Rafael menutup buku pelajarannya setelah lebih dari dua jam mengerjakan PR dan belajar. Tubuhnya terasa letih. Dia segera melangkah menuju tempat tidur single bed-nya dan merebahkan diri. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar, tenggelam dalam lamunan. Samar-samar terdengar suara mesin mobil yang berderu, menandakan kepulangan papanya. Rafael segera bangkit dari tempat tidur, wajahnya terlihat antusias. “Papa?” gumamnya sambil bergegas keluar dari kamar, kemudian berlari menuruni tangga untuk menyambut kepulangan papanya yang sudah beberapa hari tidak pulang karena urusan pekerjaan.
Rafael tiba di lantai bawah bersamaan dengan Adrian—papanya—yang baru saja membuka pintu depan. Rafael langsung menghampiri. “Akhirnya papa pulang,” sapanya. Namun, Adrian hanya mengangguk tanpa menatap Rafael, membuatnya kecewa. Respons papa terasa dingin, seolah kehadirannya tak terlalu dihiraukan. Adrian berjalan dengan wajah letih, meletakkan tas kerjanya di kursi. Rafael mendekat, masih berharap papanya lebih memperhatikannya.
“Papa masih inget besok hari apa?” tanya Rafael, penuh harap.
“Ulang tahun kamu, kan?” jawab Adrian.
Rafael tersenyum dan mengangguk, berharap ada kejutan dari papanya. “Nanti papa transfer, kamu beli aja apa yang kamu suka,” kata Adrian sambil berjalan menuju tangga.
Rafael merasa campur aduk. Senang karena papanya pulang, tetapi kecewa karena tidak mendapat perhatian seperti yang diharapkan. Meski begitu, dia tetap berusaha menutupi perasaannya. “Makasih, Pa,” ucapnya dengan senyum tipis, menahan kekecewaan.
“Pa, tunggu,” panggil Rafael.
Adrian menoleh. “Kenapa?”
“Aku belum makan malam. Papa lapar gak? Gimana kalau kita makan di luar?” Rafael mencoba lagi.
“Papa capek, mau langsung istirahat. Kamu makan di luar sendiri aja,” jawab Adrian, membuat Rafael semakin kecewa.
Adrian meraih dompet, mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu, lalu memberikannya pada Rafael.
“Gak usah, Pa. Uang bulan lalu dari papa aja masih ada,” sahut Rafael lesu. “Aku gak minta uang, aku cuma pengen waktu papa. Kenapa sekarang papa sibuk banget?” tanyanya, mulai terdengar frustrasi.
“Papa memang sibuk,” jawab Adrian datar.
Rafael menghela napas dalam-dalam, menekan perasaan kecewanya. “Di hari ulang tahun aku besok, aku pengen ajak papa ziarah ke makam mama,” ucap Rafael pelan. “Kita udah lama gak ziarah bareng. Emang papa gak kangen sama mama?”
Adrian terdiam sejenak, kesedihan tersirat di matanya. Rafael yakin papanya masih merindukan mamanya.
“Besok jadwal papa padat di rumah sakit, jadi mungkin gak sempat,” sahut Adrian, setelah beberapa lama terdiam.
Rafael merasa semakin terpukul. “Papa kenapa sih?” protesnya. “Aku ngerasa papa berubah setelah mama gak ada. Papa jadi dingin banget sama aku.”
“Kamu ngomong apa sih? Kamu kan udah SMA, jangan kayak anak kecil,” kata Adrian dengan suara sedikit meninggi.
“16 tahun memang bukan anak kecil, tapi bukan berarti aku bisa terus-terusan ditinggal sendiri,” balas Rafael penuh kekecewaan. “Papa bahkan gak pernah ambil raporku ke sekolah.”
Adrian tercekat, lalu terdiam beberapa saat. Dia menyadari kesalahannya, sering kali tenggelam dalam pekerjaan.
“Maafin papa, next time papa pasti akan datang,” katanya.
“Next time? Emang ada next time?” Rafael tersenyum getir, merasa janji itu sudah terlalu sering diucapkan tanpa bukti.
Dengan kesal, Rafael meraih kunci motornya di atas meja. “Mau kemana?” tanya Adrian, cemas.
“Cari makan. Tadi papa suruh aku makan di luar sendiri, kan?” jawab Rafael tanpa menoleh.
Adrian menatap kepergian Rafael dengan perasaan campur aduk. Dia mengurungkan niat untuk naik ke kamar, lalu duduk di sofa ruang tamu, meremas rambutnya, merasa frustrasi menyadari hubungan mereka semakin renggang.
***
Rafael melajukan motornya tanpa arah. Selama beberapa waktu, dia hanya memacu kendaraan tanpa tujuan. Rasa lapar yang semula ada menguap bersama emosinya setelah berdebat dengan papa.
Perasaannya campur aduk: kesal, marah, sedih, dan kecewa dengan sikap papa yang seolah tak mengharapkannya. Padahal, selama ini Rafael selalu berusaha menjadi anak yang baik. Nilainya cukup bagus meskipun tidak pernah menjadi juara kelas. Dia juga tidak pernah membuat masalah di sekolah. Namun, entah mengapa, papa selalu bersikap dingin padanya.
Di tengah hiruk-pikuk jalanan kota Batu, Rafael merasa seolah ada beban berat di pundaknya. Dia berharap bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggu pikirannya, terutama tentang hubungan dirinya dengan papa.
Dia menarik gas motornya, melaju makin cepat, menjauh dari rumah. Udara dingin kota Batu menusuk kulit, tapi Rafael tidak peduli.
Tiba-tiba, mesin motornya mati. Rafael menoleh ke speedometer dan baru sadar kalau bensinnya habis.
“Yah, habis lagi...” gumamnya, bingung, terlebih saat menyadari dia berada di tempat sepi, jauh dari keramaian.
Rafael mengedarkan pandangan, tidak ada warung atau pemukiman terdekat. “Gawat, kalau beneran habis di tempat kayak gini...” pikirnya, sedikit bergidik saat angin malam berhembus.
Dia meraih ponsel, berpikir untuk menelepon papa. Namun, keraguan muncul. Apa papa bakal peduli?
Setelah menepis keraguan itu, Rafael menekan tombol panggilan. Panggilan terangkat. “Halo,” terdengar suara Adrian.
Rafael merasa lega. “Pa, bisa minta tolong—” tut... tut... Sambungan terputus.
Rafael terdiam, kaget. Panggilan itu tiba-tiba terputus. Untuk beberapa saat, dia hanya menatap layar ponselnya dengan kecewa. Seharusnya tadi dia tidak meminta bantuan papa. Pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi benaknya. “Apa papa sengaja memutuskan panggilan?” batinnya, dilanda perasaan tak karuan. Rafael mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin sinyal yang bermasalah. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia merasa papanya memang malas menanggapi.
Selama ini, setiap kali Rafael membutuhkan sesuatu, selalu ada alasan bagi papa untuk menjauh atau bersikap acuh. Panggilan yang terputus itu seperti simbol dinginnya hubungan mereka. Seharusnya, saat anaknya butuh pertolongan, papa langsung bereaksi cepat, tapi kali ini sama saja—hanya satu lagi bentuk kekecewaan yang harus diterima Rafael. Dia mengepalkan tangan, merasakan rasa sakit yang semakin dalam. Di saat genting seperti ini, dia berharap papanya akan menaruh perhatian, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Rafael merasakan kesedihan yang makin menumpuk. “Kenapa papa selalu seperti ini?” tanyanya dalam hati, merasakan jarak yang tak kunjung terjembatani antara dirinya dan papanya.
Saat masih diliputi rasa kesal, Rafael mendengar suara aneh—langkah yang diseret, samar-samar terdengar dari arah semak-semak. Degup jantungnya semakin cepat, udara malam terasa makin mencekam. Dia menoleh, melihat sesuatu bergerak di antara kegelapan dedaunan. Hawa dingin menyeruak di sekitarnya, menambah kecemasan yang sudah sejak tadi menghantuinya. “Apa itu?” pikirnya, ketakutan mulai merayap. Apakah itu binatang buas? Atau... sesuatu yang lebih menakutkan?
Tangan Rafael bergetar hebat saat meraih ponsel. Dengan jari yang hampir tidak bisa dikendalikan, dia menyalakan senter. Cahaya dari layar ponselnya terasa begitu rapuh, seakan tak mampu menembus pekatnya malam yang membungkus tempat itu. Sinar terang menyapu semak-semak yang bergoyang perlahan, seakan menyembunyikan sesuatu. Nafas Rafael tercekat. Dari balik kegelapan, sosok itu muncul—seorang lelaki berambut keriting panjang, namun ada yang aneh. Sangat aneh.
Penampilannya begitu kacau, wajahnya hampir seperti bukan manusia lagi. Mata cekungnya tampak menyeramkan dengan lingkar hitam pekat, kulitnya pucat seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Rafael merasa bulu kuduknya berdiri. Jantungnya berdebar semakin kencang, dan perasaan mencekam menyelimuti pikirannya. “Itu bukan manusia!” pikirnya, rasa takut yang tak terlukiskan menelan seluruh keberaniannya.
Sosok itu bergerak mendekat, langkah kakinya berat, menyeret di atas tanah, seakan berasal dari dunia yang bukan miliknya. Rafael terpaku. Tubuhnya tak lagi bisa digerakkan, seperti akar ketakutan telah mencengkeramnya kuat-kuat. Suara napas sosok itu terdengar seperti erangan pelan, lebih menyerupai desah kematian. Rafael tidak berani berkedip, bahkan tidak bisa bernapas normal. Dia tahu, dalam benaknya, makhluk ini bukan lagi manusia.
Dalam kepanikan, Rafael mencoba mundur, tapi tubuhnya mulai goyah. Kakinya tersandung batu besar yang tidak terlihat di bawah cahaya redup. Dalam satu gerakan cepat, dia terjungkal ke belakang. Pandangannya berputar, dan sebelum sempat memahami apa yang terjadi, kepalanya membentur tanah dengan keras.
Rasa sakit tajam langsung menjalar di belakang kepalanya. Rafael masih bisa melihat sosok menyeramkan itu mendekat, namun tubuhnya sudah tak bisa merespons lagi. Pandangannya semakin kabur, dan akhirnya segalanya menghilang dalam kegelapan total.
Suara burung-burung yang berkicau dan sinar matahari yang hangat membangunkan Rafael dari pingsannya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia merasakan dinginnya lantai semen di bawah tubuhnya. Perlahan, dia membuka mata, menatap sekeliling dengan pandangan yang masih kabur.
Dia berada di sebuah pos ronda kecil, bangunan sederhana yang dipenuhi coretan dinding dan beberapa kursi kayu yang sudah usang. Rafael mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi kepalanya berdenyut hebat, mengacaukan pikirannya. “Aku… jatuh... kepala ini... trotoar...” Ingatannya mulai kembali, tapi semua terasa seperti kabut tipis yang membingungkan.
Saat dia mencoba duduk, tubuhnya terasa berat. Di tengah usahanya bangkit, tiba-tiba sebuah suara berat menyapanya.
“Huahhh!” Rafael tersentak, matanya melebar saat melihat sosok pria berambut keriting panjang yang berdiri di sudut pos ronda. Wajah pria itu masih sama seperti yang dia lihat semalam—penampilan yang lusuh dan menyeramkan. Rafael terlonjak ke belakang, tubuhnya menggigil ketakutan. “Siapa kamu?!” jerit Rafael spontan.
Pria itu langsung mengangkat tangannya, mencoba memberi isyarat untuk menenangkan. “Maaf, maaf kalau penampilan saya bikin kamu takut,” katanya dengan nada rendah. “Saya bukan orang jahat. Nama saya Harun.”
Rafael masih mengamati pria itu dengan waspada. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, dan meskipun Harun tidak bergerak mendekat, perasaan takut itu tetap menguasai Rafael. “Apa yang terjadi?” pikirnya. Mengapa dia bisa berada di sini? Apa pria ini yang menyeretnya ke tempat ini?
Dia mencoba bangkit dari lantai, tetapi seketika rasa sakit yang berdenyut di kepalanya menyerang lagi. Rafael mendesah pelan, menahan sakitnya sambil memegangi kepalanya. Melihat itu, Harun segera bicara lagi, suaranya tetap tenang. “Jangan maksain diri. Kamu pingsan semalam, kepalamu terbentur cukup keras. Saya cuma menolong kamu. Biarin dulu tubuh kamu istirahat.”
Mendengar itu, Rafael semakin bingung. Pria ini... menolongnya? Tapi kenapa? Dan kenapa dia terlihat begitu aneh? “Jangan sentuh aku!” Rafael tiba-tiba menghempaskan tangan Harun yang mencoba membantunya. Tubuhnya bergeser mundur dengan rasa takut yang masih mencengkram. Dia tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi, tapi instingnya memerintahkan untuk tetap waspada.
“Tenang,” ujar Harun, mencoba menjaga jarak agar Rafael merasa aman. “Saya cuma bawa kamu ke sini supaya kamu nggak tidur di tengah jalan. Saya lihat kamu jatuh dari motor, terus... ya, kamu pingsan.”
Rafael merasakan perutnya bergejolak antara syok dan ketidakpercayaan. “Kenapa kamu...?” tanyanya dengan suara serak, masih tidak yakin apakah dia harus mempercayai Harun. Pandangannya menyapu pria itu lagi, mengingat betapa menakutkannya saat pertama kali melihatnya di antara semak-semak.
Harun menghela napas, wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda marah meski Rafael bersikap defensif. “Saya ngerti kenapa kamu takut. Penampilan saya memang sering bikin orang salah paham. Tapi saya bukan orang jahat. Saya cuma nggak terlalu suka tampil di depan banyak orang.”
Rafael masih terdiam, mencoba mencerna semua yang dikatakan pria di depannya. Kepalanya masih terasa berat, dan perasaan was-was masih belum sepenuhnya hilang. Harun tetap di tempatnya, tidak mendekat, hanya menunggu Rafael untuk sedikit tenang.
Meskipun takut, Rafael mulai berpikir logis. Kalau memang pria ini berniat buruk, dia mungkin tidak akan bangun di tempat seperti pos ronda. Dan rasa sakit di kepalanya… sepertinya memang nyata.
“Jadi, kamu beneran nolong aku?” tanya Rafael dengan nada yang lebih lembut, namun masih penuh kecurigaan.
Harun mengangguk perlahan. “Iya, dan kamu beruntung karena masih hidup setelah jatuh keras gitu.”
Rafael meraba bagian belakang kepalanya, merasa benjolan yang mulai tumbuh di sana. “Terima kasih, tapi... kenapa kamu nolong aku?”
Harun menatap Rafael dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Karena saya tahu kamu akan butuh bantuan... lebih dari sekadar pulih dari benturan itu.”
Ucapan Harun yang terakhir itu membuat Rafael kembali tegang. Apa maksudnya?
Rafael masih menatap Harun dengan bingung, pertanyaan-pertanyaan berputar di kepalanya tanpa henti. Tapi sebelum dia bisa mencerna lebih jauh, suara keras tiba-tiba memecah keheningan.
“Nak! Sedang apa kamu duduk di sana?! Dia itu orang gila!” teriak seorang pria yang lewat di depan pos ronda, menunjuk ke arah Harun dengan raut wajah yang khawatir. “Cepat pergi sebelum kamu diapa-apain!”
Rafael tersentak, tubuhnya menegang mendengar peringatan itu. Matanya langsung menoleh ke Harun yang masih berdiri di depannya. Napasnya semakin cepat. Orang gila? pikir Rafael, tiba-tiba merasa lebih terancam dari sebelumnya.
“Saya bukan orang gila!” Harun berkata tegas, suaranya sedikit bergetar, mencoba menjelaskan situasinya. “Saya hanya ingin menolong kamu.”
Namun, pria yang lewat tampak semakin panik dan terus berteriak. “Cepat lari! Jangan dengarkan dia! Bahaya!”
Rafael menelan ludah, hatinya mulai dipenuhi ketakutan yang lebih besar. Orang lewat itu sepertinya lebih bisa dipercaya daripada pria asing berambut keriting ini. Tanpa berpikir panjang, Rafael memutuskan untuk mematuhi naluri bertahannya. Dia bangkit dengan cepat, meski kepalanya masih berdenyut, dan langsung berlari keluar dari pos ronda.
Harun mengangkat tangan, mencoba mencegah Rafael lari. “Tunggu! Kamu bisa pingsan lagi kalau terlalu banyak bergerak!” teriaknya dengan suara cemas.
Namun Rafael tidak mendengar atau mungkin tidak peduli. Dia terus berlari menuju tempat di mana motornya tergeletak di pinggir jalan. Saat menemukannya, dia mendesah putus asa. “Sial, bensinnya habis!” pikirnya. Tak ada waktu untuk panik lebih lama, dia langsung mendorong motornya, mencoba mencari penjual bensin terdekat.
Di belakangnya, Harun tidak tinggal diam. Pria itu mulai mengejar Rafael, langkah kakinya cepat. “Nak! Jangan lari, dengar dulu! Kamu bisa pingsan lagi!” Harun berteriak, mencoba meyakinkan Rafael, tapi bagi Rafael, itu hanya membuat segalanya semakin buruk. Suara Harun terdengar seperti ancaman yang semakin mendekat.
Rafael makin ketakutan. Jantungnya berdegup kencang, seakan mau keluar dari dadanya. “Orang gila itu ngejar aku!” pikir Rafael panik. Tangan dinginnya mulai berkeringat, semakin erat menggenggam stang motornya. Harun terus mendekat, semakin cepat berlari. Tak butuh waktu lama, pria itu berhasil meraih bagian belakang motornya.
“Jangan lari!” Harun mencoba menarik motor Rafael agar berhenti.
Kaget dan terdesak, Rafael kehilangan keseimbangan. Motornya terguling ke samping dengan bunyi dentuman keras, membuat Rafael tersentak mundur. Dia tidak bisa berpikir lagi. Dalam kepanikannya, Rafael langsung berlari meninggalkan motornya yang jatuh, menuju pekarangan luas di dekat situ, tanpa melihat ke belakang. Kakinya bergerak dengan cepat meski kepala masih terasa berputar.
Sementara itu, Harun berdiri terpaku di tempat motornya terguling, menatap punggung Rafael yang semakin jauh dengan napas berat. Harun tahu, jika Rafael terus lari tanpa mendengarkannya, bahaya yang lebih besar sedang menanti.
Rafael memutuskan untuk bersembunyi. Suara Harun yang terus memanggil, “Nak? Di mana kamu?” membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Sambil menahan napas, dia berjongkok di balik pohon besar yang ada di pekarangan luas itu.
Pohon tersebut menjulang tinggi dengan batang yang sebesar pelukan lima orang dewasa, kulitnya kasar dan berlumut. Cabang-cabang pohon menjulur ke segala arah, menutupi pandangan ke langit yang mulai cerah oleh sinar pagi. Hawa di sekitar pohon terasa lembap dan dingin, seperti ada sesuatu yang sudah lama berdiam di sini. Daun-daunnya yang lebat bergoyang pelan ditiup angin, membuat bayangan gelap yang terus bergerak di tanah sekitarnya. Sekilas, tempat itu terasa lebih mirip hutan dibanding pekarangan biasa—sederet pohon besar menjulang tinggi, membentuk kanopi yang seakan menelan sinar matahari.
Di bawah pohon itu, Rafael mencoba menenangkan dirinya. Dia menggigil, bukan hanya karena udara dingin yang membelai kulitnya, tetapi juga karena ketakutan yang masih menghantui pikirannya. “Apa yang sebenarnya diinginkan pria itu?” pikirnya, masih meragukan niat Harun yang terus memanggil namanya dengan suara berat dan mendesak.
Suara Harun semakin terdengar samar-samar, namun Rafael tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya. Pandangannya menyapu tanah yang beralaskan dedaunan kering dan akar-akar pohon yang menjalar liar, membuat tempat itu semakin terasa angker. Saat Rafael menggeser kakinya, tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang keras di bawahnya.
Dengan rasa penasaran yang mulai menggantikan ketakutannya, Rafael memperhatikan benda yang agak terkubur di tanah. Sebuah benda asing, dengan sedikit bagian menonjol dari tanah yang lembap. Rafael meraih benda itu, membersihkan sedikit tanah yang menutupinya dengan jari-jarinya.
Saat akhirnya dia mengeluarkan benda itu sepenuhnya, Rafael terdiam.
Di tangannya, dia memegang sebuah topeng. Topeng yang terlihat seram sekaligus misterius. Warnanya abu-abu kusam, seperti sudah termakan usia. Ukirannya sangat detail dengan bentuk wajah yang tidak lazim—matanya besar dengan celah yang gelap, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang aneh, tapi ada sesuatu yang membuat Rafael tertarik pada senyum itu. Ada kesan ganjil, namun juga seolah menyimpan rahasia yang belum terungkap.
Topeng itu tampak seolah berasal dari zaman kuno, tetapi ada elemen yang begitu hidup, seakan-akan siap bergerak kapan saja. Pola-pola yang diukir di sekelilingnya terlihat rumit dan misterius, seperti simbol-simbol asing yang menantang Rafael untuk memahaminya. Entah kenapa, meski tampak menyeramkan, topeng ini juga memiliki daya tarik yang kuat. Rafael merasa ada sesuatu yang memanggilnya dari balik ukiran-ukiran tersebut, sesuatu yang membuatnya ingin menyentuh dan memahami lebih dalam.
Rafael terdiam sejenak, memandangi topeng itu dengan tatapan terhipnotis. Ada sesuatu yang menggelitik rasa penasarannya. Dia tahu seharusnya dia tidak mengambil benda seperti ini, apalagi dari tempat yang begitu sunyi dan menakutkan. Tapi, entah kenapa, perasaan aneh mulai muncul di hatinya. Keinginan untuk membawa topeng itu semakin besar.
“Apa ini?” gumam Rafael, tak bisa melepaskan pandangan dari detail topeng yang aneh namun menawan. Tangan Rafael perlahan menyentuh permukaan topeng, merasakan dinginnya benda itu di kulitnya, seolah-olah ada kekuatan asing yang mengalir darinya, merambat hingga ke ujung jemarinya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan topeng itu—meski rasanya janggal dan menakutkan, entah mengapa, Rafael tidak bisa melepaskannya.
Setelah beberapa saat, suara Harun tidak terdengar lagi. Rafael mengangkat kepalanya dan mendengarkan dengan seksama. Sepi. Dia menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Perlahan, dia berdiri, topeng masih digenggam erat di tangan. Rafael melangkah keluar dari balik pohon besar itu, memastikan bahwa Harun tidak ada di sekitar. Setelah memastikan aman, dia segera bergegas menuju motornya.
Setelah beberapa kilometer berjalan sambil menuntun motornya, dengan tubuh yang semakin letih dan kepala masih sedikit berdenyut, Rafael akhirnya menemukan penjual bensin eceran di pinggir jalan dan akhirnya bisa kembali pulang.
Sesampainya di rumah, kelegaan yang dia rasakan seketika hancur saat pintu terbuka dan Adrian, ayahnya, berdiri di sana dengan wajah merah padam.
“Kamu ke mana saja semalaman, Rafael?!” suara Adrian membentak, langsung menghantam telinga Rafael.
“Aku bisa jelasin, Pa—”
“Jelasin apa?! Kamu tahu gak, kamu itu bikin orang tua khawatir! Pulang pagi-pagi kayak gini, motor lecet, kamu pikir ini mainan?!” Adrian menyela dengan marah, bahkan tidak memberi kesempatan Rafael berbicara.
“Tapi Pa, aku—”
“Tidak ada tapi-tapian! Kamu selalu bikin masalah! Kamu itu gak pernah pikir panjang, cuma bisa bikin masalah!” Adrian terus menyudutkan Rafael tanpa memberi jeda. Wajahnya semakin memerah karena amarah, sementara Rafael semakin terpojok. Setiap kali dia mencoba bicara, Adrian kembali menyela dengan lebih keras, menyalahkan Rafael tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Rafael menggertakkan giginya, berusaha menahan gejolak emosi yang semakin menumpuk di dadanya. “Kenapa Papa gak nanya aku kenapa? Kenapa aku bisa gak pulang?” seru Rafael, suaranya pecah, amarah dan kekecewaan melebur menjadi satu. “Aku emang gak ada benernya di mata Papa, kan?”
Adrian terdiam sejenak, tapi bukan karena sadar. Dia malah makin marah. “Karena kamu memang salah! Kamu gak pernah dengerin Papa! Papa tegur karena kamu salah!”
Telinga Rafael berdenyut, mendengar kalimat yang sama berulang-ulang. “Terus apa Papa kira Papa gak salah?” Rafael membalas dengan suara gemetar. “Semalam aku telepon Papa! Tapi Papa gak peduli, kan? Semalam aku gak pulang karena aku pingsan di jalan!” seru Rafael dengan mata yang mulai memerah, matanya menatap tajam ke arah Adrian. “Emang Papa peduli?”
Deg! Kata-kata Rafael memukul Adrian tepat di hatinya. Adrian tercekat, kemarahannya seketika memudar, tergantikan oleh rasa bersalah yang muncul begitu cepat. Pingsan? pikir Adrian.
“Apa yang terjadi?” tanya Adrian, suaranya melembut, tapi kini terlambat. Rafael sudah terlanjur kecewa. Rasa sakit yang selama ini dia pendam akhirnya meluap.
“Gak usah sok peduli!” balas Rafael dengan nada pahit. Dia memalingkan wajah, tidak mau melihat Adrian lagi. Tanpa menunggu reaksi dari ayahnya, Rafael berjalan masuk ke kamarnya, pintu tertutup dengan keras di belakangnya.
Adrian hanya berdiri di sana, terdiam. Hatinya terasa berat, seakan-akan sesuatu yang berharga baru saja hilang dalam sekejap.
Adrian masih terdiam di ruang tamu, merasa terpukul oleh kata-kata Rafael. Pikirannya melayang, mencoba memahami bagaimana situasi bisa berubah begitu cepat dari kemarahan menjadi penyesalan yang mendalam. Dia menghela napas panjang, menundukkan kepala sambil memijat pelipisnya.
Saat itulah Minah, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah mereka, mendekat dengan raut wajah prihatin. Minah tampaknya sudah mendengar sebagian besar pertengkaran sebelumnya. Dengan hati-hati, dia bicara, “Pak, maaf saya ngomong begini, tapi semalam kan hp bapak tiba-tiba rusak? Mungkin Rafael gak tahu itu, bukan karena bapak gak peduli.”
Adrian menoleh ke arah Minah, tatapannya kosong sejenak. Ia tahu ponselnya memang mati semalam, layar tiba-tiba tidak merespons, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa Rafael merasa diabaikan. “Ya, Bik... ponsel saya memang rusak. Tapi sekarang saya jelasin pun, mungkin Rafael gak mau dengar,” jawab Adrian dengan suara rendah. Ada kepahitan yang jelas dalam nada bicaranya.
Minah berdiri di dekatnya, mencoba memberikan sedikit kenyamanan. “Tapi, pak, kan lebih baik Rafael tahu yang sebenarnya.”
Adrian menggeleng pelan. “Bukan soal itu, Bik. Saya salah sejak awal. Sejak dia pulang, saya langsung marah-marah tanpa kasih dia kesempatan buat ngomong. Saya terlalu terbawa emosi... lagi-lagi.”
Dia mendesah berat. Setiap kali dia melihat Rafael, rasa bersalah dan kemarahan bercampur menjadi satu. Rafael selalu mengingatkannya pada mendiang istrinya, yang tidak bisa dia selamatkan. Dan setiap kali dia menghadapi putranya, Adrian selalu merasa gagal sebagai seorang ayah.
“Kalau saya jelasin sekarang pun, mungkin nggak akan mengubah apa-apa,” lanjut Adrian. “Dia udah terlanjur kecewa sama saya.”
Minah terdiam sejenak, menatap Adrian dengan rasa prihatin yang mendalam. “Bapak harus tetap coba, Pak. Rafael butuh tahu bapak sayang sama dia, walaupun bapak gak selalu tunjukin.”
Adrian menatap ke arah kamar Rafael yang tertutup rapat, hatinya terasa berat. Dia tahu Minah benar, tapi rasa bersalah itu terus menggerogotinya. Bagaimana jika penjelasannya tidak cukup? Bagaimana jika Rafael sudah terlalu jauh terluka?
Adrian hanya bisa menghela napas panjang lagi, merasa terjebak dalam kesalahan yang sudah lama tak bisa dia perbaiki.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!