan. Seorang gadis asing, yang tak punya kewajiban apapun untuk membantunya, justru menawarkan lebih banyak lagi. “Tidak, terima kasih. Teman-temanku ada di dekat sini. Aku hanya butuh beberapa menit untuk merapikan diri.”

Belle mengangguk, merasa lega bahwa Draven akan baik-baik saja. "Baiklah," katanya sambil menarik napas panjang. "Hati-hati, ya."

Draven mengangguk sambil tersenyum lebih tulus kali ini. “Kau juga. Terima kasih lagi, Belle.”

Saat Belle melangkah pergi, Draven memandangnya sampai ia menghilang di sudut jalan. Malam yang dimulai dengan kacau telah berakhir dengan pertemuan yang sama sekali tak terduga. Meski mereka mungkin tak akan bertemu lagi, ada sesuatu yang berbeda dalam hati Draven malam itu, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Belle pun merasa hal yang sama. Pertemuan singkat itu memberinya kehangatan yang tak ia duga, di tengah kedinginan dan keterasingan hidupnya. Entah bagaimana, pertemuan singkat di gang sempit itu meninggalkan kesan yang dalam bagi mereka berdua.

Belle melangkah pulang menuju asrama, pikirannya melayang pada pertemuan singkat dengan Draven. Sambil merapatkan mantelnya di tengah udara malam yang semakin dingin, ia memikirkan betapa aneh dan tak terduganya hidup kadang-kadang. Mungkin di kota besar seperti Manchester, pertemuan semacam itu hanya kebetulan, tapi Belle merasa ada sesuatu yang lebih dalam. Namun, ia tidak ingin terlalu memikirkannya. Toh, Draven hanyalah orang asing.

Setibanya di asrama, Belle membuka pintu kamarnya yang sederhana tapi nyaman. Langit-langit rendah dan jendela kecilnya menghadap ke taman kecil yang mulai gelap. Belle melepaskan mantelnya, duduk di tepi tempat tidur, dan memijat lehernya yang pegal. Kelelahan mulai terasa setelah seharian penuh berjalan keliling kota. Dia meraih teleponnya, berniat untuk mengecek pesan-pesan yang mungkin tertinggal, tetapi sebelum sempat melihat, teleponnya berdering. Nama ibunya muncul di layar.

Tanpa berpikir panjang, Belle segera menjawab panggilan video itu. Wajah ibunya, meski tampak sedikit lelah, muncul di layar. Senyum lembut menghiasi bibir wanita itu, dan seketika Belle merasa sedikit lebih hangat.

"Aku sangat merindukanmu, Bu," ujar Belle dengan suara pelan, penuh kerinduan. Mata Belle berkaca-kaca, seakan seluruh beban perasaannya meluap begitu ia mendengar suara ibunya.

"Aku juga merindukanmu, sayang," jawab ibunya lembut. "Bagaimana kabarmu di sana? Kamu baik-baik saja, kan?" Mata ibunya menelusuri wajah Belle dengan penuh perhatian, seolah berusaha menangkap setiap detail ekspresi putrinya.

Permainan Catur

Belle menatap ibunya dengan senyum lemah. "Aku baik, Bu, tapi rasanya... agak sepi di sini." Ia menghela napas pelan. "Aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang, dan semakin hari, semakin sulit untuk menahannya."

Ibunya terdiam sejenak, mengerti apa yang Belle maksudkan. Mereka berdua sama-sama tahu bahwa kesepian yang Belle rasakan bukan hanya karena ia berada jauh dari rumah, tapi juga karena posisi mereka dalam keluarga ayah Belle yang selalu menjadi rahasia.

"Sayang, hidup kita memang tidak mudah, tapi kamu sangat kuat. Kamu telah melalui begitu banyak hal yang mungkin tak semua orang bisa hadapi," ujar ibunya dengan penuh kasih. Wajahnya sedikit menegang, menahan emosi. "Tapi kamu harus tahu, tidak peduli seberapa jauh kamu pergi, aku selalu ada di sini untukmu. Aku selalu mendukungmu."

Belle mengangguk pelan, meski masih ada rasa berat di hatinya. "Tapi, Bu... Kadang aku merasa aku seperti hantu. Tidak ada yang tahu siapa aku, atau siapa kita. Semua orang melihatku hanya sebagai 'gadis kaya' yang tinggal di luar negeri, tapi mereka tidak tahu cerita di baliknya."

Ibunya menatap Belle dengan tatapan penuh kasih. "Kamu bukan hantu, Belle. Kamu anakku, dan kamu istimewa. Mereka mungkin tidak tahu, tapi itu tidak mengubah siapa kamu sebenarnya. Dan suatu hari nanti, kamu akan menemukan tempatmu di dunia ini, tanpa harus bersembunyi."

Perkataan itu membuat hati Belle sedikit lebih ringan. Namun, di balik semua nasihat itu, ia tahu ibunya juga menyimpan perasaan yang sama. Hidup mereka terlalu rumit, diikat oleh rahasia yang sulit untuk dipecahkan. Setiap kali mereka berbicara, selalu ada bagian dari percakapan yang terselubung oleh kesedihan yang mendalam, seolah-olah ada dinding tak kasatmata yang tak bisa ditembus.

"Ibu, apa Ayah pernah bicara tentang... kita?" Belle bertanya hati-hati, pertanyaan yang sudah lama ia pendam.

Wajah ibunya seketika berubah, sedikit muram, tapi tetap berusaha tenang. "Ayahmu... selalu sibuk. Kamu tahu itu," jawab ibunya sambil tersenyum tipis, namun mata Belle menangkap jejak kesedihan di sana. "Dia masih peduli, Belle. Dia hanya... tidak tahu bagaimana caranya."

Belle tahu bahwa ibunya mencoba melindunginya, tapi di dalam hati, ia selalu merasakan bahwa pernyataan itu hanya sebagian dari kebenaran. Ayahnya, seorang pria berpengaruh yang tidak pernah benar-benar hadir, selalu meninggalkan mereka dalam bayang-bayang keluarga pertamanya yang lebih dihormati dan diakui.

"Terkadang aku ingin kita bisa seperti keluarga lain, Bu. Yang tidak harus bersembunyi," Belle berkata lirih, perasaan terpendamnya tumpah begitu saja.

Ibunya terdiam sejenak, lalu berkata dengan lembut, "Aku juga menginginkannya, sayang. Tapi hidup kita sudah seperti ini. Kita hanya bisa berusaha menjalani yang terbaik dari apa yang kita miliki."

Setelah beberapa saat berbicara, mereka berdua mengucapkan selamat tinggal dengan rasa rindu yang lebih dalam dari sebelumnya. Panggilan video itu terputus, dan Belle duduk diam di kamar, memandangi layar yang gelap. Pikirannya berputar, antara percakapan dengan ibunya dan pertemuannya dengan Draven. Dua dunia yang berbeda, tapi entah bagaimana keduanya membuatnya semakin merenung tentang identitas dan hidupnya yang sebenarnya.

Belle menarik napas panjang dan berbaring di tempat tidur. Pandangannya menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh pertanyaan. Di kota yang jauh dari rumahnya, Belle bertanya-tanya apakah ia akan menemukan jawabannya jawaban tentang siapa dia sebenarnya dan apakah ia bisa mengubah takdir yang telah lama ditentukan keluarganya.

***

Draven duduk di sofa ruang tamu penginapan mewah yang mereka sewa bersama. Udara malam Manchester masih dingin, tapi ruangan itu terasa hangat, kontras dengan suasana yang baru saja ia alami di luar. Teman-temannya sedang bersantai, tertawa, dan menikmati malam, tapi pikiran Draven melayang. Wajah wanita asing yang ditemuinya di gang beberapa jam lalu terus terngiang di benaknya. Belle, nama yang ia ingat jelas, meskipun pertemuan mereka singkat.

"Dia berbeda," pikir Draven, tanpa sadar memutar gelas bir di tangannya. Ada sesuatu tentang cara Belle menatapnya dengan tulus bukan seperti orang lain yang biasanya mendekatinya karena uang atau statusnya. Dia merasa ada ketulusan dalam perhatiannya yang sederhana. Dan entah kenapa, itu membekas dalam pikirannya.

Tiba-tiba, tawa salah satu temannya memecah lamunannya. "Draven, ada telepon dari tunanganmu!" seru Nathan, salah satu teman terdekatnya, dengan nada bercanda. "Ayo, jawab sebelum Paula mengamuk!"

Draven mendengus, kesal, saat mendengar nama itu. Paula Sissy Damian. Seorang wanita cantik dan ambisius dari keluarga terpandang. Keluarganya memiliki hubungan bisnis dengan keluarganya, dan pertunangan mereka adalah bagian dari kesepakatan itu. Mereka tidak pernah benar-benar saling mencintai bagi Draven, hubungan itu hanyalah beban tambahan dalam hidupnya yang sudah penuh dengan harapan dan tekanan dari keluarganya.

"Biarkan saja," Draven menggerutu, mencoba mengabaikan telepon yang terus berdering. Namun, teman-temannya terus menggodanya.

"Ayo, jangan bersikap seperti pengecut. Paula pasti sudah merindukanmu," ledek Jason sambil tertawa.

Draven mendesah panjang, lalu akhirnya meraih ponselnya dengan rasa jengkel. Ia menatap layar ponselnya yang memunculkan nama "Paula" dengan emoji hati di sampingnya, sesuatu yang dulu Paula paksa dia tambahkan di kontaknya. Draven menggeser layar untuk menjawab, tapi wajahnya sudah menunjukkan ketidaknyamanan.

"Draven?" Suara Paula terdengar tajam di ujung telepon. Tidak ada sapaan hangat, hanya nada penuh tuntutan yang langsung menusuk telinga Draven.

"Ya, Paula," jawab Draven datar, berusaha menahan nada bosannya. Dia berdiri dari sofa dan berjalan ke balkon untuk menghindari tatapan teman-temannya yang masih tertawa kecil di belakangnya.

"Kamu di mana sekarang? Sudah hampir seminggu kita tidak bicara. Kamu bahkan tidak memberitahuku rencana liburanmu. Apa kamu lupa kalau kita sedang merencanakan pesta pertunangan?" Paula berbicara cepat, nadanya penuh keluhan. Draven bisa merasakan tekanan di balik kata-katanya, tekanan yang selalu ada setiap kali mereka berbicara tentang masa depan.

"Aku di Manchester dengan teman-temanku. Kami sedang berlibur. Aku sudah bilang minggu lalu," jawab Draven, mencoba untuk tetap tenang meskipun kesabarannya sudah menipis.

"Liburan? Dengan teman-temanmu? Dan kamu tidak mengajakku?" suara Paula semakin tinggi, seolah tidak terima bahwa Draven memilih menghabiskan waktu tanpa dirinya. "Kamu harusnya bersamaku. Kita harusnya mempersiapkan pesta besar itu bersama!"

Draven menutup matanya, merasakan sakit kepala yang mulai datang. Pesta besar itu, pertunangan yang Paula impikan, adalah hal terakhir yang ia inginkan saat ini. Di satu sisi, ia tahu ini penting bagi keluarga mereka, bagi bisnis mereka. Tapi di sisi lain, hatinya tidak berada di sana. Terutama setelah pertemuannya dengan Belle, Draven semakin merasa jauh dari hubungan yang ia jalani dengan Paula. Tidak ada kehangatan, tidak ada cinta yang tulus—hanya sekadar kewajiban.

"Aku butuh waktu untuk diriku sendiri, Paula. Ini hanya sementara. Setelah ini, kita bisa membahas apa pun yang perlu kita bicarakan," jawabnya, mencoba meredakan situasi.

"Tapi, Draven, kamu selalu seperti ini! Selalu ingin lari dari tanggung jawab. Aku tidak mengerti kenapa kamu tidak bisa fokus pada hubungan kita!" Paula mulai terdengar frustrasi. Dia selalu ingin kontrol penuh, selalu ingin Draven ada di sisinya setiap saat, memastikan segalanya berjalan sesuai dengan keinginannya.

Draven menggigit bibirnya, menahan amarah. Ia tahu bahwa Paula tidak akan pernah benar-benar mengerti. Bagi Paula, segalanya adalah soal penampilan, soal status. Sementara Draven semakin merasakan bahwa hidupnya hanyalah sekadar permainan catur yang diatur oleh keluarganya dan keluarga Paula.

"Paula, aku akan bicara lagi nanti. Aku tidak ingin berdebat sekarang," potong Draven dengan nada dingin. "Nikmati saja malam ini. Kita bisa bicara tentang pesta itu nanti."

Tanpa menunggu balasan, Draven segera memutus panggilan. Dia menatap ponselnya sesaat, merasa lega sekaligus lelah. Setiap kali berbicara dengan Paula, ia selalu merasa terperangkap. Perasaan itu semakin kuat belakangan ini dan pertemuannya dengan Belle hanya memperjelas betapa terasingnya ia dari hidup yang sebenarnya ia inginkan.

Draven menyandarkan dirinya ke pagar balkon, menatap bintang-bintang di langit Manchester yang gelap. Di tengah kota yang besar dan ramai ini, ia merasa seperti kehilangan arah. Di satu sisi, ada Paula dan semua tuntutan keluarganya. Di sisi lain, ada dirinya sendiri dan mungkin juga Belle, gadis asing yang hanya sebentar ia temui tapi meninggalkan kesan yang begitu mendalam.

Apakah hidupnya akan selalu seperti ini? Selalu diatur oleh orang lain, tanpa kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri?

Draven menghela napas panjang, lalu kembali masuk ke dalam kamar. Teman-temannya masih bercanda dan tertawa, tanpa tahu bahwa di dalam dirinya, ada perang yang terus berkecamuk. Draven tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih. Dan kali ini, mungkin ia harus memilih bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!