NovelToon NovelToon

Vano Axelion Abraham

kegiatan rutin

Pagi itu, kampus terasa hidup dengan keramaian khas mahasiswa yang bergegas menuju kelas atau berkumpul di kantin. Di bawah pohon rindang di taman fakultas, Naya duduk sambil membuka laptopnya, mencari bahan untuk tugas mingguan. Pemandangan ini adalah rutinitas yang menenangkan baginya; suasana pagi di kampus dengan udara segar yang membawa semangat baru selalu membuatnya merasa siap menghadapi hari.

Di sekelilingnya, beberapa teman sekelasnya berkumpul sambil bercanda dan menukar cerita soal dosen favorit atau ujian yang akan datang. Naya tersenyum kecil mendengarnya, teringat bagaimana minggu lalu ia dan teman-temannya terjebak dalam diskusi panjang tentang kasus perdata yang tampaknya sederhana tapi ternyata penuh jebakan. Di fakultas hukum, obrolan mereka selalu terasa seperti latihan sebelum memasuki ruang sidang sungguhan.

Sementara itu, suara langkah-langkah kaki di kerumunan perlahan mendekat ke arah Naya. Adrian, sahabatnya sejak tahun pertama, muncul dengan setumpuk buku di tangan. Ia duduk di sebelah Naya, meletakkan buku-buku itu dengan hati-hati, lalu membuka satu berkas yang terlihat cukup tebal.

“Hai, lagi sibuk ngerjain tugas ya?” tanyanya dengan nada santai.

Naya menatap Adrian sambil tersenyum. “Ya, ini tugas minggu depan. Lumayan ribet, jadi mending mulai sekarang biar enggak keteteran,” jawabnya sambil kembali fokus pada layar laptopnya.

Adrian mengangguk sambil membuka berkasnya. Ia tampak serius membaca beberapa halaman, namun sesekali melirik Naya dari balik berkasnya, seperti ingin berbicara lebih jauh tapi menahan diri. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bicara, “Ngomong-ngomong, kamu lihat Vano akhir-akhir ini? Aku dengar dia sibuk persiapan untuk kompetisi debat, katanya sampai nginep di kampus segala.”

Naya menggeleng pelan. "Enggak, udah lama enggak lihat dia. Dengar-dengar dia lagi ngejar proyek yang katanya super besar, ya?"

Adrian mengangguk sambil tertawa kecil. “Iya, dia memang ambisius. Setiap kali ngobrol soal hukum, bisa-bisa lupa waktu. Katanya, dia mau jadi jaksa yang hebat suatu hari nanti. Obsesi banget sama keadilan.”

Naya tersenyum, mengenang betapa antusiasnya Vano saat membahas hukum pidana atau kasus-kasus sulit yang membutuhkan analisis mendalam. Sebenarnya, ia mengagumi semangat Vano yang selalu berapi-api, meski kadang terlihat terlalu serius dan tegang.

Suasana antara Naya dan Adrian kembali tenang, masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Di sela-sela kesunyian itu, suara langkah mahasiswa lain, obrolan santai, dan gemerisik daun yang tertiup angin menciptakan latar belakang damai yang menenangkan. Tak ada yang aneh, tak ada yang mencurigakan, hanya pagi yang berjalan seperti biasanya.

Naya melirik arlojinya. "Eh, aku harus ke perpustakaan sekarang, ada buku yang harus kukembalikan."

Adrian tersenyum dan mengangguk, melambaikan tangan saat Naya beranjak pergi. Dalam langkahnya yang ringan, Naya merasa nyaman dengan rutinitasnya yang tenang ini. Tapi, tanpa ia sadari, kejadian-kejadian di hari-hari mendatang akan mengubah semua ketenangan ini menjadi mimpi buruk yang penuh teka-teki.

°°°°°°°

Untuk saat ini, di pagi yang tenang itu, Naya masih belum tahu. Naya melangkah menuju perpustakaan, menikmati udara pagi yang sejuk dan matahari yang menghangatkan punggungnya. Sepanjang perjalanan, ia bertemu beberapa teman yang menyapanya, beberapa di antaranya bertanya tentang proyek kelompok yang sedang mereka kerjakan bersama. Naya menjawab dengan antusias, karena baginya, semua ini—kelas, proyek, diskusi kasus hukum—adalah bagian dari kehidupannya yang menyenangkan dan penuh makna.

Sesampainya di perpustakaan, ia langsung menuju bagian rak khusus hukum pidana. Matanya menelusuri buku-buku tebal yang berjajar rapi, seolah-olah mereka menyimpan jawaban dari segala misteri hukum yang ada di dunia. Ia menarik sebuah buku tentang studi kasus kriminal dari rak, membolak-balik halaman yang penuh dengan analisis mendalam. Ada semacam ketenangan yang ia rasakan saat tenggelam dalam dunia hukum yang rumit dan penuh intrik.

Di antara lembaran-lembaran buku itu, pikirannya tak sengaja melayang pada Vano. Meski tak begitu dekat, Naya tahu Vano adalah sosok yang berpendirian kuat, terutama soal keadilan. Vano sering kali berdebat dengan teman-teman sekelas, mempertanyakan segala sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. Dia selalu menjadi pusat perhatian dalam diskusi, tidak hanya karena ketajamannya, tetapi juga karena keberaniannya mempertanyakan norma yang selama ini dianggap benar.

Naya tersenyum kecil saat mengingat suatu kali Vano pernah berdebat sengit dengannya soal sebuah kasus yang melibatkan pembunuhan berencana. Vano bersikeras bahwa pelaku harus mendapat hukuman yang lebih berat, sementara Naya, dengan idealismenya, percaya bahwa rehabilitasi juga diperlukan dalam beberapa kasus. Perdebatan itu berakhir dengan tawa dan obrolan ringan di kantin, di mana mereka saling menghormati perbedaan pendapat masing-masing.

“Naya?” Suara lembut namun tenang membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Renata, pustakawan senior yang sering membantunya mencari referensi.

“Oh, hai, Kak Renata!” Naya tersenyum sambil memegang bukunya.

Renata tersenyum balik, lalu menatap buku di tangan Naya. “Sedang tertarik dengan hukum pidana, ya? Atau masih penasaran dengan kasus yang waktu itu kamu ceritakan?”

Naya tertawa kecil. “Iya, aku lagi cari bahan buat tugas. Dan aku penasaran aja, soalnya kasus-kasus hukum itu punya banyak sisi yang menarik buat dianalisis.”

Renata mengangguk, lalu menatapnya dengan ekspresi sedikit serius. “Kalau tertarik soal kasus-kasus kriminal, kamu harus berhati-hati juga, Naya. Terkadang ada hal-hal yang sebaiknya tidak diungkap.”

Naya terdiam, merasa ada keanehan dalam perkataan Renata. Tapi ia hanya tertawa pelan, menganggapnya sebagai nasihat biasa dari seseorang yang sudah lama bekerja di dunia literatur hukum. “Aku akan hati-hati, Kak. Lagipula, aku cuma mahasiswa yang belajar kok, bukan detektif sungguhan.”

Renata tersenyum samar dan mengangguk. “Baguslah. Semoga kamu tetap begitu.” Dengan satu lambaian singkat, ia berlalu, meninggalkan Naya yang kembali ke meja untuk membaca buku yang ia ambil.

Pagi itu berlalu dalam ketenangan. Naya tenggelam dalam studi dan sesekali mencatat hal-hal penting. Semuanya berjalan lancar, tanpa ia menyadari bahwa dalam beberapa jam ke depan, berita tentang kematian Vano akan mengguncang kampus dan mengubah hidupnya.

keadilan

Beberapa jam kemudian, Naya berjalan menuju kantin kampus, perutnya mulai lapar setelah seharian berkutat dengan buku dan catatan. Saat mendekati kantin, ia melihat kerumunan mahasiswa berkumpul dengan wajah tegang, sebagian dari mereka berbisik-bisik, sementara yang lain tampak terpaku pada layar ponsel mereka. Suasana yang biasanya ramai oleh tawa dan obrolan ringan kini berubah menjadi bisik-bisik serius yang menciptakan atmosfer aneh.

Naya mendekati Rani, teman sekelasnya yang tampak ketakutan sambil memegang erat ponselnya. "Ran, ada apa? Kok semua orang kayak panik gini?"

Rani menatap Naya dengan ekspresi bingung dan cemas, lalu menyerahkan ponselnya. "Naya... Vano... Vano ditemukan tewas. Di ruang sidang fakultas kita."

Naya terdiam seketika, rasa dingin merambat di punggungnya. Ia menatap layar ponsel Rani, membaca berita yang terpampang di layar. Foto ruang sidang fakultas mereka muncul di sana, lengkap dengan garis polisi yang membentang, dan sebuah ambulans yang sedang bersiap mengangkut tubuh Vano. Deskripsi berita menyebutkan bahwa Vano ditemukan oleh seorang staf kebersihan, dan tubuhnya menunjukkan tanda-tanda kekerasan yang jelas.

“Enggak mungkin…” Naya berbisik pelan, nyaris tak percaya. Pikirannya berputar, mengingat sosok Vano yang baru saja mereka bicarakan tadi pagi, sosok yang selalu dipenuhi semangat dan ambisi. Bagaimana mungkin dia berakhir seperti ini?

Rani menepuk pundaknya pelan. “Naya, kamu baik-baik saja?”

Naya mencoba tersenyum walau wajahnya masih terlihat syok. “Aku… aku cuma enggak nyangka. Vano... dia kan baru saja membahas rencananya untuk kompetisi debat.”

Rani mengangguk, wajahnya sama-sama diliputi kesedihan. “Iya. Aku dengar polisi sudah mulai menyelidiki, tapi sejauh ini mereka belum menemukan petunjuk pasti siapa pelakunya.”

Naya mengangguk pelan, masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang menggantung di udara seolah ada lebih banyak rahasia yang terkubur di balik kematian Vano. Instingnya mengatakan bahwa ini bukan sekadar kasus biasa.

Saat ia hendak menenangkan diri dan kembali ke asrama, sebuah pesan muncul di ponselnya. Nomor tak dikenal.

"Kau ingin tahu kebenaran di balik kematian Vano? Mulailah dengan ruang sidang. Jangan bilang siapa-siapa."

Pesan singkat itu membuat jantung Naya berdebar keras. Siapa yang mengirim pesan ini? Mengapa pesan itu dikirim padanya? Dan, yang terpenting, mengapa ia merasa tertarik untuk mencari tahu?

Naya memandangi pesan itu, merasa terseret dalam lingkaran misteri yang mulai terasa semakin dalam. Terlepas dari ketakutannya, ia tahu satu hal pasti—ia harus ke ruang sidang malam ini, demi mencari jawaban di balik kematian yang tak terduga ini.

°°°°°°°

Malam itu, kampus terlihat sepi dan mencekam. Hanya beberapa lampu lorong yang menyala di sepanjang gedung fakultas hukum, menciptakan bayangan panjang di koridor. Naya melangkah dengan hati-hati menuju ruang sidang, menggenggam ponselnya dengan erat. Bayangan gedung dan suasana malam yang sunyi terasa lebih menyeramkan dari biasanya. Setiap bunyi kecil—desir angin, suara langkah kucing yang melintas—membuatnya terlonjak.

Pikiran tentang Vano tak henti-hentinya memenuhi kepalanya. Ia teringat betapa bersemangatnya Vano ketika mereka berbincang soal cita-citanya menjadi jaksa, ambisi yang seolah tak pernah pudar. Tapi kini, ambisi itu terkubur bersama jasadnya. Siapa yang tega melakukan ini padanya?

Saat sampai di depan pintu ruang sidang, Naya terdiam. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang, dan tangannya sedikit gemetar ketika hendak mendorong pintu kayu tua itu. Menarik napas dalam-dalam, ia berusaha menguatkan dirinya. “Kamu bisa, Naya. Demi Vano, kamu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Pintu itu berderit pelan saat ia mendorongnya, membuka ruang sidang yang kini gelap dan sunyi. Beberapa kursi masih tersusun rapi, tapi ada sesuatu yang terasa salah. Aroma samar antiseptik bercampur dengan bau lembap ruangan yang sudah lama tak digunakan. Naya melangkah masuk, mengarahkan senter ponselnya ke sekeliling ruangan. Tidak ada apa-apa—hanya keheningan yang terasa berat, seolah menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja.

Saat ia berjalan ke bagian depan ruangan, matanya tertumbuk pada sesuatu di lantai. Sebuah kartu kecil berwarna putih tergeletak di dekat meja saksi. Naya memungutnya dengan hati-hati, memperhatikan tulisan di kartu itu.

"Keadilan untuk yang berani mencari kebenaran."

Kata-kata itu membuat bulu kuduknya berdiri. Siapa yang meninggalkan kartu ini di sini? Apakah pesan ini untuknya? Atau mungkin untuk Vano, sebelum ia menemui ajalnya?

Naya merasakan dering ponselnya yang tiba-tiba berbunyi, membuatnya terlonjak. Dengan cepat, ia membuka pesan baru yang masuk. Kali ini, nomor tak dikenal itu mengirim pesan lagi.

"Lihat di bawah meja saksi. Di sanalah petunjuk dimulai."

Naya menggigit bibir, berusaha menenangkan diri dari rasa takut yang semakin mencengkeramnya. Tapi dorongan untuk mencari tahu lebih kuat dari ketakutannya. Ia mendekati meja saksi dan berlutut, mengarahkan senter ponselnya ke bawah meja. Di sana, tersembunyi sebuah amplop cokelat yang terlihat agak kotor, seperti sudah lama berada di tempat itu.

Perlahan, ia mengambil amplop tersebut, membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat beberapa foto dan selembar catatan tulisan tangan. Foto-foto itu menampilkan Vano bersama beberapa orang yang tak begitu dikenalnya—sebagian dari mereka tampak seperti mahasiswa hukum, sementara lainnya adalah orang-orang yang lebih dewasa, mungkin pengajar atau alumni.

Namun, yang menarik perhatian Naya adalah catatan yang tertulis dalam tulisan tangan rapi di balik salah satu foto:

"Kebenaran itu mahal. Tapi Vano telah menemukannya, dan dia memilih untuk tidak diam."

Naya membeku. Apakah ini berarti Vano telah menemukan sesuatu yang membahayakan dirinya? Ataukah ini adalah petunjuk tentang siapa yang mungkin membunuhnya?

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Suara itu semakin dekat, berderap di lorong menuju ruang sidang. Naya segera mematikan senter ponselnya dan bersembunyi di balik meja saksi, menahan napas.

Suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu. Naya bisa merasakan jantungnya berdegup semakin kencang, takut bahwa orang di balik pintu itu akan menemukannya. Pintu terbuka perlahan, dan siluet seseorang berdiri di ambang pintu. Meski dalam kegelapan, Naya bisa melihat sosok itu melangkah masuk, memperhatikan sekeliling ruangan dengan gerak-gerik yang penuh kewaspadaan.

Tanpa suara, Naya merapatkan diri ke lantai, berharap sosok itu tak akan menyadari keberadaannya. Namun, ketika ia mencoba mengintip lebih dekat, matanya menangkap kilatan benda tajam di tangan orang itu—sebuah pisau.

Naya menahan napas, tubuhnya kaku di balik meja saksi. Satu langkah salah saja, dan dia mungkin menjadi korban berikutnya dalam pencarian kebenaran ini.

bayang bayang kematian

Naya merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, jantungnya berdetak begitu kencang hingga rasanya terdengar di seluruh ruangan. Dalam gelap, ia mengintip sedikit dari balik meja saksi, melihat bayangan sosok misterius itu bergerak perlahan, mengitari ruang sidang dengan pisau di tangan. Bayangan itu tampak ragu, seakan mencari sesuatu—atau seseorang.

Setiap langkah pria itu menghasilkan bunyi pelan yang menggema di lantai kayu tua ruang sidang. Naya menahan napas, tubuhnya berusaha melebur dalam kegelapan, berharap keberadaannya tidak disadari. Namun, rasa takut menyelimuti dirinya begitu kuat. Pikirannya berpacu mencari jalan keluar, tetapi tidak ada cara yang aman. Hanya ada satu pintu masuk, dan sosok itu berdiri tepat di ambang pintu, menghalangi satu-satunya jalan kabur.

Sambil bersembunyi, Naya meremas amplop berisi foto dan catatan itu, menyadari bahwa mungkin inilah alasan Vano dibunuh. Tanda-tanda ini, petunjuk ini—semua berbau rahasia yang tidak boleh terungkap.

Tiba-tiba, pria itu berhenti, mengangkat pisau di tangannya dan menatap sekeliling dengan intens. Naya mengalihkan pandangannya, merasa bahwa sosok itu bisa saja menangkap bayangan atau pergerakannya sekecil apa pun.

“Siapa pun yang di sini, keluar sekarang,” suara pria itu terdengar dingin dan tajam, bergema di ruangan hampa. Tidak ada nada marah atau panik; hanya ketenangan yang menyeramkan.

Naya merapatkan bibirnya, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia memeluk lututnya erat, menundukkan kepalanya agar tidak terlihat dari sela-sela meja. Tapi di dalam dadanya, hatinya sudah kacau balau. Jika pria itu menemukannya, ia tahu tak akan ada kesempatan untuk bertanya atau memohon.

Beberapa detik berlalu, lalu pria itu melangkah lagi, kali ini mendekat ke meja saksi. Naya memejamkan mata, berharap ia tak akan menemukannya. Namun, saat suara langkahnya semakin dekat, napas Naya semakin tersengal.

Ketika pria itu sampai di dekat meja saksi, ia berhenti lagi, seperti merasakan keberadaan seseorang di dekatnya. Naya hampir menyerah pada ketakutannya, merasa bahwa detik ini akan menjadi detik terakhirnya.

Saat itu juga, terdengar suara langkah cepat dari lorong luar ruangan. Seseorang mendekat.

Pria itu menoleh ke arah pintu, tampak terkejut sesaat. Dengan cepat, ia melangkah mundur dan berlari keluar ruangan tanpa suara, menghilang ke dalam kegelapan lorong.

Naya tidak langsung bangkit. Dia tetap bersembunyi, menunggu sampai langkah kaki misterius itu benar-benar menghilang. Napasnya masih tertahan, tetapi dalam dadanya ada sedikit kelegaan. Seseorang—atau sesuatu—telah menyelamatkannya.

Beberapa saat kemudian, suara langkah yang lebih familier terdengar. Seorang penjaga kampus muncul di ambang pintu, memegang senter. Cahaya senter itu menyapu seluruh ruangan, berhenti sejenak di meja saksi di mana Naya masih bersembunyi.

“Hei! Siapa di sana?” suara penjaga terdengar curiga. Cahaya senter menyorot ke arah Naya, dan ia tahu tak ada gunanya bersembunyi lagi.

Naya bangkit perlahan, kedua tangan terangkat sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak membawa senjata atau melakukan sesuatu yang mencurigakan. Wajah penjaga itu terlihat terkejut saat mengenalinya.

“Naya? Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?” tanya penjaga itu, dengan nada heran namun waspada.

Naya, yang masih sedikit gemetar, berusaha menenangkan diri. “Maaf, Pak… Saya… saya cuma mencari beberapa bahan untuk tugas.”

Penjaga itu menatapnya dengan ekspresi tak percaya, tetapi tidak menanyainya lebih lanjut. “Seharusnya kamu tidak berkeliaran di tempat ini malam-malam, apalagi setelah kejadian kemarin.”

Naya mengangguk pelan, masih memegang amplop di tangannya. “Ya, maafkan saya, Pak. Saya akan segera keluar.”

Penjaga itu mengangguk, lalu mengantar Naya keluar dari gedung fakultas. Saat melangkah pergi, Naya merasakan hawa dingin yang aneh merayapi kulitnya. Ada sesuatu yang tidak terjawab, sesuatu yang bersembunyi di balik amplop di tangannya.

Begitu ia mencapai asrama, Naya menutup pintu kamarnya dan mengunci rapat-rapat. Amplop itu ia letakkan di mejanya, dan di bawah sinar lampu, ia memeriksa foto-foto dan catatan itu dengan seksama. Matanya tertumbuk pada satu foto terakhir—foto Vano yang tampak berdiri di depan gedung fakultas hukum dengan ekspresi tegang. Di belakangnya, samar-samar terlihat sosok lain yang berjarak beberapa langkah, seolah-olah sedang mengawasi.

Perasaan takut Naya berubah menjadi tekad. Ada yang tidak beres. Ia tahu, apa pun yang telah ditemukan Vano sebelum kematiannya, adalah sesuatu yang berbahaya. Dan ia pun bersumpah, di antara rasa takut dan dorongan ingin tahu, bahwa ia tidak akan berhenti sampai menemukan kebenaran, meskipun itu berarti ia harus menghadapi kegelapan yang membayangi kematian Vano.

°°°°

Naya duduk di depan meja, mengatur ulang pikiran dan emosinya. Amplop yang berisi foto dan catatan itu tergeletak di hadapannya, menunggu untuk diungkap. Ia meraih foto-foto yang ada di dalam amplop itu, meneliti satu per satu, berusaha mengingat setiap detail. Beberapa di antaranya adalah foto Vano yang tersenyum, sedangkan lainnya menampilkan momen-momen di antara teman-teman kuliah mereka, tampak penuh kehidupan dan harapan. Namun, saat matanya terarah pada foto terakhir, rasa khawatirnya kembali muncul.

Vano tampak berbeda di foto itu—wajahnya tegang, seolah menyimpan rahasia yang berat. Naya kemudian beralih ke catatan yang ada di belakang foto. Dengan hati-hati, ia membuka selembar kertas yang terlihat usang, dan mulai membaca tulisan tangan Vano yang rapi.

"Naya, jika kamu menemukan ini, berarti aku sudah tidak ada. Aku terjebak dalam permainan yang lebih besar dari diriku. Mereka tidak akan membiarkan ini terungkap. Jaga dirimu. Jika kamu ingin tahu kebenarannya, kamu harus mencari di tempat yang aku sebutkan. Ada petunjuk di balik suara. Temukan suara itu."

Mata Naya melebar saat ia membaca kalimat terakhir. "Di balik suara?" pikirnya. Apa maksudnya? Suara apa yang harus dicari?

Dalam pikirannya, berputar beragam kemungkinan. Mungkin Vano pernah berbicara tentang sesuatu, atau ada rekaman yang bisa dijadikan petunjuk. Dia mencoba mengingat setiap obrolan, setiap momen di mana Vano terlihat gelisah atau tertekan. Namun, saat ia meraba-raba dalam ingatannya, sebuah nama tiba-tiba muncul: Andra.

Andra adalah teman dekat Vano yang sering membahas isu-isu hukum dan politik, terkadang dengan nada berapi-api. Dia memiliki banyak koneksi di fakultas dan bahkan di luar kampus. Jika Vano merasa terancam, Andra mungkin tahu sesuatu yang bisa membantu.

Naya menepuk-nepuk pipinya, menyadari bahwa ia tidak bisa berlama-lama. Ia harus segera mencari Andra. Dalam kegelapan malam yang pekat, ia mengambil jaketnya dan bergegas keluar dari kamarnya. Suasana kampus yang tenang dan sepi semakin menambah rasa mencekam di hatinya.

Langkahnya cepat menuju asrama Andra, yang terletak tidak jauh dari gedung fakultas. Setiap bunyi langkahnya menggema di lorong, menambah ketegangan yang mengisi udara. Sesampainya di depan pintu kamar Andra, ia mengetuk dengan cepat, berharap sahabatnya itu sedang tidak tidur.

Beberapa detik terasa seperti selamanya sebelum suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu dibuka, dan Andra muncul dengan ekspresi bingung, rambutnya acak-acakan. "Naya? Apa yang terjadi? Kenapa kamu datang malam-malam begini?"

"Nggak ada waktu untuk penjelasan panjang. Aku butuh bantuanmu, Andra. Ini tentang Vano," Naya menjawab cepat, merasakan kepanikan mulai merayap di dadanya.

Andra tampak terkejut. "Vano? Apa kamu sudah mendengar sesuatu?"

"Ya. Aku menemukan beberapa hal di ruang sidang, dan aku rasa dia terlibat dalam sesuatu yang sangat berbahaya. Kita harus mencari tahu," ucap Naya, berusaha menyampaikan urgensi situasinya.

Andra menatapnya serius, lalu mengangguk. "Oke, masuklah. Kita perlu membahas ini."

Naya melangkah masuk ke dalam kamar yang tidak terlalu besar, dikelilingi oleh tumpukan buku dan catatan kuliah yang berserakan. Andra menutup pintu dan mengunci rapat-rapat.

"Jadi, apa yang kamu temukan?" tanya Andra, duduk di tepi tempat tidur.

Naya mengeluarkan amplop dan foto-foto yang telah ia kumpulkan, menyebarkannya di atas meja. "Aku menemukan ini di ruang sidang. Vano menulis pesan ini untukku. Dia menyebutkan sesuatu tentang permainan yang lebih besar dari dirinya dan mencari petunjuk di balik suara."

Andra melihat foto-foto itu satu per satu, matanya menyipit ketika melihat foto terakhir yang memperlihatkan Vano di depan gedung fakultas. "Dia tampak sangat gelisah di sini. Ada sesuatu yang jelas terjadi, Naya. Kita harus mencari tahu."

"Siapa yang bisa kita hubungi? Siapa yang mungkin tahu lebih banyak tentang Vano dan apa yang terjadi padanya?" tanya Naya, semakin tidak sabar.

Andra berpikir sejenak, lalu berkata, "Ada seorang dosen yang bisa membantu. Dia terlibat dalam penyelidikan kasus-kasus hukum yang kompleks dan sering bekerja sama dengan mahasiswa hukum. Namanya Dosen Hwang. Dia tahu banyak tentang jaringan di fakultas ini. Tapi kita harus hati-hati. Jika ada orang yang mencurigakan, mereka bisa saja mengawasi kita."

Naya mengangguk. "Kita harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat."

Mereka berdua segera bersiap-siap, berpikir tentang apa yang akan mereka katakan kepada Dosen Hwang dan bagaimana cara mendapatkan informasi tanpa menarik perhatian. Dalam hati, Naya berdoa agar langkah mereka tidak sia-sia. Kegelapan menyelubungi kampus, tetapi dia tahu, jika mereka bisa menemukan kebenaran, mungkin Vano bisa mendapatkan keadilan yang ia inginkan sebelum ajal menjemput.

Ketika mereka melangkah keluar dari kamar Andra, Naya merasakan ketegangan di udara, seolah-olah sesuatu sedang menunggu di ujung kegelapan. Suara langkah mereka menggema di lorong sepi, tetapi langkah kaki di belakang mereka tidak terdengar. Naya merasa seolah ada mata yang mengawasi mereka dari kegelapan. Mungkin ketakutannya bukan tanpa alasan. Apakah mereka akan menjadi target selanjutnya dalam permainan berbahaya ini?

Setiap detik berlalu, ketegangan itu semakin menguat, dan Naya tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!