Terjerat Cinta CEO

Terjerat Cinta CEO

Bab 1

Bab 1

"Iya, pak. Terima kasih." Ucap seorang perempuan berambut panjang dengan wajah cantik dan hidung mancung sembari menghela napas berulang-ulang. Ia baru saja mendapatkan telepon dari kantor kepolisian. Yang mengabarkan bahwa kerabatnya mengalami masalah disana.

"Kenapa, mbak? Telepon dari siapa?" Tanya gadis manis di sebelahnya yang sibuk mengaduk adonan kue.

"Al kena masalah, mbak harus ke kantor pihak berwajib sekarang." Desisnya sambil melepas apron yang masih ia kenakan.

Dia adalah Elena Rosalina. Seorang yatim piatu juga seorang ibu tunggal yang saat ini berusia 25 tahun. Bagaimana Elen yang masih berusia muda tapi bisa menjadi ibu tunggal dari anak yang usianya sudah remaja Calvin Chris Marin?

Kejadian itu bermula 8 tahun yang lalu saat sahabat kedua orang tua Elen yang sudah sangat menyayangi Calvin sepeninggal ayah dan bundanya, mengalami kecelakaan dan meninggalkan anak kecil yang bernama Calvin, yang biasa dipanggil Al. Kecelakaan tragis yang menimpa kedua orang tua Calvin meninggalkan Al, menjadi yatim piatu. Al bahkan sempat mengalami trauma. Sampai pada akhirnya Elen di umurnya yang ke 20 tahun memutuskan menikah dengan teman masa kecilnya sehingga resmi mengadopsi Al.

Satu tahun setelah pernikahannya, Elen dan suaminya bercerai. Ya, pernikahan itu hanya agar bisa mengadopsi Al saja tidak ada cinta diantara Elen dan suaminya. Saat ini bahkan mantan suaminya sudah menikah lagi.

Kecelakaan tragis itu tidak hanya merenggut orang tua Al tapi juga merenggut orang tua dari Rissa, sepupu Elen dari pihak ayahnya yang juga sedang berada dalam mobil bersama kedua orang tua Al. Dia adalah Nerissa Rosalie yang saat ini tinggal bersama Elen dan Al.

"Rissa, jangan lupa nanti ada pesanan yang diambil jam 4 sore." Sebelum pergi ke kantor polisi-Elen menitipkan pesan pada adik sepupunya.

"Iya, Mbak."

Elen buru-buru mengendarai mobilnya menuju kantor pihak berwajib. Elen sendiri memiliki bisnis kafe peninggalan kedua orang tuanya dan juga bisnis toko kue yang ia rintis sejak SMA karena memang dia sangat senang memasak, terutama membuat kue. Mempunyai beberapa toko kue. Dari bisnis-bisnis tersebut Elen membiayai hidup keluarganya.

Bruk!

"Ma-maaf."

Elen terlalu terburu-buru masuk ke dalam kantor polisi sampai ia tidak sengaja menabrak seseorang.

"Hm." Seseorang yang ditabraknya itu menjawab singkat. Lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kantor polisi. Begitupun Elen. Dirinya langsung mencari keberadaan Al.

Sampai di kantor pihak berwajib, Nabila malah melihat Al sedang dimarahi oleh ibu paruh baya. Al tengah berada di antara ibu-ibu berdandan menor dan seorang remaja yang sepertinya seusia dengan Al. Elen mendekati ke arah mereka mengobrol untuk mengkonfirmasi keadaan sang putra.

"Al," panggil Elen kepada sang putra.

"Mama," pekik Al mendelik melihat Elen menghampirinya. Dia menatap sang ibu dengan perasaan bersalah.

Kedua orang yang sedang bersama Al juga menatap ke arah Elen.

"Kamu ibunya?" Tanya ibu tersebut.

"Iya, saya ibunya." Tegas Elen. Dia sudah berada di dekat Al dan melirik kepada sang putra, fokus Elen berpindah pada pipi Al yang nampak kemerahan, seperti bekas tamparan.

"Pantesan anaknya urakan, ibunya aja kurang ajar." Sinis ibu itu.

'Plakk!'

"Apa yang kamu lakukan?" Pekik ibu paruh baya itu kaget karena tidak angin tanpa hujan, Elen tiba-tiba mendaratkan cap lima jari di pipinya.

"Ibu, saya sebenarnya tidak mau melakukan kekerasan tapi berhubung anda yang lebih dulu melukai putra saya jadi, saya tidak bisa diem saja, dong. Sekali anda melukai putra saya maka saya akan membalasnya. Tidak hanya berlaku untuk putra saya, saya juga akan melakukan hal yang sama jika anda berani menyentuh teman-teman putra saya. Putra saya mungkin melakukan kesalahan tapi bukankah dia sudah mengatakan sebagai perlindungan diri. Tadi seharusnya anda menganalisis dari sudut pandang putra saya juga bukan hanya dari putra anda sendiri. Apa yang terjadi diantara anak-anak memang salah, saya juga patut disalahkan karena lalai sehingga anak saya terlibat tawuran. Namun bukan berarti anda bisa menyentuh putra saya seenaknya." Jelas Elen menatap tajam tidak suka ibu di depannya ini. Dia tahu pasti bekas kemerahan di pipi Al ulah ibu itu karena tadi Elen sempat melihatnya dari kejauhan. Bagaimana ibu itu memaki Al.

"Dasar kurang ajar, berani kamu menggurui saya?" Ibu itu sudah mengangkat tangannya lagi siap menampar Elen namun ditahan oleh Elen.

"Jangan berani mengangkat tangan anda di depan saya!" Seru Elen sambil menghempas tangan ibu tadi.

"Ada apa ini?" Seorang petugas polisi datang menginterupsi.

"Kebetulan sekali bapak datang, saya mau bikin laporan perempuan muda ini sudah menganiaya saya. Tolong jebloskan dia ke penjara!"

Sedangkan Elen yang mendengar ibu tadi hendak menjebloskan dia ke penjara hanya memutar bola matanya malas.

"Pak, saya datang karena mendapat telepon putra saya dalam masalah. Saya harus ke bagian mana ya, pak? Untuk mengurus masalah putra saya?"

Petugas polisi tersebut mengangguk, "Mari silahkan, bu. Ibu juga silahkan ikut!" Mempersilahkan Elen dan ibu tadi untuk mengikutinya.

Sebenarnya Al dan yang lainnya sudah boleh pulang karena dijamin oleh salah satu dari orang tua teman Al setelah mendapatkan pembinaan. Namun, saat Al menunggu Elen menjemputnya malah terjadi masalah sementara teman-teman Al yang lain sudah dijemput.

***

Disisi lain seorang pria mature dengan balutan stelan jas mahal juga tengah berada di Kantor polisi untuk menjemput sang putra.

"Sa, Arka udah boleh pulang." Ucap Brian melapor.

"Daddy." Sapa bocah yang berjalan di belakang Brian.

"Bagaimana? Aman, atau ada yang luka?" Dia adalah Aksa Damian Axelle. Putra Tunggal keluarga Axelle juga seorang ayah tunggal dari remaja pria yang duduk di kelas XI bernama Arkana Ephraim Axelle. Aksa sendiri pria dewasa berusia 35 tahun. Wajahnya sangat tampan blasteran Indonesia-Korea Selatan-US. Rambutnya disisir rapi dengan postur tubuh tegap atltetis yang tingginya kemungkinan lebih dari 180 cm. Garis rahangnya tegas, dengan sorot mata tajam begitu mengintimidasi bahkan dalam keadaan tenang sedikitpun. Pembawaannya tenang dan serius.

Satu lagi, wajahnya dingin dan kaku. Jangan harap bisa melihat senyum di wajah pria irit bicara itu even setipis tisu pun.

"Aman, Dad."

"Oke, kita pulang." Ajak Aksa.

Sama saja dengan Al, Arka juga mendapat masalah, bedanya kalau Arka karena terlibat balap liar.

Setelah mengantar Arka pulang. Aksa dan Brian pergi ke Perusahaan.

Aksa adalah seorang bos dari perusahaan besar dan Brian adalah asisten sekaligus sahabat Aksa.

"Kalian dari mana aja?" Tanya Ervan, sahabat Aksa yang lain. Ervan sudah menunggu di ruang kerja Aksa.

"Biasa, jemput Arka di kantor polisi." Jawab Aksa santai seperti kenakalan yang baru saja putranya alami itu sudah hal biasa.

"Anak lo demen banget dah, keluar masuk kantor berwajib." Celetuk Garry. Sahabat Aksa yang lain.

Ya, Aksa dan 3 sahabatnya. Keemat pria itu adalah pria tampan yang mapan dengan pesonanya masing-masing.

"Mending lo cari istri buat jadi ibunya Arka, Sa. Biar ada yang mengontrol pergaulan Arka." Saran Brian.

"Yups, kali aja dengan adanya seorang ibu, anak lo jadi lebih baik." Timpal Ervan sependapat dengan Brian.

"Ckckck, anak gue selama ini nggak membutuhkan sosok seperti itu." Seperti biasa Aksa tetap keras kepala. Aksa berbicara macam itu karena merasa bisa mencukupi segala kebutuhan Arka tapi dia tidak tahu bagaimana perasaan yang sebenenarnya dirasakan Arka.

"Nggak ada salahnya lo pikirin dulu, Sa. Gue rasa makin kesini Arka emang makin nakal." Garry ikut menyumbangkan pendapatnya.

Aksa diam. Ia membenarkan ucapan para sahabatnya itu, sang putra kenakalannya memang diatas wajar. Namun, dia tidak bisa memberikan ibu sembarangan untuk Arka. Sebab, jika salah pilih bukannya kenakalan Arka membaik malah masalah lain yang akan Aksa hadapi. Saat tengah memikirkan saran dari teman-temannya, Aksa kepikiran dengan perempuan yang tadi tidak sengaja bertabrakan dengannya di kantor polisi, dia adalah Elen.

"Ckck, sudah memiliki suami sepertinya." Gumam Aksa. First impression Aksa saat berpapasan dengan Elen yang mengira perempuan itu masih muda. Ternyata dia bahkan sudah memiliki anak bujang. Terlihat dari interaksi Elen dan Al.

"Apa, Sa?" Brian tidak mendengarkan jelas ucapan Aksa sehingga bertanya.

"Nggak papa jadi, kalian ngapain datang ke kantor gue?" Tanya Aksa. Tidak biasanya kedua sahabatnya itu mengunjungi kantornya.

"Gue mau undang Lo untuk datang ke ulang tahun adek gue nanti malem." Ucap Ervan.

"Nggak ada waktu gue." Tolak Aksa.

"Ayolah, Sa. Kita sekalian nongkrong, Garry juga baru aja balik dari luar negeri kita udah lama nggak nongkrong."

"Gue juga butuh refreshing, Sa. Capek elah lo ajak meeting terus." Kelakar Brian mengeluh.

"Hahaha, tuh Sa, asisten Lo juga butuh hiburan." Kekeh Bara.

"Oke." Balas Aksa singkat setuju.

"Kita ketemu di tempat biasa."

"Hem." Ucap dari Aksa si irit bicara. Lalu, Garry dan Ervan pamit pulang.

"Bri, Kantor polisi tadi kenapa rame banget. Gue baru tahu banyak bocah suka balapan liar." Memang saat tiba di kantor polisi tadi banyak sekali yang tertangkap.

"Yang balapan nggak banyak, Sa. Cuman beberapa, salah satunya anak Lo."

"Terus?"

"Itu yang lain tawuran, kayaknya genk yang kalah balapan vs yang menang pada nggak terima jadinya tawur. Biasalah, Sa. Lo tau sendiri anak jaman sekarang."

"Oh." Dia lalu manggut-manggut.

Aksa kembali terdiam, dia mengingat bagaimana saat dirinya tidak sengaja bertabrakan dengan perempuan yang cukup membuatnya tertarik. Bagaimana tidak! Ini kali pertama dia begitu teringat pertemuannya dengan perempuan itu, mereka tidak terlibat lebih hanya tidak sengaja bersenggolan saat berjalan namun Aksa memikirkannya saat ini. Apa ini?

***

"Al, sekarang jelasin sama mami kenapa kamu tawuran? Bukannya kamu udah janji sama mama nggak bakalan ikut tawuran lagi?" Tanya Elen di sela-sela mengendarai mobilnya menuju rumah.

"Nggak, ma. Tadi tuh mereka duluan yang mulai. Temen aku menang balap motor tapi mereka nggak terima dibilang curang, terus ngehajar temen aku. Ya, aku sama yang lainnya gak terima lah kita hajar balik." Jawab Al menjelaskan.

"Ya, tapi nggak dengan tawuran juga kali, Al. Emang gak ada solusi lain?"

"Gak ada, ma. Hanya baku hantam solusinya."

Elen menghela napas berat, emang susah jadi ibu muda.

"Nggak sayang kamu, wajah kamu bonyok tuh. Kegantengan kamu jadi berkurang, Al."

"Tenang aja, ma. Lain kali Al nggak ikut tawuran lagi." Kata Al menenangkan Elen.

"Nggak ada lain kali. Ini yang terakhir kamu bonyok, ya."

"Iya, ma."

Sampai di rumah, Al langsung masuk ke dalam kamarnya. Sementara Elen pergi ke dapur.

"Gimana Al, mbak?" Tanya Rissa.

"Bonyok tuh pipinya. Heran mbak Ris, siang bolong balapan liar padahal baru juga pulang udah gitu tawuran lagi. Ckckck, kalau nggak sabar udah mati muda aku, Ris."

Rissa malah terkekeh mendengarnya, "Sabar, mbak." Sambil menepuk bahu Elen. Memang bukan sekali dua kali yang namanya Al itu membuat masalah. Yang jelas Elen kesabarannya seluas samudra saat menghadapi sikap Al.

Malam harinya. Al mengendap-endap ingin kabur untuk menonton balap liar, war siang tadi belum berakhir. Yang kalah dan yang menang akan berkumpul lagi malam ini di tempat lain untuk bertanding lagi. Namun, karena siang tadi sang Mama marah padanya Al jadi tidak bisa pergi secara terang-terangan jadinya ia pergi diam-diam.

Al si banyak akalnya tentu saja bisa dengan mudah melompat pagar rumah yang nggak terlalu tinggi sementara teman Al sudah menunggu di luar.

"Al, Mama lu gimana?" Tanya sahabat Al sambil menyerahkan helm pada Al.

"Mama nggak tahu, kita pergi sekarang. Biar ntar nggak kemalaman pulangnya."

***

Di tempat lain.

"Daddy mau pergi?" Tanya Arka pada sang ayah.

"Hem, ada urusan. Kamu mau kemana, boy?" Tanya Aksa melihat sang anak membawa helm.

"Balapan lagi?" Tebak Aksa.

Arka menggeleng, "Cuman nonton, Dad."

"Oke, hati-hati. Daddy pergi dulu." Pamit Aksa pada Arka. Arka juga langsung pergi setelah ayahnya.

Club Malam.

"Kok sepi?" Tanya Aksa yang baru saja datang.

"Salah info, Sa. Ternyata bukan hari ini pestanya." Ervan terkekeh sudah salah memberikan informasi pada Aksa dan yang lainnya.

"Van, lain kali lu yang bener kalau ngasih info ." Protes Garry.

"Sorry, Gar."

"Ya udahlah, kita nongkrong bentar. Sudah sampai sini juga." Pungkas Brian.

Aksa mengeluarkan sebatang rokok dan memilih merokok. Sudah lama dia enggak merokok.

***

Elen terbangun karena lupa belum mengunci pintu rumah mereka, jam menunjukkan pukul 11 malam. Karena penasaran apa yang dilakukan sang putra, Elen berjalan menuju kamar Al untuk memeriksanya tapi...

"CALVIINNN!!!!!" Teriak Elen kesal.

"Apa, mbak? Ada apa, mbak?" Rissa buru-buru menghampiri Elen mendengar teriakan kakak sepupunya.

"Anak mbak kabur lagi, Ris."

"Sabar, mbak, sabar. Tarik napas, buang, keluarkan, tarik napas buang keluarkan." Kata Rissa memperagakan agar dada Elen naik turun menghirup udara hihi.

"Ambil jaket kamu, Ris. Kita cari anak nakal itu!" Titah Elen.

"Iya, mbak" Elen kembali ke kamarnya mengambil jaket dan kunci mobil.

Sementara Elen mengemudi, Rissa yang menghubungi Al tapi nomornya tidak aktif.

Sehingga Elen pun mencari ke tempat yang biasa Al nongkrong karena sangat yakin disana pasti anaknya berada. Dan, tebakan Elen tidak pernah meleset. Banyak teman-teman Al disana. Pasti juga ada si Alnya.

"Ada apa ini?" Tanya Elen melihat kerumunan di basecamp tempat Elang biasa nongkrong.

"Tante, kebetulan tante datang. Al kena masalah, Tan. Sekarang ada di kantor polisi."

"Kantor polisi? lagi??" Lagi-lagi Kantor polisi. Elen harus banyak-banyak menghela napas.

"Iya, Tan. Ayo, Tan! Kita jemput Al," ajak teman Al.

"Ayo, mbak!" Seru Rissa melihat Elen hanya terdiam.

***

Sementara di tempat lain, Aksa mendapatkan kabar jika putranya masuk rumah sakit. Ia kemudian buru-buru pergi ke rumah sakit bersama ketiga sahabatnya.

"Bagaimana keadaan putra saya, dok?" tanya Aksa pada dokter.

"Lukanya tidak cukup parah, Tuan. Hanya goresan kecil di pinggang, saya sudah berikan perban pada luka tersebut."

Aksa mengangguk lalu Brian mengucapkan terima kasih pada dokter dan Aksa melihat keadaan sang putra.

"Dad." Lirih Arka melihat putranya.

Aksa nampak khawatir dan langsung menghampiri sang putra. "Sakit?"

Arka menggeleng, "Daddy harus balas orang yang udah melukai aku, aku mau dia dikeluarkan dari sekolahnya." Kata Arka penuh dendam.

"Pasti, Daddy akan lakukan apapun untuk membalasnya." Kata Aksa yakin sambil mengusap kepala sang putra.

"Bri, dimana anak itu?" Tanya Aksa.

"Kantor polisi, Sa. Ervan udah kesana duluan. Lo mau nyusul apa diselesein sama Ervan aja?" Tanya Brian.

"Ini menyangkut anak gue, Bri. Biar gue yang urus sendiri. Lo disini aja jagain Arka." Aksa beranjak dari duduknya usai menitipkan Arka pada Brian lalu ia bergegas menuju kantor polisi.

Di kantor polisi.

"Bapak pasti salah, nggak mungkin anak saya melukai orang." Ucap Elen enggan mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari petugas kepolisian.

"Ada saksinya, bu."

"Tapi, nggak mungkin, pak. Boleh saya ketemu sama putra saya dulu?" Pinta Elen.

"Silahkan, bu." Pak Polisi lalu menunjukan dimana Al sekarang. Bocah itu berada dibalik jeruji besi yang dingin tidak jauh dari tempat Elen dan pak polisi yang tadi mengobrol.

"Al." Panggil Elen.

"Maaf, ma." Al menunduk melihat sang mama.

Elen sebenarnya ingin marah tetapi melihat mereka sedang berada di tempat umum dan melihat memar di pelipis putranya jadinya tidak tega mau marahin Al.

"Bilang sama mama yang sejujurnya."

"Maaf, ma." Lagi-lagi hanya kata maaf yang keluar dari mulut Al.

"Al, mama tahu kamu nakal. Tapi, mama percaya nggak mungkin kamu sampai melukai orang, Al. Sekarang jujur aja sama mama, ya." Ucap lembut Elen sambil meraih tangannya Al lewat kolong jeruji besi, "Jujur sama mama ya!"

Al lalu memberanikan diri menatap Elen.

"Maaf, ma. Sebenarnya bukan Al yang melukainya tapi temen Al." Ucap Al.

"Terus kenapa kamu yang ditangkap, Al? Bukannya seharusnya temen kamu yang masuk? Ayo sekarang ngaku sama pak polisi kalau bukan kamu!" Ajak Elen.

"Nggak bisa, ma."

"Kenapa nggak bisa?"

"Ma, temen aku itu anak beasiswa kalau sekolah tahu dia terlibat kriminal beasiswanya bisa aja dicabut, bisa dikeluarkan dari sekolah, ma. Dia juga anak panti asuhan. Kasihan."

Elen menghela napas berat, "Terus emang kalau kamu yang dikeluarkan dari sekolah nggak papa gitu?"

"Ya, seenggaknya 'kan, mama punya duit. Tinggal pindah ke sekolah lain aja kalau dikeluarin." Kata Al nyengir.

"Bukan masalah duit, Al. Ini kriminal loh. Kalau nggak ada sekolah yang mau nerima kamu, gimana? Nggak sekolah kamu?" Elen nggak habis pikir enteng banget otak si Al.

"Ya, gak papa. Nanti ikutan mama aja jadi bos toko kue."

Mendengar ucapan Al, pening sudah kepala Elen. Ia sampai memijit pelipisnya sendiri.

"Kalau teman ku nggak ada orang tua, nggak ada koneksi, ma. Kalau dikeluarin nanti cuman bisa kerja serabutan kasar. Kalau Al 'kan, bisa ambil paket C sama belajar bikin kue gak papalah. Atau bantu-bantu di kafenya mama. Nggak harus sekolah formal, santailah, ma." Enteng sekali bocah itu menanggapi.

Speechles sudah Elen mendengarkan penuturan putranya yang di luar nurul itu. Sungguh tidak habis thinking Elen.

"Masalahnya apa, Al? Sampai temen kamu kayak gitu?"

"Pacarnya hamil, ma. Ditidurin salah satu dari mereka."

"Mereka?" kening Elen mengkerut penuh tanya dalam benaknya.

"Ya, itu genk yang dilukai temanku. Anak genk nya nidurin pacar temanku sampai hamil, jadinya dia ngamuk."

"Al, Al, mama nggak bisa berword-word lagi sama kamu dan teman-temanmu, Al." Elen geleng-geleng kepala, "Dahlah, tunggu disini dulu kamu. Biar mama cari solusinya." Elen kembali menemui polisi dan berusaha mencari jalan tengah namun karena ada saksi dan korban mau tidak mau Al menginap malam itu

"Pihak korban tidak mau menarik laporannya, Bu. Jadi, mungkin ini akan panjang. Apa ibu coba saja berdiskusi sama pihak korban?" Saran dari pak polisi. Itu juga polisi menyarankan karena Elen sudah memohon meminta dengan susah payah untuk mencari jalan agar Al bisa bebas.

"Nggak bisa ya, mbak?" Tanya Rissa yang melihat Elen berjalan nampak lesu. Elen menjawab sebagai gelengan kepala.

Di saat yang sama, Aksa datang bersama Garry dan marah ingin bertemu dengan orang yang sudah melukai putranya. Hal itu terdengar oleh Elen.

"Permisi." Ucap Elen menginterupsi percakapan Aksa dan petugas kepolisian. Mereka menoleh.

Aksa nampak terkejut melihat siapa yang menyela ucapannya. Namun, sedetik kemudian langsung biasa saja.

"Tuan, kebetulan sekali beliau ini adalah Ibu dari anak yang melukai putra anda." Ucap pak polisi.

"Kamu ibu dari anak itu?" Tanya Aksa dengan nada keras.

"Dia punya nama. Al-namanya, bukan anak itu." Elen meralat membenarkan, "Iya saya ibunya, boleh saya berbicara secara pribadi dengan Tuan?"

Aksa melirik Elen dengan Emosi.

"Sa, mending lu ngobrol sama nyokapnya tu anak." Garry yang di sebelah Aksa memberikan saran.

"Mbak, kamu yakin mau ngomong sama orang ini? Serem banget, mbak." Bisik Rissa menyentuh lengan Elen.

"Boleh?" Ulang Elen.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!