NovelToon NovelToon

Bissmillah Cinta

1

Sarapan bersama mas Juna adalah hal yang paling membosankan bagiku. Pasalnya, setelah aku bebas darinya selama tujuh bulan ini, pria itu akhirnya kembali dari pendidikan dokmil. Dia pasti akan kembali membuatku emosi yang hanya bisa ku tahan dalam hati tanpa berani melampiaskan padanya.

Lihatlah!

Kelakuannya yang sok cuek, dan wajah yang terkesan kaku serta menjengkelkan itu membuatku mengumpat dalam hati.

Amit-amit kalau aku di pertemukan dengannya di pelaminan. Pria yang memiliki track record buruk di mataku, tidak akan pernah menjadi pendamping apalagi untuk seumur hidup.

Big no!

Napasku terembus pelan, sangat menyadari kalau keberadaanku di rumahnya memang sudah membuatnya terusik. Aku bak orang yang sudah merampas kebahagiaan mas Juna, menggeser posisinya sebagai anak terakhir, itu sebabnya dia begitu membenciku bahkan sampai detik ini.

Ya.. Karena nasib baikku, aku di adopsi oleh keluarga mas Juna dari sebuah panti asuhan. Dia yang merasa tersisih karena kehadiranku, membuatnya tak menyukaiku meski aku sudah berusaha menjadi adik yang baik dan patuh untuknya.

Ah iya, namaku Yura, sebenarnya Azzura, Azzura Al Uhti Namira, tapi keluarga angkatku biasa memanggilku Yura. Dan panggilan itu melekat padaku hingga teman-teman pun turut memanggilku seperti itu.

Usiaku dua puluh dua tahun.

Mamah bilang, orang tua kandungku sudah meninggal sejak aku bayi, mama langsung menyukaiku begitu melihatku sampai kemudian membawaku pulang ke rumahnya, katanya aku cantik, lucu, juga menggemaskan.

Mama yang sudah tidak ingin hamil lagi karena trauma, sebab ketiga anaknya laki-laki, beliau mengadopsi dan mengangkatku sebagai anak perempuannya.

Aku memiliki tiga saudara angkat yang semuanya adalah laki-laki.

Pertama mas Angga, dia adalah kakak paling baik dan selalu perhatian padaku. Istrinya juga sama baiknya. Mempunyai anak kembar laki-laki dan perempuan, namanya Nukha dan Naura.

Yang kedua namanya mas Rezki, orangnya rame, suka bercanda, baik dan sayang padaku layaknya adik kandung, tapi sayang, istrinya kurang suka padaku. Entah apa yang membuatnya begitu, aku tak mau ambil pusing, yang jelas aku selalu mendoakan keluarga kecil mas Rezki agar selalu sehat dan bahagia. Satu lagi, mas Rezki memiliki satu anak laki-laki, namanya Altara, usianya lebih muda tiga tahun dari anak-anak mas Angga dan mbak Tita.

Yang terakhir adalah mas Juna. Si paling anarkis, dan si paling membenciku, selalu mengganggu, membentak sampai memarahiku. Dia seorang dokter dan baru-baru ini terjun ke dunia kemiliteran, menjadi dokter militer untuk para pejuang. Usia mas Juna dua puluh enam tahun, beda empat tahun denganku.

Dan yang paling penting dalam hidupku, akrab di sapa ibu Jazil, dia adalah sosok yang mampu menggantikan ibu kandungku, wanita yang sudah merawat sekaligus membesarkanku dengan penuh kasih sayang.

Jazilatul Muna, adalah mamah kandung mas Angga, mas Rezki, dan mas Juna.

Lalu papah? Meski bukan ayah biologisku, beliau sangat menyayangiku seperti menyayangi ketiga putranya.

Aku disini sama sekali tidak di perlakukan berbeda dari anak-anaknya.

"Ngapain ke kampus, Ra? Hari ini kan libur?" Mama bertanya setelah menyuapkan nasi ke mulutnya dan memindai wajahku. "Mas Juna juga baru pulang, siapa tahu kalian pengin jalan-jalan berdua, memangnya nggak kangen setelah tujuh bulan nggak ketemu?" Tambahnya menggodaku.

Mas Juna yang asyik makan sambil main ponsel, jelas tak mendengar ledekan mama apalagi ada benda yang menyumpal telinganya.

Jalan-jalan berdua dengan mas Juna? Ah itu bagaikan mimpi buruk buatku. Sama seperti mas Juna, mungkin dia juga merasa sedang apes jika pergi denganku.

Ibarat keberadaanku adalah ujian baginya, dan keberadaan dia pun juga ujian bagiku.

Kami tak sefrekuensi, pasti nggak akan pernah nyambung kalau di satukan. Sudah sering kami ribut di perjalanan jika mama menyuruh kami pergi berdua. Aku juga heran sendiri, pasti ada saja sesuatu yang kami perdebatkan, kadang aku yang mengalah karena mas Juna maunya selalu benar.

"Ada informasi beasiswa S2 mah, aku pengin ikut tes"

"Beasiswa di kampus itu saja atau di lain kampus?"

"Singapura, mah"

Mendengar ucapanku, mama sedikit kaget. "Singapura?" Beliau menatapku lembut.

Aku mengangguk dengan bibir terkatup rapat.

"Mama harap kamu nggak akan kemana-mana, sayang"

Aku terdiam, padahal itu adalah salah satu rencanaku dalam waktu dekat.

Ambil beasiswa di luar negri supaya bisa pergi dari sini dan mandiri. Selain itu juga menghindari fitnah karena tinggal satu atap dengan pria yang bukan muhrim.

"Kalaupun aku pergi, aku pasti akan jengukin mama" Kataku menggenggam tangan kiri mama yang ada di atas meja "Aku nggak akan pernah lupa sama papa mama meskipun aku telah menikah"

"Sepertinya mamah nggak akan siap melihatmu menikah, setelah menikah, mungkin kamu akan ninggalin mamah. Mamah nggak mau jauh-jauh dari Yura"

Jujur aku bingung, sudah cukup aku merebut kasih sayang papa mama dari mas Juna, tapi bagaimana jika mama tidak mengizinkanku keluar dari rumah ini, lantas bagaimana aku mengakhiri fitnah yang timbul dari para tetangga?

Aku menarik napas panjang, suasana mendadak hening, aku kembali melanjutkan kegiatan sarapanku, begitu pula dengan mama.

"Assalamu'alaikum" Tiba-tiba suara mas Angga menggema di ruang makan. Aku dan mama kompak menoleh ke arahnya.

"Wa'alaikumsalam" Jawab aku dan mama kompak. Kecuali makhluk salju yang duduk berhadapan denganku.

"Angga!" Mama menjulurkan tangan, membiarkan putra sulungnya mengecup punggung tangannya.

"Eh, mas!" Mas Juna menoleh ke kiri sambil melepas earphone, kemudian sedikit mengangkat kepala untuk mempertemukan netranya dengan netra sang kakak.

Pria itu menyalami mas Angga.

"Anak militer kapan pulang?" Tanya mas Angga usai giliranku mengecup punggung tangannya.

"Tadi malam, mas"

"Sudah sarapan, mas?" mama bertanya ke mas Angga.

"Sudah, mah!"

"Sendirian aja, apa sama si kembar dan mbak Tita?"

"Sendirian aja, mah. Tadi habis antar Naura les balet, terus aku tinggal dulu ke sini buat antarin Yura ke kampus"

"Mas bela-belain ke sini cuma mau antar aku ke kampus?" Sambarku sedikit heran.

"Iya, kenapa? Nggak boleh?" Mas Angga yang sudah ambil posisi duduk di sebelahku menatapku dengan kening berkerut.

"Nggak gitu, mas. Aku kan bisa berangkat sendiri"

"Kata mbak Tita kamu lagi pusing, jadi dari pada mas nungguin Naura les, ya udah ke sini aja ngantar kamu"

"Ada Juna yang antar, nak" Kata mama menyela.

"Dari pada di antar mas Juna mending di antar mas Angga aja" Ucapku. Aku memang selalu di manja oleh mas Angga dan mas Rezky. Kalau mbak Tita, istrinya mas Angga sama sekali nggak keberatan suaminya manjain aku, tapi mas Rezki? Jangan tanya seperti apa judesnya mbak Dini kalau suaminya sedang manjain aku. Tapi aku merasa nggak enak juga sama istri-istri mereka.

"Kenapa memangnya kalau aku yang antar?" mas Juna menatapku tajam, lengkap dengan wajah sadisnya "Kamu nggak suka? Eh aku juga nggak minat nganterin kamu, jangan Kepedean jadi orang"

Tuh kan, baru saja bertemu setelah tujuh bulan, dia langsung bicara dengan begitu ketusnya.

Untuk sesaat aku menyesali kalimatku beberapa detik lalu. Aku salah, harusnya aku nggak menyebut namanya.

"Juna, kalian tuh sudah dewasa, satu sudah kerja, satu lagi mau sidang skripsi, masa masih suka ribut" Tegur mama menatapku dan mas Juna bergantian.

"Dia dulu, mah. Terlalu sok nggak mau ku antar, padahal siapa yang suka antar jemput selama ini kalau dia lagi ada tugas kuliah tambahan sampai malam?" Pandangan mas Juna yang tadinya ke mama, kini teralihkan padaku, dan aku langsung menunduk. "Aku, kan? Dan kamu mau aja ku jemput, iya apa iya?"

"Iya si, tapi jemputnya suka nggak ikhlas" Gerutuku, lalu mengerutkan bibir. Aku bilang seperti itu karena mas Juna selalu memasang wajah cemberut ketika menjemputku, jadi ku pikir dia nggak tulus.

"Ikhlas nggak ikhlas itu urusanku, yang penting kamu bisa pulang, bisa ku serahkan tanpa kurang apapun ke hadapan papa mama" Timpal mas Juna dengan sangat ketus.

"Awas jangan berlebihan, ntar benci jadi cinta" Seloroh mas Angga sambil cekikikan.

"Aku? Jatuh cinta sama dia? Meski dia satu-satunya wanita di dunia ini mas, aku lebih baik melajang selamanya"

"Memangnya aku mau sama mas Juna? Nggak juga, si. Banyak laki-laki premium di dunia ini yang lebih baik dari pada pria gondrong seperti mas" Lirih, aku mengatakannya dengan pandangan tertunduk sambil memainkan sendok di atas piringku.

"Kamu pikir kamu wanita premium? High class?" Pria itu berdecak, menatapku sinis sebelum kemudian pergi meninggalkan meja makan.

"Kalian masih suka ribut begini?" Tanya mas Angga keheranan.

"Mas Juna yang selalu ngegas, mas. Aku sudah baikin dia, tapi dia tetap judes, nggak di baikin, apalagi"

"Sudah, nanti mama tegur dia"

Bersambung

2

Cuaca hari ini tak secerah kemarin, agak sedikit mendung, namun tidak hujan.

Sekitar tiga puluh menit setelah mengikuti ujian tertulis untuk keperluan beasiswa, ponsel Yura tiba-tiba berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Juna, pria itu ternyata sudah menunggunya di luar gedung kampus.

Karena tak ingin teman-temannya heboh, Yura pun menolak bantuan dari mereka yang ingin membawakan tas sekaligus mengantarnya hingga ke depan pintu gerbang utama kampus.

Heboh? Kenapa bisa heboh? Teman-teman Yura menganggap kalau Juna adalah pria idaman setiap wanita. Selama mengikuti pendidikan dokmil, Juna tak antar jemput adiknya, otomatis teman-teman Yura akan histeris begitu melihat pria yang berprofesi sebagai dokter umum itu kembali menampakkan batang hidungnya.

Dan kondisi Yura yang sedikit tidak enak badan, pusingnya justru bertambah karena terlalu memaksakan diri untuk mengikuti tes seleksi. Badannya juga demam, dan wajahnya nampak pucat.

Dari lantai tiga, pelan Yura menuruni anak tangga dengan tertatih. Kalau saja ini tempat sepi, ia pasti sudah berjalan dengan merangkak karena saking lemasnya. Energinya seakan terserap drastis oleh suhu tubuh yang di rasa kian memanas.

Menarik napas dalam-dalam, ia mengedarkan pandangan ketika langkahnya tiba di luar pintu pagar, sepasang matanya langsung menangkap sosok Juna tengah bersandar di pintu mobil bagian samping saat memalingkan wajah ke arah kiri. Rambutnya yang gondrong di ikat menggunakan ikatan rambut.

Kembali ia memaksakan diri untuk melangkah, namun kali ini Yura membuang wajah lesunya, tak mau terlihat sakit di depan kakak angkatnya.

"Assalamu'alaikum" Sapa Yura. Pria itu lantas berdiri tegak seraya mengeluarkan tangan dari kantong celananya.

"Wa'alaikumsalam" Sahutnya datar. "Lama banget si. Panas tahu!"

"Maaf"

Juna menatap sinis wajah Yura kemudian langsung mengitari depan mobil dan masuk.

Yura sendiri membuka pintu lalu duduk di kursi samping kemudi.

Hening...

Perlahan mobil mulai bergerak, Juna sempat memusatkan atensinya di bibir Yura, baru bisa menyadari kalau wanita di sebelahnya mungkin sedang kehausan.

"Mau minum?" Tawarnya.

Yura kaget, lalu menoleh ke samping kanan. Tentu saja merasa aneh mendengar tawarannya.

"Enggak" Ia kembali meluruskan pandangan, sambil menyandarkan kepala pada jok mobil agar lebih nyaman.

"Nggak usah gengsi, nih aku taruh sini, kalau mau minum, ambil aja" Juna meletakkan botol mineral di lobang belakang versneling.

Sepasang matanya lalu melirik spion tengah sebelum kemudian memutar roda kemudi ke arah kiri.

"Kamu kenapa? Nafasmu terdengar ngos-ngosan?" Pria itu bersuara setelah tadi sempat hening cukup lama.

"Aku?" Tanya Yura bingung.

"Memangnya ada orang lain di sini, hah?" Juna melirik Yura sekilas.

Yura tak menjawab. Juna kembali bersuara.

"Kamu sakit?"

"Enggak"

"Nggak usah sok kuat, kamu sakit kan?"

"Enggak, cuma capek aja"

Pria itu mencuri pandang wanita di sampingnya, namun hanya sesaat. Perhatiannya kembali fokus ke jalanan.

Mendadak ia teringat dengan ucapan mamahnya tadi pagi, tepatnya setelah Yura pergi ke kampus dengan di antar oleh kakak tertuanya.

"Kamu nggak ada pacar, atau teman dekat kan Jun?"

"Belum ada, mah. Kenapa?"

Senyum Jazil seketika terbit mendengar jawaban putranya. Juna yang merasa tengah di goda, ia buru-buru menangkis prasangka sang mama.

"Bukan berarti nggak laku loh, mah. Ada banyak sekali wanita yang ngelamar jadi pacar bahkan jadi istri, tapi karena saking banyaknya, aku tolak semua"

"Lupakan wanita-wanita itu, kamu nikah aja sama Yura" Celetuk Jazil.

Prak...

Buku yang sedang Juna pegang langsung jatuh karena terkejut.

"Nikah sama Yura?"

"Hmm" Sahut Jazil sembari menganggukkan kepala tanpa ragu.

"Mamah ini ada-ada saja. Mama tahu kan, aku nggak pernah akur sama dia. Apa jadinya rumah tangga kami. Pastinya susah buat dia menaati semua aturanku nanti"

"Ya di coba aja dulu"

"Mama pikir pernikahan cuma buat uji coba?" Juna memungut bukunya di lantai. "Lagi pula nggak etis nikah sama adik sendiri" Tambahnya, berjalan menuju meja kerja, lalu duduk.

"Kalian nggak ada hubungan darah, jadi sah-sah aja. Dari pada jadi fitnah terus-terusan"

"Ya udah suruh nikah saja sama laki-laki kualitas premium, biar dia bisa keluar dari rumah ini"

"Kamu tahu mama sayang banget sama Yura, mama nggak mau dia pergi, apalagi nikah sama pria lain. Mama nggak rela"

Juna menatap Jazil yang sudah berdiri di sampingnya, dia mendongak dengan sorot menyelidik.

"Kenapa mama nggak rela, harusnya senang anak perempuannya ada yang meminang"

"Yura itu gadis yang baik, sholehah, juga pintar dalam segala hal, sayang kalau nggak kamu miliki"

Flash back of..

"Ckkck apa baiknya dia?" Gumam Juna dengan sudut bibir terangkat, kepalanya menoleh ke samping kiri sejenak.

"Aku memang nggak ada baiknya, mas" Cicit Yura, matanya terpejam. Meski Juna mengatakannya dengan sangat lirih, namun Yura tetap bisa mendengarnya.

"Cih... GR, bukan kamu kali"

"Terus siapa? Bukannya mas selalu bilang gitu ke aku. Aku nggak ada baiknya di mata mas, hanya ada salah dan luput dalam diriku, iya kan?"

Juna diam, tak menampik, sebab apa yang Yura katakan memang benar. Dirinya selalu melihat Yura dari sisi negative.

Ketika tahu-tahu turun hujan, pria itu segera menyalakan wiper. Selang sepuluh menit, ia berhenti di depan sebuah warung bakso.

"Ra, makan bakso dulu, yuk!" Ajaknya seraya meminggirkan mobilnya.

"Ra" Panggilnya ketika tak ada respon dari Yura. Juna menoleh, lalu menyentuh punggung tangan Yura untuk membangunkannya.

"Kamu demam, Ra?" Dia menggelengkan kepala sembari menghela napas panjang. "Yura, Yura. Kamu benar-benar merepotkan" Tambahnya, yang tak lama kemudian Juna turun, membiarkan Yura tetap berada di dalam mobil.

Juna tahu jika Yura sedang demam begini, hanya bakso yang bisa masuk ke perutnya.

Beberapa menit berlalu, Pria itu kembali ke mobil dengan tangan membawa kantong plastik berisi sekitar lima bungkus bakso.

Sementara Yura masih pulas tertidur di dalam mobil. Ia kembali mengemudikan mobilnya, melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

****

Hampir empat puluh lima menit perjalanan, mereka akhirnya sampai.

Sepasang mata Juna menyorot heran ketika mendapati mobil milik ustadz Zaki terparkir di halaman rumahnya.

Sebelum turun, ia lebih dulu membangunkan Yura.

"Bangun Ra, kita sudah sampai"

Yura menggeliat, mengendus cairan yang nyaris keluar dari hidungnya.

Ia lantas mengusap hidung dengan telapak tangan.

"Kamu flu tuh, jaga kesehatan dong, badan udah kurus kering kaya tiang listrik, di tambah sering sakit, mau jadi tiang jemuran, hah?"

"Suka-suka aku lah, mau sakit mau sehat, aku yang rasain" Balasnya sambil melepas seatbelt.

"Di bilangin juga"

"Nggak usah sok peduli"

"Siapa yang peduli, harusnya bersukur masih ada yang ingetin. Nih, aku beliin bakso"

Yura sedikit girang, ia memang sedang ingin sekali makan makanan yang berkuah panas serta pedas. Bakso cocok di kala cuaca seperti ini, apalagi kondisinya sedang meriang, jelas hanya makanan itu yang dia inginkan.

"Loh, bukannya ini mobil ustadz Zaki, mas?" Dia baru sadar kalau ada yang datang.

"Hmm"

"Ngapain beliau kesini?"

"Nanti aku tanyain dulu, okay!"

Bibir Yura mengerut, melirik sinis kakaknya yang juga sedang meliriknya tak kalah sinis.

Wanita berkerudung ping lantas masuk lebih dulu dan langsung menyapa ustadz Zaki beserta istrinya setelah sebelumnya mengucap salam, dan bersalaman. Tak lama kemudian Juna pun masuk.

"Assalamu'alaikum" Ucap Juna, sambil menyalami ustad Zaki dan Khadijah. "Dari mana saja ustadz?" Imbuhnya, mewakili pertanyaan Yura sebenarnya.

"Dari rumah saja, Jun. Kesini ada perlu sama mamah kamu, sekalian meminta Yura buat datang ke pesantren"

"Oh.." Juna melirik Yura.

"Oh, ya Yura" Khadijah, istri ustadz Zaki bersuara, membuat Yura otomatis mempertemukan netranya.

"Iya, ummah?"

"Besok datang ke pesantren, ya. Kebetulan pria yang kamu kirimi CV buat ta'aruf ngajak ketemu"

"CV saya di terima, ummah?" Tanya Yura. Dia memang mengirimkan CV ke seorang pria yang menjadi pujaan hatinya sejak lama. Pria kualitas premium yang saat ini kabarnya sedang menempuh pendidikan S 3 di Turki. Yura sering melihat pria itu mendampingi ayahnya berdakwah, selain ahli di bidang agama, dia juga seorang pengusaha.

"Iya, sayang. Kamu bisa datang ke pesantren jam dua, besok"

"Baik, ummah"

Khadijah tersenyum senang melihat binar wajah Yura. Berbeda dengan Jazil yang justru menerbitkan senyum masam.

Juna sendiri tak tahu apa yang dia rasakan. Ada rasa senang karena akhirnya saingannya akan keluar dari rumah ini, namun juga ada ketidak relaan yang entah dari mana munculnya.

Bersambung.

3

Saat makan malam, Yura kehilangan nafsu makan karena semua terasa hambar, mulutnya seperti pahit untuk sekedar menelan salivanya sendiri.

Juna yang sudah memeriksanya tadi siang mengatakan kalau Yura ada gejala batuk pilek.

Sedikit banyak, Yura merasa heran dengan sikap kakak angkatnya, pasalnya ada perubahan besar yang terjadi dalam diri Juna. Pria itu belakangan bersikap agak lembut, meski kesan dingin belum sepenuhnya lenyap, tapi perubahannya cukup signifikan.

Bayangkan saja, sudah lebih dari dua tahun menjadi dokter umum, baru kali ini Juna memeriksa Yura. Bahkan dia sendiri yang pergi ke apotik untuk mencari obat yang pas.

Padahal sebelumnya jangankan memeriksanya, dia justru memarahi Yura karena terlalu lalai dengan kesehatan, pernah di tegur berisik ketika batuk-batuk.

Ada juga sekali nyeletuk kalau Yura terus-terusan mengabaikan kesehatan, jangan pernah mengharap umur panjang, sebab selain di tentukan oleh takdir, kesehatan juga mempengaruhi usia seseorang.

Yang membuat Yura sakit hati, saat itu Juna mengatakannya dengan nada membentak. Yura yang hatinya sangat sensitive, otomatis meneteskan air mata.

"Makan, biar cepat sembuh" Kata Juna yang tiba-tiba muncul.

"Ini obatnya!" Juna meletakkan empat macam obat di atas meja makan, lalu duduk bersebrangan dengan Yura. "Yang ini di makan dua kali sehari sebelum makan" Dia menunjuk obat dengan kemasan hijau. "Yang ini antibiotik, harus habis" Tambahnya kali ini menunjuk kemasan warna pink. "Ini vitamin, dan ini sirupnya untuk batuk pilek. Tiga ini diminum lima menit setelah makan, Faham!"

"Iya" Sahut Yura, lesu.

"Makan yang banyak, jangan sampai badanmu berubah jadi lidi, nanti nggak ada laki-laki kualitas premium yang mau sama kamu"

Yura melirik Juna sebal, lalu beralih ke mamahnya yang malah sedang tersenyum jahil.

"Bagus kalau nggak ada yang mau!" Seloroh Jazil di iringi seulas senyum. Sepasang matanya melirik Juna dan Yura bergantian. "Biar Juna aja yang nikahi Yura"

"Uhuk uhuk" Juna seketika tersedak mendengar ucapan mamahnya.

Sementara Yura menatap Jazil tak percaya.

Konyol, itulah yang ada dalam fikiran Yura saat ini. Bagaimana bisa, orang yang sangat membencinya, dan suka sekali membuli habis-habisan, akan menjadi teman hidup?

Masih terekam jelas sikap Juna yang selalu menyalahkan Yura dalam kondisi apapun. Entah dia kelupaan membawa buku PR ke sekolah, berantem dengan temannya, atau jika Jazil memarahinya, maka Juna akan melampiaskan kemarahannya pada Yura, dan menyalahkannya.

Tidak, lagipula mana mungkin aku mencintainya? Sepertinya nggak akan pernah bisa.

Meski kata orang mas Juna adalah pria tampan dan sudah mapan, tapi tidak di mataku. Penampilannya memang rapi, tapi wajahnya benar-benar membosankan. Rambutnya panjang, ada kumis tipis di atas bibirnya, juga jambang yang mengotori wajahnya.

Iihh..

Yura mendengkus geli di sela-sela ucapan batinnya.

"Nggak apa-apa kan Jun, nikah sama Yura?" Tanya Jazil penuh harap.

"Ogah nikah sama lidi"

"Lidi apa an si, nak. Menurut mamah badan Yura cukup bagus. Kurus, tinggi, langsing, cantik juga kan"

"Terlalu kurus, iya" Celetuk Juna sambil menyiduk nasi ke piringnya.

"Mah, aku ke kamar ya" Sambar Yura seraya bangkit.

"Loh, makan dulu sayang"

"Nggak enak, mah. Kepalaku sakit, pengin istirahat"

"Ya sudah kamu ke kamar saja, nanti mama bawakan makanan ke kamarmu"

Yura mengangguk kemudian berkata. "Permisi, mah"

"Iya, hati-hati sayang"

"Hmm" Sahut Yura yang sudah melangkahkan kaki meninggalkan ruang makan.

Seperginya Yura, Juna mendadak bengong dengan pikirannya. Ia menyadari bahwa kata-katanya barusan mungkin sudah menyakiti hati adiknya. Pria itu pun seperti menyesal dan merasa bersalah.

"Juna, kamu ini bukan anak kecil lagi, kamu sudah dewasa, hilangin dong rasa iri kamu ke Yura. Mau bagaimanapun, mamah sama papa kan nggak pernah beda-bedain kamu dan Yura. Kalian sama-sama anak mamah, kalau kalian dalam bahaya, mamah pasti akan menolong kalian berdua" Ucap Jazil panjang lebar. "Kamu, Yura, mas Angga, mas Rezki, kalian anak-anak mama, sama-sama penting dalam hidup mamah. Dosa loh, dzolim sama anak yatim piatu, dan selama ini kamu sudah jahat sama adik kamu"

"Iseng aja mah, nggak serius juga" Elaknya seperti tanpa rasa bersalah.

"Serius atau enggak, tetap saja nggak boleh bully adik sendiri"

"Ya udah mamah nggak usah bilang lagi nyuruh-nyuruh nikahin Yura. Aku khilaf, ngatain dia yang enggak-enggak jadinya"

"Ya kalau kalian menikah memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan?"

"Jelas salah dong mah"

Jazil tak lagi menimpali, dia hanya menggelengkan kepala, lalu melanjutkan mengahabiskan sisa nasi di piringnya.

****

Selesai makan, Jazil pergi ke kamar Yura dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk dan juga sayur.

Pelan, wanita berusia lima puluh lima tahun itu membuka pintu kamar Yura.

Sepasang matanya langsung mendapati Yura tengah berbaring di atas ranjang begitu pintu terbuka. Dengan seulas senyum, Jazil melangkah masuk, kemudian duduk di tepian ranjang tepat di samping Yura.

Yura sendiri langsung bangkit dan duduk menyandarkan punggung pada headboard.

"Makan dulu, sayang" Perintah Jazil. "Mama suapin, ya?"

"Aku belum lapar, mah"

"Tapi kamu harus makan. Inget kata mas Juna kan? HARUS MAKAN" Tekannya. "Setelah itu minum obat biar cepat sembuh"

Yura menggeleng dengan bibir kering yang mengatup rapat. Seperti benar-benar belum merasa lapar.

"Apa mau makan bakso aja, bakso yang tadi siang mas Juna beli, masih lho. Mau mama panasin?"

"Mau mah!" Jawab Yura penuh semangat.

"Okay, mama panasin dulu, ya"

"Iya"

Baru saja Jazil bangkit dari duduknya, Juna tiba-tiba masuk, satu tangannya membawa segelas air, satu tangan lainnya membawa obat milik Yura.

"Loh, mamah mau kemana?" Tanya Juna, melihat mamahnya justru berdiri.

"Yura nggak mau makan, mama mau panasin bakso ke dapur"

Juna beralih menatap Yura. "Kamu mau bakso?"

Yura mengangguk.

"Boleh si, tapi harus makan nasi juga. Kasihan lambungnya kalau nggak di isi nasi"

"Ya udah, nanti makan bakso sama nasi" Kata Jazil. "Boleh kan Jun?"

"Boleh, mah. Mamah di sini saja temani Yura. Biar aku yang panasin baksonya"

"Gitu dong, harus sayang sama adek, mama kan senang kalau akur gini"

Juna melempar tatapan tajam ke arah sang mama sebelum kemudian beranjak dari kamar Yura.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!