NovelToon NovelToon

University Prestige School

Malam Kliwon yang Penuh Keterpurukan

Malam Jumat Kliwon. Purnama bersinar terang, menerangi rumah sederhana kami. Suasana tenang, tetapi hati kami dipenuhi kecemasan.

Aku, Akbar anak paling bungsu, duduk di samping ranjang Ibu, memegang tangan beliau yang lemah. Suara napasnya yang teratur membuatku merasa sedikit tenang.

Rina, Kakak tertua ketiga, masuk ke dalam ruangan. Wajahnya tampak cemas.

"Bar, barusan Dina sudah transfer belum?"

Akbar menghela napas, "Alhamdulillah, sudah, Teh. Tapi... rasanya enggak enak terus minta bantuan dari dia. Dia juga capek, kan, jadi guru."

Rina mengangguk, "Iya, kakak ngerti. Tapi kita juga butuh, apalagi dengan keadaan Ibu sekarang."

"Benar. Tapi, Bang Faris di Jakarta sudah terlalu sibuk dengan dunianya. Kakak tertua kami itu juga sudah terlalu terlena dengan dunianya." Kata Akbar

"Dan Bang Sony? Dia juga berjuang. Kita semua punya masalah masing-masing. Kakak walaupun lebih tua dari Dina juga tak bisa membantu banyak." Seru Rina

Akbar menatap Rina dengan serius, "Kita ini enam bersaudara, tetapi semua rumit.

Masing-masing dengan beban sendiri."

"Kakak-kakak kita sudah berusaha, tapi sulit. Suami teteh juga cuma bisa ngasih pas-pasan buat sehari-hari keperluan anak. Rasanya berat."

"Kita harus lebih mandiri, meski sulit. Ibu perlu perhatian kita sekarang." Seru Akbar

Di tengah keheningan malam, Rina melanjutkan pembicaraan dengan nada sedikit menggerutu.

"Andai si Lestari masih ada di sini... dasar adik yang enggak tahu diuntung. Dia malah kabur sama kekasihnya, kawin lari begitu." Rina tampak kesal terhadap adiknya yang satu ini.

Akbar menghela napas, "Iya, Teh. Kita semua berjuang di sini, sementara dia pergi begitu saja. Seakan tidak ada tanggung jawab."

"Seharusnya dia ada di sini, membantu kita. Ibu pasti sangat merindukannya."

"Kadang, aku berpikir, jika dia masih di sini, mungkin semuanya akan lebih mudah. Kita bisa saling mendukung." Seru Akbar.

"Tapi dia memilih jalan sendiri. Kita yang harus berjuang menghadapi semua ini bersama."

Akbar menunduk, "Aku hanya berharap dia menyadari betapa pentingnya keluarga. Kita semua memiliki beban masing-masing."

Ibu, yang mendengar percakapan itu, berusaha tersenyum meski wajahnya menunjukkan keletihan.

"Nak, setiap orang memiliki pilihan. Yang terpenting adalah kita tetap bersatu di sini. Keluarga adalah segalanya."

Akbar mengangguk, "Iya, Bu. Kami akan berusaha untuk Ibu. Kita tidak akan menyerah."

Malam mulai menggelap, dan suara angin berdesir di luar jendela. Rina berpamitan untuk pulang ke rumahnya, membawa serta sedikit harapan di hati.

Rina berdiri di pintu, "Akbar, aku akan pulang sekarang. Semoga Ibu bisa istirahat dengan tenang."

"Hati-hati di jalan, Teh. Kalau butuh apa-apa, jangan ragu untuk kembali."

Rina mengangguk, melangkah keluar dari rumah dengan hati yang berat. Akbar kembali duduk di samping Ibu, merasakan kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti.

Ibu menatap Akbar "Nak, Rina sudah pulang. Kamu harus beristirahat juga."

"Iya, Bu. Tapi aku masih khawatir. Banyak yang harus dipikirkan."

"Kita tidak bisa mengubah masa lalu, Nak. Tapi kita bisa merencanakan masa depan. Jangan biarkan beban ini menghalangi kamu."

Akbar menghela napas, merasakan beratnya tanggung jawab.

"Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja. Keluarga kita sudah cukup terpuruk."

"Percayalah, kamu tidak sendiri. Kami semua saling mendukung, meski dalam keadaan sulit." Ibunya menenangkan.

Akbar tersenyum lemah, merasa sedikit terhibur. Dia memandang purnama yang masih bersinar di luar, berharap akan ada jalan keluar dari segala kesulitan ini.

"Ibu, aku akan berusaha lebih keras. Kita akan menghadapi ini bersama."

Ibu mengangguk, menggenggam tangan Akbar dengan lembut. Malam itu, meski sepi, mereka merasa lebih kuat dalam ikatan kasih sayang yang tak tergantikan.

Kendati begitu, rasa cemas dan tidak berdaya semakin menyelimuti. Akbar tidak bisa menahan air matanya.

Akbar menangis, "Maaf, Bu. Akbar anak yang enggak berguna. Belum bisa kasih apa-apa sama Ibu."

Ibunya, meski lemah, berusaha tersenyum dan mengusap tangan Akbar.

"Nak, kamu sudah melakukan lebih dari yang bisa Ibu harapkan. Merawat Ibu selama tujuh tahun lebih, itu sudah cukup."

Akbar menangis lebih keras "Tapi Ibu butuh lebih dari sekadar perawatan. Akbar merasa gagal."

terdengar suara lembut "Anakku, cinta dan perhatianmu adalah yang terpenting. Ibu tahu kamu berjuang. Itu lebih berharga daripada apa pun."

Akbar mengangguk, merasa sedikit lega, tetapi rasa bersalahnya masih ada.

"Ibu, aku berjanji akan berusaha lebih keras. Kita akan melalui ini bersama."

"Selama kamu di sini, Ibu merasa tenang. Kamu adalah cahaya dalam hidup Ibu."

Purnama di luar jendela bersinar, memberikan harapan di tengah kegelapan. Akbar merangkul Ibu, merasakan cinta dan dukungan yang tak tergantikan.

Di tengah malam, purnama bersinar semakin terang, menerangi ruang yang sunyi. Akbar melihat Ibu sudah tertidur lelap, wajahnya damai meski tubuhnya lemah.

Dengan perlahan, Akbar beranjak dari kursi dan menuju tempat tidur. Dia mencoba memejamkan matanya, berharap bisa terlelap sejenak.

Akbar menatap langit malam yang berbintang, refleksi purnama menerangi pikirannya. Dalam hatinya, dia mengingat semua yang telah dia lakukan untuk Ibu.

berbisik pada diri sendiri "Aku tidak butuh kekayaan. Bagiku, merawat Ibu sudah lebih dari cukup."

Dia memejamkan mata, membayangkan semua momen ketika Ibu tersenyum padanya, saat-saat di mana kasih sayang mereka terasa lebih berharga daripada harta apa pun.

"Cinta dan perhatian adalah yang terpenting. Uang tidak bisa menggantikan waktu yang kita habiskan bersama."

Dengan tekad itu, dia menggenggam sarung guling lebih erat, berusaha menenangkan diri.

Setiap tetes air mata yang mengalir terasa seperti beban yang perlahan terangkat.

"Ibu, aku akan terus berjuang. Aku akan pastikan kamu tidak merasa sendirian. Itu sudah cukup bagiku."

Dia merasa semangat baru mengalir dalam dirinya. Akbar tahu bahwa meskipun hidup ini penuh tantangan, cinta yang dia berikan kepada Ibunya adalah sesuatu yang tidak ternilai.

Namun, rasa kekesalannya masih mengganggu.

Berbagai pikiran menghantui—tentang kesulitan, tentang rasa tidak berdaya, dan tentang tanggung jawab yang terasa terlalu berat untuk dipikul.

Akbar menggenggam sarung guling dengan kuat, berusaha menahan tangisannya. Setiap hembusan napasnya dipenuhi rasa frustasi.

Akbar berbisik pada diri sendiri "Kenapa harus seperti ini? Kenapa semuanya terasa sulit?"

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Dia berusaha mengingat semua momen indah bersama Ibu, saat-saat ketika semuanya terasa lebih mudah. Namun, kini semua itu terasa jauh.

"Ibu, maafkan aku... Aku merasa gagal."

Dengan napas yang semakin berat, Akbar berusaha menenangkan diri. Dia ingat betapa kerasnya Ibu berjuang, dan betapa pentingnya dia untuk tetap kuat.

"Aku harus bertahan. Ibu butuh aku."

Tetapi, tangisan Akbar semakin kencang, tak dapat dia tahan lagi. Dalam kegelapan, rasa frustasi dan ketidakberdayaan menyerangnya, membuatnya menangis lebih keras. Tanpa disadari, ia membangunkan Ibu yang tengah tertidur lelap.

Ibu dari tempat tidur, berteriak lembut "Nak, kenapa? Apa yang terjadi?"

Akbar, antara isak tangis, mencoba menjelaskan, "Bu, aku merasa semua ini berat. Aku tidak tahu harus bagaimana."

Ibu berusaha mengangkat kepalanya, menatap Akbar dengan penuh kasih. "Sudah, jangan menangis. Ibu di sini untukmu. Kita akan menghadapi ini bersama."

Akbar merasakan kehangatan dari suara Ibu, tetapi rasa sakitnya masih mendalam. "Aku merasa gagal, Bu. Aku ingin semuanya lebih baik."

Dia merasakan betapa beratnya beban yang dipikul anak bungsunya.

suara lembut, "Nak, maafkan Ibu. Seandainya Ibu bisa mengubah segalanya... seandainya Ibu menerima kamu untuk diurus oleh Dr. Tirta. Dia sangat senang saat kamu lahir, kamu dulu anak bayi yang diperebutkan."

Akbar menatap Ibu, hatinya semakin berat.

"Bu, bukan itu yang aku mau. Aku hanya ingin kamu baik-baik saja."

"Ibu tahu kamu sudah berusaha dan mencoba bisnis, tetapi selalu gagal. Ibu merasa sangat menyesal melihatmu seperti ini."

Akbar hanya bisa menangis, merasakan semua usahanya tampak sia-sia di mata Ibu.

Akbar antara isak tangis "Bu, aku berjanji akan terus berjuang. Aku tidak akan menyerah. Kita akan melalui ini bersama."

Ibu terisak, air mata mengalir di pipinya saat melihat penderitaan Akbar.

Ibunya sambil menangis "Maafkan Ibu, Nak. Ibu merasa sangat menyesal melihatmu seperti ini..."

Akbar, melihat Ibu menangis, berteriak dengan penuh emosi, "Ibu, jangan menangis!"

Dia merasa hatinya hancur melihat Ibu yang selalu kuat kini terpuruk.

"Aku akan baik-baik saja, Bu. Jangan khawatirkan aku. Kita bisa melalui ini bersama!"

Ibu berusaha menghapus air matanya, berusaha menenangkan Akbar. "Ibu hanya khawatir, Nak. Kamu sudah berjuang begitu keras."

"Aku tahu, Bu. Tapi aku tidak mau melihat Ibu sedih. Kita harus saling mendukung."

Akbar menghapus air mata dan menatap Ibu.

Ibu berbicara dengan lembut "Sudah, Nak. Jangan dipikirkan lagi. Cobalah tidur. Besok adalah hari baru."

Akbar mengangguk, berusaha menenangkan diri. Dia tahu Ibu hanya ingin yang terbaik untuknya.

"Iya, Bu. Aku akan coba tidur."

"Biar Ibu di sini menunggu, kamu tidak perlu khawatir."

Akbar menarik selimut, mencoba menutup matanya. Meski beban masih ada di pikirannya, dia berusaha untuk menyerahkannya kepada malam.

Dengan suara lembut, Ibu melanjutkan, "Kamu sudah berjuang keras. Istirahatlah."

Akbar merasakan kasih sayang Ibu menghangatkan hatinya. Dalam keheningan malam, dia perlahan terlelap, berharap besok akan membawa harapan baru.

Bertukar Tubuh

Di pagi hari, suasana terasa berbeda. Akbar terbangun, merasa seakan berada di tempat yang tidak dia ketahui. Dengan bingung, dia membuka matanya dan melihat sekeliling.

Dia terbangun di tempat tidur yang luas, dikelilingi oleh ruangan yang sangat megah. Desain arsitekturnya begitu indah, dengan sentuhan kemewahan yang mencerminkan sebuah dinasti kesuksesan.

Ruang kamar itu luas dan dirancang dengan cita rasa tinggi, menciptakan suasana yang nyaman dan elegan. Dindingnya dicat dalam nuansa gelap yang hangat, memberikan kesan modern dan maskulin. Di sudut kamar, sebuah tempat tidur king-size dengan pelindung kepala berlapis kain premium memancarkan kemewahan, dilengkapi dengan seprai sutra yang lembut dan bantal-bantal berwarna kontras.

Di samping tempat tidur, terdapat meja samping yang terbuat dari kayu gelap, dihiasi dengan jam tangan mewah merek terkenal, seperti Roleks, yang berkilau di bawah cahaya. Sebuah lampu meja dengan desain minimalis memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana tenang di malam hari.

Dinding-dindingnya dipenuhi dengan lukisan indah, dan cahaya matahari masuk melalui jendela besar, memberikan kilau keemasan di seluruh ruangan.

Akbar: (berbisik pada diri sendiri) "Di mana ini? Apa yang terjadi?"

Dia bangkit, merasakan kehangatan selimut yang lembut, dan melangkah keluar dari tempat tidurnya. Setiap langkahnya menggema di lantai conwood yang halus.

Akbar merasa terpesona dan bingung sekaligus.

Akbar: "Ini seperti mimpi... tapi apa mungkin aku di sini?"

Dia melangkah lebih jauh, melihat perabotan yang mewah dan indah. Tidak ada tanda-tanda bahwa ini adalah rumahnya. Rasa ingin tahunya semakin membara.

Akbar: "Siapa yang membawaku ke sini? Apa ini semua nyata?"

Dengan hati yang berdebar, dia berjalan ke arah jendela, ingin melihat dunia di luar. Dia berharap menemukan petunjuk tentang tempat dan bagaimana dia bisa berada di sini.

Akbar melangkah ke jendela, dan pemandangan di luar membuatnya terpesona.

Dia menyaksikan halaman luas yang eksotis, dipenuhi dengan berbagai jenis hewan mahal dan indah.

Hewan-hewan itu tampak seperti peliharaan yang sangat terawat; burung-burung warna-warni terbang bebas di udara, sementara beberapa hewan eksotik lainnya berjalan dengan anggun di antara tanaman hijau yang rimbun.

Akbar: (dalam hati) "Wow, semua ini terlihat sangat luar biasa... Seperti sebuah taman kerajaan."

Dia mengamati dengan seksama, merasa seolah dia sedang berada di dunia yang sama sekali berbeda. Setiap detail dari halaman itu terlihat sempurna, seolah-olah dirancang untuk memikat siapa pun yang melihatnya.

Akbar: "Siapa yang memiliki semua ini? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Rasa ingin tahunya semakin membara. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa dia telah melangkah ke dalam hidup yang tidak dia kenali, dan itu membuatnya semakin penasaran untuk menemukan jawaban.

Akbar berbalik dan melihat cermin besar yang menggantung di dinding. Dia mendekatinya dengan hati-hati, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

Di dalam cermin, dia melihat refleksinya. Wajahnya tampak berbeda—sangat terawat, seolah kembali ke masa mudanya saat dia masih di SMA. Muka yang tampan, dengan kulit bersih dan mata yang bersinar penuh semangat.

Akbar: (berbisik) "Apakah ini mimpi?"

Dia menyentuh permukaan cermin, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Wajahnya sama, tetapi lebih muda dan lebih segar. Semua kerisauan dan kesedihan tampak menghilang dari wajahnya.

Akbar: "Ini seperti gambaran wajahku di masa lalu... Bagaimana mungkin aku terlihat seperti ini?"

Dia merasa campur aduk; antara terpesona dan bingung. Akankah semua ini nyata? Atau mungkin dia terjebak dalam mimpi yang sangat hidup?

Dengan perasaan tak menentu, Akbar kembali menatap cermin, berusaha mencari jawaban atas apa yang terjadi padanya dan bagaimana dia bisa berada di tempat ini.

Akbar terpesona saat melihat lebih dekat ke cermin. Semua bekas jerawat yang pernah menghiasi wajahnya kini hilang, digantikan oleh kulit yang mulus dan bersih. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.

Akbar: (dalam hati) "Ini luar biasa... wajahku... seperti masa SMA."

Dia menyentuh pipinya dengan lembut, merasakan kehalusan kulit yang sudah lama hilang. Rasa percaya diri yang lama hilang mulai kembali, meskipun rasa bingung masih mengganggu pikirannya.

Akbar: "Apakah semua ini nyata? Atau hanya ilusi dari sebuah mimpi?"

Refleksinya memancarkan semangat yang belum pernah dia rasakan sejak lama, dan dia bertanya-tanya apakah ini tanda dari suatu perubahan besar dalam hidupnya.

Dia berbalik lagi untuk melihat halaman luas di luar jendela, merasa bahwa mungkin ada harapan baru menanti di depannya.

Akbar: "Jika ini benar-benar nyata, aku harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya."

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan dari arah pintu. Tu.tuk.tuk.

Akbar tersentak dari lamunannya dan berbalik ke arah pintu. Dengan ragu, dia berjalan mendekati pintu dan membukanya. Di depan pintu berdiri seorang pelayan wanita yang cukup cantik, mengenakan dress maid yang elegan dan rapi.

Pelayan: "Tuan, aku akan menyiapkan air hangat untukmu. Apakah ada yang ingin kau minta selain itu?"

Akbar merasa seolah terperangkap dalam situasi yang tidak biasa, mencoba memainkan perannya meski masih sedikit canggung.

Akbar: "Eh, terima kasih... itu terdengar bagus."

Dia tersenyum, berusaha menampilkan sikap percaya diri, meskipun hatinya berdebar-debar.

Pelayan: "Baik, Tuan. Silakan beristirahat sementara aku menyiapkannya."

Dengan gerakan lembut, dia sedang menyiapkan air panas di bak mandi yang luas.

Kamar mandi ini memancarkan kemewahan, dirancang sebagai tempat peristirahatan pribadi yang penuh relaksasi dan kenikmatan. Lantai kamar mandi terbuat dari ubin marmer yang dipoles, dengan garis-garis elegan yang menangkap cahaya dan menambahkan sentuhan megah. Pencahayaan lembut diletakkan secara strategis, menciptakan suasana yang hangat dan mengundang.

Di tengah ruangan, sebuah bak mandi bebas berdiri, terbuat dari porselen putih, menjadi fokus utama di bawah jendela besar yang dilapisi frosted, memungkinkan cahaya alami masuk. Bak mandi dikelilingi oleh handuk mewah yang rapi di rak handuk yang dipanaskan, menawarkan kenyamanan setelah berendam lama.

Di seberang bak mandi, terdapat vanity ganda yang luas dengan meja rias dari granit halus, dilengkapi dengan dua wastafel berbentuk mangkuk dan keran chrome modern. Vanity ini dilengkapi dengan kompartemen yang terorganisir, menampilkan produk perawatan kulit berkualitas tinggi dan perlengkapan mandi mewah.

Shower walk-in yang menakjubkan dilengkapi dengan kepala shower hujan dan beberapa semprotan tubuh, dilapisi kaca tanpa bingkai untuk tampilan yang mulus. Dinding shower dihiasi dengan ubin mozaik yang indah, menambah sentuhan seni pada ruangan.

Aksen elegan, seperti karpet area yang lembut dan lampu gantung bergaya yang menggantung dari langit-langit, menyempurnakan suasana mewah ini. Tanaman pot dan lilin beraroma ditempatkan secara strategis, meningkatkan suasana ketenangan.

Dengan kombinasi bahan yang luar biasa, desain yang cermat, dan nuansa ketenangan secara keseluruhan, kamar mandi ini menjadi tempat pelarian yang sempurna untuk relaksasi dan peremajaan, mewujudkan esensi gaya hidup mewah.

...****************...

Pelayan: "Tuan, air hangat sudah hampir siap. Bak mandi ini sangat nyaman, pasti membuatmu merasa segar."

Akbar terpesona melihat keanggunan pelayan itu saat dia bekerja dengan cekatan. Dia merasa canggung, tetapi juga terkesan dengan suasana yang begitu berbeda dari kehidupan sehari-harinya.

Akbar: "Terima kasih, itu sangat baik dari kamu."

Pelayan tersenyum lembut, seolah sudah terbiasa dengan kesopanan semacam itu. "Tentu, Tuan. Apakah ada yang bisa saya bantu lagi?"

Akbar mencoba untuk tidak terlihat terlalu terkejut. "Eh, tidak untuk saat ini. Terima kasih sekali lagi."

Pelayan: "Baiklah, Tuan. Jika ada yang dibutuhkan, jangan ragu untuk memanggil saya."

Setelah pelayan pergi, Akbar menatap bak mandi yang luas, merasakan ketenangan yang aneh. Dia menyadari bahwa semua ini adalah bagian dari dunia baru yang harus dia hadapi, dan mungkin ini adalah kesempatan untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.

Setelah pelayan pergi, Akbar menutup pintu dan berusaha mencerna semua yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" pikirnya. "Seolah-olah aku hidup dalam dunia yang sangat berbeda."

Dia kembali melihat ke cermin, mencoba meyakinkan diri bahwa dia bisa menghadapi semua ini. Dengan setiap detak jantung, rasa percaya dirinya perlahan tumbuh, seolah ini adalah kesempatan baru untuk memulai kembali.

Setelah pelayan itu pergi, dia melangkah menjauh dengan langkah ringan, namun di dalam hatinya, dia merasa ada yang aneh.

Pelayan: (dalam hati) Tuan Muda ini aneh sekali hari ini. Tidak biasanya dia berterima kasih kepadaku. Seolah ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya.

Dia menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan pikiran itu, tetapi rasa ingin tahunya terus mengusik. Mungkin dia mengalami sesuatu yang penting. Aku berharap semuanya baik-baik saja.

Pelayan melanjutkan tugasnya, tetapi terus memikirkan perubahan dalam sikap Tuan Muda yang biasanya cenderung lebih dingin. Entah mengapa, aku merasa ada harapan baru di sini.

Akbar mencoba menenangkan diri, merasakan bahwa mungkin ini adalah realitas yang nyata dan bukan mimpi. Dia mengubah wajahnya menjadi lebih serius, mengingat semua yang telah terjadi.

Akbar: (dalam hati) Aku perlu mencari handphone. Mungkin di sanalah aku bisa menemukan informasi tentang diriku dan tanggal berapa sekarang.

Dengan langkah mantap, dia mulai menjelajahi ruangan dan membuka laci dekat tempat tidurnya. Di dalamnya, dia menemukan tiga handphone yang terlihat berbeda-beda.

Akbar: "Ada tiga? Mana yang harus aku buka dulu?"

Dia mengambil salah satu handphone dan menyalakannya, merasa harapan membara di dalam dirinya. Layar menyala, dan dia segera mencari informasi yang dibutuhkan.

Akbar: Semoga ada petunjuk di sini tentang siapa diriku dan apa yang terjadi.

Dia menatap layar, menunggu dengan cemas untuk melihat tanggal dan informasi lain yang mungkin membantunya memahami situasi ini.

Ketika ponsel menyala, layar meminta untuk menggunakan sidik jari. Akbar merasa sedikit gugup, tetapi dia mengambil napas dalam-dalam dan mencoba menempelkan jempolnya ke sensor.

Dengan hati berdebar, dia menunggu beberapa detik, dan... ternyata berhasil! Layar terbuka, memperlihatkan berbagai aplikasi dan informasi di dalamnya.

Akbar: "Yes! Akhirnya, aku bisa melihat apa yang ada di sini."

Dia mulai menjelajahi layar, mencari tanggal dan catatan yang bisa memberinya petunjuk tentang dirinya. Dia melihat beberapa notifikasi dan pesan yang belum dibaca.

Akbar: Ini mungkin langkah pertama untuk memahami siapa aku di dunia ini.

Akbar melihat layar ponsel menunjukkan tanggal 20 Januari 2024. Ini adalah waktu yang sama dengan diriku di masa lalu. Jadi, waktu terus bergulir, hanya saja aku berpindah tubuh.

Dengan perasaan campur aduk, dia mencoba mencari informasi lebih lanjut di galeri foto. Begitu membuka galeri, matanya terperangah melihat banyak foto pria ini. Dalam setiap gambar, dia terlihat sedang merangkul banyak wanita di sekolahnya.

Akbar: "Wow, sepertinya dia sangat populer..."

Dia mengamati foto-foto tersebut dengan lebih dekat, melihat bahwa sekolah pria ini adalah sekolah elit yang ada di Jakarta.

Semua fasilitas dan lingkungan terlihat sangat mewah, mencerminkan status tinggi.

Akbar: (dalam hati) Ini bukan sembarang sekolah. Apa yang terjadi pada diriku?

Dia terus menelusuri foto-foto itu, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang hidup pria yang kini dia huni, merasa semakin terikat dengan misteri yang harus dia ungkap.

Ketika Akbar terus menjelajahi galeri foto, dia menemukan satu foto yang membuatnya terkejut. Pelayan yang tadi dia temui muncul dalam sebuah selfie, di mana pria itu terlihat menciumi pipinya dengan mesra.

Akbar: "Apa ini? Dia... dia sangat berbeda dari yang aku lihat tadi."

Dia melanjutkan menelusuri foto-foto lain dan menemukan banyak momen di mana pria ini sedang berpesta di klub bersama teman-temannya. Dengan minuman di tangan, mereka tampak sangat menikmati hidup tanpa beban.

Akbar: (dalam hati) Pria ini sepertinya seorang bajingan. Hidupnya penuh dengan kesenangan dan kebebasan yang sembrono.

Rasa jijik mulai mengisi hatinya. Dia merasa terjebak dalam tubuh seseorang yang memiliki reputasi buruk, jauh dari nilai dan harapan yang ingin dia jalani.

Di tengah kekecewaan, Akbar menemukan beberapa foto di mana pria ini terlihat merokok, menghisap rokok dengan santai sambil tertawa bersama teman-temannya.

Akbar: (dalam hati) Setidaknya ada satu kesamaan. Aku juga seorang perokok.

Melihat foto-foto itu membuatnya merasa sedikit lebih lumrah. Meskipun dia merasa terjebak dalam tubuh seseorang yang bajingan, sisi itu membuatnya merasa lebih akrab dengan pria ini.

Akbar: "Mungkin ada harapan untuk memahami hidupnya, meskipun banyak hal yang tidak aku setujui."

Dia menatap layar, mencoba merenungkan bagaimana dia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengubah arah hidup yang tampaknya kelam.

Ketika Akbar menggeser layar ke atas, matanya tertangkap oleh sebuah foto wanita cantik. Dengan cepat, dia mengenali wajah itu.

Akbar: "Ini... dia adalah artis ternama! Kenapa bisa ada fotonya di sini?"

Wanita itu tampak anggun dan bersinar dalam setiap foto, dikelilingi oleh sorotan lampu dan perhatian banyak orang. Akbar tahu bahwa ini adalah sesuatu yang luar biasa; artis ini terkenal di seluruh negeri.

Akbar: (dalam hati) Apa hubungan pria ini dengan dia?

Dia melihat lebih dekat, merasakan campur aduk antara kekaguman dan rasa ingin tahu.

Apakah mereka memiliki hubungan? Atau mungkin ini hanya momen kebetulan?

**Akbar mulai berpikir, Jika aku ingin memahami hidup pria ini, aku perlu tahu lebih banyak tentang hubungan dan interaksi yang dia miliki dengan orang-orang di sekitarnya. Ini bisa menjadi kunci untuk mengungkap misteri ini.

Akbar melanjutkan menjelajahi galeri dan menemukan foto keluarga yang mengesankan.

Dalam foto itu, artis ternama tersebut berdiri dengan lelaki yang terlihat seperti suaminya, seorang konglomerat yang tampak sukses, dan ketiga anak mereka yang lucu.

Akbar: "Wow, ini luar biasa... dia punya keluarga yang bahagia."

Melihat momen kebersamaan mereka, Akbar merasa seolah sedang menyaksikan kehidupan yang sangat berbeda dari yang dia kenal.

Sebelum berpindah tubuh, dia jarang mengikuti aktivitas artis, jadi dia tidak tahu banyak tentang kehidupan anak-anak mereka.

Akbar: (dalam hati) Bagaimana hubungan pria ini dengan mereka? Apakah dia juga bagian dari dunia mereka?

Setelah melihat foto-foto, Akbar memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Maya Cinta. Dia membuka aplikasi GooSel Chonos dan mengetikkan kata kunci "Maya Cinta." Dalam sekejap, hasil pencarian muncul, termasuk link ke Wikipedd.

Akbar: "Mari kita lihat siapa dia sebenarnya."

Konglomerat Trioka Adiguna

Dengan cepat, dia mengklik link tersebut dan mulai membaca informasi yang muncul. Di dalamnya, dia menemukan penjelasan tentang Maya Cinta, seorang artis ternama yang telah meraih banyak penghargaan dalam kariernya. Artikel itu juga menjelaskan tentang keluarganya.

Akbar membaca informasi lebih lanjut tentang keluarga Maya Cinta Trioka Adiguna di GooSel.

Maya Cinta Trioka Adiguna

Usia: 40 tahun

Latar Belakang: Sebagai artis yang sukses, Maya telah melalui berbagai liku-liku dunia hiburan. Meskipun kehidupannya penuh sorotan, dia selalu berusaha menjaga kedekatan dengan keluarganya. Pengalaman masa lalu, termasuk tantangan dalam karir dan kehidupan pribadi, membentuknya menjadi sosok yang kuat dan bijaksana.

Bastian Trioka Adiguna

Usia: 42 tahun

Latar Belakang: Sebagai suami dari Maya Cinta, Bastian terbiasa hidup di tengah sorotan publik. Dia adalah pengusaha di bidang real estate dan telah mencapai kesuksesan yang signifikan.

Bastian Trioka Adiguna, suami Maya, adalah seorang konglomerat yang memiliki berbagai bisnis di bidang properti dan real estate, dikenal di kalangan elite.

Yona Trioka Adiguna

Usia: 20 tahun (Kakak Niko)

Mahasiswa

Ciri fisik: Memiliki rambut pendek dan gaya berpakaian yang trendy, selalu tampil modis.

Yona berkuliah di salah satu universitas ternama di negeri ini dengan jurusan Desain Fashion. Di kampus yang terkenal dengan program seni dan desainnya yang unggul, dia memiliki kesempatan untuk belajar dari para profesional berpengalaman dan berkolaborasi dengan mahasiswa berbakat lainnya.

4. Niko Trioka Adiguna

Usia: 15 tahun

Deskripsi: Anak kedua laki-laki yang cerdas dan suka berpetualang, saat ini bersekolah di SMA elit Jakarta. Kini dia berusia 15 tahun. Sekarang dia berada di kelas 2 SMA.

5. Ria Trioka Adiguna

Anak bungsu berusia 10 tahun yang manis dan menggemaskan.

Akbar: (dalam hati) Keluarga ini mencerminkan kehidupan yang harmonis dan bahagia, meskipun dikelilingi oleh glamour. Namun, aku merasa ada lebih banyak hal di balik kesuksesan ini.

Dengan rasa ingin tahu yang mendalam, Akbar bertekad untuk menggali lebih jauh, mencari tahu rahasia dan dinamika di balik keluarga Trioka Adiguna.

Akbar sangat senang setelah membaca informasi tentang keluarga Trioka Adiguna. Senyum penuh makna tersirat menghiasi wajahnya.

Akbar: (dalam hati) Seolah ini adalah kehidupan yang selama ini aku inginkan, penuh dengan cinta, sukses, dan kebahagiaan.

Dia merasa semangatnya pulih, seolah memiliki kesempatan kedua untuk menjalani hidup yang lebih baik. Akbar membayangkan bagaimana rasanya menjadi bagian dari keluarga yang begitu harmonis dan sukses.

Akbar: "Ini bisa jadi peluang untuk mengubah segalanya."

Dengan pikiran yang penuh harapan, dia bertekad untuk tidak hanya menjalani kehidupan ini, tetapi juga memperjuangkan nilai-nilai yang selama ini dia pegang. Akbar ingin menjadi pribadi yang lebih baik, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekelilingnya.

Dia merasakan dorongan kuat untuk belajar, berkembang, dan mengeksplorasi dunia baru ini. Dengan semangat yang baru, Akbar siap menghadapi tantangan di depan dan menemukan jalan menuju kehidupan yang lebih berarti.

Akbar, kini mengisi peran sebagai Niko Trioka Adiguna, anak kedua dalam keluarga yang kaya dan berpengaruh.

Dengan penampilan yang menarik, dia memiliki aura percaya diri dan pesona yang membuatnya mudah bergaul. Wajahnya tampak cerdas, dengan mata yang selalu bersinar penuh rasa ingin tahu.

Sebagai seorang remaja berusia sekitar 15 tahun, Niko adalah sosok yang cerdas, suka berpetualang, dan juga memiliki sisi nakal.

Dia sering terlihat mengenakan pakaian kasual yang trendi, mencerminkan gaya hidup aktifnya, tetapi juga suka berpesta dan terlibat dalam berbagai kegiatan yang menggoda.

Meskipun bersekolah di SMA elit Jakarta, Niko tidak asing dengan kehidupan malam dan kesenangan yang berlebihan. Terkadang, sifat bajingan ini membuatnya terlibat dalam masalah, terutama ketika dia mengabaikan tanggung jawabnya demi kesenangan sesaat.

Dia memang suka tantangan, tetapi Niko juga sering membuat pilihan yang salah, seperti menghabiskan waktu dengan teman-teman yang tidak selalu membawa pengaruh positif.

Meski demikian, Niko tetap memiliki sisi lembut yang mencintai keluarganya, selalu siap membantu dan menjaga adik-adiknya.

Dengan latar belakang keluarga yang glamor, Niko merasakan tekanan untuk memenuhi harapan orangtuanya, tetapi dia berusaha untuk tetap menjadi dirinya sendiri, mengejar mimpi dan passion-nya, meskipun sering kali ia terjebak dalam perilaku yang kurang baik.

Akbar, dalam peran Niko, kini bertekad untuk mengubah nasib, sambil menjaga nilai-nilai yang dia pegang erat.

Tiba-tiba, suara teriakan memecah keheningan pagi.

Maya: "Nikooooooo! Ayo cepat mandi, nanti kamu terlambat sekolah!"

Akbar, yang kini berperan sebagai Niko, terkejut sejenak. Dia membuka pintu dan melihat ibunya, Maya Cinta, berdiri di depan dengan ekspresi penuh perhatian.

Niko: "Iya, Mah! Sebentar lagi!"

Maya tersenyum, tapi ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Niko merasa campur aduk—di satu sisi, dia senang memiliki ibu yang peduli, di sisi lain, dia merasa tertekan dengan ekspektasi yang harus dipenuhi.

Akbar: (dalam hati) Oke, ini saatnya menjalani peran ini dengan baik.

Dia melangkah ke kamar mandi, mencoba menenangkan diri sambil berpikir tentang semua tanggung jawab yang akan dia hadapi sebagai Niko. Dengan cepat, dia berusaha meresapi semua informasi dan sifat Niko yang harus dia jalani.

Setelah mengingatkan Niko, Maya melanjutkan dengan nada sedikit tegas.

Maya: "Niko, kamu jangan membuat ayahmu marah lagi. Ayo cepat mandi dan bergegas!

Mang Toing sudah menunggu kamu dari tadi."

Akbar merasa sedikit tertekan mendengar nama Mang Toing. Dia tahu itu berarti dia harus bersiap-siap lebih cepat.

Niko: "Iya, Mamah! Aku akan cepat!"

Saat Niko masuk ke kamar mandi, dia merenungkan kata-kata mamahnya. Dia tidak ingin mengecewakan ayahnya, Bastian, tetapi di sisi lain, dia merasa bebas untuk menjalani hidupnya sendiri.

Akbar: (dalam hati) Ini saatnya aku memperbaiki kesalahan. Aku tidak bisa terus-terusan jadi bajingan, terutama jika itu membuat keluargaku kecewa.

Dengan semangat baru, Niko segera mandi, berusaha untuk bersiap-siap secepat mungkin. Dia ingin menunjukkan kepada keluarganya bahwa dia bisa bertanggung jawab, meskipun sifat nakalnya kadang menguasai.

Saat Niko tengah mandi, suara Maya terdengar dari luar pintu kamar mandi.

Maya: "Niko! Kamu sekarang akan diantar-jemput oleh Mang Toing setiap ke sekolah. Jika kamu membawa mobil, pasti kamu akan bolos lagi, dan Ayah akan marah sama kamu!"

Akbar mendengar kata-kata itu dan merasakan sedikit frustrasi. Dia mencoba bermain peran sebagai Niko, dengan nada suara yang kurang sabar.

Niko: "Apa sih, Mah? Kenapa harus dengan Mang Toing? Aku bisa pergi sendirian, tidak perlu diantar-jemput seperti anak bocah saja!"

Maya menghela napas dari luar. Dia tahu betapa keras kepalanya Niko, tetapi dia hanya ingin melindungi anaknya.

Maya: "Niko, ini demi kebaikanmu. Ayah hanya ingin kamu fokus belajar dan tidak terlibat masalah lagi."

Akbar menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar mandi, merenungkan kata-kata mamahnya.

Dalam hati, dia merasakan sedikit rasa bersalah. Dia tahu Niko harus berubah, tetapi ego remajanya membuatnya ingin merasakan kebebasan.

Akbar: (dalam hati) Aku harus bisa memainkan peran ini dengan baik, tapi tetap menjadi diriku sendiri.

Maya mendengar nada protes Niko dan menjawab dengan lembut namun tegas.

Maya: "Niko, mamah pusing. Pekerjaan mamah banyak. Kamu sudah besar, seharusnya mengerti."

Akbar merasa sedikit tersentuh oleh suara mamahnya yang penuh beban. Dia tahu bahwa kehidupan glamor keluarga Trioka Adiguna tidak sepenuhnya mudah. Dia mengatur ulang pikirannya, mencoba melihat dari sudut pandang mamahnya.

Niko: "Iya, Mamah. Maaf, aku hanya... merasa tidak nyaman diantar seperti ini."

Maya: "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Kita semua punya tanggung jawab. Tolong hargai usaha mamah dan ayah."

Akbar mengangguk meski mamahnya tidak bisa melihatnya. Dia menyadari bahwa perannya sebagai Niko tidak hanya tentang kesenangan dan kebebasan, tetapi juga tentang menghargai keluarga.

Akbar: (dalam hati) Baiklah, aku akan mencoba mengerti dan beradaptasi. Ini adalah kehidupan baru yang harus kuterima.

Setelah Niko selesai mandi, dia keluar dari kamar mandi dengan tubuh berbalut handuk yang masih basah. Maya berdiri di sana, siap menunggu.

Maya: "Ayo, sayang."

Maya mencium pipi Niko lembut, senyumnya hangat.

Maya: "Mamah sudah menyiapkan pakaianmu. Cepat ganti, ya. Kamu sudah terlambat."

Akbar merasa sedikit canggung, tetapi juga merasa dimanjakan, terutama karena Niko adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga. Dia melihat pakaian yang rapi sudah siap di atas tempat tidur.

Niko: "Iya, Mamah."

Maya pergi, membiarkan Niko berganti pakaian. Dengan cepat, dia mengenakan seragamnya dan berusaha memikirkan semua yang akan terjadi hari ini. Dia tahu Mamanya sangat memperhatikannya, dan itu memberi sedikit rasa nyaman di tengah tekanan yang dirasakannya.

Akbar berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolah Elite yang membuatnya tampak lebih tampan. Celana cream dengan efek kasual yang rapi dan kemeja biru langit yang bersih berpadu sempurna, memberikan kesan elegant dan ceria.

Di balik raut wajahnya yang tampan, terdapat campuran kebingungan dan ketegangan. Dia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tubuh Niko kini miliknya, tetapi jiwa Niko tidak ada lagi.

Akbar: (dalam hati) Gua cocok juga pakai baju beginian ternyata... tapi ini bukan hidup gua. Apa yang harus gua lakukan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!