Bagi Radith menangis adalah hal yang sangat memalukan bila dilakukan di depan orang lain. Tapi sekarang dirinya di dalam taksi bersama supir yang tidak dikenalnya, ia tidak bisa mengendalikan air matanya.
Sial. Ternyata sakit rasanya. Sakit yang ia rasakan itu super dobel. Sakit karena kehilangan dikhianati Malaya, sakit karena dikhianati Bima, sahabatnya dari SD dan paling sakit adalah ia diusir papanya dari rumahnya sendiri. Sama sekali tak pernah menyangka ia akan pergi dari rumahnya.
“Mas, kita mau ke mana ini?” tanya supir taksi dengan hati-hati, mencari waktu yang pas di sela-sela tangisannya untuk menanyakan tujuannya setelah sekian lama mereka hanya berputar-putar tanpa tujuan saja.
“Jalan Langlangbuana, no 148,” kata Radith menyebutkan satu-satunya alamat yang terpikirkan oleh otaknya. Di jalan itu ada sungai yang airnya mengalir deras. Ia rasa tempat itu bisa dijadikan untuk aku menenangkan diri sejenak ataupun selamanya. Kemudian, ia kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri.
***
Angin berhembus kencang meniupkan setiap helai rambutnya. Di depan, ada sungai hampir tak terlihat dasarnya. Sungai itu membentang luas dan memberikan godaan bagi Radith untuk menyelaminya. Satu sisi hatinya berusaha keras untuk menepis godaan itu tapi di sisi lain berkata, “Sudahlah, lakukan saja! Toh tak ada lagi yang menginginkanmu di dunia ini.”
Hidupnya sekarang sudah tak ada artinya lagi. Rumah tak punya, uang apalagi, satu-satunya jalan kebahagiaan adalah menyusul mama pergi ke surga.
Radith mulai melangkah maju, degupan jantung mengencang seiring perdebatan dalam otaknya. Ia mungkin tidak pantas hidup tapi ia tetap mengharapkan ada tangan menariknya kembali.
Kini ia telah di bibir sungai. Ia memejamkan mata, mulutnya mulai menghitung aba-aba. Dalam hitungan ketiga ia harus sudah terseret arus sungai. Berharap ketika ia membuka mata kembali aku telah di surga bersama mama kandungnya.
1…2…3
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika ia hendak menceburkan diri ke sungai, ia merasakan ada sebuah tangan yang menahan lengan kirinya. Ia mengurungkan niat sesaat. Dan ia coba menoleh ke belakang. Telah berdiri tegak seorang cowok yang sangat dikenalinya.
“Ngapain lo ke sini?”
“Tadi gue ke rumah bokap lo, kata tante Citra lo dah pergi. Gue disuruh Tante Citra untuk nyari lo. Alhamdulillah, gue berhasil nemuin lo di bibir sungai. Mau ngapain di sini? Mau bunuh diri?” Seorang pria yang di depan Radith ini menatapnya dengan tatapan mengejek. “Banci, banget sih lo baru masalah gini aja mau bunuh diri. Lo pikir bunuh diri bisa menyelesaikan masalah? Nggak! Yang ada lo malah nambah masalah ntar di akhirat. Lo udah bawa bekal yang banyak buat di akhirat kelak? Lo mau masuk neraka?”
Damn!
Apa yang yang dikatakan pria ini benar 100%, bunuh diri tak akan menyelesaikan masalah. Yang ada malah menambah masalah di akhirat. Radith menyadari bahwa masih belum punya banyak bekal buat di akhirat kelak. Salatnya masih bolong-bolong, puasanya juga kadang-kadang, tak pernah sedekah, belum naik haji dan paling parah ia belum bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Ia merinding sendiri membayangkan api neraka menjilat tubuhnya.
Bersyukur banget Tuhan masih menyayanginya, beliau mengirimkan pria ini untuk menyelamatkan Radith dari ide konyol yang entah dating dari mana. Tiba-tiba pria ini menyerahkan amplop cokelat kepada Radith. Dahi Radith berkerut, “Apa ini?” Ia bertanya penuh keheranan.
“Tadi Tante Citra nitipin amplop cokelat ini ke gue katanya sih buat bekal hidup lo.”
Ia perlahan membuka amplop cokelat yang ada di tangannya. Matanya terbelalak melihat isi amplop tersebut. Isinya beberapa lembar uang ratusan ribu. Bisa ia pastikan jumlah uang ini mencapai jutaan rupiah. Lumayan sih buat bekal hidup.
Plung!
Dengan enteng ia membuang amplop beserta isinya ke sungai yang airnya mengalir deras layaknya membuang sampah ke tempat sampah. Ia tak sudi menerima uang dari orang yang telah membuatnya terusir dari rumah. Ia yakin Tante Citra memberi uang pasti untuk pencitraan di depan papanya, agar dibilang ibu tiri yang baik.
Mata pria yang di depan Radith melotot seolah dia mengatakan, “Kenapa lo buang uangnya? Sayang tahu!” sebelum dia mengeluarkan kalimat itu Radith lebih dulu berkata. “Gue nggak perlu uang dari seorang munafik karena gue nggak mau dikasihani.”
“Ya, udah terserah lo. Yang penting lo jangan bunuh diri. Yuk, mending lo ikut gue.”
“Ke mana?”
“Ke kosan gue. Lo pasti bingung kan mau tinggal di mana? Sementara lo boleh tinggal di kos gue.”
Mata Radith berbinar. Ya, ampun cowok ini baik banget sih. Radith sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya. Cowok yang di depannya ini sahabat yang selalu ada di saat suka dan duka.
“Kos-kosan I am coming!” teriak Radith. Mulai detik ini ia harus membiasakan diri jadi anak kos.
***
Glek!
Radith menelan ludah berkali-kali ketika berada di depan sebuah bangunan reyot yang sepertinya tinggal menunggu waktu roboh. Bangunan itu bertingkat dua dan tampak menyeramkan karena semua catnya mengelupas aneh. Atap bangunan itu juga akan roboh kalau diterpa angin kencang.
Sialnya bangunan itu merupakan kosan Tandy, yang jadi tempat tinggalnya juga selama beberapa bulan ke depan. Ini sama sekali di luar dugaannya. “Sanggupkah gue bertahan di tempat ini?” gumam Radith.
“Kok malah bengong? Kaget ya liat liat kosan gue? Sori ya gue nggak bisa bawa lo ke kosan yang lebih layak.” Raut wajah Tandy berubah jadi mendung.
“Hmmm … ya gitu deh. Nggak apa kok, kos ini juga dah lumayan cukup,” jawab Radith sedikit berbohong agar tak menyinggung Tandy. Ya, setidaknya kosan ini lumayan bisa membuatnya tak tidur di emperan toko atau kolong jembatan.
“Thanks ya atas pengertiannya. Yuk, kita masuk! Gue tunjukin kamar dan dapurnya.”
Radith mengikuti langkah Tandy. Bagian dalam kosan ini tak kalah mengenaskan dengan bagian luarnya. Kamar Tandy ada di lantai 2, bersebelahan dengan kamar nomor 7.
“Tan, lo dah berapa lama ngekos di sini?” tanya Radith.
“Sejak abis lulus SMA, sekitar lima tahunan lah.”
Mata Radith langsung melebar mendengar penuturan Tandy. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin sahabatnya itu bisa betah tinggal selama tahun di bangunan yang sudah tak layak disebut kos?
Jujur, ada rasa penyesalan di hati Radith. Lima tahun yang lalu ia lagi sibuk-sibuknya menghamburkan uang papanya di Thailand. Ia tak pernah tau nasib Tandy tak sebaik dirinya, Tandy sama tak mengeluhkan nasib kepadanya. “Andai aja gue tau nasib Tandy sengenes ini, pasti dia yang bakal gue hidup di Thailand daripada si pengkhianat itu,” batin Tandy.
Sekian lama aku bertahan dengan segala sikap egomu
Rasa ini membuatku mati rasa, hampa jiwaku. Oh…
Good bye … good bye
Saatnya kita berpisah
Good Bye … Good bye
Inilah akhir cerita cinta denganmu.
“Dith, lo lagi nyetel mp3 ya?” tanya Tandy bingung.
Radith menggelengkan kepala. “Mp3 pala lo peyang. Kan lo tau sendiri, gue kabur dari rumah nggak bawa apa-apa selain baju dan sempak?”
Tandy menggaruk kepala yang sepertinya banyak kutu. “Iya, juga ya. Terus siapa dong yang nyetel mp3? Di lantai 2 ini kan Cuma ada kita berdua sekarang.”
“HP lo kali bunyi.”
Tandy merogoh saku celananya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan HP jadul merk Cina. Fasilitasnya itu Cuma bisa buat sms, telpon, kamera, mp3 dan Facebookan saja. “Eh, iya ding. HP gue yang bunyi. Ada orang misscall.”
Radith geleng-geleng kepala melihat tingkah Tandy. Bunyi nada dering HP sendiri malah lupa. “Emang misscall dari siapa, Tan?”
“Entahlah. Dia make private numbers. Eh, Dith lo lagi laper nggak?”
Ini nih pertanyaan yang di tunggu Radith akhirnya keluar juga dari mulut Tandy. “Hehehe … tau aja lo,” balas Radith seraya nyengir kuda memamerkan deretan gigi gingsulnya.
“Ya, udah lo tunggu di sini ya. Gue mau beli makanan dulu di luar.”
Sebenarnya Radith ingin ikut Tandy, namun badannya seolah tak bisa kompromi. Rasanya ingin segera menemui kasur. “Ya udah deh. Tapi lo jangan lama ya perginya. Kalau lama gue getok kepala lo make palu baja.”
“Sip. Beres. Tenang aja.”
***
Seorang cowok mengenakan kacamata hitam sedang sibuk mengaduk-aduk cappucino yang dipesannya. Bola matanya tetap terpaku ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan kirinya. “Dia ke mana sih? Sudah setengah jam gue tungguin tapi dia belum juga menampakan batang hidungnya.” Cowok itu mulai mengomel sendiri.
Cowok itu tiba-tiba merasakan pundaknya disentuh oleh seseorang. Seketika ia membalikkan badan. Berdiri tegak seorang wanita cantik sekitar umur 35 tahunan. Ia memandangi wanita yang di depannya dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Dia benar-benar memesona mirip Tamara Blezinsky. Andai saja dia belum menikah, pasti gue embat dah.” Batin cowok itu.
“Maaf, saya terlambat. Tadi terjebak macet,” ucap wanita itu.
“Nggak apa kok, Tan. Bay the way, ada apa ya Tante ngajakin saya ketemuan di sini?”
“Saya ngajak kamu ketemuan, cuma mau nyerahin ini.” Wanita itu menyerahkan amplop coklat kepadanya. Ia mencoba membuka amplop tersebut. Matanya terbelalak. Isi amplop uang senilai dua juta rupiah.
“Ini uang apa ya, Tan?” Tanya cowok itu bingung.
“Itu uang buat biaya hidupnya selama sebulan. Gimana? Cukup?”
“Sepertinya sih cukup.”
“Kalau kurang, kamu tinggal bilang sama saya. Tapi kamu harus melaporkan apa saja yang dilakukannya ke saya. Deal?”
“Siap, Tante. Tenang saja, saya pasti melaporkan kegiatannya ke tante.”
Wanita itu bangkit dari tempat duduk, lalu meninggalkan dirinya di kafe ini.
***
Saking lamanya Tandy pergi, Radith sampai ketiduran. Pas bangun pun Tandy belum juga balik. Ia mengacak rambut sendiri sambil memegangi perutnya yang sudah sedari tadi keroncongan.
Tok … Tok
Ia mendengar ketukan pintu. “Itu pasti Tandy.”
Buru-buru ia membuka pintu. Benar dugaannya. “Tan, lo pergi kemana aja sih? Lama banget. Nggak tau apa perut gue dah keroncongan.”
“Sorry, tadi warteg di sana makanannya dah habis. Makanya gue nyari makanan agak jauhan.”
Tanpa banyak cingcong, Radith duduk sebelah kasur. Ia langsung membuka makanan yang dibawa Tandy. Seketika matanya melotot. “Lo pergi lama Cuma beli nasi, tempe dan krupuk doang?”
Tandy mengangguk pelan. “Duit gue Cuma cukup buat beli itu. Gue tau makanan yang di depan lo ini, bukan selera lo banget. Tapi gue harap mulai sekarang lo harus belajar beradaptasi dengan kehidupan saat ini dan mensyukuri apa yang ada di depan lo.” Tandy ceramah panjang lebar.
Radith hanya terdiam diceramahi Tandy. Lagi-lagi ia harus mengakui ucapan Tandy benar. Mulai sekarang belajar beradaptasi dengan kehidupan saat ini dan mensyukuri apa yang ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments