NovelToon NovelToon

Perempuan Di Balik Topeng Kemewahan

Hujan Deras dan Secerca Harapan

Hujan deras mengguyur kota. Air menggenang di jalanan, membuat perjalanan menjadi semakin sulit. Amara, dengan wajah pucat pasi, berlari di tengah guyuran hujan. Bajunya basah kuyup, rambutnya lepek menempel di wajah, namun ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanyalah sang ayah yang terbaring tak berdaya di rumahnya, dilanda stroke.

Ia sudah berputar-putar selama hampir satu jam, mencari kendaraan yang bisa memuat ayahnya untuk pergi ke rumah sakit. Namun, tak satupun yang mau berhenti. Beberapa orang bahkan mencibirnya, seolah menganggap Amara adalah pengemis yang ingin meminta belas kasihan.

"Tolong... tolong," desis Amara, suaranya bercampur dengan deru hujan. "Tolong, pak... tolong saya! Ayah saya terkena stroke!"

Tak ada yang menghiraukannya. Amara putus asa. Keringat dingin membasahi tubuhnya, tubuhnya gemetar hebat. Ia terjatuh di pinggir jalan, tubuhnya lemas tak berdaya.

"Ayah... ayah...," lirihnya, air mata mengalir deras di pipinya.

Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Pintu mobil terbuka dan seorang pria tampan berusia 37 tahun dengan setelan jas rapi keluar. Wajahnya tegas, namun matanya memancarkan sinar kebaikan.

"Maaf, nona. Anda kenapa?" tanya pria itu dengan suara lembut.

Amara terkesiap. Ia menoleh ke arah pria itu, matanya berkaca-kaca.

"Pak... tolong...," desisnya, suara terputus-putus. "Ayah saya terkena stroke. Saya butuh bantuan untuk membawanya ke rumah sakit."

Pria itu mengangguk. "Baiklah, nona. Saya akan membantu," katanya. "Mobil saya cukup besar untuk menampungnya."

Amara tertegun. Ia tak menyangka akan ada orang yang mau membantunya di saat seperti ini. Ia menatap pria itu dengan penuh rasa syukur.

"Terima kasih... terima kasih, pak," ucapnya terbata-bata. "Saya tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Bapak."

"Tidak perlu, nona. Ini sudah menjadi kewajiban saya," jawab pria itu. "Silahkan, naiklah ke mobil saya. Saya akan mengantar Anda."

Amara ragu sejenak, kemudian bangkit dan masuk ke dalam mobil. Pria itu mengantar Amara ke rumahnya. Ia dengan sabar membantu Amara membawa ayahnya ke mobil. Kemudian, ia melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit.

Sepanjang perjalanan, Amara tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Ia merasa terharu dengan kebaikan hati pria itu. Ia tak tahu nama pria itu, namun ia merasa telah menemukan secercah harapan di tengah keputusasaan.

"Nama saya Radit," kata pria itu, tersenyum.

Amara terdiam. Nama yang indah, seperti pemiliknya. Ia ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi, namun kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya.

"Nona...," sapa Radit.

Amara tersadar dari lamunannya. "Maaf, Pak. Saya Amara," jawabnya.

"Salam kenal, Amara," kata Radit sambil tersenyum. "Semoga ayah Anda cepat sembuh."

Oke, aku siap mengembangkan cerita ini!

Pertemuan Tak Terduga di Depan Apotik

Sepekan telah berlalu sejak pertemuan Amara dan Radit di tengah guyuran hujan. Ayah Amara masih dirawat di rumah sakit, dan Amara menghabiskan hari-harinya dengan setia menjaganya. Hati Amara dipenuhi rasa syukur karena Radit telah menyelamatkan ayahnya, namun ia juga merasakan kebingungan. Ia tak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Radit, dan ia tak ingin membuat Radit merasa terbebani.

Suatu sore, Amara memutuskan untuk membeli obat-obatan untuk ayahnya di apotik yang tak jauh dari rumah sakit. Ia berjalan dengan perlahan, kakinya lelah setelah seharian menjaga ayahnya. Saat ia tiba di depan apotik, matanya tertuju pada sebuah mobil mewah yang terparkir di depan toko. Ia mengenali mobil itu, mobil yang telah mengantarnya dan ayahnya ke rumah sakit.

"Radit?" gumamnya, tak percaya.

Amara mendekati mobil itu. Ia ragu-ragu sejenak, kemudian memutuskan untuk mengetuk jendela mobil. Pintu mobil terbuka dan Radit muncul dengan senyum ramahnya.

"Amara? Apa kabar?" tanya Radit.

Amara tertegun. "Pak Radit... apa Bapak sedang di sini?" tanya Amara, wajahnya sedikit memerah.

"Iya, saya baru saja mengambil obat untuk istri saya," jawab Radit. "Bagaimana kabar ayah Anda?"

"Ayah saya masih dirawat," jawab Amara. "Kondisinya membaik, tapi masih harus dirawat beberapa hari lagi."

Radit mengangguk. "Semoga lekas sembuh," katanya. "Mau saya bantu?"

Amara menggeleng. "Tidak, Pak. Saya sudah bisa mengurusnya sendiri," jawabnya. "Terima kasih."

"Tidak masalah, Amara," jawab Radit. "Jika ada yang perlu, jangan sungkan untuk menghubungi saya."

Amara mengangguk. Ia merasa sedikit lega. Ia tahu, Radit adalah orang yang baik. Ia tak ingin membiarkan kebaikan Radit sia-sia.

"Pak... bolehkah saya bertanya?" kata Amara, sedikit ragu-ragu.

Radit mengangguk. "Silahkan."

Radit tersenyum. "Istri saya sedang hamil," jawabnya. "Dia sedang beristirahat di rumah."

Amara terdiam. Ia merasa sedikit kecewa, namun ia berusaha menyembunyikannya. Ia tak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan Radit.

"Oh...," jawab Amara singkat.

"Kau ingin membeli obat apa, Amara?" tanya Radit.

Amara menyebutkan jenis obat yang ia butuhkan. Radit mengangguk. "Tunggu di sini, ya. Saya akan membelikannya," kata Radit.

Amara mengangguk. Ia melihat Radit masuk ke dalam apotik. Ia tak mampu menyembunyikan rasa kagumnya. Radit adalah pria yang sempurna, baik hati, dan tampan. Ia tak bisa mengerti, mengapa Radit mau menolongnya.

Radit keluar dari apotik beberapa menit kemudian. Ia membawa obat-obatan yang diminta Amara.

"Terima kasih, Pak," kata Amara. "Saya tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Bapak."

"Tidak perlu, Amara," jawab Radit. "Ini sudah menjadi kewajiban saya."

Radit menyerahkan obat-obatan kepada Amara. Amara menerima obat-obatan itu dengan tangan gemetar. Ia merasa tak layak menerima kebaikan sebesar ini.

"Amara...," sapa Radit. "Bisakah saya menjemputmu besok? Kita bisa makan siang bersama."

Amara tertegun. Ia merasa pipinya memerah. "Eh...," jawabnya.

"Kau tidak perlu sungkan," kata Radit. "Saya ingin berterima kasih atas kebaikanmu yang telah merawat ayahmu."

Amara terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia ingin menolak, namun ia juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Baiklah, Pak," jawabnya akhirnya. "Besok pukul satu siang, di depan rumah sakit."

Radit tersenyum. "Baiklah. Sampai jumpa besok, Amara," kata Radit.

Amara mengangguk. Ia melihat Radit masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi. Amara masih terdiam di tempat, hati yang harpa.

Oke, aku siap meneruskan ceritanya! 😊

Amara kembali ke kamar ayahnya, membawa secercah harapan di hatinya. Pertemuan tak terduga dengan Radit tadi siang telah mencairkan sedikit rasa dingin dan kesepian yang selama ini menyelimuti dirinya. Meskipun dalam keadaan sulit, Amara mencoba untuk bersikap tegar di depan keluarganya.

"Ayah, Amara sudah membeli obatnya," ujar Amara, sambil meletakkan obat-obatan di atas meja samping tempat tidur ayahnya. "Semoga cepat sembuh, ya, Ayah."

Ayah Amara, yang masih terbaring lemah, hanya bisa mengangguk pelan. Matanya mengalirkan air mata haru. Ia merasa bersyukur memiliki anak perempuan yang begitu menyayanginya.

"Ayah...," bisiknya lemah, "Jangan khawatir. Amara akan selalu ada di sini untukmu."

Amara mengusap pipi ayahnya dengan lembut, merasa terharu melihat kesedihan di mata ayahnya. Ia tahu, ayahnya merasa bersalah karena penyakitnya telah membuat keluarga mengalami kesulitan.

"Jangan bicara begitu, Ayah. Amara bahagia bisa menjagamu," ujar Amara, mencoba menenangkan ayahnya.

Saat Amara sedang mengobati ayahnya, ibu dan adiknya datang membawa makan malam. Ibunya, seorang wanita kuat yang selalu mencoba tegar di depan keluarga, mencoba menutupi kekhawatiran dengan senyuman lebar.

"Amara, makanlah dulu. Kamu pasti lelah seharian," ujar ibunya.

Adik Amara, seorang remaja yang pendiam, menyerahkan piring berisi nasi dan lauk pauk kepada Amara. Matanya mengalirkan air mata harus melihat keadaan kakaknya.

"Terima kasih, Ma. Terima kasih, De," kata Amara, mengambil piring itu dengan tangan gemetar.

Amara mencoba menelan makanannya, namun rasa makan tak begitu enak. Pikirannya tertuju pada Radit, pria yang telah membantunya dengan tulus. Ia tak tahu mengapa, ia merasa sedikit bahagia di tengah kesedihannya.

"Amara, kamu kenapa sih? Kamu kok diam saja?" tanya ibunya, menatap Amara dengan prihatin.

"Tidak apa-apa, Ma. Amara hanya sedikit lelah," jawab Amara, mencoba menutupi perasaannya.

"Jangan berbohong sama Mama," ujar ibunya. "Mama tahu kamu sedang memikirkan sesuatu."

Amara terdiam. Ia tak bisa menceritakan tentang pertemuannya dengan Radit. Ia takut ibunya akan menentang hubungan mereka.

"Tidak apa-apa, Ma. Amara baik-baik saja," kata Amara, berusaha menenangkan ibunya.

Ibu Amara menatap Amara dengan penuh kekhawatiran. Ia tahu, anak perempuannya sedang mengalami kesulitan, namun ia tak tahu bagaimana cara membantunya.

"Amara... jangan menahan perasaanmu," kata ibunya. "Kamu bisa menceritakan segalanya pada Mama."

Amara menatap ibunya dengan mata berbinar. Ia mencoba menahan air matanya, tak ingin membuat ibunya semakin khawatir.

"Mama... Amara baik-baik saja," jawab Amara, mencoba menahan tangisannya.

Ibu Amara menangguk, meski hatinya masih penuh kekhawatiran.

Bab 2 Bayang - Bayang Kegelapan

Seminggu telah berlalu sejak pertemuan Amara dan Radit. Ayahnya semakin parah, dan biaya pengobatannya terus menumpuk. Amara tertekan, pikirannya dipenuhi rasa panik dan kebingungan.

"Ayah...," lirih Amara, menatap ayahnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Kenapa Ayah begini? Kenapa Ayah meninggalkan Amara?"

Air matanya mengalir deras, mencemari bantal ayahnya. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit.

"Amara... jangan sedih," bisik ayahnya lemah. "Ayah baik-baik saja. Ayah hanya sedikit lelah."

Amara menggeleng. Ia tahu, keadaan ayahnya semakin buruk. Ia takut kehilangan ayahnya. Ia merasa sepi dan terisolasi.

"Amara... Ayah cinta kamu," bisik ayahnya lemah. "Jaga dirimu baik-baik."

Amara mengangguk, air matanya semakin deras. Ia mencoba menahan tangisannya, tak ingin membuat ayahnya semakin khawatir.

"Ayah... Amara juga cinta Ayah," ujarnya, suaranya bergetar ketakutan.

Amara mengelus kening ayahnya dengan lembut. Ia merasa tertekan oleh keadaan yang sulit ini. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya ingin menyelamatkan ayahnya.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus tetap kuat. Ia harus mencari jalan keluar dari kesulitan ini.

Sejak ayah Amara dirawat di rumah sakit, Amara telah menghentikan pekerjaannya di klub malam bernama Kupu-kupu Klub. Klub itu adalah tempat yang sangat berbahaya, namun Amara tak memiliki pilihan lain untuk menghidupi keluarganya.

Ibu Amara hanya seorang ibu rumah tangga. Adiknya, Mira, masih bersekolah di SMP. Mira adalah anak yang acuh dan sombong. Ia suka berfoya-foya dengan uang orang tuanya, tak peduli dengan kesusahan yang mereka alami.

"Mira, kamu kemana saja?" tanya Amara, ketika Mira pulang dari sekolah dengan wajah yang berbinar-binar. "Kenapa kamu tak menjenguk Ayah?"

"Aku lagi ketemuan sama teman-teman," jawab Mira, tak menatap mata Amara. "Lagian, Ayah kan sudah dirawat di rumah sakit. Nggak perlu aku jenguk."

Amara mengigit bibirnya, menahan rasa kesalnya. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi dengan adiknya yang tak peduli itu.

"Mira... tolong lah, Ayah sedang sakit," ujar Amara, suaranya bergetar kecewa.

"Terserah kamu lah," jawab Mira, lalu berlalu meninggalkan Amara.

Amara terdiam, hatinya terasa hancur. Ia merasa terbebani oleh keadaan yang sulit.

🙁🙁🙁

Amara menghela napas. Hatinya terasa sesak, dipenuhi rasa kecewa dan ketakutan. Ia harus melakukan sesuatu, namun ia tak tahu harus berbuat apa.

"Ayah...," bisiknya lagi, menatap ayahnya yang semakin lemah. "Amara akan mencari cara untuk menyelamatkan Ayah."

Amara beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu kamar. Ia harus pulang untuk mengambil pakaian ganti dan beberapa perlengkapan untuk ayahnya.

"Ma, Amara pulang dulu ya. Mau ambil pakaian Ayah," ujar Amara, menatap ibunya yang sedang menunggu di ruangan tunggu.

Ibunya menangguk. "Ya, sudah. Nanti Mama yang jaga Ayah di sini."

Amara mencium pipi ibunya dan berjalan keluar dari rumah sakit. Ia merasa sedikit lega karena ibunya mau menjaga ayahnya di rumah sakit. Ia tahu, ibunya juga merasa khawatir dengan keadaan ayahnya.

Amara berjalan menuju halte bus di depan rumah sakit. Ia menunggu bus dengan hati yang gelisah. Ia terkenang kembali pertemuannya dengan Radit beberapa hari yang lalu. Radit telah menawarkan bantuan, namun ia takut untuk menerima bantuan itu. Ia takut terjebak dalam hubungan yang lebih rumit.

"Amara... kamu kenapa sih? Kok diam saja?" tanya seorang pria yang duduk di sebelahnya.

Amara terkejut. Ia baru sadar bahwa ia telah terdiam selama bermenit-menit. Ia menatap pria itu dengan mata yang berbinar-binar.

"Maaf, Pak. Saya hanya sedikit pusing," jawab Amara, mencoba menutupi perasaannya.

"Oh, ya. Kamu kayaknya capek," ujar pria itu. "Kamu mau pulang ke mana?"

Amara menceritakan keadaan keluarganya pada pria itu. Pria itu menangguk dengan penuh simpati.

"Maaf ya, Nona. Saya juga tak berkemampuan untuk membantu," kata pria itu. "Tapi, jangan putus asa. Pasti ada jalan keluar dari masalah ini."

Amara menangguk. Ia mengucapkan terima kasih pada pria itu, kemudian beranjak dari kursi dan berjalan menuju halte bus.

Amara sampai di rumah dalam keadaan lesu. Ia langsung menuju kamar tidur dan mengambil pakaian ganti untuk ayahnya. Mira tak ada di rumah. Ia memilih menginap di rumah temannya, tak peduli dengan keadaan keluarganya yang sedang sulit.

Amara berjalan keluar dari rumah. Ia mencari ojek murah untuk kembali ke rumah sakit. Ia merasa terbebani oleh keadaan yang dihadapinya. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi.

*****

Amara sampai di rumah sakit dengan perasaan yang campur aduk. Ia lega karena sudah mendapatkan pakaian ganti untuk ayahnya, tapi kekesalan dan keputusasaan menyergapnya kembali saat teringat pada Mira, adiknya yang tak peduli dengan keadaan ayah mereka.

"Mira...," gumam Amara, sambil mengeluarkan ponselnya dari tas. Ia harus menanyakan keberadaan Mira dan mengapa ia tak ada di rumah.

"Halo, Mira," ujar Amara, suaranya gemetar kecewa. "Kamu di mana?"

"Aku lagi nginap di rumah Maya. Ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok," jawab Mira, suaranya santai tanpa setitik pun rasa khawatir.

Amara mengigit bibirnya. Ia merasa kesal dengan sikap adiknya yang terlalu acuh tak acuh dengan keadaan ayah mereka.

"Mira, Ayah sedang sakit! Kamu harus menjenguk Ayah!" ujar Amara, suaranya meninggi karena kecewa.

"Sudahlah, Kak. Nanti aku jenguk Ayah kalau aku sudah selesai ngapain," jawab Mira, suaranya terdengar cemberut.

"Mira! Kamu nggak nggak ngerti ya kondisi Ayah sekarang seperti apa! Ayah sedang sakit berat! Kamu harus menjenguk Ayah!" teriak Amara, suaranya terasa gemetar kecewa.

"Apaan sih, Kak! Aku lagi ngapain, kamu nggak usah ikut campur!" jawab Mira, suaranya meninggi dan membentak Amara.

Amara terdiam, hatinya terasa hancur. Ia mencoba menahan air matanya agar tak mengalir di hadapan Mira. Ia merasa sedih dan kesal dengan sikap adiknya yang tak peduli dengan keadaan ayah mereka.

"Mira...," lirih Amara, suaranya terasa lemah.

"Aku lagi sibuk! Jangan ganggu aku!" jawab Mira dengan kasar. Lalu ia mematikan teleponnya sepihak.

Amara terduduk lesu di kursi ruangan tunggu. Ia menahan tangisnya. Ia merasa sendirian menanggung beban keluarga. Ia merasa tak berdaya menghadapi keadaan yang sulit ini.

Amara mencoba menenangkan dirinya. Ia harus tetap kuat. Ia harus mencari jalan keluar dari kesulitan ini.

Ia berjalan menuju kamar ayahnya. Ia meletakkan pakaian ganti di atas meja samping tempat tidur ayahnya.

"Ayah...," bisik Amara, menatap ayahnya yang terbaring lemah. "Maafkan Amara. Amara tak berdaya menyelamatkanmu."

Amara mengelus kening ayahnya dengan lembut. Ia merasa sepi dan tak berdaya.

"Amara... jangan sedih," bisik ayahnya lemah. "Ayah baik-baik saja."

Amara menangguk. Ia mencoba menahan tangisannya. Ia harus tetap kuat di hadapan ayahnya.

Bab 3 Di persimpangan Jalan

Keadaan ayah Amara sedikit membaik. Dokter menyarankan untuk pulang dan melanjutkan perawatan di rumah. Meskipun kondisi stroke yang dialaminya belum pulih sama sekali, dokter mengatakan bahwa ayah Amara sudah bisa dirawat di rumah.

"Ayah, kita pulang ya," ujar Amara dengan suara gemetar. Ia merasa lega karena ayahnya bisa pulang, namun kekhawatiran baru menyergapnya saat ia melihat tagihan pengobatan ayahnya di rumah sakit. Angka empat juta tertera dengan jelas di kertas tagihan itu.

Amara tertegun. Ia tak memiliki uang sebanyak itu. Pekerjaannya sebagai kasir di Kupu-kupu Klub sudah berhenti sejak ayahnya sakit. Ia hanya memiliki uang sedikit yang ditabung untuk menghadapi keadaan darurat.

"Mira...," panggil Amara, mencari adiknya. Ia ingin bertanya tentang uang yang dimintanya seminggu yang lalu untuk membeli buku cetak bahasa Inggris.

Mira yang sedang asyik bermain game di ponselnya menoleh dengan cemberut.

"Apa sih, Kak?" tanyanya dengan suara yang sinis.

"Kamu kan minta uang buat beli buku bahasa Inggris seminggu yang lalu. Uangnya masih ada kan?" tanya Amara, suaranya bergetar kecewa.

"Aku sudah pakai buat beli makan sama beli pulsa," jawab Mira dengan santai. "Lagian, itu kan uang kamu. Kenapa aku harus nanya ke kamu?"

Amara terdiam. Ia merasa kesal dengan sikap adiknya yang acuh tak acuh dengan keadaan ayah mereka. Ia mencoba menahan amarahnya, tak ingin bertengkar dengan Mira di hadapan ibunya.

"Amara... kamu kenapa sih? Kok diam saja?" tanya ibunya dengan prihatin.

"Tidak apa-apa, Ma. Amara hanya sedikit pusing," jawab Amara, mencoba menutupi perasaannya.

Ibu Amara menangguk dengan penuh keprihatinan. Ia tahu, anak perempuannya sedang mengalami kesulitan, namun ia tak tahu bagaimana cara .

Amara terdiam. Ia tak bisa menceritakan tentang kesulitan yang ia hadapi. Ia takut membuat ibunya khawatir.

"Tidak apa-apa, Ma. Amara baik-baik saja," kata Amara, mencoba menenangkan ibunya.

Amara menarik napas dalam-dalam. Ia harus mencari solusi untuk menghadapi masalah ini. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Bu Ratna, pemilik Kupu-kupu Klub.

"Bu Ratna, saya Amara. Maaf mengganggu, Bu. Saya mau minta tolong," ujar Amara, suaranya sedikit gemetar.

"Ada apa, Amara? Ada masalah?" tanya Bu Ratna dengan nada ramah.

"Begini, Bu. Ayah saya baru saja keluar dari rumah sakit. Biaya pengobatannya lumayan besar, dan saya kekurangan uang," jelas Amara dengan suara terbata-bata.

Bu Ratna menangguk dengan penuh simpati. Ia tahu keadaan Amara yang selama ini bekerja di Kupu-kupu Klub untuk menghidupi keluarganya.

"Tenang saja, Amara. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan membantu," ujar Bu Ratna, suaranya menenangkan. "Kamu bisa minjam uang ke aku. Nanti kamu kembalikan setelah kamu bekerja lagi."

Amara terkejut. Ia tak menyangka Bu Ratna mau membantu di saat ia sedang kesulitan. Ia merasa lega dan berterima kasih pada Bu Ratna.

"Terima kasih, Bu Ratna. Saya sangat berterima kasih," kata Amara, suaranya bergetar harus.

"Tidak perlu berterima kasih, Amara," jawab Bu Ratna. "Kamu kembalikan setelah dua minggu ke depan, ya."

"Baik, Bu," jawab Amara.

Amara merasa sedikit lega. Ia akhirnya mendapatkan solusi untuk menghadapi masalah ini. Ia berterima kasih pada Bu Ratna yang telah membantu di saat ia sedang kesulitan.

Amara menutup teleponnya. Ia berjalan menuju kamar ayahnya. Ia menatap ayahnya yang terbaring lemah di ranjang.

"Ayah, kita pulang ya," ujar Amara, suaranya bergetar harus. "Amara sudah mencari jalan keluarnya. Ayah tidak perlu khawatir lagi."

Ayah Amara menangguk lemah. Ia merasa lega karena Amara sudah mencari solusi untuk menghadapi masalah ini. Ia mencintai anak perempuannya itu. Ia bangga memiliki anak perempuan yang begitu kuat dan menyayanginya.

"Amara...," bisik ayahnya lemah. "Ayah cinta kamu."

Amara mengangguk. Ia menatap ayahnya dengan mata yang berbinar-binar. Ia merasa bahagia karena masih memiliki ayahnya. Ia berjanji akan menjaganya dengan sepenuh hati.

Amara mengelus kening ayahnya dengan lembut. Ia merasa sedikit lega karena akhirnya mendapatkan solusi untuk menghadapi masalah ini. Ia bertekad akan mencoba untuk tetap kuat dan optimistis.

Amara berjalan menuju pintu kamar. Ia berniat untuk memberitahu ibunya bahwa ayahnya akan segera dipulangkan dan ia sudah mendapatkan solusi untuk menghadapi masalah ini.

Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berharap bahwa segalanya akan baik-baik saja. Ia berharap bahwa keluarganya akan bisa melewati masa sulit.

*****

Ayah Amara akhirnya diizinkan pulang. Meskipun kondisi kesehatannya belum pulih sepenuhnya, Amara merasa lega karena ia bisa menjaga ayahnya di rumah. Amara pun bertekad untuk kembali bekerja di Kupu-kupu Klub untuk membiayai kebutuhan keluarga dan melunasi hutangnya pada Bu Ratna.

Sore hari, Amara bersiap-siap untuk pergi bekerja. Ia mengenakan pakaian kerja yang sudah lama tak ia pakai. Ia merasa sedikit gelisah karena sudah lama tak bekerja di klub itu. Ia takut jika ada perubahan yang signifikan di klub itu.

Amara tiba di Kupu-kupu Klub sekitar pukul enam sore. Ia menatap klub itu dengan tatapan yang heran. Tampilan klub itu sudah berubah drastis. Dulu, klub itu berkonsep elegan dengan nuansa biru dan putih. Sekarang, klub itu berkonsep modern dengan nuansa hitam dan emas.

"Alber...," panggil Amara, mencari Alber, karyawan bencong yang merupakan teman dekatnya di klub itu.

Alber muncul dari balik meja bar dengan wajah yang berbinar-binar. Ia menyapa Amara dengan hangat.

"Amara! Kamu sudah balik?" ujar Alber, sambil memeluk Amara erat. "Lama nggak ketemu, Amara. Kamu kemana saja?"

"Aku ngurus Ayah yang sakit," jawab Amara. "Bagaimana kabar di sini?

"Oh, ya. Kasian, Ayahmu sakit," ujar Alber dengan nada simpati. "Tapi seneng kamu bisa balik kerja di sini."

"Eh, kamu nggak ngeliat ya perubahan di klub ini?" kata Alber, dengan ekspresi heran. "Klub ini udah dipermak total. Gimana? Keren kan?"

Amara mengangguk. Ia menatap sekitar klub yang sudah berubah total. Ia merasa kagum dengan perubahan itu. Ia tak pernah menyangka klub itu akan berubah sekeren ini.

"Siapa yang ngerubah klub ini?" tanya Amara, penasaran.

"Klub ini udah diganti pemilik, Amara," jawab Alber. "Pak Rehan udah nggak punya klub ini lagi. Sekarang pemiliknya adalah..."

Alber berhenti berbicara. Ia menoleh ke arah pintu masuk. Rini, manajer klub itu, sedang mendekati mereka.

"Alber, kumpulin semua karyawan di ruangan miting. Kita ada pengumuman penting," kata Rini dengan wajah serius.

Alber menangguk. Ia berjalan menuju sekelompok karyawan yang sedang berbincang-bincang di pojokan klub. Ia menyuruh mereka untuk berkumpul di ruangan miting.

Amara terkejut. Ia tak menyangka akan ada miting secepat ini. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan diberitahukan Rini kepada mereka.

Alber kembali ke tempat Amara.

"Amara, ikut ke ruangan miting, ya," ujar Alber. "Ada pengumuman penting."

Amara menangguk. Ia mengikuti Alber menuju ruangan miting.

Amara berjalan masuk ke dalam ruangan miting. Ia melihat semua karyawan sudah berkumpul di sana. Amara mencari Rini, namun Rini belum ada di ruangan itu.

"Alber, Rini mana?" tanya Amara. "Kenapa dia belum ada di sini?"

"Rini lagi ngobrol sama pemilik klub baru," jawab Alber. "Bentar lagi dia bakal masuk ke ruangan ini."

Amara terdiam. Ia menatap sekitar ruangan itu. Ia merasa sedikit gelisah. Ia tak tahu siapa pemilik klub baru itu.

Beberapa menit kemudian, Rini masuk ke ruangan miting. Ia berjalan menuju meja dan menatap semua karyawan yang berkumpul di sana.

"Halo, semua," sapa Rini. "Selamat datang di Kupu-kupu Klub yang baru."

"Eh, Rini, ini pemilik klub baru," ujar Rini, sambil menunjuk ke arah pintu masuk.

Amara menoleh ke arah pintu masuk. Ia terkejut. Ia melihat seorang pria berjas rapi sedang berjalan menuju ke arah mereka. Amara menutup mulutnya dengan tangannya.

Amara terkesiap. Ia mengenali pria itu. Pria yang pernah menyelamatkannya dan ayahnya di tengah hujan deras beberapa minggu yang lalu. Pria yang telah mencuri hatinya dengan kebaikannya. Pria yang bernama Radit.

"Radit?" gumam Amara, tak percaya. "Kenapa dia?"

Radit tersenyum dan mendekati Rini. "Halo, semua," sapa Radit dengan suara yang lembut. "Saya Radit. Saya pemilik baru Kupu-kupu Klub. Senang bertemu dengan kalian semua."

Karyawan lain menyapa Radit dengan hormat. Mereka tak menyadari bahwa Amara sedang mengalami kejutan besar.

Amara merasa terkejut dan bingung. Radit, pria yang telah menolongnya dan ayahnya, ternyata pemilik baru klub itu. Klub yang telah memberinya nafkah dan membuatnya terjebak dalam lingkaran kehidupan yang tak mudah.

Amara menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia ingin bertanya, mengapa Radit membeli klub itu? Apakah ia tahu bahwa Amara bekerja di klub itu? Apakah ia masih mengingat pertemuan mereka yang tak terduga itu?

Amara merasa bingung dan sedikit takut. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia ingin menjelaskan pada Radit bahwa ia adalah karyawan di klub itu. Namun, ia takut akan reaksi Radit.

"Amara... kamu kenapa sih? Kok diam saja?" tanya Alber, yang sedang berbisik dekat dengan Amara. "Kamu nggak baik-baik aja?"

Amara mengeleng lemah. Ia masih terkejut dengan pertemuan yang tak terduga ini.

"Tidak apa-apa, Alber," jawab Amara, sambil mencoba menenangkan dirinya. "Aku cuma kaget aja ngeliat pemilik klub baru."

"Oh, iya. Radit nama pemilik klub baru," ujar Alber, menangguk. "Dia orangnya baik kok, Amara. Kamu nggak usah khawatir."

Amara menangguk. Ia masih merasa sedikit takut. Ia tak tahu bagaimana reaksi Radit jika ia tahu bahwa Amara adalah karyawan di klub itu.

Radit mulai menyampaikan kata-kata sambutan kepada para karyawan. Ia berbicara tentang visinya untuk mengembangkan Kupu-kupu Klub menjadi klub malam yang lebih baik dan profesional.

Amara menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia tak bisa menyembunyikan rasa khawatir dan ketakutan dalam hatinya. Ia bertanya-tanya, apakah Radit akan merasa terkecewa jika ia tahu bahwa Amara bekerja di klub itu?

Amara merasa terjebak dalam situasi yang tak mudah. Ia ingin menceritakan segalanya pada Radit, namun ia takut akan reaksi Radit.

Amara menarik napas dalam-dalam. Ia harus menemukan jalan keluar dari situasi ini. Ia harus berani menghadapi Radit dan menjelaskan segalanya padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!