NovelToon NovelToon

Pahlawan Tanpa Bakat

Sword God

Di masa awal terbentuknya dunia, sebelum kerajaan-kerajaan besar berdiri, dunia manusia terbelah dalam jurang kekacauan yang tak terbayangkan.

Kekuatan adalah satu-satunya hukum, dan segala sesuatu diatur oleh kehendak individu yang menguasai kekuatan besar yang tidak bisa dibayangkan orang biasa.

Bukan hanya kekuatan fisik yang memegang kendali—ada sihir yang mampu meruntuhkan gunung, necromancer yang mengendalikan legiun makhluk mati, ahli beladiri yang bisa menghancurkan tubuh manusia dengan satu sentuhan, serta senjata-senjata kuno yang dikatakan mampu membelah bumi.

Dunia ini adalah tempat di mana tidak ada hukum selain kekuatan, dan siapa yang memiliki kekuatan terbesar adalah penguasa.

Dari kegelapan yang tak terkendali ini, lahirlah seorang pria yang akan mengukir namanya dalam sejarah manusia, bukan sebagai seorang penguasa, tetapi sebagai legenda.

Dia di sebut sebagai Sword God, seorang pendekar pedang yang tak hanya mampu menaklukkan siapa pun yang berdiri di hadapannya, tetapi juga mampu melampaui batas-batas kekuatan yang dianggap tidak mungkin oleh umat manusia.

Dia adalah seseorang yang, dalam sejarah panjang peradaban manusia, tidak ada yang bisa menandingi.

Dunia pada masanya terbagi menjadi beberapa aliran kekuatan besar.

Setiap individu yang berjuang untuk kekuasaan biasanya memilih satu dari beberapa jalan kekuatan.

Sihir, yang memberikan kendali atas elemen-elemen alam semesta dan bisa menciptakan kehancuran dengan kekuatan pikiran.

Necromancy, yang memungkinkan penggunanya memanggil arwah dan menghidupkan kembali yang mati sebagai pasukan yang tak terkalahkan.

Pengguna tangan kosong, seni pertarungan tanpa senjata yang menggunakan kekuatan dalam tubuh untuk menghancurkan apapun yang disentuhnya.

Senjata, di mana para pengguna senjata legendaris bisa menaklukkan ribuan musuh hanya dengan satu ayunan.

Di tengah kekuatan-kekuatan luar biasa ini, Pedang dianggap sebagai jalan yang ketinggalan zaman.

Di dunia yang penuh dengan penyihir yang bisa menghancurkan kota dengan mantra, necromancer yang bisa menghidupkan kembali raja-raja yang telah mati untuk berperang di bawah komandonya, atau petarung tangan kosong yang bisa memecahkan gunung dengan tinju.

Pedang dianggap hanya sebagai alat sederhana, senjata bagi mereka yang tidak bisa menguasai sihir atau kekuatan lainnya.

Namun, Sword God membuktikan bahwa mereka semua salah.

Dia menghabiskan masa mudanya menjelajahi dunia, belajar dari berbagai aliran kekuatan.

Namun, dia tidak memilih sihir, necromancy, atau seni tangan kosong.

Dia menemukan sesuatu yang lebih dalam—esensi dari kekuatan sejati.

Bukan tentang sihir, bukan tentang kemampuan supernatural, tetapi tentang kehendak.

Kekuatan terbesar bukanlah kemampuan untuk mengendalikan elemen atau menghidupkan yang mati, tetapi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri sepenuhnya, untuk memfokuskan semua potensi ke dalam satu titik.

Dan di sanalah dia menemukan takdirnya.

Pedang.....

......................

Seorang pemuda tampan duduk sambil bersandar di sebuah pohon yang terletak pada taman yang sangat luas dan indah.

"Hebat sekali.." Gumamnya sambil menatap buku berjudul 'Sword God'.

Mata merahnya memancarkan kekaguman pada buku tersebut, rambut putih panjang miliknya terurai terkena hembusan angin lembut.

"Tuan muda Kaivorn, saatnya makan siang." Panggil wanita yang mengenakan sebuah pakaian seorang pelayan bangsawan.

Kaivorn menoleh ke arah orang yang memanggilnya. "Aku segera kesana" ujarnya seraya menutup buku di tangannya.

Dia berdiri lalu bergegas berlari menuju wanita yang memanggilnya.

Kaivorn melangkah ringan, rambut putihnya melambai seiring dengan angin yang lembut menerpa wajahnya.

Setiap gerakan tubuhnya tampak anggun, meski usianya masih muda, ada aura tenang yang terpancar darinya.

Pandangannya sebentar menatap taman yang terbentang luas di sekitarnya, seolah menyesali waktu yang harus ia tinggalkan.

“Buku ini sungguh luar biasa, tapi mungkin aku harus menyelesaikannya nanti,” gumamnya dalam hati.

Saat ia mendekati pelayan wanita itu, raut wajah sang pelayan tampak tenang, namun ada sedikit rasa was-was di balik senyumnya.

Kaivorn menyadari, meski ia tidak menampakkan kekesalan, ada sesuatu yang membuat wanita itu khawatir.

“Tuan muda, Nyonya besar menunggu di ruang makan,” ucap pelayan itu dengan suara halus namun tegas.

Kaivorn mengangguk. “Baik, aku akan segera menemui beliau. Terima kasih, Mirelle.”

Langkahnya yang cepat membawa Kaivorn ke dalam kediaman bangsawan itu.

Aula besar dengan pilar marmer dan ukiran-ukiran rumit menyambutnya, namun Kaivorn tak begitu memedulikannya.

Kaivorn memasuki ruang makan yang megah, dikelilingi oleh ukiran kayu yang rumit dan jendela tinggi yang memancarkan cahaya matahari sore.

Di ujung meja panjang, duduk dua sosok yang sudah tak asing lagi baginya—Raelion dan Selvara, kedua kakaknya.

Mereka duduk dengan sikap tenang dan anggun, seperti dua patung yang dibentuk dengan kesempurnaan.

Kaivorn selalu merasa ada jarak yang tak bisa ia tempuh ketika melihat kakaknya, seolah dunia mereka begitu berbeda meskipun mereka memiliki darah yang sama.

Raelion menatap sekilas ke arah adiknya, dengan ekspresi yang tak terbaca.

Mata merah darahnya yang tajam menyapu Kaivorn seperti sedang menilai sesuatu.

"Kau terlambat," ucapnya singkat, nadanya dingin namun tetap formal.

Kaivorn hanya tersenyum kecil, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. "Maaf, aku sedang membaca."

Selvara yang duduk di samping Raelion, dengan tenang meletakkan gelasnya kembali ke meja.

Rambut panjang putihnya yang terikat rapi mengalir di punggung, dan mata merah yang lembut menatap Kaivorn sejenak, sebelum tersenyum tipis.

"Kau sering membaca buku akhir-akhir ini, Kaivorn. Apa yang kau baca kali ini?" tanyanya, dengan nada lebih hangat dibandingkan Raelion.

"Sword God," jawab Kaivorn sambil duduk di kursinya.

Selvara mengangguk, namun di matanya tersirat sesuatu yang sulit diungkapkan, mungkin simpati atau mungkin keraguan.

"Buku yang menceritakan leluhur?." Kata Selvara dengan senyuman lembut.

"Benar." Ucap Kaivorn tersenyum. "Aku menikmati caranya melihat dunia."

Saat mereka mulai menyantap hidangan, keheningan sesekali diisi oleh suara peralatan makan yang beradu dengan piring porselen.

Pelayan-pelayan bergerak dengan tenang, memastikan segala sesuatunya sempurna, sementara Elandra Vraquos, ibu mereka, duduk di ujung meja.

Elandra menatap ketiga anaknya, terutama Kaivorn, dengan tatapan yang tajam namun penuh kasih.

Dia merasakan ketegangan yang selalu hadir dalam dinamika antara Kaivorn dan saudara-saudaranya, terutama di hadapan Raelion.

"Ayah kalian sedang bertemu dengan Raja," kata Elandra, memecah keheningan. "Ada urusan penting yang harus diselesaikan."

Raelion hanya mengangguk singkat. "Apakah ada yang mendesak terkait urusan politik kerajaan, Ibu?"

Elandra mengangguk. "Ada kabar tentang ketegangan di perbatasan. Raja ingin memastikan bahwa keluarga Vraquos siap memberikan dukungan penuh dalam hal apapun yang mungkin terjadi."

Selvara menatap ibunya dengan serius. "Apakah kita akan terlibat lagi dalam konflik? Kapan ayah akan kembali?"

"Sulit dikatakan," jawab Elandra. "Tapi yang pasti, ayahmu selalu siap untuk apapun. Kalian semua harus begitu." Lalu, dia memandang Kaivorn, dan tatapannya melunak. "Kaivorn, apakah kau sudah memikirkan bagaimana kau ingin berkontribusi untuk keluarga ini?"

Kaivorn terdiam sejenak, merasa berat di bawah tatapan ibunya.

Pertanyaan itu, meskipun disampaikan dengan lembut, selalu menjadi duri baginya.

"Aku belum memutuskannya, Ibu." Jawab Kaivorn dengan senyuman masam. "Tapi aku yakin akan menemukan jalanku."

Raelion mendengus pelan, dan Kaivorn tahu, tanpa harus melihat, bahwa kakaknya tidak terlalu percaya pada jawaban itu.

Selvara tetap diam, meskipun ada kilatan kekhawatiran di matanya.

"Semua orang memiliki jalannya sendiri," Elandra akhirnya berkata, mencoba menyeimbangkan atmosfer yang mulai tegang.

Makan siang berlanjut dengan topik yang lebih ringan, tetapi Kaivorn tahu bahwa harapan keluarganya akan selalu membayangi setiap langkah yang ia ambil.

Kaivorn akhirnya selesai makan, dia berdiri perlahan dan berbalik.

"Aku pamit ke kamar terlebih dahulu." Kata Kaivorn sambil beranjak pergi.

Keluarganya menatap Kaivorn dengan kasihan.

Setelah Kaivorn keluar dari ruangan, Raelion ikut menyelesaikan makannya.

Dia mengelap mulutnya dengan tisu, sambil berkata. "Bagaimana bisa keluarga kita memiliki keturunan seperti dia."

Mendengar ucapan anaknya, Elandra menggebrak meja.

"Raelion!" Kata Elandra menatap tajam Raelion. "Jaga ucapanmu."

Raelion melangkah pergi dari ruang makan, "Ya, Bu" Jawabnya singkat, tanpa menoleh.

Sistem

Kaivorn melangkah di lorong kastil yang megah, dindingnya dihiasi dengan lukisan bersejarah dan lampu gantung kristal yang berkilau.

Suara langkahnya bergema di antara dinding batu yang dingin.

Ia berjalan sendirian, merasakan beban harapan dan ekspektasi keluarganya menghimpit pundaknya.

Saat ia tiba di depan pintu kamar, ia menghela napas dalam-dalam, seakan mengumpulkan keberanian sebelum membuka pintu.

Dengan satu dorongan, ia mendorong pintu itu, namun Seketika itu juga, matanya terbelalak penuh kejutan.

"Ugh!" rintihnya, nyawa terasa meluncur keluar.

Sebuah belati merobek masuk ke dalam jantungnya dari belakang, menembus kulit lembutnya dan menyisakan jejak mengerikan.

Ia tertegun, menatap dadanya sendiri, terlihat jelas cairan merah yang mengalir, kontras dengan pakaiannya yang berwarna gelap.

“Si…siapa?” Gumam Kaivorn dengan suara yang hampir tak terdengar, mencoba untuk menoleh ke belakang.

Namun, sebelum ia bisa melihat wajah penyerangnya, pandangannya mulai kabur, kegelapan menyelimuti segalanya.

Dengan satu napas terakhir yang penuh ketidakpercayaan, tubuhnya ambruk, meninggalkan jejak darah di lantai marmer yang seharusnya indah.

[Ding!]

[Sistem telah dibangkitkan]

[Apakah Tuan Rumah ingin mengaktifkannya?]

[Ya/Tidak]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[.............]

[Karena Tuan Rumah tidak memilih dalam waktu yang lama, sistem akan otomatis memilih pilihan 'Ya']

[Mengaktifkan Sistem...]

[Loading 10%]

[Loading 50%]

[Loading 70%]

[Loading 100%]

[Sistem telah aktif!]

[Sistem mendeteksi Tuan Rumah dalam bahaya, memulihkan otomatis luka Tuan Rumah...]

Kaivorn membuka matanya seketika, kebingungan dan keterkejutan menyelimuti wajahnya.

Dia merasakan kehangatan di sekelilingnya, seperti sebuah pelukan lembut yang menenangkan.

"Apa yang terjadi?" Gumam Kaivorn, matanya terfokus pada dadanya yang kini pulih sepenuhnya, tidak ada lagi jejak luka atau darah.

Kaivorn mengangkat tangan, meraba kulitnya yang terasa utuh. "Bukankah aku telah mati karena tertusuk?"

Dengan napas yang lebih dalam, Kaivorn berusaha mengingat momen terakhir sebelum kegelapan menyergapnya.

Pikirannya melayang antara ketakutan dan keingintahuan.

Sekarang, dalam keadaan hidup kembali, rasa aman dan bingung bercampur aduk di dalam hatinya.

Sebuah layar biru hologram tiba-tiba muncul di hadapannya, bercahaya lembut dalam kegelapan yang menakutkan.

[Ding!]

[Misi pemula telah muncul!]

[Misi: kalahkan pembunuh di sebelah kiri yang mengincar nyawa Tuan Rumah]

[Hadiah: +10 Poin keterampilan, +15 Poin pertukaran]

"Misi?" Batinnya bergumam, kebingungan melanda pikirannya. "Apa maksudnya?"

Dia menoleh, jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara berbisik, "Di tambah..."

Kaivorn menatap ke arah kiri, dan dengan ketakutan yang merayap, ia menyadari. "Pembunuh?"

Sekilas, belati melesat dengan sangat cepat, menyentuh pipinya dan meninggalkan goresan tipis yang berkilau dengan darah.

Sosok misterius mengenakan jubah gelap berdiri di kegelapan, wajahnya tersembunyi oleh tudung.

Dia tampak tenang, seolah baru saja melempar senjata mematikan tersebut.

"Hoo, anda bisa menghindarinya?" Suaranya, rendah dan penuh ejekan, menciptakan suasana yang mencekam. "Apakah anda menyembunyikan kemampuan anda selama ini, Tuan Muda Kaivorn?"

Kaivorn terkejut, panik menyusup dalam dirinya, tetapi ia berusaha menampilkan ekspresi tenang, berusaha menguasai situasi yang genting ini.

"Benar-benar ada pembunuh..." gumamnya tanpa suara, lebih kepada dirinya sendiri. "Apakah dia orang yang sama dengan yang ingin membunuhku tadi?"

Sebuah layar biru hologram lainnya muncul di hadapannya, mengalir dengan detail yang mencolok.

[Apakah anda ingin membuka paket pemula?]

[Ya/Tidak]

"Paket pemula..." pikir Kaivorn, matanya bersinar dengan harapan. "Itu terdengar seperti hal yang bagus."

Tanpa berpikir panjang, Kaivorn menekan pilihan 'Ya'.

[Paket pemula terbuka!]

[+5 poin keterampilan untuk seluruh statistik fisik]

[Skill "Blitz (C)" telah didapatkan]

Kaivorn merasakan aliran energi yang kuat menyusup ke dalam tubuhnya, bagaikan arus listrik yang mengalir deras.

Setiap serat ototnya terasa mengencang, kekuatan dan stamina meningkat dalam sekejap.

Sekilas, ia dapat merasakan kehadiran yang menakutkan dari pembunuh di depannya, namun kini ia tidak lagi merasa lemah.

Di dalam pikirannya, sebuah layar holografis muncul, menampilkan statistiknya yang baru saja diperbarui.

[Statistik]

[Kekuatan: 6 (+5)]

[Konstitusi: 5 (+5)]

[Kecekatan: 8 (+5)]

[Kecerdasan: 46]

[Pesona: 54]

“Apa-apaan ini,” kata pembunuh itu, suaranya kini dipenuhi rasa tertantang. “Kemampuan Anda meningkat ketika dalam situasi seperti ini?”

Kaivorn memusatkan perhatian pada tubuhnya, merasakan setiap detak jantung yang berdegup kencang dan napas yang Semakin teratur.

Aliran energi baru ini membangkitkan semangat juangnya.

"Kekuatan fisikku telah meningkat pesat!" pikir Kaivorn dengan rasa senang, meski ia berusaha menjaga ekspresi tenangnya.

Kaivorn perlahan berdiri, membiarkan ketenangan menggantikan kepanikan, dan matanya yang berwarna merah menatap tajam ke arah pembunuh misterius itu.

“Sistem.” Kaivorn memanggil dalam hati, keringat mulai bercucuran di pelipisnya. “Apa itu skill 'Blitz'?!”

Sebuah layar biru hologram muncul di dalam pikirannya, memberikan penjelasan mengenai skill yang baru saja ia terima.

[Nama Skill: Blitz (C)]

[Skill Aktif]

[Deskripsi: Teknik serangan super cepat yang memungkinkan pengguna untuk bergerak dengan kecepatan lima kali lipat dari lawan, melancarkan satu serangan sebelum lawan menyadari keberadaannya.]

[Detail Skill]

[Durasi: 3 detik.]

[Efek]

[Kecepatan Super: Pengguna bergerak lima kali lebih cepat dari lawan, memungkinkan serangan tiba dengan sangat mendadak.]

[Serangan Instan: Pengguna melancarkan satu serangan yang tidak bisa dihindari, memberikan damage tambahan sebesar 50% dan efek "stun" selama 1 detik, membuat lawan terkejut dan tidak dapat merespons.]

[Cooldown: 3 kali/sehari.]

[Catatan: Mengurangi stamina secara signifikan; disarankan pengguna harus menggunakan skill ini secara strategis.]

Kepala Kaivorn bergetar dengan informasi yang baru. “Begitu!” pikirnya, “Ini adalah kesempatan!”

"Sebelum," Pikir Kaivorn, matanya memperhatikan sekitarnya. "Aku membutuhkan sesuatu untuk di jadikan senjata..."

Sebuah kilatan cahaya dari belati yang tadi dilempar oleh pembunuh itu menarik perhatian Kaivorn.

Belati itu tertancap di lantai beberapa meter di sebelah kirinya, menggoreskan jejak pertempuran yang baru saja terjadi.

"Belati itu..." batin Kaivorn, menyusun rencana cepat.

Pembunuh itu masih menyeringai penuh kesombongan, mengira Kaivorn sudah terpojok.

"Apa rencanamu sekarang, Tuan Muda? Terus berlari? Atau menyerang dengan tangan kosong?" Pembunuh itu menatapnya seperti pemangsa yang siap memangsa.

Namun Kaivorn, tanpa mengindahkan provokasi tersebut, melirik sekilas ke arah belati.

Dalam sepersekian detik, dia berlari ke arah senjata itu, gerakannya lebih cepat dan gesit berkat peningkatan statistiknya.

Pembunuh itu mencoba melacak pergerakan Kaivorn, tapi terlambat.

Dengan sebuah manuver berputar yang lincah, Kaivorn menukik dan mengulurkan tangannya, meraih gagang belati tersebut.

Saat tangannya menyentuh logam dingin belati, sebuah kekuatan baru terasa mengalir ke dalam tubuhnya.

Tanpa membuang waktu, Kaivorn berputar kembali, tubuhnya kini terkoordinasi sempurna.

Pembunuh itu terkejut sejenak, tidak menyangka Kaivorn akan merespons dengan cepat.

“Hmph, kau pikir sepotong logam itu akan menyelamatkanmu?” suara pembunuh itu kembali merendahkan.

Kaivorn menggenggam erat belati, merasakan beratnya di tangannya.

Mata merahnya menatap langsung ke mata pembunuh yang masih tersembunyi di balik tudung jubah gelap.

Dengan satu tarikan napas, Kaivorn mengaktifkan skill Blitz.

Dunia seolah berhenti sesaat—waktu terasa melambat saat tubuhnya bergetar dengan kekuatan luar biasa.

Dalam waktu tiga detik, Kaivorn menyerbu, dan sebelum pembunuh itu sempat bereaksi, belati di tangan Kaivorn menembus jubah hitam itu, mengarah tepat ke perutnya.

Pembunuh itu terkejut, tidak menduga serangan yang begitu cepat dan tidak terduga.

Matanya terbuka lebar saat belati Kaivorn menancap dalam, menghentikan gerakannya seketika.

"Hah... Bagaimana... mungkin?" Pembunuh itu tersedak, suara suaranya penuh kepanikan, darah mulai merembes dari luka yang dalam.

Kaivorn menarik napas panjang, tubuhnya menggigil saat efek Blitz memudar dan kelelahan mulai merambat.

Tapi dia tetap berdiri, menatap pembunuh itu dengan dingin.

Pembunuh itu terhuyung ke belakang, tangannya menekan luka di perutnya, darah segar terus mengalir.

"Apa ini..?!" Suara serak dan penuh rasa tak percaya, pembunuh itu jatuh ke lantai, mengeluarkan erangan terakhir sebelum tubuhnya ambruk, tidak lagi bergerak.

Kaivorn berdiri di atas tubuh pembunuh yang kini tak bergerak.

Napasnya terdengar berat dan kasar, seolah paru-parunya berusaha menangkap udara yang kian menipis.

Tubuhnya mulai terasa melemah, dan setiap otot yang sebelumnya dipenuhi adrenalin kini mulai menggigil kelelahan.

Kakinya mulai terasa goyah, Perlahan, pandangannya mulai berputar.

Dunia di sekelilingnya seakan berubah menjadi kabur dan terdistorsi, bercampur antara bayangan, cahaya, dan kegelapan yang merayap.

Suara detak jantungnya bergema kencang di telinganya, memekakkan seolah seluruh tubuhnya menuntut istirahat.

Kaivorn mencoba mengatur napas, tetapi semakin sulit.

Dia merasakan keringat dingin mengalir di sepanjang pelipisnya, dan jari-jarinya yang masih menggenggam belati mulai bergetar tanpa kendali.

Pikirannya mulai tumpul, terasa semakin jauh dari kendalinya sendiri.

Ia sadar tubuhnya berada di ambang batas—Blitz telah menguras seluruh stamina yang tersisa.

Tiba-tiba, kakinya melemas.

Ia terhuyung ke depan, tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.

“Aku menang...” gumamnya pelan, bibirnya bergetar.

Dunia di sekelilingnya semakin jauh, semakin dingin.

Kaivorn jatuh ke lututnya, tangannya yang gemetar masih berusaha mencari pegangan.

Namun tak ada yang bisa menahan tubuhnya dari kejatuhan yang tak terelakkan.

Pikirannya yang penuh dengan ketegangan perlahan menghilang, tenggelam dalam kegelapan yang terus mendekat.

Matanya yang merah, penuh kelelahan, akhirnya menutup perlahan.

Napasnya yang terengah-engah mulai tenang, semakin dalam dan teratur seiring dengan tubuhnya yang perlahan menyerah pada kelelahan total.

Tubuhnya terbaring di lantai marmer yang dingin, napas terakhir sebelum kesadaran meninggalkannya.

Kaivorn pingsan—karena kehabisan seluruh energi miliknya untuk menggunakan kemampuan Blitz.

[Ding!]

[Misi Berhasil!]

[Deskripsi: kalahkan pembunuh di sebelah kiri yang mengincar nyawa Tuan Rumah]

[10 Poin Keterampilan & 15 Poin pertukaran berhasil di peroleh]

Misi Utama

Kaivorn terbangun perlahan, seolah tenggelam dari mimpi yang tak berujung.

Cahaya matahari yang lembut menyusup melalui jendela kaca patri besar di dinding, menciptakan kilauan pelangi di sepanjang ruangan.

Siluet emas dan perak dari lambang keluarga Vraquos tampak berkilau dalam pancaran cahaya pagi, menambah keagungan pada dinding-dinding yang berlapis dengan mural pertempuran besar nenek moyang mereka.

Di dalam kamar megahnya, dekorasi serba mewah yang menandakan statusnya sebagai salah satu keturunan bangsawan tertua di kerajaan, Kaivorn perlahan menggerakkan kelopak matanya.

Tirai beludru merah darah yang menghiasi setiap sudut jendela melambai pelan, diterpa angin lembut dari luar.

Namun yang lebih memikat perhatian Kaivorn adalah suara lembut namun tegas yang memanggil namanya.

“Kaivorn, bangunlah, sayang…”

Suara itu seperti musik yang lembut di telinganya, menenangkan pikiran dan tubuh yang terasa berat.

Matanya terbuka perlahan, memperlihatkan sosok ibunya, Elandra, yang duduk di samping tempat tidur dengan senyuman penuh kasih.

Wajahnya yang anggun memancarkan keanggunan seorang wanita bangsawan, namun ada kekhawatiran yang tak tersembunyi di balik matanya yang biru seperti safir.

Gaun putih berlapis perak yang ia kenakan menambah aura keagungan, seperti dewi dari cerita-cerita kuno.

"Syukurlah kau bangun, putraku," ucap Elandra dengan suara bergetar, meski ada nada kekuatan di balik kata-katanya.

Di sisi lain, Raelion, kakak pertama Kaivorn, berdiri dengan sikapnya yang selalu tegas.

Rambut putihnya yang panjang tergerai, dan matanya yang tajam seperti elang memantau adiknya dengan sorot penuh disiplin.

Dia mengenakan jubah kebesaran swordsmaster keluarga Vraquos, dengan bordir lambang pedang berkilauan di bahunya.

"Kau bertindak gegabah, Kaivorn," suara Raelion terdengar tegas seperti palu yang menghantam anvil. "Kau hampir kehilangan nyawamu."

Kaivorn berusaha merespon, namun hanya napas berat yang keluar dari bibirnya yang pecah-pecah.

Kilasan-kilasan memori mulai kembali—pertarungan yang brutal, serangan di kastil, dan sosok pembunuh misterius.

Tubuhnya terasa remuk, seolah dihantam oleh badai tanpa ampun, namun pikirannya tetap tajam, berusaha menyusun kembali setiap detail.

Di dekat pintu, Mirelle, pelayan pribadinya, berdiri dengan tenang.

Rambut cokelatnya ditata rapi, menambah kesan elegan pada penampilannya yang sederhana namun anggun.

Meski matanya menatap Kaivorn dengan kelembutan, ketegangan di raut wajahnya sulit disembunyikan.

“Mirelle…” Kaivorn berhasil berbisik, suaranya serak dan lemah, seolah semua kekuatan telah terkuras.

Mirelle mendekat dengan langkah ringan, membungkuk anggun. "Tuan Muda, Anda membuat kami semua cemas," katanya dengan nada lembut, namun ada kegelisahan dalam tatapannya. "Apa yang sebenarnya terjadi di kastil?"

Sebelum Kaivorn sempat menjawab, ibunya, Elandra, berbicara lebih dulu, suaranya penuh kasih. “Tak peduli apa yang terjadi, yang penting kamu selamat sekarang.”

Namun Raelion tidak semudah itu terhibur. Wajahnya tetap keras, seperti batu karang yang dihantam ombak.

“Serangan di kastil bukanlah hal sepele." Ucap Raelion tegas. "Kita harus memberitahu Ayah secepatnya, ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”

Mirelle, yang merasakan ketegangan yang melingkupi ruangan, melirik Kaivorn dengan tatapan penuh perhatian.

“Izinkan saya memanggil pendeta untuk memastikan kondisi Anda, Tuan Muda. Istirahatlah dulu,” kata Mirelle lembut sebelum membungkuk dan perlahan meninggalkan ruangan.

Kaivorn menutup matanya sesaat, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan tempat tidur yang besar dan empuk.

Tiba-tiba, pintu besar yang dihiasi ukiran rumit dari emas murni terbuka, dan suara langkah lembut terdengar.

Kaivorn membuka matanya dan menatap sosok wanita cantik yang baru saja memasuki ruangan.

Cahaya matahari yang menembus jendela seakan memeluknya, membuat rambut pirangnya yang cerah bersinar seperti matahari terbit.

Jubah putih bersih dengan ornamen emas mengalir indah di tubuhnya, menandakan statusnya sebagai Saintess of Light—Franca.

Di belakangnya berdiri seorang pria tinggi dengan tubuh berotot, mengenakan armor emas yang dipenuhi dengan sihir suci.

Di punggungnya, pedang suci yang hanya dimiliki oleh Holy Knight tertinggi kerajaan, bersinar lembut seolah-olah terbuat dari cahaya murni.

Pria itu adalah Amon, Komandan Ksatria Suci dan pelindung kota suci Azzas, seorang legenda hidup yang biasanya hanya bisa didengar orang dalam kisah-kisah heroiknya.

Kaivorn berusaha bangkit, terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Saintess...?!!" ucapnya, suaranya sedikit bergetar, meski ia berusaha untuk tetap tenang.

Ruangan yang semula hangat tiba-tiba dipenuhi oleh aura suci yang berat, seperti kehadiran ilahi yang turun langsung ke dunia fana.

Elandra langsung bangkit dari tempat duduknya, lalu menunduk dengan hormat, diikuti oleh semua yang hadir di ruangan itu.

Suasana penuh penghormatan dan kekaguman.

Dengan gerakan anggun, Elandra membungkukkan tubuhnya, diikuti oleh Raelion dan semua orang lainnya di dalam ruangan.

"Kehadiranmu adalah kehormatan besar bagi Vraquos, Saintess," Elandra, berbicara dengan nada penuh hormat.

Dia membungkukkan kepala, gestur yang jarang terlihat di kalangan bangsawan, menandakan betapa penting dan suci tamu yang sedang mereka hadapi.

Franca, Saintess of Light, berdiri di sana dengan tenang.

Kecantikannya tampak ethereal, seolah-olah tidak terikat oleh dunia fana.

Kulitnya pucat, bercahaya seperti mutiara, dan jubah putih bersih yang dikenakannya seakan mengambang di atas lantai marmer hitam.

Rambut pirangnya yang panjang berkilauan di bawah sinar matahari, memberikan kesan seolah-olah setiap helainya memancarkan sinar sendiri.

"Aku datang dengan pesan dari dewa," Franca berbicara, suaranya jernih dan beresonansi seperti lonceng perak yang dipukul lembut.

Kalimat itu mengambang di udara, menciptakan getaran yang terasa hingga ke inti jiwa.

Kaivorn merasakan atmosfer ruangan berubah seketika.

Elandra terlihat sedikit bingung, meski tetap mempertahankan sikap penuh penghormatan.

"Pesan dari dewa...?" gumam Elandra pelan, sementara bibirnya bergetar sedikit.

Ada keheranan, namun jelas terlihat bahwa dia tahu betapa pentingnya hal ini.

Kaivorn, dengan otaknya yang selalu bekerja cepat, langsung menganalisis situasi.

"Pesan dari sang ?" Gumam Kaivorn dalam hati, mulai berpikir. "Ini bukan hal yang bisa dianggap remeh."

Dalam benaknya, Kaivorn mulai menghubungkan berbagai kejadian dan rumor yang tersebar di kerajaan Maestiammea.

Tentang pergerakan di perbatasan, pertanda alam yang aneh, dan kemunculan kelompok-kelompok dari kultus sesat yang fanatik.

Semua petunjuk itu berputar-putar dalam pikirannya, membentuk pola yang semakin jelas.

Dia tahu sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang mungkin akan mengubah arah sejarah kerajaan mereka.

Namun, sebelum dia bisa berkata apa-apa, Franca menoleh dengan senyuman lembut ke arah Elandra.

"Bolehkah saya meminjam Tuan Muda Kaivorn Vraquos sebentar?" tanyanya sopan, namun nadanya mengisyaratkan bahwa ini bukan sekadar permintaan biasa.

Elandra tampak ragu sejenak, namun dia memahami kedudukan Saintess.

"Tentu, Saintess." Dengan sedikit anggukan, ia memberi isyarat kepada para pelayan dan Raelion untuk meninggalkan ruangan.

Gerakan mereka sunyi, seolah enggan mengganggu kehormatan yang mengelilingi Franca.

Saat suasana semakin sunyi, Kaivorn merasakan tatapan dari Amon, komandan ksatria suci, menembus dirinya.

Amon, dengan armor sucinya yang berkilauan dan ekspresi wajah yang tegas, seolah-olah bisa membaca setiap gerakan Kaivorn.

"Sir Amon?" Franca memanggilnya, suaranya sehalus sutra.

Amon mengangguk pelan, sebelum berjalan keluar ruangan dengan langkah berat namun penuh kehormatan.

Pintu besar di belakangnya tertutup dengan suara yang berat, membuat Kaivorn dan Franca kini hanya berdua dalam ruangan yang sepi, dibalut oleh ketegangan yang tak terlihat.

Tatapan Franca kini tertuju pada Kaivorn, penuh kelembutan dan harapan, namun juga sesuatu yang lebih dalam—sebuah keyakinan yang kuat.

Franca kemudian berbisik pelan, nyaris tak terdengar, “Divine Power, Silencer.”

Sekelibat cahaya melingkari mereka berdua, membentuk penghalang suara yang hanya bisa dirasakan oleh Kaivorn dan Franca.

Kaivorn menatap Franca dengan alis sedikit berkerut, merasa ada sesuatu yang janggal.

Tapi sebelum dia sempat bertanya, Franca melakukan sesuatu yang mengejutkannya.

Saintess itu tiba-tiba berlutut di hadapannya dengan begitu tulus.

"Hormat saya kepada anda, Pahlawan," kata Franca dengan suara yang begitu lembut namun penuh dengan rasa hormat yang tak terhingga.

Aura suci yang mengelilinginya semakin kuat, memutar di udara, seolah-olah kekuatan dari dunia lain hadir di sekitar mereka.

Kaivorn merasa terkejut, namun juga bingung. "Pahlawan? Apa maksudnya? Mengapa seorang Saintess, yang memiliki kedudukan begitu tinggi, berlutut di hadapanku?"

Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya, tetapi dengan cepat dia menenangkan diri.

"Ini bukan waktunya untuk menunjukkan kebingungan," pikirnya. "Aku harus mendengarkan dan memahami apa yang sedang terjadi."

“Saintess,” Kaivorn memulai dengan nada yang tenang namun berwibawa, “aku merasa terhormat atas gesturmu, namun aku harus bertanya—apa maksud dari semua ini? Mengapa anda menyebutku pahlawan?”

Franca mendongak, menatap Kaivorn dengan mata yang memancarkan keyakinan yang mendalam.

“Tuan Muda Kaivorn, anda adalah yang terpilih. Seluruh takdir dunia ini bergantung padamu." Kata Franca, terasa begitu menenangkan. "Dewa telah memilihmu untuk menjadi pahlawan dalam perang yang akan datang, anda adalah harapan terakhir umat manusia.”

"Terpilih? Pahlawan? Perang yang akan datang?" Pikiran Kaivorn berputar cepat, berusaha merangkai semua informasi ini.

Namun, Kaivorn tidak menunjukkan tanda-tanda kebingungan di wajahnya. Ia hanya tersenyum tipis, menenangkan diri.

“Perang yang anda bicarakan… Apakah ini terkait dengan segala pertanda aneh yang telah terjadi belakangan ini?" Tanya Kaivorn pada Franca. "Petir yang memecah langit, desas-desus tentang makhluk-makhluk gelap yang muncul di perbatasan kerajaan?”

Franca mengangguk, “Itu hanyalah awalnya. Kegelapan yang lebih besar sedang mendekat, dan hanya anda yang bisa menghentikannya.”

Kaivorn merasa hawa dingin menjalari punggungnya.

Dia sudah mendengar rumor tentang makhluk-makhluk kegelapan itu, tapi selama ini dia mengira itu hanyalah kisah dongeng yang berlebihan.

Namun kini, dengan seorang Saintess di hadapannya yang mengonfirmasi semua itu, situasinya terasa jauh lebih nyata dan mengancam.

"Aku tak ingin menjadi pahlawan." Batin Kaivorn, memasang ekspresi yang terlihat lelah. "Aku harus bilang kepadanya."

Namun, ketika dia hendak memberi tahu Franca.

Sebuah layar hologram berwarna biru transparan muncul di hadapan Kaivorn, membuat fokusnya teralihkan.

[Ding!]

[Misi utama telah di temukan!]

[Misi: Menjadi pahlawan]

[Deskripsi: Kalahkan kegelapan dan selamatkan umat manusia dari kehancuran yang tak terelakkan]

[Hadiah: ???]

[Hukuman: Mati]

[Apakah anda ingin menerima misi ini?]

[Ya!—Misi ini tidak dapat di tolak]

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!