NovelToon NovelToon

HARI TANPA CAHAYA

Prolog (Remake)

Angin berhembus melewati sela-sela reruntuhan. Pancaran cahaya bulan biru memantul dari satu tempat ke tempat lain, membawa kekosongan dalam senyap nya malam. Sebuah Kota yang telah hancur, dan kini hanya dihuni oleh para monster.

Seorang gadis berusia 7 tahun terfokus memegangi sniper, mengincar satu sosok setinggi lima meter di antara reruntuhan. Sosok itu menoleh ke sana sini, seolah mencari sesuatu. Tepat saat tubuhnya berbalik. Anak itu menekan pelatuk---peluru melesat membidik bola mata raksasa yang tertanam di leher, seketika menembusnya.

Mereka menyebut sosok itu sebagai, Wanters. Mahkluk, yang telah menghancurkan ketenaran manusia. Guratan garis merah yang memenuhi tubuhnya merupakan ciri khas dari mahkluk tersebut. Dia juga memiliki tingkat masing-masing dengan kekuatan yang berbeda.

Gadis itu menurunkan senjata, terfokus pada Wanters yang terkikis menjadi abu. Mata birunya berbinar, mengangkat tangannya dengan gembira.

"Lihat! Kak Via. Kamu melihatnya kan?" Angin menghembuskan rambut putihnya, lembut di bawah sinar rembulan. Menatap seorang wanita yang keluar dari reruntuhan.

"Tidak buruk, tapi.. akurasimu kurang tepat. Untung hanya wanters tingkat satu." Via menggetok pelan kepala anak itu, kemudian mengusapnya.

"He.. tapi. Bukankah ini cukup untuk membantu Papa nanti," keluhnya, mengusap kepala sambil cemberut, menatap wajah cantiknya.

Via tertegun, mengerutkan sedikit kening---kau memang hebat Raika. Anak seusiamu, bisa mengendalikan Art adalah sesuatu yang langka. Namun, maaf, aku tidak ingin rencana kami gagal---Dalam hati, sambil menatap Raika dengan senyuman yang seolah dipaksakan.

"Tiiidak. Kau masih belum cukup untuk membantunya. Aku saranin kamu berlatih lagi, hingga sesuai target yang telah diterapkan. Setelah itu, aku akan mengatakannya pada mereka," jelasnya yang kesekian kalinya.

Raika mengalihkan pandangan ke bawah, sedih atas apa yang ia dengar. "Berapa lama lagi, aku, bisa membantu kalian. Apakah hasil yang kubuat masih belum cukup?"

Via memegangi bahu Raika, sama seperti biasa. Target yang Raika buat sebenarnya sudah sesuai yang ia katakan, tapi dengan pintarnya Via menggeser sedikit, hanya ingin mengulur waktu supaya Raika tidak menganggu tugas sang Ayah.

"Maaf ---" Via mengalihkan pandangan ke pria bermasker yang menatapnya dari jauh.

"Untuk latihan saat ini, kita sudahi dulu. Kita lanjutkan nanti," ucapnya, beranjak pergi dengan tergesa-gesa.

"Tunggu, kak Vi---" Raika tidak melanjutkan ucapannya, menatap kepergian Via bersama pria bermasker yang kian menjauh.

Ini bukan pertama kalinya ia meninggalkan Raika. Padahal, ayah berpesan untuk menjaganya saat melakukan misi. Namun, ia selalu pergi seolah terdapat sesuatu yang jauh lebih penting.

Raika tidak mengatakan itu pada sang Ayah, karena ia tau, tugas yang Via kerjakan mungkin cukup penting. Itu lah yang selalu Raika lihat dari wajahnya.

"Aku sendirian lagi ... Papa, suatu hari nanti aku pasti akan ikut kan?" gumam Raika, menatap langit tanpa bintang yang hanya terlukis bulan biru, sendirian.

Raika melangkah pergi menuju tenda tempat orang-orang berpesta alkohol. Mereka semua adalah satu kelompok termasuk Raika dan Ayahnya, Fate. Alasan mengapa Fate mengikuti kelompok ini, karena sebelumnya ia dijanjikan hidup nyaman bersama putrinya di dalam Distrik, atau kota yang di lindungi dinding raksasa.

Untuk memasuki Distrik, mereka perlu mempunyai sebuah ID sebagai kartu penduduk. Bila seseorang tidak memilikinya, maka tidak ada yang bisa masuk. Total Distrik yang masih berdiri saat ini hanya 10 di seluruh daratan, dan masing-masing memiliki ID yang berbeda.

Di tengah kebosanannya, Raika menghentikan langkah di antara beberapa orang yang berjalan. Pandangannya tertuju pada bangunan, yang berdiri kokoh. Tempat biasa Via pergi setelah melatihnya.

"Kenapa kak Via pergi ke sana? Kenapa kak Via lebih mementingkan pergi ke sana? Kenapa? ... Apa ada yang seru di sana?" Raika berkata penuh pertanyaan, dengan sekali-kali mengedipkan matanya.

Seketika ia tersentak, seolah mendapatkan jawaban acak. "Apa di sana seru? Apa mereka melakukan sesuatu yang mengasikan. Bukankah kak Via selalu kesana? Itu artinya pasti ada sesuatu. Bahkan kak Via tidak menolak."

Raika menelan ludah, menimbang-nimbang, apakah ia akan ke sana? Setelah memastikan sekitar, ia memutuskan untuk memeriksanya. Penjaga yang biasa berdiri di kedua samping pintu kini tidak ada. Tanpa pikir panjang, Raika bergegas masuk tanpa di ketahui siapapun.

Raika mengikuti lorong yang hanya di temani kedipan lampu. Semakin dalam ia melangkah udara di sekitar semakin sejuk serta dingin yang semakin menusuk---Kenapa kak Via selalu ke sini? Tidak ada apapun? ... Dingin---Batinnya. Menghentikan langkah, sambil memegangi kedua tangan.

Di luar gerbang, penjaga yang baru saja kembali, menyadari sebuah jejak kaki kecil. Dia menyentuhnya, dan menjilatnya---Basah. Kenapa selalu ada orang bodoh yang melanggar peraturan---Batinnya, berbarengan dengan beberapa orang yang baru datang.

"Ada apa? Apa ada orang yang berani masuk huh?" ucap salah satu dari mereka, berbadan kekar.

"Ya. Anak kecil ..." jelas penjaga yang memeriksa jejak kaki itu.

Jumlah mereka ada empat, saling menatap satu sama lain seolah tidak percaya. Kemudian mereka tertawa, tidak tahan, Kenapa bisa anak kecil masuk ke tempat ini?

Tiga orang menyusulnya masih dengan gelegat tawa. Ingin tau sosok seperti apa yang berani masuk. Apa tidak ada yang mengajarinya?

Raika yang sudah tidak nyaman berencana putar arah, karena ia tidak menemukan apapun. Yang ia tahu semua ini hanyalah lorong kosong, seolah tidak memiliki ujung---Aku tidak tau. Sebaiknya berlatih lagi. Lagi pula tidak ada apapun di sin---Batinnya terhenti seketika mendengar langkah ramai yang semakin mendekat.

Seketika, Raika teringat peringatan Ayah dan Via yang melarangnya untuk memasuki tempat ini. Sial, Dia sudah terlambat. Badannya bergetar, tidak tau apa yang harus dilakukan.

"Lari?" Raika menghentakkan kaki, berlari semakin dalam tidak peduli apa yang terjadi.

"Oi.. kalian dengar itu?" suaranya menggema berkali-kali.

"Hehe.. apa kau tersesat lalat kecil!" teriak salah satu dari mereka diikuti suara langkah kaki yang semakin cepat.

Raika terus berlari hingga menemukan pintu berlampu merah. Namun, ia tidak dapat membukanya meski telah di dorong sekuat mungkin. Raika berlari kembali, tidak jauh dari sana ia melihat sekumpulan kardus di pojokan dinding. Bergegas ia memasukinya berusaha menghilangkan suara dan mengatur ritme pernapasan.

Jejak kaki semakin mendekat. Meski samar, Raika melihat mereka melewatinya. Setelah aman, ia bergegas keluar dari kardus, tapi langsung ia urungkan kembali saat mendengar suara seseorang di dalam ruangan berpintu merah sebelumnya. Suara itu seperti suara pria bermasker.

"Yaaah. Setelah ini tugas kita selesai. Langkah terakhir kita hanya melarikan diri saja. Apa susahnya, hah?" ucapnya, seolah menganggap enteng, apapun.

"Tapi, bagaimana jika mereka gagal? Meski Fate berhasil mengambilnya, belum tentu dia selamat dari penjagaan," jawab suara pria lain.

"Heh! Tidak per~"

Raika tertegun, ia tidak percaya nama ayahnya bakal di sebut---Aku akan tau apa yang ayah lakukan. Cih! Suara mereka kurang jelas---Batin, sambil mencari cara untuk bisa memperjelasnya.

Raika memberanikan diri keluar dari kardus, ia menempelkan telinga pada dinding, sambil berjalan mencari lokasi yang pas. Namun, fokusnya seketika buyar ketika sebuah tangan memegangi bahunya. Refleks Raika menoleh, tapi mulutnya di tahan, membuatnya memejamkan mata.

Sitss...

Orang itu ber desis, memberikan isyarat untuk tidak bersuara. Meski ragu, Raika membuka matanya, terkejut menyadari dia adalah, Via.

"Kak Via," ucap Raika pelan.

"Untuk sekarang kita harus pergi dari sini, paham," bisiknya, sambil tersenyum yang lagi-lagi seperti di paksakan.

Dalam hati, Raika terus berkata kenapa? Apa yang sebenarnya mereka kerjakan? Tapi, ia tidak bisa melakukan apapun. Raika hanya mengangguk, kemudian tangannya di gandeng Via keluar dari tempat itu.

Penjaga yang melihat mereka berdua, terdiam. Badannya bergetar menyadari Via menatapnya setajam silet. Raika hanya menunduk, merasa bersalah atas apa yang ia lakukan.

"Raika ..." ujar Via, namun tidak disambut Raika. Wajahnya tampak murung.

Via berjongkok, menatapnya seolah tidak terjadi apa-apa. "Sudah lupakan saja yang tadi. Yang penting, aku memiliki kejutan. Mau tau?"

Raika yang tampak murung, berubah menjadi penuh pertanyaan, meski sedikit lesu. "Kejutan?"

Via menoleh ke belakang dalam sekejap. "Ah. Akan aku tunjukkan. Bukankah ini yang kau mau?"

Via menyingkir di hadapan Raika, memperlihatkan seorang laki-laki berambut coklat menatapnya dengan senyuman lembut. Raika terdiam sejenak, sebelum tak kuasa menjatuhkan air matanya.

Dia berjalan sedikit demi sedikit, kemudian berlari. "Papa ..." Memeluknya erat, seperti tidak ingin ditinggalkan kembali. "Bodoh. Lama sekali. Kenapa Papa begitu lama?"

Fate mengusap kelapa anaknya, sambil tertawa haru. "Maaf. Papa janji sekarang tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi."

Pandangan Raika beralih pada wajah sang Ayah yang tersenyum. "Sungguh?"

"Ya. Lagi pula tugas Papa sudah selesai," jelasnya, membawa kabar gembira bagi Raika.

Raika seketika kepikiran tentang hasil latihannya bersama Via. "Papa! Aku ingin menunju---"

DOR!

Ucapannya terhenti bertepatan seseorang tidak jauh dari mereka, mati, diikuti suara tembakan yang memekakkan telinga.

Fate tersentak, ia tau apa arti dari tembakan itu---Apakah mereka berhasil melacak tempat ini?---Batin. Dengan sigap ia menarik Raika untuk segera melarikan diri.

Fate juga tidak melihat Via setelah mengantar Raika padanya.

Pikiran Raika stuck, matanya bergetar berusaha berlari menghindari hujan peluru yang memenuhi tempat dari ujung ke ujung, diikuti suara bom serta teriakan.

Beberapa dari mereka melawan balik, dan sebagian lagi melarikan diri---Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa, semua ini ... Kak Via?---Batin Raika, sambil terus memacu langkahnya bersama sang Ayah, mencari keberadaan Via yang anehnya Raika tidak melihatnya.

End prolog.

Bab 1 Awal yang baru (Remake)

Sebuah tempat kosong dengan langit merah menggantung di bawah perairan, tanpa satupun daratan. Kabut memenuhi tempat itu dengan suara ombak yang kental seperti darah.

Seorang gadis berumur 15 tahun terdiam dengan mata kosong, seolah kehilangan dirinya. Bertepatan dengan jatuhnya setetes air, ia tersentak.

"Di, di mana ini?" ucapnya sedikit panik, namun langsung terdiam, seperti menyadari sesuatu. "Begitu. Tempat ini lagi," gumamnya, menggema, sambil mengepalkan tangan.

Gadis itu menatap tangannya sendiri, berusaha mencerna apa yang terjadi sebelumnya---Ini yang ke sekian kalinya. Namun, aku melupakan hal-hal yang terjadi kembali. Kenapa aku selalu berada di sini? Aku tidak tau---Batin, sambil menghela napas. Gadis itu berjalan, membuyarkan air merah yang menggenang di bawah kakinya. Tatapannya lurus, hampir tidak melihat ujung dari tempat ini.

Karena merasa dipermainkan, ia mengambil sniper di punggung, mengisinya dengan amunisi yang langsung ia arahkan ke atas. Pelatuk ia tekan, seketika ledakan peluru begitu nyaring, memecah kesunyian di kala itu.

Kemudian semuanya menjadi senyap. Aneh, tangannya bergetar sendiri, seolah menyadari sesuatu yang masih terasa samar---Kenapa? ... Apakah mungkin---batinnya terhenti, ia menoleh ke belakang, di saat itu juga ekspresinya ketakutan seperti mengalami trauma, menatap dua sosok merah yang mencekik salah satu dari mereka.

"Pa---"

---

Brugk.

Di dalam kamar yang hampir hancur, seorang gadis memukul lemari dalam posisi tidur. Perlahan ia membangunkan tubuhnya, terduduk sambil mengikat perban yang ia ambil di atas meja ke tangannya yang berdarah---Kenapa ... Mimpi itu selalu muncul? Apakah semua ini ada hubungannya denganku?---Batin, menatap tangan yang telah di perban.

Alarm berbunyi, mengalihkan fokusnya pada sesuatu yang harus ia lakukan.

Meski tubuhnya lemas, ia memaksakan diri untuk bangun. Kemudian mencuci muka di depan keran sambil menatap diri sendiri dalam retakan kaca---Aku harus menyelesaikan sesuatu. Seharunya sekarang selesai, kan?---Batin, sambil berjalan mengenakan jaket hitam serta peralatan yang dibutuhkan. Tidak lupa, ia membawa sniper serta kalung besi bertulis, Raika Rosefate.

Saat ia membuka pintu, angin menyeka rambut putihnya serta debu yang hampir memasuki mata. Sejauh ia memandang hanya ada kehancuran kota tanpa ada satupun penghuni. Bahkan rumput sudah hampir menyelimuti bangunan yang ada di sana---Seperti biasa, semuanya gelap. Entah kenapa aku malah percaya dunia memiliki langit yang cerah. Lelucon yang sangat konyol---Batin, sambil menuruni anak tangga yang hampir roboh.

Raika melangkah mengikuti hancurnya jalanan di atas bulan biru yang bercahaya. Tujuannya hanya satu, memburu Wanters dan mengambil Arcis untuk ditukar menjadi mata uang, dan mata uang itu akan ia tukar menjadi Arcis tingkat 4 demi menyelesaikan senjata rakitannya.

Raika sendiri tidak tau mengapa ia melakukan semua ini. Yang ia tau, dirinya harus hidup. Entah mengapa ia memiliki keyakinan itu. Bahkan, Raika lupa dengan masa lalunya, dan hanya mengingat dirinya berjalan sendirian dengan keyakinan untuk bertahan hidup.

Cukup lama berjalan, akhirnya tiba di sebuah tempat rata, hasil dari runtuhnya gedung-gedung. Raika bersembunyi di balik tembok, sambil memantau dengan teropong; mahkluk setinggi 4 meter dengan guratan merah menjalar di seluruh tubuhnya---Delapan Wanters tingkat 1 dan dua tingkat 2 ... Awal yang lumayan---Batin, sambil mempersiapkan sniper serta belati untuk berjaga-jaga.

Raika berjalan ke arah area yang lebih luas. Wanters tidak akan melihatnya karena kabut, tapi rencananya bukan itu.

Dia membidik satu Wanters yang berada di atas gedung. Setelah menghembuskan napas; pancaran biru melesat, menembus mata yang tertempel di leher. Seketika menjatuhkannya.

Mereka berteriak, menandakan ancaman telah mengusiknya. Semua yang ada di sana bergerak serempak ke arah Raika. Namun dengan tenang, Raika menekan pelatuk, mengatur napas serta fokus.

Dalam kabut yang semakin tebal, Wanters tingkat satu jatuh saling bergantian, menyisakan satu Wanters tingkat 1 dua Wanters tingkat 2.

Raika memegang dua belati yang menyala biru di belakang tubuhnya. Saat kedua Wanters mendekat, ia melesat menghancurkan satu inti kelemahan, dengan gesit mengindari serangan mereka, dan berhasil memoles keduanya hingga hancur.

Dia berdiri bertepatan dengan dua Wanters yang menjadi abu---Terakhir!---Batin, melemparkan belati ke belakang bertepatan dengan Wanters tingkat 2 yang muncul dalam kabut.

Brugk!

Wanters jatuh, Raika sudah menghindar sebelum monster itu menggapainya. Perlahan tubuhnya menjadi abu, dan menjatuhkan kristal yang dapat berdetak.

Kemudian ia mengeluarkan gelang dari tas kecilnya.

"Masih kurang 71 lagi ... Aku harap, bertemu dengan tingkat 3." Setelah memakainya, Raika menarik semua Arcis ke tangannya meski jarak yang lumayan jauh.

Setelah mengambil tas, ia bergerak kembali ke arah kota berpenghuni.

---

Udara yang tenang seketika buyar saat beberapa Wanters melesat. Raungan mereka keras. Mengincar satu sosok dengan dua belati serta tubuh yang telah ber uap---5 dari kiri. 6 dari kanan. 3 dari belakang. 4 dari depan. 5 belati cadangan telah siap---Batin Raika. Wanters menyergap, namun ia telah berpindah.

Dari atas, melesat sebuah belati menghancurkan mata di atas punggung, diikuti Raika. Beberapa Wanters hendak menyergapnya, namun kali ini pergerakan Raika jauh lebih cepat. Ia menghindar sambil memoles satu persatu bola mata tersebut. Melompat dari satu tubuh ke tubuh yang lain.

7 Wanters terakhir mengincar dari berbagai arah, tetapi semua bola mata hancur saat Raika menggerakkan telunjuk dalam diam, membuat 5 belati yang tersebar menghancurkannya---Aku kira akan sulit. Seharunya aku tidak menggunakan 5 belati ... ya sud---Batinnya terhenti saat sebuah gedung jatuh dari jauh.

"Mungkinkah, itu ...." Raika bergegas ke sana sambil merapihkan peralatannya.

Dia terus bergerak masih mengaktifkan kekuatannya yang disebut Fury mode. Dengan kekuatan itu ia mampu memperkuat kemampuan fisik. Namun, jika di pakai terlalu berlebihan maka tubuhnya beresiko lumpuh, bahkan bisa menyebabkan kematian.

Raika melompat diantara puing-puing bangunan dengan cepat berada di atas gedung. Teropong ia gunakan, memantau sosok yang ia harapkan---Ternyata benar. Wanters tingkat 3 ... Tapi, sepertinya dia sedang di sibukkan oleh seseorang. Apakah pemburu lain?---Batin, sambil melihat seorang pria berusia 21 tahun, seolah sedang terpojok.

Raika terus mengamatinya karena berhadapan dengan Wanters tingkat 3 bukanlah hal yang mudah---Jika kutunggu pria itu mati, mungkin itu adalah keuntungan yang bagus ... Pria tidak beruntung, sayang sekali. Hmm.. Seragam yang dia gunakan, bukankah dia salah satu anggota pertahanan, Arkers. Kenapa bisa sendirian?---Batin, sambil terus memantaunya. Namun aneh, Raika merasakan getaran di tubuhnya, seperti ragu akan dirinya sendiri.

Menghela napas. "Sebaiknya aku membantunya, dan bergegas mengambil Arcis setelahnya."

---

Pria itu terus berlari, menangkis dan mengindari serangan Wanters meski tubuhnya sudah di penuhi cairan merah. "Bagus. Sekarang tinggal kau dan aku ... Fiuh, ini akhir yang buruk."

Raika dengan cepat menyergap Wanters itu dari atas, menggores punggung tebalnya. Tangan raksasa yang dipenuhi uap, memukul ke arahnya, namun Raika terlebih dulu menjauh.

Perhatiannya telah teralihkan.

End bab 1

Bab 2 Raid dan kota tersisih (Remake)

Raika menatap fokus pada tubuh besarnya yang kini berwarna merah dengan guratan hitam---Fase Akhir. Sudah ku duga ini tidak akan mudah, tapi aku telah menyiapkan belati yang ku sebar untuk jaga-jaga. Aku butuh waktu 10 menit sampai semuanya siap---Batin, sambil menghindari serangan, seperti laser yang mempu memporak-porandakan puing-puing.

Raika melesat menghampirinya dengan dua belati, mengikis tangan besar Wanters bagaikan kilat dalam sekali gerakan. Namun, tangan monster itu tubuh kembali, dan bergerak menyerang balik dengan tubuh besarnya.

Raika menghindar sebisa mungkin, sambil mencari celah untuk menyerang, tanpa peduli pada reruntuhan yang hancur akibat amukan sang monster.

Pria yang sudah tidak menjadi incaran, tidak segera melarikan diri. Napasnya terengah-engah, menatap pertarungan dalam jarak yang aman---Seorang pemburu? ... Tapi, kenapa dia sekuat itu?---Batin, sambil tersenyum seolah memikirkan sesuatu yang sulit di jelaskan.

Raika terus mengikis dan memfokuskan serangan pada kristal yang melindungi mata besarnya di bahu---Masih tersisa 2 menit. Aku harus bertahan ... Hu!---Batin terhenti saat sebuah tangan muncul dari mulut dan mencengkeramnya.

Raika tetap tenang, mengerahkan tenaganya untuk terbebas. Namun, cengkraman itu cukup kuat, ditambah ia sudah terlalu lama mengaktifkan Fury mode.

"Cih!" Berdecak kesal menatap Wanters, sambil terus mengerahkan tenaga, hingga.

Crekk

Sebuah pedang patah, Raika melihat pria itu menyerang tangan tersebut seketika melemahkan cengkeramannya, yang langsung di manfaatkan Raika untuk mengayunkan telunjuk.

5 belati yang tertancap pada dinding gedung, melesat cepat menusuk inti kelemahan dengan aura yang membara, membuat kristal yang melindungi inti mata pecah sekaligus menembusnya.

Brugk!

Wanters terjatuh, tubuhnya terkikis menjadi serpihan debu secara perlahan. Raika bergegas mengambil Arcis tingkat tiga di dalam bola mata, sebelum di ambil oleh orang lain, itulah yang ia pikirkan. Namun, saat ia menoleh. Pria itu hanya menatapnya, sambil terengah-engah dengan darah yang menetes di pergelangan tangannya.

Raika menarik tasnya yang ia tinggal di atas gedung. Kemudian ia mengambil kantung berisi Arcis, dan melemparkannya pada pria itu.

"Tunggu! ... Apa yang kau maksud?" tanya pria itu setelah menangkap dan melihat isinya.

"Kita impas. Kalo gitu sampai nanti," jawab Raika, singkat sambil berjalan cuek.

"Tunggu dulu!" teriak pria itu, membuat Raika menghentikan langkahnya, dan terkejut saat kantung itu ia lemparkan kembali.

"Aku tidak membutuhkannya. Sebaliknya, terima kasih telah menolongku. Aku tidak nyaka masih hidup setelah memancingnya," jelasnya kembali sambil tersenyum ramah.

"Kau yakin?" Raika mengamati pria itu kembali. "Seorang Arkers. Aku paham maksudmu, tapi bisakah aku membeli informasi tentang Rogona?" Ia melempar kembali kantung itu padanya.

Author -- Rogona adalah kota kecil yang di dirikan untuk para pemburu, atau peristirahatan sementara bagi mereka yang habis perjalanan jauh. Setiap, Rogona pasti berdekatan dengan Distrik, dan Arkers sendiri adalah sebuah pasukan yang melayani Distrik.

Pria itu menangkapnya---Gadis ini ... tidak takut padaku?---Batin. Memperhatikan ekspresi Raika yang hampir tidak beraksi apapun, datar.

"Baiklah! ... Pertama, Jalur utama ke Rogona terputus akibat gelombang Wanters yang sulit ditebak. Kedua, Devio anak dari keluarga Elismares datang berkunjung untuk menyelenggarakan Raid Wanters tingkat 5 kembali. Sayangnya hanya itu yang aku tau," ungkapnya, dengan nada santai.

"Begitu." Raika mengangguk, sebelum beranjak pergi tanpa berpaling.

---

15 jam telah berlalu, dan kini Raika telah sampai di zona hijau. Dari jauh, di antara lapangan luas berdebu tanpa satupun gedung, bayangan kota kecil telah menampakan dirinya.

Tas yang Raika bawa kini sudah terisi banyak Arcis dari perburuannya saat melewati Jalur utama---Raid tingkat 5 yah ... Ini sangat bagus untuk senjataku. Namun, Wanters tingkat 5 seharusnya bukan lawan yang mudah. Aku tau. Sebelumnya mereka juga menyelenggarakan Raid, tapi dari banyaknya orang yang ikut, semuanya tidak ada yang selamat. Hmm.. akan ku pikirkan di lain waktu---Batin, sambil terus berjalan. Untungnya tidak ada Wanters di Zona Hijau, karena para Arkers rutin memburu mereka.

Sesampainya di kota, Raika di sambut mobil-mobil macet yang saling berlawanan. Ini adalah kondisi yang biasa, namun kali ini jauh lebih parah karena berita Raid mungkin telah tersebar ke Rogona lainnya.

Bangunan-bangunan di sini cukup rapuh, dan hampir tidak ada gedung pencakar langit. Karena memang kota ini dibuat seadanya, dengan fungsi lain yaitu menghambat terjadinya Eclipse, atau penyerbuan dalam jumlah besar ke setiap Distrik. Jadi, tidak ada gunanya juga jika membangun gedung atau sebagainya.

Namun naas, kota ini juga adalah tempat bagi mereka yang tidak bisa melakukan apapun, seperti orang miskin, orang yang kehilangan anggota tubuh, dan bagi mereka yang di asingkan. Sepanjang Raika berjalan, itulah yang ia lihat dari orang-orang yang terduduk lesu di samping bangunan kumuh.

Raika menghentikan langkahnya di depan sebuah Bar. Di sinilah tempat biasa yang ia kunjungi untuk menjual Arcis dan bernegosiasi dengan tujuan tertentu---Sebaiknya aku bergegas, dan secepatnya kembali. Dari jumlah orang-orang yang ku temui sebelumnya, kurasa akan beresiko jika aku mengikuti Raid. Entahlah berapa banyak mereka, jika tidak ada jaminan, ku rasa lebih baik menolak, tapi.. aku tidak tau---Batin, sambil berjalan memasuki Bar.

Suara berisik dari orang-orang mabuk memenuhi tempat. Beberapa orang menatap Raika sinis, dan sebagian lagi tertidur pulas meninggalkan aroma beer yang menyengat.

Bagi Raika semua ini adalah hal yang normal. Dia berjalan menuju kasir tanpa mempedulikan sekitarnya. Kemudian di sambut seorang wanita yang menghampirinya dengan senyuman hangat.

"Raika. Apa ada sesuatu yang menarik lagi? Aku tidak akan kaget jika kau membawa banyak Arcis kembali," guraunya, tidak lepas memandangi Raika.

"Sesuai dugaanmu." Raika menaruh kantung berisi Arcis. "Maaf bisakah kau percepat."

Wanita itu terdiam sejenak, kemudian menjawabnya dengan lesu. "Baik. Tunggu sebentar."

Raika hanya menjual Arcis tingkat 1 dan 2. Tingkat 3 ia simpan---Untuk sementara ini, mungkin aku akan mencobanya pada rakitan. Setelah semu---Batinnya terhenti ketika pintu bar di dobrak paksa oleh seseorang.

"Hoo.. tempat yang menjijikan. Hah.. kau yakin ini tempat terbaik yang ada di sini?" tanya seorang pria, berpakaian bersih. Tubuhnya tinggi kurus, memiliki mata tajam.

"Ya. Menurut informasi yang saya tau, hanya tempat inilah satu-satunya yang terbaik," jawab seorang wanita di sampingnya.

"Oi.. Vani. Kau yakin?" tanya pria lain di samping lainnya, serta satu wanita di belakang.

"Entah lah. Aku hanya mencari informasi," jawabnya kembali, menatapnya tajam.

Orang-orang di dalam bar semuanya terfokus pada mereka. Bukan dengan tatapan sinis, tapi dengan rasa takut. Karena pria yang berjalan di depan adalah Devio, anak dari keluarga Elismares. Bagi siapapun yang berurusan dengannya pasti hidupnya tidak akan tenang.

Keluarga bangsawan, yang hampir berkuasa di semua Distrik, itulah Elismares.

Beruntung, tempat duduk Raika hampir di pojokan, dan terhalang oleh beberapa orang. Sebagian orang yang berada di jalur Devio menjauh, karena rasa takut.

End bab 2

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!