NovelToon NovelToon

Terjerat Cinta CEO

Bab 1

Bab 1

"Iya, pak. Terima kasih." Ucap seorang perempuan berambut panjang dengan wajah cantik dan hidung mancung sembari menghela napas berulang-ulang. Ia baru saja mendapatkan telepon dari kantor kepolisian. Yang mengabarkan bahwa kerabatnya mengalami masalah disana.

"Kenapa, mbak? Telepon dari siapa?" Tanya gadis manis di sebelahnya yang sibuk mengaduk adonan kue.

"Al kena masalah, mbak harus ke kantor pihak berwajib sekarang." Desisnya sambil melepas apron yang masih ia kenakan.

Dia adalah Elena Rosalina. Seorang yatim piatu juga seorang ibu tunggal yang saat ini berusia 25 tahun. Bagaimana Elen yang masih berusia muda tapi bisa menjadi ibu tunggal dari anak yang usianya sudah remaja Calvin Chris Marin?

Kejadian itu bermula 8 tahun yang lalu saat sahabat kedua orang tua Elen yang sudah sangat menyayangi Calvin sepeninggal ayah dan bundanya, mengalami kecelakaan dan meninggalkan anak kecil yang bernama Calvin, yang biasa dipanggil Al. Kecelakaan tragis yang menimpa kedua orang tua Calvin meninggalkan Al, menjadi yatim piatu. Al bahkan sempat mengalami trauma. Sampai pada akhirnya Elen di umurnya yang ke 20 tahun memutuskan menikah dengan teman masa kecilnya sehingga resmi mengadopsi Al.

Satu tahun setelah pernikahannya, Elen dan suaminya bercerai. Ya, pernikahan itu hanya agar bisa mengadopsi Al saja tidak ada cinta diantara Elen dan suaminya. Saat ini bahkan mantan suaminya sudah menikah lagi.

Kecelakaan tragis itu tidak hanya merenggut orang tua Al tapi juga merenggut orang tua dari Rissa, sepupu Elen dari pihak ayahnya yang juga sedang berada dalam mobil bersama kedua orang tua Al. Dia adalah Nerissa Rosalie yang saat ini tinggal bersama Elen dan Al.

"Rissa, jangan lupa nanti ada pesanan yang diambil jam 4 sore." Sebelum pergi ke kantor polisi-Elen menitipkan pesan pada adik sepupunya.

"Iya, Mbak."

Elen buru-buru mengendarai mobilnya menuju kantor pihak berwajib. Elen sendiri memiliki bisnis kafe peninggalan kedua orang tuanya dan juga bisnis toko kue yang ia rintis sejak SMA karena memang dia sangat senang memasak, terutama membuat kue. Mempunyai beberapa toko kue. Dari bisnis-bisnis tersebut Elen membiayai hidup keluarganya.

Bruk!

"Ma-maaf."

Elen terlalu terburu-buru masuk ke dalam kantor polisi sampai ia tidak sengaja menabrak seseorang.

"Hm." Seseorang yang ditabraknya itu menjawab singkat. Lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kantor polisi. Begitupun Elen. Dirinya langsung mencari keberadaan Al.

Sampai di kantor pihak berwajib, Nabila malah melihat Al sedang dimarahi oleh ibu paruh baya. Al tengah berada di antara ibu-ibu berdandan menor dan seorang remaja yang sepertinya seusia dengan Al. Elen mendekati ke arah mereka mengobrol untuk mengkonfirmasi keadaan sang putra.

"Al," panggil Elen kepada sang putra.

"Mama," pekik Al mendelik melihat Elen menghampirinya. Dia menatap sang ibu dengan perasaan bersalah.

Kedua orang yang sedang bersama Al juga menatap ke arah Elen.

"Kamu ibunya?" Tanya ibu tersebut.

"Iya, saya ibunya." Tegas Elen. Dia sudah berada di dekat Al dan melirik kepada sang putra, fokus Elen berpindah pada pipi Al yang nampak kemerahan, seperti bekas tamparan.

"Pantesan anaknya urakan, ibunya aja kurang ajar." Sinis ibu itu.

'Plakk!'

"Apa yang kamu lakukan?" Pekik ibu paruh baya itu kaget karena tidak angin tanpa hujan, Elen tiba-tiba mendaratkan cap lima jari di pipinya.

"Ibu, saya sebenarnya tidak mau melakukan kekerasan tapi berhubung anda yang lebih dulu melukai putra saya jadi, saya tidak bisa diem saja, dong. Sekali anda melukai putra saya maka saya akan membalasnya. Tidak hanya berlaku untuk putra saya, saya juga akan melakukan hal yang sama jika anda berani menyentuh teman-teman putra saya. Putra saya mungkin melakukan kesalahan tapi bukankah dia sudah mengatakan sebagai perlindungan diri. Tadi seharusnya anda menganalisis dari sudut pandang putra saya juga bukan hanya dari putra anda sendiri. Apa yang terjadi diantara anak-anak memang salah, saya juga patut disalahkan karena lalai sehingga anak saya terlibat tawuran. Namun bukan berarti anda bisa menyentuh putra saya seenaknya." Jelas Elen menatap tajam tidak suka ibu di depannya ini. Dia tahu pasti bekas kemerahan di pipi Al ulah ibu itu karena tadi Elen sempat melihatnya dari kejauhan. Bagaimana ibu itu memaki Al.

"Dasar kurang ajar, berani kamu menggurui saya?" Ibu itu sudah mengangkat tangannya lagi siap menampar Elen namun ditahan oleh Elen.

"Jangan berani mengangkat tangan anda di depan saya!" Seru Elen sambil menghempas tangan ibu tadi.

"Ada apa ini?" Seorang petugas polisi datang menginterupsi.

"Kebetulan sekali bapak datang, saya mau bikin laporan perempuan muda ini sudah menganiaya saya. Tolong jebloskan dia ke penjara!"

Sedangkan Elen yang mendengar ibu tadi hendak menjebloskan dia ke penjara hanya memutar bola matanya malas.

"Pak, saya datang karena mendapat telepon putra saya dalam masalah. Saya harus ke bagian mana ya, pak? Untuk mengurus masalah putra saya?"

Petugas polisi tersebut mengangguk, "Mari silahkan, bu. Ibu juga silahkan ikut!" Mempersilahkan Elen dan ibu tadi untuk mengikutinya.

Sebenarnya Al dan yang lainnya sudah boleh pulang karena dijamin oleh salah satu dari orang tua teman Al setelah mendapatkan pembinaan. Namun, saat Al menunggu Elen menjemputnya malah terjadi masalah sementara teman-teman Al yang lain sudah dijemput.

***

Disisi lain seorang pria mature dengan balutan stelan jas mahal juga tengah berada di Kantor polisi untuk menjemput sang putra.

"Sa, Arka udah boleh pulang." Ucap Brian melapor.

"Daddy." Sapa bocah yang berjalan di belakang Brian.

"Bagaimana? Aman, atau ada yang luka?" Dia adalah Aksa Damian Axelle. Putra Tunggal keluarga Axelle juga seorang ayah tunggal dari remaja pria yang duduk di kelas XI bernama Arkana Ephraim Axelle. Aksa sendiri pria dewasa berusia 35 tahun. Wajahnya sangat tampan blasteran Indonesia-Korea Selatan-US. Rambutnya disisir rapi dengan postur tubuh tegap atltetis yang tingginya kemungkinan lebih dari 180 cm. Garis rahangnya tegas, dengan sorot mata tajam begitu mengintimidasi bahkan dalam keadaan tenang sedikitpun. Pembawaannya tenang dan serius.

Satu lagi, wajahnya dingin dan kaku. Jangan harap bisa melihat senyum di wajah pria irit bicara itu even setipis tisu pun.

"Aman, Dad."

"Oke, kita pulang." Ajak Aksa.

Sama saja dengan Al, Arka juga mendapat masalah, bedanya kalau Arka karena terlibat balap liar.

Setelah mengantar Arka pulang. Aksa dan Brian pergi ke Perusahaan.

Aksa adalah seorang bos dari perusahaan besar dan Brian adalah asisten sekaligus sahabat Aksa.

"Kalian dari mana aja?" Tanya Ervan, sahabat Aksa yang lain. Ervan sudah menunggu di ruang kerja Aksa.

"Biasa, jemput Arka di kantor polisi." Jawab Aksa santai seperti kenakalan yang baru saja putranya alami itu sudah hal biasa.

"Anak lo demen banget dah, keluar masuk kantor berwajib." Celetuk Garry. Sahabat Aksa yang lain.

Ya, Aksa dan 3 sahabatnya. Keemat pria itu adalah pria tampan yang mapan dengan pesonanya masing-masing.

"Mending lo cari istri buat jadi ibunya Arka, Sa. Biar ada yang mengontrol pergaulan Arka." Saran Brian.

"Yups, kali aja dengan adanya seorang ibu, anak lo jadi lebih baik." Timpal Ervan sependapat dengan Brian.

"Ckckck, anak gue selama ini nggak membutuhkan sosok seperti itu." Seperti biasa Aksa tetap keras kepala. Aksa berbicara macam itu karena merasa bisa mencukupi segala kebutuhan Arka tapi dia tidak tahu bagaimana perasaan yang sebenenarnya dirasakan Arka.

"Nggak ada salahnya lo pikirin dulu, Sa. Gue rasa makin kesini Arka emang makin nakal." Garry ikut menyumbangkan pendapatnya.

Aksa diam. Ia membenarkan ucapan para sahabatnya itu, sang putra kenakalannya memang diatas wajar. Namun, dia tidak bisa memberikan ibu sembarangan untuk Arka. Sebab, jika salah pilih bukannya kenakalan Arka membaik malah masalah lain yang akan Aksa hadapi. Saat tengah memikirkan saran dari teman-temannya, Aksa kepikiran dengan perempuan yang tadi tidak sengaja bertabrakan dengannya di kantor polisi, dia adalah Elen.

"Ckck, sudah memiliki suami sepertinya." Gumam Aksa. First impression Aksa saat berpapasan dengan Elen yang mengira perempuan itu masih muda. Ternyata dia bahkan sudah memiliki anak bujang. Terlihat dari interaksi Elen dan Al.

"Apa, Sa?" Brian tidak mendengarkan jelas ucapan Aksa sehingga bertanya.

"Nggak papa jadi, kalian ngapain datang ke kantor gue?" Tanya Aksa. Tidak biasanya kedua sahabatnya itu mengunjungi kantornya.

"Gue mau undang Lo untuk datang ke ulang tahun adek gue nanti malem." Ucap Ervan.

"Nggak ada waktu gue." Tolak Aksa.

"Ayolah, Sa. Kita sekalian nongkrong, Garry juga baru aja balik dari luar negeri kita udah lama nggak nongkrong."

"Gue juga butuh refreshing, Sa. Capek elah lo ajak meeting terus." Kelakar Brian mengeluh.

"Hahaha, tuh Sa, asisten Lo juga butuh hiburan." Kekeh Bara.

"Oke." Balas Aksa singkat setuju.

"Kita ketemu di tempat biasa."

"Hem." Ucap dari Aksa si irit bicara. Lalu, Garry dan Ervan pamit pulang.

"Bri, Kantor polisi tadi kenapa rame banget. Gue baru tahu banyak bocah suka balapan liar." Memang saat tiba di kantor polisi tadi banyak sekali yang tertangkap.

"Yang balapan nggak banyak, Sa. Cuman beberapa, salah satunya anak Lo."

"Terus?"

"Itu yang lain tawuran, kayaknya genk yang kalah balapan vs yang menang pada nggak terima jadinya tawur. Biasalah, Sa. Lo tau sendiri anak jaman sekarang."

"Oh." Dia lalu manggut-manggut.

Aksa kembali terdiam, dia mengingat bagaimana saat dirinya tidak sengaja bertabrakan dengan perempuan yang cukup membuatnya tertarik. Bagaimana tidak! Ini kali pertama dia begitu teringat pertemuannya dengan perempuan itu, mereka tidak terlibat lebih hanya tidak sengaja bersenggolan saat berjalan namun Aksa memikirkannya saat ini. Apa ini?

***

"Al, sekarang jelasin sama mami kenapa kamu tawuran? Bukannya kamu udah janji sama mama nggak bakalan ikut tawuran lagi?" Tanya Elen di sela-sela mengendarai mobilnya menuju rumah.

"Nggak, ma. Tadi tuh mereka duluan yang mulai. Temen aku menang balap motor tapi mereka nggak terima dibilang curang, terus ngehajar temen aku. Ya, aku sama yang lainnya gak terima lah kita hajar balik." Jawab Al menjelaskan.

"Ya, tapi nggak dengan tawuran juga kali, Al. Emang gak ada solusi lain?"

"Gak ada, ma. Hanya baku hantam solusinya."

Elen menghela napas berat, emang susah jadi ibu muda.

"Nggak sayang kamu, wajah kamu bonyok tuh. Kegantengan kamu jadi berkurang, Al."

"Tenang aja, ma. Lain kali Al nggak ikut tawuran lagi." Kata Al menenangkan Elen.

"Nggak ada lain kali. Ini yang terakhir kamu bonyok, ya."

"Iya, ma."

Sampai di rumah, Al langsung masuk ke dalam kamarnya. Sementara Elen pergi ke dapur.

"Gimana Al, mbak?" Tanya Rissa.

"Bonyok tuh pipinya. Heran mbak Ris, siang bolong balapan liar padahal baru juga pulang udah gitu tawuran lagi. Ckckck, kalau nggak sabar udah mati muda aku, Ris."

Rissa malah terkekeh mendengarnya, "Sabar, mbak." Sambil menepuk bahu Elen. Memang bukan sekali dua kali yang namanya Al itu membuat masalah. Yang jelas Elen kesabarannya seluas samudra saat menghadapi sikap Al.

Malam harinya. Al mengendap-endap ingin kabur untuk menonton balap liar, war siang tadi belum berakhir. Yang kalah dan yang menang akan berkumpul lagi malam ini di tempat lain untuk bertanding lagi. Namun, karena siang tadi sang Mama marah padanya Al jadi tidak bisa pergi secara terang-terangan jadinya ia pergi diam-diam.

Al si banyak akalnya tentu saja bisa dengan mudah melompat pagar rumah yang nggak terlalu tinggi sementara teman Al sudah menunggu di luar.

"Al, Mama lu gimana?" Tanya sahabat Al sambil menyerahkan helm pada Al.

"Mama nggak tahu, kita pergi sekarang. Biar ntar nggak kemalaman pulangnya."

***

Di tempat lain.

"Daddy mau pergi?" Tanya Arka pada sang ayah.

"Hem, ada urusan. Kamu mau kemana, boy?" Tanya Aksa melihat sang anak membawa helm.

"Balapan lagi?" Tebak Aksa.

Arka menggeleng, "Cuman nonton, Dad."

"Oke, hati-hati. Daddy pergi dulu." Pamit Aksa pada Arka. Arka juga langsung pergi setelah ayahnya.

Club Malam.

"Kok sepi?" Tanya Aksa yang baru saja datang.

"Salah info, Sa. Ternyata bukan hari ini pestanya." Ervan terkekeh sudah salah memberikan informasi pada Aksa dan yang lainnya.

"Van, lain kali lu yang bener kalau ngasih info ." Protes Garry.

"Sorry, Gar."

"Ya udahlah, kita nongkrong bentar. Sudah sampai sini juga." Pungkas Brian.

Aksa mengeluarkan sebatang rokok dan memilih merokok. Sudah lama dia enggak merokok.

***

Elen terbangun karena lupa belum mengunci pintu rumah mereka, jam menunjukkan pukul 11 malam. Karena penasaran apa yang dilakukan sang putra, Elen berjalan menuju kamar Al untuk memeriksanya tapi...

"CALVIINNN!!!!!" Teriak Elen kesal.

"Apa, mbak? Ada apa, mbak?" Rissa buru-buru menghampiri Elen mendengar teriakan kakak sepupunya.

"Anak mbak kabur lagi, Ris."

"Sabar, mbak, sabar. Tarik napas, buang, keluarkan, tarik napas buang keluarkan." Kata Rissa memperagakan agar dada Elen naik turun menghirup udara hihi.

"Ambil jaket kamu, Ris. Kita cari anak nakal itu!" Titah Elen.

"Iya, mbak" Elen kembali ke kamarnya mengambil jaket dan kunci mobil.

Sementara Elen mengemudi, Rissa yang menghubungi Al tapi nomornya tidak aktif.

Sehingga Elen pun mencari ke tempat yang biasa Al nongkrong karena sangat yakin disana pasti anaknya berada. Dan, tebakan Elen tidak pernah meleset. Banyak teman-teman Al disana. Pasti juga ada si Alnya.

"Ada apa ini?" Tanya Elen melihat kerumunan di basecamp tempat Elang biasa nongkrong.

"Tante, kebetulan tante datang. Al kena masalah, Tan. Sekarang ada di kantor polisi."

"Kantor polisi? lagi??" Lagi-lagi Kantor polisi. Elen harus banyak-banyak menghela napas.

"Iya, Tan. Ayo, Tan! Kita jemput Al," ajak teman Al.

"Ayo, mbak!" Seru Rissa melihat Elen hanya terdiam.

***

Sementara di tempat lain, Aksa mendapatkan kabar jika putranya masuk rumah sakit. Ia kemudian buru-buru pergi ke rumah sakit bersama ketiga sahabatnya.

"Bagaimana keadaan putra saya, dok?" tanya Aksa pada dokter.

"Lukanya tidak cukup parah, Tuan. Hanya goresan kecil di pinggang, saya sudah berikan perban pada luka tersebut."

Aksa mengangguk lalu Brian mengucapkan terima kasih pada dokter dan Aksa melihat keadaan sang putra.

"Dad." Lirih Arka melihat putranya.

Aksa nampak khawatir dan langsung menghampiri sang putra. "Sakit?"

Arka menggeleng, "Daddy harus balas orang yang udah melukai aku, aku mau dia dikeluarkan dari sekolahnya." Kata Arka penuh dendam.

"Pasti, Daddy akan lakukan apapun untuk membalasnya." Kata Aksa yakin sambil mengusap kepala sang putra.

"Bri, dimana anak itu?" Tanya Aksa.

"Kantor polisi, Sa. Ervan udah kesana duluan. Lo mau nyusul apa diselesein sama Ervan aja?" Tanya Brian.

"Ini menyangkut anak gue, Bri. Biar gue yang urus sendiri. Lo disini aja jagain Arka." Aksa beranjak dari duduknya usai menitipkan Arka pada Brian lalu ia bergegas menuju kantor polisi.

Di kantor polisi.

"Bapak pasti salah, nggak mungkin anak saya melukai orang." Ucap Elen enggan mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari petugas kepolisian.

"Ada saksinya, bu."

"Tapi, nggak mungkin, pak. Boleh saya ketemu sama putra saya dulu?" Pinta Elen.

"Silahkan, bu." Pak Polisi lalu menunjukan dimana Al sekarang. Bocah itu berada dibalik jeruji besi yang dingin tidak jauh dari tempat Elen dan pak polisi yang tadi mengobrol.

"Al." Panggil Elen.

"Maaf, ma." Al menunduk melihat sang mama.

Elen sebenarnya ingin marah tetapi melihat mereka sedang berada di tempat umum dan melihat memar di pelipis putranya jadinya tidak tega mau marahin Al.

"Bilang sama mama yang sejujurnya."

"Maaf, ma." Lagi-lagi hanya kata maaf yang keluar dari mulut Al.

"Al, mama tahu kamu nakal. Tapi, mama percaya nggak mungkin kamu sampai melukai orang, Al. Sekarang jujur aja sama mama, ya." Ucap lembut Elen sambil meraih tangannya Al lewat kolong jeruji besi, "Jujur sama mama ya!"

Al lalu memberanikan diri menatap Elen.

"Maaf, ma. Sebenarnya bukan Al yang melukainya tapi temen Al." Ucap Al.

"Terus kenapa kamu yang ditangkap, Al? Bukannya seharusnya temen kamu yang masuk? Ayo sekarang ngaku sama pak polisi kalau bukan kamu!" Ajak Elen.

"Nggak bisa, ma."

"Kenapa nggak bisa?"

"Ma, temen aku itu anak beasiswa kalau sekolah tahu dia terlibat kriminal beasiswanya bisa aja dicabut, bisa dikeluarkan dari sekolah, ma. Dia juga anak panti asuhan. Kasihan."

Elen menghela napas berat, "Terus emang kalau kamu yang dikeluarkan dari sekolah nggak papa gitu?"

"Ya, seenggaknya 'kan, mama punya duit. Tinggal pindah ke sekolah lain aja kalau dikeluarin." Kata Al nyengir.

"Bukan masalah duit, Al. Ini kriminal loh. Kalau nggak ada sekolah yang mau nerima kamu, gimana? Nggak sekolah kamu?" Elen nggak habis pikir enteng banget otak si Al.

"Ya, gak papa. Nanti ikutan mama aja jadi bos toko kue."

Mendengar ucapan Al, pening sudah kepala Elen. Ia sampai memijit pelipisnya sendiri.

"Kalau teman ku nggak ada orang tua, nggak ada koneksi, ma. Kalau dikeluarin nanti cuman bisa kerja serabutan kasar. Kalau Al 'kan, bisa ambil paket C sama belajar bikin kue gak papalah. Atau bantu-bantu di kafenya mama. Nggak harus sekolah formal, santailah, ma." Enteng sekali bocah itu menanggapi.

Speechles sudah Elen mendengarkan penuturan putranya yang di luar nurul itu. Sungguh tidak habis thinking Elen.

"Masalahnya apa, Al? Sampai temen kamu kayak gitu?"

"Pacarnya hamil, ma. Ditidurin salah satu dari mereka."

"Mereka?" kening Elen mengkerut penuh tanya dalam benaknya.

"Ya, itu genk yang dilukai temanku. Anak genk nya nidurin pacar temanku sampai hamil, jadinya dia ngamuk."

"Al, Al, mama nggak bisa berword-word lagi sama kamu dan teman-temanmu, Al." Elen geleng-geleng kepala, "Dahlah, tunggu disini dulu kamu. Biar mama cari solusinya." Elen kembali menemui polisi dan berusaha mencari jalan tengah namun karena ada saksi dan korban mau tidak mau Al menginap malam itu

"Pihak korban tidak mau menarik laporannya, Bu. Jadi, mungkin ini akan panjang. Apa ibu coba saja berdiskusi sama pihak korban?" Saran dari pak polisi. Itu juga polisi menyarankan karena Elen sudah memohon meminta dengan susah payah untuk mencari jalan agar Al bisa bebas.

"Nggak bisa ya, mbak?" Tanya Rissa yang melihat Elen berjalan nampak lesu. Elen menjawab sebagai gelengan kepala.

Di saat yang sama, Aksa datang bersama Garry dan marah ingin bertemu dengan orang yang sudah melukai putranya. Hal itu terdengar oleh Elen.

"Permisi." Ucap Elen menginterupsi percakapan Aksa dan petugas kepolisian. Mereka menoleh.

Aksa nampak terkejut melihat siapa yang menyela ucapannya. Namun, sedetik kemudian langsung biasa saja.

"Tuan, kebetulan sekali beliau ini adalah Ibu dari anak yang melukai putra anda." Ucap pak polisi.

"Kamu ibu dari anak itu?" Tanya Aksa dengan nada keras.

"Dia punya nama. Al-namanya, bukan anak itu." Elen meralat membenarkan, "Iya saya ibunya, boleh saya berbicara secara pribadi dengan Tuan?"

Aksa melirik Elen dengan Emosi.

"Sa, mending lu ngobrol sama nyokapnya tu anak." Garry yang di sebelah Aksa memberikan saran.

"Mbak, kamu yakin mau ngomong sama orang ini? Serem banget, mbak." Bisik Rissa menyentuh lengan Elen.

"Boleh?" Ulang Elen.

Bab 2

Bab 2

"Saya tidak akan membiarkan anak kamu bebas setelah apa yang dilakukan terhadap putra saya!" Tegas Aksa menatap tajam wanita di depannya.

Ocehan Elen sedari tadi tidak didengarkan oleh pria itu. Mau bagaimana Elen menjelaskan dia tidak peduli, yang terpenting adalah dia tidak akan mengampuni orang yang sudah mencelakai anaknya.

"Sekali ini saja, Tuan. Saya akan mendidik putra saya dengan baik kedepannya, saya mohon cabut kesaksian putra anda. Saya juga akan bertanggung jawab penuh akan biaya pengobatan putra anda." Ucap Elen lembut.

"Kamu pikir saya kekurangan uang sampai tidak sanggup membayar biaya rumah sakit?" Aksa kesal.

"Tidak, bukan seperti itu Tuan." Elen juga tahu pria di hadapannya ini kaya melihat dari penampilan dan barang yang ia kenakan. Bahkan bisa dipastikan lebih kaya dari dirinya.

"Saya tahu anda sangat mampu namun saya juga tetap akan bertanggung jawab penuh akan pengobatan putra anda."

"Tidak perlu. Saya pastikan anak kamu mendekam di penjara!" Putus Aksa hendak melangkah pergi namun ditahan oleh Elen meraih lengan pria itu.

"Saya mohon, putra saya masih kelas X. Masa depannya masih panjang, bisakah anda mempertimbangkannya lagi?" Pintanya memelas. la sudah berjanji di depan makam orang tua kandung Al akan menjaga dan mendidik anak itu dengan baik, Elen tidak bisa mengingkari janji itu. Bagaimanapun caranya Al harus bebas dan tetap melanjutkan sekolahnya.

"Tidak ada negosiasi lagi." Aksa menghempas Elen dan berlalu pergi.

"Gimana, mbak?" Rissa datang menghampiri.

"Nggak mau damai, Ris. Bagaimana dengan saksinya?" Tanya Elen.

"Saksinya tetap ngotot kalau yang nusuk Al, mbak."

"Yasudah, Ris. Kamu pulang dulu aja, mbak mau disini nemenin Al. Besok kita pikirkan lagi gimana caranya."

"Ya, mbak. Kalau begitu Rissa pulang, mbak."

Di dalam mobil, Aksa terdiam mengingat percakapannya dengan Elen. Entah mengapa sejak pertama kali melihat Elen, dia tidak bisa melupakan wajah Elen. Dia seperti tersihir akan wajah cantik Elen. Tapi, dia menyayangkan bagaimana perempuan semuda Elen sudah memiliki anak sebesar Al. Apakah perempuan itu menikahi pria tua demi harta? Jika, bukan mana mungkin seusia Elen sudah memiliki putra sebesar Al?

"Lo yakin mau menjarain anak itu, Sa? Dia masih bocah, Sa. Masa depannya masih panjang?" Tanya Brian.

"Gue nggak akan biarin orang yang udah ngelukain anak gue berkeliaran bebas, Bri. Dia harus terima resikonya karena udah berani nyentuh Arka Walker." Tegas Aksa.

"Bagaimanapun Sa, kita nggak tahu kejadian yang sebenarnya. Bisa aja tuh anak nggak sengaja." Ervan menimpali. Dia merasa kasihan pada Al. Ya, Ervan sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri si Al.

"Betul apa kata Ervan, Sa. Kasihan dia." Brian sependapat.

"Lagian Sa. Lo kayak nggak biasanya. Anak lu sering luka nggak pernah lu jeblosin lawannya ke penjara beneran, padahal waktu itu Arka sampai patah tulang." Bara ingat saat smp Arka pun pernah tawuran sampai patah tulang tapi Aksa masih berbaik hati tidak sampai menjebloskan anak itu ke penjara.

"Beda."

"Apanya yang beda, Sa?"

"Anak itu terlalu nakal. Mamanya cantik tapi anaknya nakal, nggak becus sama sekali." Ucap Aksa keceplosan memuji kecantikan Elen.

"Wait, Lo bilang apa tadi cantik?" Ervan bertanya barangkali indera pendengarannya bermasalah. Sejak kapan Aksa memuji perempuan cantik?

"Ckckck, sayang sekali udah punya suami."

"Mungkin nikah sama duda, Sa. Gue lihat dia masih muda. Nggak mungkin anaknya segitu." Brian menyahut.

"Mungkin juga sengaja menikahi pria tua demi harta," tebak Aksa.

"Lo tertarik, Sa? Pepet aja kalau lo minat." Ervan memancing Aksa. Hal langka seorang Aksa tertarik pada wanita, Ervan harus memanfaatkan hal tersebut untuk memastikan jika sahabatnya masih normal mengingat sejak Arka kecil, Aksa tidak lagi menyukai wanita. Tidak terlibat lagi dengan wanita. Bahkan bara saja ragu apakah burung kecil Aksa masih bisa bediri tegak mengingat selama ini Aksa tidak tergoda dengan wanita seksi manapun.

"Gila, istri orang lo suruh pepet, Van. Lo jangan kasih ide gila ke Aksa." Brian nampak tidak setuju. Keberatan akan ide Ervan.

Namun, Aksa terdiam. Entah apa yang dipikirkan pria itu, yang jelas wajah Elen memang hari ini mengganggu pikirannya.

"Kan, bisa main cantik, Bri. Banyak kok para istri yang mau diajak selingkuh sekarang," Ervan terkekeh, "Apalagi kalau dikasih duit segepok."

"Lu serius suka sama ibu muda itu, Sa?" Telisik Brian. Melihat Aksa yang diam saja Brian langsung menghela napas, sudah dipastikan sahabatnya itu memang tertarik pada istri orang. Jika tidak Aksa pasti akan langsung membantah nya.

"Sekalian aja Lo jadiin ibunya Arka, Sa. Rebut dari suaminya. Kan, kata Lo bisa aja tuh cewek nikah sama pria tua. Berani lah, Sa, Lo adu tampang dan mekanik," Celetuk Ervan lagi dengan ide gilanya.

"Sarap Lo, Van. Istri orang, Sa. Nggak bisa main rebut aja." Brian nampak masih waras otaknya.

"Kenapa nggak?" Tanya Aksa datar,

"Mungkin Arka memang butuh seorang ibu sekarang. Gue lihat dia cukup lumayan."

"Gilaaaaa." Ervan berteriak dengan senyum merekah seolah bahagia sekali, "Istri orang beneran Lo mau embat, Sa?" Mencoba memastikan apa yang didengarnya.

"Sa, gue cariin gadis lain mau kayak apa jangan istri orang juga, Sa. Jangan cari masalah. Bisa jadi suaminya bukan orang sembarangan." Brian memperingatkan.

"Hubungi perempuan itu, Bri. Gue perlu ngobrol soal anaknya." Ucap Aksa tiba-tiba.

Brian memijit pelipisnya yang pening. Sedikit curiga dengan ucapkan Aksa, terlebih ide si Ervan yang gila.

Tanpa kedua sahabatnya sadari, Aksa menarik tipis dua sudut bibirnya ke atas.

***

Pagi harinya Elen ditemani Rissa pergi ke rumah sakit tempat dimana Arka dirawat. Mereka sengaja datang pagi untuk menjenguk Arka.

"Mbak siapa?" Tanya Arka heran melihat dua perempuan muda masuk ke kamar rawat inapnya, Arka bahkan tidak mengenalnya.

"Hallo, Arka ya." Elen mendekat lalu meletakan keranjang buah di nakas. "Saya Elen, mamanya Al. Dan, ini Rissa adiknya tante."

"Mamanya Al?" Arka menaikkan salah satu alisnya. Melihat perempuan di depannya yang ternyata seorang ibu muda.

"Iya, boleh tante duduk disini?" Setelah Arka mengizinkan barulah Elen duduk di bangku sebelah brankar sementara Rissa berdiri di sebelah Elen.

"Arka, tante mewakili Al mau minta maaf sama kamu."

"Maksudnya gimana?" Arka tidak mengerti bahkan tidak mengenal siapa Al.

"Iya, Arka. Tante mau minta maaf sama kamu karena Al udah melukai kamu, sebenarnya tante mau mengajak Al buat minta maaf langsung kesini tapi dia masih dikantor polisi. Luka kamu gimana? Parah nggak? Sakit banget ya?"

"Permisi, waktunya minum obat." Baru saja Elen mau mengatakan banyak hal, suster sudah masuk dan mengusir Elen. Setelahnya Elen tidak bisa masuk lagi karena Arka harus istirahat. Terpaksa Elen pergi dari sana.

Sementara Arka bingung sendiri, dia tidak mengenal Al secara pribadi dan bukan Al yang melukainya lalu kenapa mamanya Al yang datang minta maaf? Heran Arka.

"Iya, Ka. Yang masuk penjara si Al, anak SMA Garuda juga." Jawab salah satu teman Arka. Mereka datang setelah Elen dan Rissa pergi.

"Bukan Siba?" Tanya Arka karena yang melukai dia adalah Siba.

"Bukan, dia adik kelasnya Siba. Denger-denger tu anak mengorbankan diri karena Arman anak beasiswa, kalau terlibat kriminal bisa aja beasiswanya dicabut."

"Emang bodoh tuh anak." imbuh teman Arka yang lain.

"Tapi, kita juga mau minta maaf, Ka. Gara-gara kita lo yang terluka. Padahal lu gak tahu apa-apa. Siba juga asal tuduh tanpa tahu cerita benarnya," Sesal salah satu teman Arka.

"Coba gue lihat yang namanya Al?" Arka abaikan ucapan temannya itu, ia justru tertarik dengan Al.

Teman Arka menyodorkan ponselnya yang memperlihatkan foto Al. Foto itu mereka dapat dari akun sosial medianya si Al.

"Bodoh, dia nggak peduli dikeluarin dari sekolah? Emang keluarganya kaya?" Tanya Arka.

"Lumayan, mama nya punya beberapa toko kue dan kafe." Jawab temen Arka. Yang memang tahu seluk beluk Al karena pernah satu les privat.

"Tetep aja nggak sekaya daddy lo, Ka. Masih susah kalau mau cari sekolah lain. Kalau dikeluarkan."

"Cih, bocah goblok."

Dan, yang dibicarakan malah asik ngobrol dengan pak polisi. Tidak hanya mengobrol tapi menikmati kopi panas hitam.

"Kamu kok tenang-tenang aja Al, udah siap kalau bakalan tinggal lama di penjara?" Tanya pak polisi.

"Ya, saya mah ikut takdir aja, pak. Tapi, mama pasti cari cara buat bebasin saya sih, pak." Yah, meskipun nggak begitu yakin tapi Al masih positif thinking. Dan, dia sangat mempercayai mama mudanya.

***

Sore harinya Elen pergi menemui Aksa. Tadi, ia mendapatkan pesan dari pengacara Aksa jika Aksa ingin bertemu dan mendiskusikan masalah Al. Karena menyangkut Al, Elen langsung semangat menuju lokasi. Dia berpikir mungkin saja orang tua Arka berubah pikiran.

"Silahkan masuk, Non. Tuan Aksa sudah menunggu di dalam." Ucap seorang pelayan yang membukakan pintu untuk Elen.

Elen sama sekali tidak berpikiran aneh-aneh meskipun Aksa mengajak bertemu di apartemennya. Sebab pengacara Aksa mengatakan dia juga akan berada disana nanti tapi nyatanya hanya ada Elen dan Aksa disana. Bahkan pelayan yang tadi membukakan pintu itu keluar.

"Silahkan duduk!" Ucap Aksa datar lalu duduk di sofa yang berada di hadapan Elen. Hal yang sama dilakukan oleh Elen. Dia juga langsung duduk di sofa yang ditunjuk oleh Aksa.

"Langsung saja, saya tidak akan basa-basi, saya bisa membebaskan putra kamu dan mencabut kesaksian putra saya maupun temannya juga membuat putra kamu terbebas dari catatan kriminal tapi ada syaratnya.."

Elen nampak tenang mendengarkan.

"Apa syaratnya, Tuan?" Tanya Elen menatap Aksa serius.

"Kamu jadi partnert s*ks saya. Kita bisa bertemu dua minggu sekali, saya tidak masalah dengan status kamu yang istri orang. Kita bisa menjalankannya dengan aman. Kamu bisa mempercayai saya, saya akan mengatur semuanya dengan aman." Ucap Aksa dengan entengnya plus seringaian tipis, "Oh tentu tidak ada yang Gratis. Selama menjadi partner s*ks saya, kamu akan mendapatkan apapun yang kamu mau. Saya akan menuruti semua keinginan kamu dan mengurus segala hal mengenai kenakalan putra kamu. Tentu dengan cara aman, yang tidak menimbulkan kecurigaan dari suami kamu. Anggap saja kamu jadi simpanan saya, bagaimana?" Imbuh pria itu. Sebelum bertemu Elen, Aksa sudah memikirkan apa yang akan dia lakukan kepada perempuan yang sudah membuat dia tersihir sejak pertemuan pertama mereka. Sampai Aksa terpikirkan ide gila itu, yah partner ranjang. Sangat gila. Sangat tidak patut ditiru tingkah Aksa itu.

Elen melongo tapi sedetik kemudian membelalak, "Tuan, apa anda tahu, anda baru saja melakukan pelecehan pada Saya? Pelecehan verbal, tau kan?" Tanya Elen mencoba untuk tenang.

"Tidak. Saya tidak melecehkan, saya hanya menawarkan kesepakatan sama kamu."

Kesepakatan? Menjadi simpanan? Menjadi partner ranjang itu kesepakatan? Wah tidak waras nih orang. Elen tidak bisa dilecehkan begini. Dia tidak terima, sakit hati banget rasanya. Harus banget Elen jambak nih orang di depannya, tapi rambutnya kurang memuaskan untuk dijambak. Atau tendang burung kecilnya kali ya? Pikiran Elen menggebu ingin mengatai pria itu tapi sebisa mungkin mencoba sabar. Masalah Al belum beres.

"Sepertinya kita tidak bisa berbicara hari ini, Tuan. Mungkin anda sedang tidak sehat, saya akan menemui anda lain waktu untuk membahas masalah putra saya, saya permisi." Elen beranjak berdiri dan melangkah pergi.

"Mau kemana kamu?" Cekal Aksa pada pergelangan tangan Elen menghentikan langkah kaki perempuan itu.

"Kamu menolak kesepakatan yang saya tawarkan? Menolak menjadi simpanan saya?"

"Jelas saya menolak. Saya masih waras, sementara kesepakatan anda begitu nggak masuk akal di otak waras saya. Bagaimana mungkin saya tidak menolak?!" Tegas Elen menghempas tangan Aksa.

"Siapa kamu berani menolak kesepakatan yang saya tawarkan?" Aksa kembali menahan tangan Elen.

"Kenapa tidak? Siapa anda dengan berani menawarkan kesepakatan menjijikkan itu kepada saya? Saya pikir anda pria yang bisa menghargai wanita tapi sepertinya first impression saya terhadap anda terlalu tinggi." Cibir Elen sudah emosi dia nggak bisa terima. Pria itu melukai harga diri dan perasannya. Apa pria itu menganggap Elen perempuan gampangan? Apa karena Elen yang seorang janda sampai pria itu bisa semena-mena padanya? Padahal kenyataannya Aksa tidak tahu Elen janda.

Sementara Aksa, dia menatap Elen dengan senyuman menakutkan dan licik.

"Kamu cukup menarik, Elen. Saya suka perempuan seperti kamu. Atau kamu mau jadi istri saya saja jika tidak mau jadi simpanan saya?" Aksa menarik tangan Elen membawa perempuan itu terpojok pada dinding dan mengunci tubuhnya. Salah satu tangan Aksa mengunci kedua tangan Elen dan meletakkan diatas kepala perempuan itu. Sedangkan tangan yang lain menahan pinggang Elen.

"Lepas, anda tidak ada hak berbuat seperti ini terhadap saya, tuan." Pekik Elen berusaha melepaskan diri dari Aksa namun gagal.

"Kamu tidak akan rugi dengan kesepakatan yang saya tawarkan, Elen." Ucap Aksa tenang.

"Saya tidak mau, Tuan." Tolak Elen tegas, " Silahkan cari perempuan lain. Saya sudah memiliki anak. Anda pasti tidak kekurangan perempuan 'kan?" Bujuk Elen. Dia yang tadinya emosi mencoba menahan diri membujuk pria di depannya ini.

"Tapi saya mau kamu yang jadi simpanan saya, partner ranjang saya, ah, perempuan yang sudah menikah pasti lebih berpengalaman." Ujar Aksa asal. Dengan seringaian tipisnya. Manik matanya menatap lekat kedua netra Elen. Indah. Satu kata itu terlintas dibenak Aksa. Manik mata perempuan di depannya ini begitu indah dan menghipnotis, Aksa menyukainya.

Oh, apa Aksa baru saja jatuh cinta tanpa sadar pada mamanya Al? Entahlah. Dia benar-bener tersihir oleh Elen.

Lama mereka dengan posisi seperti itu. Saling menatap dalam hening dengan pikiran masing-masing. Sampai Aksa mengambil langkah lain

Aksa menggendong Elen secara paksa, membawa Elen ke kamar.

Brukk!!

Aksa mendorong tubuh Elen ke rajang dan ia langsung naik ke atas ranjang hendak mengungkung Elen.

Plakk!!

"Anda pria brengsek!" teriak Elen tak terima diperlakukan seperti itu.

"Berani kamu menampar saya?" Aksa murka, dia mengungkung tubuh Elen mengunci kedua kaki Elen yang diapit dengan kakinya lalu menahan kedua tangan Elen dan meletakkannya di atas kepala Elen hingga perempuan itu sama sekali nggak bisa berkutik.

Lalu, Aksa dengan kasar mencium bibir Elen. Menggigit kecil bibir bawah Elen agar Elen mau membuka mulutnya dan setelahnya Aksa dengan brutal mengeksplor setiap rongga mulut Elen. Dia tidak menghiraukan air mata yang sudah merembes di pipi Elen.

Empptth.

Elen hampir saja kehabisan napas jika saja Aksa tidak melepaskan ciuman mereka. Sejenak Aksa menghentikan aktivitasnya dan menatap perempuan yang menangis di bawahnya.

"Sebenarnya apa salah saya sama anda, kenapa anda memperlakukan saya seperti ini?" Tanya Elen dengan tangisnya.

"Saya mau kamu jadi partner ranjang saya, apa kurang jelas?" Jawab Aksa datar membungkuk dan meletakkan bibirnya di sekitar leher Elen mengecap menyesap kulit mulus area leher jenjang Elen.

Elen tidak bisa berontak, dia sungguh kalah akan kekuatan tubuh Aksa yang lebih besar dibandingkan dirinya. Dan, pria itu seolah tuli. Segala teriakan makian Elen yang memintanya berhenti dari aktivitasnya ia abaikan. Sampai Elen kelelahan berteriak dan pasrah dengan perlakuan Aksa apalagi dia juga sudah terbakar gairah akan perlakuan Aksa.

"Tolong jangan lakukan itu!" Mohon Elen memelas. Aksa sudah menjamah seluruh bagian atas tubuhnya dan mungkin saja meninggalkan beberapa bekas disana. Elen sudah merasa jijik akan tubuhnya sendiri, dia hanya memiliki mahkotanya sebagai bagian terakhir tubuhnya yang bisa dipertahankan dari jamahan Aksa. Ia berharap Aksa mau berbelas kasihan padanya namun tidak.

"Kamu hanya perlu menikmatinya, mendesahlah seperti yang baru saja kamu lakukan." Smirk Aksa sambil memberikan gigitan kecil pada ujung salah satu aset kembarnya.

"Arghh." Pekik Elen sedikit menjerit sambil menjambak rambut kepala Aksa saat sesuatu yang besar dan tajam menghujam intinya.

"Shit." Aksa menghentikan aktivitasnya, " Kamu masih perawan?" Tanya pria itu menatap intens manik mata yang tengah mengeluarkan cairan kristal bening dan menatapnya. Elen rasa tidak ada gunanya dia menjawab. Toh dia juga sudah sepenuhnya kotor, dia memalingkan wajahnya enggan menatap Aksa.

Sekalipun terkejut namun Aksa tidak bisa menghentikan aktivitasnya, dia sudah tanggung.

"Aku akan pelan." Ucap Aksa lembut sambil mengecup pipi Elen lalu melanjutkan gerakannya dengan tempo yang pelan dan semakin lama semakin cepat.

Aksa terbangun setelah tertidur satu jam, ia melirik Elen yang masih tidur di sebelahnya dengan tatapan penuh tanya. Lalu meraih ponsel di nakas untuk menghubungi seseorang.

"Bri, suruh Ervan membebaskan anak itu, dan Lo urus anak yang bisa menjadi saksi!"

"Oke, Sa."

Setelah menghubungi Brian, Aksa membawa Elen yang masih terlelap dalam pelukannya. Banyak hal yang ingin dia tanyakan pada Elen tapi dia akan mencari tahu sendiri nanti.

Bab 3

Bab 3

"Mama mana, Tan?" Tanya Al pada Rissa. Meskipun jarak usia mereka hanya 6 tahun tapi Al memanggil Rissa dengan sebutan Tante karena Rissa adik sepupu Elen.

"Mama kamu lagi ada urusan Al. Kita langsung pulang aja." Ajak Rissa dan Al mengangguk. Mereka pulang dengan menggunakan motor matic milik Rissa yang biasa digunakan untuk kuliah. Ya, saat ini Rissa merupakan mahasiswi semester 6. Dia dulu telat masuk SD, jadi kuliahnya juga tua.

Sedangkan di apartemen Aksa, Elen terbangun dan tidak menemukan siapapun di kamar itu. Hanya dia seorang diri dengan keadaan polos tanpa sehelai benangpun di bawah balutan selimut.

Ingatan kejadian sore tadi sangat tergambar jelas pada benak Elen, bagaimana pria asing itu menyetubuhi dirinya sehingga Elen saat ini benar-benar kehilangan apa yang dijaganya selama ini. Menangis? Untuk apa? Semua sudah terjadi, alih-alih menangis Elen memilih menyibak selimut yang membungkus tubuhnya lalu memungut pakaiannya yang berserakan di lantai. Sialnya dress yang ia kenakan rusak.

Elen pun mengambil kemeja putih yang ada di ruang walk in closet dan memakainya. Secepat mungkin karena ia ingin segera keluar dari ruangan itu.

Sambil merasakan tidak nyaman pada bagian bawahnya, Elen melangkah keluar dari apartemen yang kosong tak berpenghuni.

Ia mengemudikan mobilnya menuju kafe dan masuk ke ruangannya lewat pintu belakang sehingga tidak begitu terlihat oleh karyawan kafe sebab jam malam begini kafe sedang ramai-ramainya. Sampai di ruangan yang dilengkapi kamar mandi, Elen langsung membersihkan diri. Ia berdiam cukup lama dibawah guyuran shower dengan terisak mengingat kejadian yang baru saja dialaminya. Sebenarnya Elen enggan menangis. Tapi perempuan mana yang habis diperkaos tidak menangis.

Hampir satu jam Elen menangis di kamar mandi namun sosok Calvin terlintas di benaknya. Elen buru-buru menghapus air matanya dan menyelesaikan mandinya. Al pasti mencarinya mengingat Elen hanya membesuk Al sebentar siang tadi sebelum pergi menemui ayah korban yang berujung dirinya menjadi korban pemerkos"an.

Elen memeriksa ponselnya dan ternyata banyak panggilan masuk dari Rissa juga beberapa pesan dari Rissa.

[Mbak, kamu dimana?]

[Mbak, Al udah bebas. Aku lagi jalan jemput Al sekarang]

[Mbak, nanti langsung pulang aja. Calvin udah pulang sama aku, korban dan saksinya udah menarik kesaksiannya, mbak. Jadi, Al aman]

"Dia benar-benar membebaskan Al." Gumam Elen memejam sebentar namun menangis setelahnya. Teringat pembebasan Al pasti karena dirinya sudah digunakan oleh pria itu.

"Ya, seenggaknya Al masih memiliki masa depan. Anak aku aman, aku nggak papa." Lirih Elen kembali terisak. Entah sudah berapa kali ia menangis malam itu.

***

Aksa kembali ke apartemen untuk mengecek keadaan Elen namun perempuan itu tidak ada di dalam kamarnya.

"Sial." Pekik Aksa memeriksa cctv dan mendapati Elen berjalan keluar dari apartemennya satu jam yang lalu.

Tadinya Aksa enggan untuk meninggalkan Elen namun ia juga harus memeriksa keadaan Arka sehingga Aksa pergi ke rumah sakit sebentar untuk memastikan keadaan Arka aman siapa sangka saat Aksa kembali Elen sudah pergi. Karena tidak ada yang bisa Aksa lakukan di apartemennya, dia pun menyusul Brian yang tengah berada di rumah Garry.

"Kenapa lo, Sa?" Tanya Ervan melihat Aksa datang memasang wajah masam, "Gue denger lo abis ketemu mamanya Al. Ngapain lo ketemu mamanya Al? Jangan bilang lo beneran ikutin ide gue?"

"Jangan bilang lo beneran tertarik sama perempuan itu, Sa? Gila lo, Sa. Istri Orang Sa." Tanya Garry. Ia mendengar Ervan dan Brian menggosipkan Aksa dan mamanya Al.

Bukannya menjawab pertanyaan Ervan maupun Garry, Aksa justru menatap Brian.

"Bri, Lo yakin dia istri orang?" Tanya Aksa.

"Dia siapa?" Tanya balik Brian, "Mamanya Al?"

Aksa mengangguk, "Gue abis tidur sama dia. Bukan deh, lebih tepatnya gue yang maksa dia tidur." Jujur Aksa.

"Gilaa, lo ternyata masih normal, Sa?" Ervan berucap, antara senang dan serba salah. Senang karena ternyata sahabatnya masih normal sebagai seorang pria, serba salah karena merasa nggak banget sahabatnya meniduri istri orang.

"Aksa, lo terlalu nekat, Sa." Garry menggeleng pelan. Sejak kapan sahabatnya itu mau berurusan dengan perempuan yang statusnya istri orang? Garry sampai tidak mengenali Aksa.

"Ya harusnya sih punya suami." Brian menanggapi.

"Dia masih virgin." Ungkap Aksa jujur.

"What?" Ervan yang paling heboh, sedangkan Garry dan Brian hanya menoleh pada Aksa namun juga mimik wajahnya menampakkan keterkejutan. Seakan tidak percaya.

"Makanya gue tanya Bri, dia beneran punya suami, nggak?"

Brian mengedikkan bahunya, "Gue nggak cek latar belakangnya, Sa. Cuman nebak mungkin aja nikah sama duda makanya punya anak sebesar Al."

"Lo dari tadi ngomong mamanya Al , emang tahu nama tu anak ?" Ervan menyahut.

"Namanya Calvin, tapi nggak tahu kenapa panggilannya bisa Al bukan Vin. Al bukan A'L ya" jelas Aksa.

"Coba lo selidiki, Bri. Kalau punya suami nggak mungkin masih virgin." Garry angkat bicara.

"Lo yakin masih virgin, Sa. Bukan lo yang kelamaan nggak main jadi nggak bisa bedain,-"

"Gue masih bisa bedain, Van." Aksa memotong ucapan Ervan, "She's still virgin." Ucap Aksa yakin.

Brian mengangguk, "Gue selidiki besok, Sa."

"Sa, lo pakai pengaman 'kan?" Ervan kembali berucap. Tiba-tiba saja Ervan kepikiran hal itu. Jangan sampai saking semangatnya Aksa yang setelah bertahun-tahun tidak menjamah perempuan itu sampai melupakan keamanan.

Aksa terdiam. Dia berpikir.

"Sial. Kalau sampai hamil bisa berabe Sa." Pikir Ervan. Yakin jika sahabatnya memang tidak memakai pengaman saat melakukannya.

"Nggak Lah, dia 'kan istri orang." Celetuk Brian bersikap tenang.

"Bri, logikanya kalau istri orang emang mungkin masih perawan? Anggaplah mungkin kalau masih perawan berarti suaminya nggak pernah nyentuh, terus tiba-tiba hamil, gimana? Yang ada jadi masalah besar." Garry yang paling jauh mikirnya. Dia khawatir apa yang baru saja dilakukan Aksa akan membuat sahabatnya itu dalam masalah.

"Kan, belum tentu hamil juga Gar. Udahlah Gar, jangan bikin Aksa makin kepikiran." Ervan menyadari diamnya Aksa sedang berpikir keras.

Tapi, Aksa justru kepikiran apa yang sedang dibicarakan sahabatnya itu.

***

Elen tiba sampai di rumah hampir tengah malam. Rumahnya sudah sepi, Rissa mungkin sudah tidur. Tadi Elen sempat mengirim pesan pada Rissa untuk tidak usah menunggunya. Karena Elen mampir di kafe dan akan pulang malam.

Hal pertama yang Elen lakukan setelah masuk ke dalam rumah adalah menuju kamar Al. Memeriksa apakah anak nakalnya itu sudah tidur atau belum. Dan ternyata Al sudah tidur dengan masih menggenggam ponsel, sepertinya bocah itu main game hingga ketiduran.

"Dasar anak nakal." Gumam Elen sambil mengambil ponsel Al meletakannya di nakas lalu ia duduk sebentar dan memandangi wajah damai Al tengah tertidur pulas. Anak laki-laki itu sudah remaja, berbeda dengan 8 tahun yang lalu. Saat itu meskipun berusia 7 tahun Al masih kecil dia sangat suka menangis. Sekarang besarnya suka bikin Elen menangis karena ulah nakalnya.

"Mama nggak akan biarkan masa depan kamu suram, Al. Mama pasti berikan yang terbaik untuk pendidikan kamu." Ucap Elen sambil mengusap puncak kepala Al. Sang empunya tidak terusik sama sekali akan perlakuan Elen. Setelah beberapa saat memandangi Al, Elen lalu meninggalkan kamar Al dan pergi ke kamarnya.

Elen juga butuh mengistirahatkan tubuhnya yang lelah, namun ia tidak bisa tidur. Sudah berusaha memejamkan mata namun yang ada malah kepingan-kepingan ingatan sore tadi saat pria asing itu merenggut kesuciannya yang ada Elen bukannya tidur tapi sungguh merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Elen tetap terjaga hingga pagi hari dan itu membuat tubuhnya terasa semakin lelah, dan berakhir demam.

"Mama kok tiba-tiba sakit, Tan?" Tanya Al sambil menunggu y menghidangkan sarapan paginya. Al heran saat tidak melihat Nabila berada di ruang makan padahal biasanya saat jam sarapan seperti sekarang Elen pasti sudah stand by menunggu Al di ruang makan. Tapi, saat Al tiba di ruang makan, Rissa malah mengabari Elen sedang sakit dan tidak ikut sarapan pagi.

"Nggak tahu, Al. Tiba-tiba demam, tapi udah mendingan aku suruh tidur." Jawab Rissa membawakan segelas susu hangat untuk El.Al

"Mama sakit bukan karena mikirin Al 'kan, Tan?" Tanya Al lagi khawatir akan keadaan Elen.

"Mana mungkin, mama kamu sakit karena emang waktunya dapat jatah sakit aja. Udah habisin sarapan kamu terus berangkat sekolah sana."

"Iya, iya. Gak mama nggak tante sama aja, galak banget." gerutu Al meminum susunya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!