NovelToon NovelToon

Binar Cakrawala

Chapter 1. Ayo Pacaran

"Lihatin aja terus! Sampai kedua bola mata lo copot!"

Binar tersentak kaget karena itu. Ia refleks mendelik pada Pelangi, kemudian menghela napas kasar dengan bahu yang mulai meluruh lesu.

"Ganggu aja lo. Ha ..., Padahal dulu kami pernah dekat, kenapa jadi kayak gini ya?"

"Kasihan banget kawan gue."

Binar memutar kedua bola matanya. Kemudian menegakan tubuh.

Ia menatap Pelangi dengan sorot memohon.

"Comblangin gue sama Kak Cakra lagi dong! Cowok lo kan sahabat dia."

Pelangi mendengus pelan. "Dicomblangin juga percuma, gue udah nyomblangin dari lama. Lo tuh sebenarnya punya kesempatan besar tanpa harus dicomblangin, cuma lo nggak pede sama diri lo sendiri. Gue jamin, baru dekat semeter aja sama kak Cakra, lo udah mengap-mengap duluan saking gugupnya," kata Pelangi sirat nada mengejek.

Binar manyun sesaat. Ia juga tak begitu mengerti dengan dirinya, apalagi dengan hatinya sendiri. Saat dekat Cakra jantungnya jadi nggak karuan. Otaknya kayak orang goblok. Susah untuk terlihat elegan dan tidak salting.

Pelangi menatap sahabatnya yang terlihat nelangsa dengan prihatin sambil geleng-geleng kepala. Mereka sedang jam kosong, jadi memilih ke perpustakaan, bukan untuk membaca, namun untuk melihat kelas sebelas MIPA 1 yang sedang olahraga dari balkon perpustakaan.

Binar masih meratapi diri. Dari dulu sukanya sama satu cowok, sebenarnya pernah suka sama cowok lain sih, tapi cuma sebentar dan sebatas suka, balik lagi ke Cakrawala.

"Udah nyerah aja, terima tuh si Surya yang dari dulu ngejar lo," kata Pelangi.

"Gimana sih? Gue maunya Cakrawala malah disodorin Surya. Ogah!"

"Terus mau sampai kapan kayak gini? Jomblo aja lo udah kebanyakan makan hati, gimana kalau jadi pacarnya nanti?" cibir Pelangi.

"Gue aamiin-in bagian yang jadi pacarnya kak Cakra aja."

Pelangi memutar kedua bola matanya, lalu ia menatap pada lelaki yang ada di lapangan voli yang kini sedang bermain voli bersama Abimanyu, Cakrawala. Tatapannya beralih, menatap lawan main Cakra yang berada di seberang lelaki itu. Ia jadi keasikan sendiri memperhatikan Bima, pacarnya.

"Temen lagi sedih malah senyam-senyum!"

Sindiran keras dari Binar yang kini manyun membuat Pelangi memutar kedua bola mata.

"Terus gue harus gimana, Tuan Putri?"

"Ya gimana dong. Nggak setia kawan lo, Pel. Lo punya cowok, gue nggak."

Pelangi capek.

***

Bel dari surga baru saja berbunyi, begitu Binar menyebutnya. Gadis itu berjalan di koridor bersama beberapa teman sekelasnya juga dengan Pelangi, sahabatnya, mereka menuju kantin untuk mengisi perut yang sudah keroncongan minta diisi. Walau berikutnya, langkah mereka jadi berhenti ketika berpapasan dengan tiga cowok yang baru saja menuruni tangga.

"Eh, Pelangi dan kawan-kawan ternyata. Mau ke kantin?" tanya Putra.

"Iya nih, Kak."

Pelangi meringis sesaat merasakan cengkraman di pergelangan tangannya. Ia menoleh pada Binar yang nampak menahan gugup dan agak menunduk. Pelangi menatap ke arah Cakra, ia mengangkat alis melihat lelaki itu menatap sahabatnya.

"Wah sama dong! Kebetulan, mau bareng aja?" tanya Putra antusias. Kemudian menyenggol lengan Cakra dan Bima dengan masing-masing tangannya.

"Boleh, yuk bareng aja," kata Bima kemudian meraih tangan pelangi dan menggandengnya. Membuat Pelangi membelalak dan kini pasrah ikut berjalan ketika Bima mulai berjalan.

"Eh, Kak bentar! Temanku itu!"

"Udah nanti juga diiringin sama si Puput, kita duluan aja," kata Bima.

Ia menatap Pelangi lalu tersenyum hingga lesung pipit di pipi kanan dan kirinya tercetak sangat jelas. Putra melengos, ia ditinggal! Lelaki itu jadi menoleh pada beberapa teman sekelas Pelangi yang malah jadi cengo menyaksikan kepergian Bima dan Pelangi.

"Eh para ciwik, silakan duluan. Gue di belakang kalian."

"A-ah iya, Kak."

Nggak sia-sia mereka ke kantin bareng Pelangi yang punya pacar salah satu kakak kelas cogan. Mereka mulai melanjutkan langkah, Binar baru saja hendak melangkah, ia ingin menyusul sahabatnya yang malah meninggalkannya di sini. Sialan memang! Tapi, langkahnya terhenti ketika sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya, tanpa sadar Binar menahan napas karena tahu itu tangan siapa. Orang yang ia hindari sekaligus penyebab detak tak biasa yang muncul di jantungnya.

"Buru-buru amat."

Binar menoleh takut-takut pada Cakra, baru saja menatap laki-laki itu ia sudah menunduk lagi. Bola matanya bergerak kesana-kemari, berusaha menghindari tatapan lawan bicaranya.

Binar menyemangati dirinya sendiri dalam hati.

"A---anu itu Kak, eumh ..."

Binar yang baru saja akan melangkah tak jadi lagi karena tangannya ditarik lelaki itu. Ia kaget setengah mati. Memang cuma tangan yang ditarik, tapi efeknya sampai ke seluruh tubuh. Jantungnya terasa akan meledak, dan rasanya ada sensasi geli yang menyebar dari atas kepala sampai bawah kaki.

"Lo nggak papa?" tanya Cakra merasa Binar hanya diam saja.

Oh tentu saja tidak. Binar ambyar, ia berusaha agar tak terlihat gugup.

"I-iya, nggak papa. Kenapa?" namun ekspektasi tak sesuai realita.

"Oh ... nggak."

Hawa canggung begitu kentara di antara mereka.

"Gimana kabar lo?" pertanyaannya begitu klise, tapi Binar tetap senang.

"Baik. Kak Cakra gimana?" Kali ini ia tidak boleh terlihat cupu. Binar takut Cakra akan illfeel.

"Baik, kayaknya ini yang terbaik."

Binar tak tahu kenapa saat ini ia bergandengan tangan dengan Cakra. Rasanya seperti anak TK yang mau nyeberang. Tapi begitu menyenangkan ketika tangannya digenggam lelaki di sampingnya ini. Gadis itu menahan senyuman yang nyaris terbit di bibirnya. Tangan Cakra yang besar dan hangat melingkupi jemari kecilnya.

Apakah ia bermimpi? Mimpi ini terlalu nyata. Tanpa sadar, Binar meremas tangan Cakra yang menggenggamnya.

"Kenapa?" Cakra menoleh.

Mereka bertatapan, membuat Binar sempat terdiam lalu menelan ludah.

"Kenapa apa?" Binar cukup heran ditanya demikian, suaranya agak mencicit.

"Naikin dikit volume suara lo, eh, muka lo merah!"

Binar tak masalah jika saat ini juga ia menghilang dari muka bumi. Perempuan itu tak tahu harus berkata apa. Memang kelihatan banget? Binar mengerjapkan mata. Mana Cakra malah langsung nembak tepat gitu.

"Santai aja. Wajar kalau lo deg-degan apalagi sama orang ganteng."

Kening Binar berkerut, kini ia mendongak dan menatap Cakra yang juga menatap padanya. Perempuan itu tak bisa santai jika Cakra terus di dekatnya seperti ini. Cakra malah mengusap-ngusap dagu dengan tangan kanannya yang bebas. Nyaris, hampir sama seperti penjahat ganjen yang beberapa kali Binar lihat di iklan sinetron.

"Jomblo kan lo?"

"Iya, kenapa?"

"Cuma mau mastiin." Cakra mengangkat bahu

"Ka-kakak juga jomblo kan? .... ayo pacaran aja." Binar berucap pelan di ujung kalimatnya tanpa sadar. Wajahnya semakin panas.

"Oke, ayo pacaran."

"Hah?!" Binar kaget karena Cakra menjawab ucapannya. Perasaan ia berucap dalam hati.

Jantung Binar seakan berhenti berdetak. Gadis itu menganga.

"Lo barusan nembak gue kan?"

Binar menggelangkan kepala cepat. "Nggak! Anu---barusan aku---"

"Nggak usah malu-malu. Mulai sekarang lo cewek gue."

Lelaki itu melepaskan pergelangan tangannya. Kemudian melangkah terlebih dahulu. Berbeda dengan Binar yang kini seolah mematung di tempat berusaha mencerna perkataan Cakra barusan.

Gimana?

Barusan dia ditembak? Apa dia yang nembak? Apa tadi kata Cakra? Dia ceweknya cowok itu? Ok, tarik napas dulu.

"Heh! Malah ngelamun!"

Lamunan Binar buyar karena seruan itu, ia menatap Cakra dengan wajah cengo.

"Apa Kak?"

"Mau ke kantin nggak?"

"Iya."

Lelaki itu melanjutkan langkah, Binar kini juga melangkah dengan hati yang penuh bunga-bunga bermekaran. Ia mengulum bibir dan menahan senyum.

Binar jadi ingin jungkir balik, meski ia tak bisa.

Kalau nggak di depan Cakra, ia pasti sudah jumpalitan ketika lelaki itu mengatakan bahwa Binar adalah ceweknya. Meski caranya jauh dari kata romantis, teramat sangat tidak elit dan jauh dari harapan Binar yang ingin ditembak super romantis diberi kejutan sambil nyanyi dan dikasih bunga atau boneka, tapi tidak apa-apa.

Tapi Binar masih bingung, mereka benar-benar pacaran sekarang?

Kenapa ia tidak digandeng seperti tadi?

Tapi, ia memang lagi nggak di-prank kan?

Jika ini mimpi, ia tidak mau bangun!

Chapter 2. Cemburu

Binar dan Cakra sampai di kantin, mereka bermaksud membeli makanan dan menuju salah satu gerai di sana.

Langkah Binar di tengah jalan terhenti ketika tiba-tiba Cakra juga menghentikan langkah untuk menyapa seseorang. Lelaki itu mengangkat tangan belagak ingin tos dengan orang yang ia sapa sebelumnya.

"Yo Ndre!"

Plak!

Namun bukannya melakukan tos ketika orang yang ia sapa tadi mengangkat tangan, Cakra malah menepuk jidat orang yang bergender perempuan itu.

Cakra tertawa melihat korbannya nampak kesal sembari mengumpat kecil dan mengusap jidat. Tak sadar, Binar tak suka melihat keakraban keduanya. Gadis itu tahu siapa perempuan yang dipanggil 'Ndre' oleh Cakra.

Namanya Ravana Andrea, nama panggilannya banyak. Tapi Binar tahu, teman-teman dekatnya sering memanggil perempuan itu 'Ndre' katanya lebih cocok dengan penampilannya yang rada tomboy. Binar tahu dari Pelangi yang tahu dari Bima, Bima sendiri merupakan teman sekelas Ravana.

"Sialan lo! Nggak lucu tahu!" gadis yang kini membawa minuman dalam botol itu melihat Cakra dengan kesal.

"Lucu lah, tahu nggak lucunya apa? Ini yang kedua kalinya lo kena hahaha!"

Ravana mencebik kesal. "Sinting!" makinya kemudian berlalu dengan acuh.

Binar menatap Cakra yang masih tertawa puas. Gadis cantik itu menghela napas pelan. Ia memilih lanjut membeli makanan sendiri tanpa memedulikan Cakra.

Setelah beberapa saat membeli makanan, ia menuju tempat duduk dimana sahabatnya dan Bima berada, dengan ekspresi wajah suram.

Gadis itu duduk di hadapan Pelangi yang hanya terhalang meja saja. Pelangi menyadari perubahan ekspresi Binar ketika sahabatnya itu duduk di depannya, tapi ia tak tahu apa yang membuat Binar tampak tak bersemangat karena barusan mengobrol dengan Bima.

"Heh, gue kira lo belum duduk di sini. Gue noleh tadi lo udah nggak ada." Cakrawala tahu-tahu duduk di samping Binar.

Perempuan itu hanya tersenyum sekilas sambil menatap Cakra, lalu mengalihkan pandangan pura-pura fokus pada makanannya. Di samping bad mood, ia juga belum terbiasa dengan keberadaan Cakra di dekatnya. Binar masih bisa merasakan pipinya memanas, dan ia tidak mau terlihat kikuk atau berbicara gugup, jadi mungkin diam adalah jalan terbaik.

Namun sepertinya bagi Cakra itu lain, ia mengernyitkan kening.

"Kenapa lo? Mendadak sariawan?" tanya Cakra ketika Binar baru saja akan menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Mau makan kali Kak, jangan ditanya dulu," kata Pelangi.

Cakra menoleh pada Pelangi sesaat, ia menatap Binar lagi, mengangkat bahu lalu meminum air mineral kemasan dalam botol yang ia beli.

Dari bawah meja, Pelangi menendang pelan kaki Binar. Membuat gadis itu mengaduh pelan dan mengangkat wajah untuk menatap Pelangi.

"Lo nggak papa?" bisik Pelangi.

Binar hanya mengangkat jempolnya, tanpa kata ia langsung makan lagi. Tapi Binar ingat, kalau hari ini hari jadiannya dengan Cakra, itu seharusnya sudah cukup. Tidak ada alasan mengapa ini tidak jadi salah satu hari terbaik dalam hidupnya.

Binar sudah tidak bad mood lagi. Ia menelan makanan yang baru saja ia kunyah. Lalu mesem-mesem membuat Pelangi yang tak sengaja melihat itu jadi menendang kaki Binar dari bawah meja secara refleks.

"Aw!" kali ini Binar memekik kecil karena tendangan Pelangi lebih kuat.

Cakra dan Bima menoleh pada Binar.

"Sakit Na!"

"Nggak sengaja, sorry." Pelangi meringis kecil.

Binar cemberut, ia mencibir pelan sambil mengusap-usap kakinya yang kena tendangan Pelangi.

"Apa yang sakit?" tanya Cakra penasaran sambil melongokan kepala, menatap ke bawah, tepatnya pada apa yang Binar usap.

"Bukan apa-apa, Kak." gadis itu kembali menegakkan duduknya.

"Kak Cakra hari ini nggak bawa bekal?" tanya Binar mencoba memberanikan diri.

"Kebetulan nggak, darimana lo tahu gue suka bawa bekal?" jawab Cakra.

Benar membelalak, ia jadi gugup, tak mungkin mengatakan kalau ia sering menanyakan soal Cakra baik pada Pelangi atau pada Abimanyu.

"Ah itu ... Eum—aku pernah dengar dari Pelangi."

Pelangi sudah pasrah namanya dibawa-bawa.

"Iya, Kak. Waktu itu gue lagi ngomongin kak Bima, tapi Binar nanyain lo."

Binar melotot pada temannya sesaat, lalu melirik lelaki itu yang mengangguk-angguk tampak tak terlalu peduli. Melihatnya, Binar bersyukur, tapi entah kenapa juga sedih.

Pelangi tadinya agak heran. Sejak kapan Binar sedekat dan seberani ini dengan Cakra? Tapi itu cukup bagus meski akhirnya demikian.

Baik Binar atau Cakra, kini hanya fokus pada makanan masing-masing. Membuat Pelangi gemas sendiri, padahal mereka berdua tak jarang punya waktu berdua, tapi tak ada kemajuan sama sekali.

"Aku ke kelas duluan," kata Binar setelah selesai makan, lalu berdiri.

Gadis itu melangkah pergi dengan berat hati sambil membawa teh kemasan miliknya, tanpa menunggu respons yang lain. Binar sebenarnya suka sekali dengan Cakra. Bukannya ia kesal karena Cakra ternyata agak menyebalkan dan tampak tak peka.

Hanya saja ..., ini masih terlalu awal. Binar kesal, tapi jika mengingat ia adalah pacarnya Cakra, ia senang, ia bad mood ada perempuan lain yang dekat dengan lelaki itu, tapi senang karena sekarang jelas statusnya lebih tinggi dari mereka.

Binar galau. Jika galau, ia bisa menjadikan siapa saja mangsa kegalauannya. Jadi daripada menunjukkan dirinya yang asli di depan sang pujaan hati, ia lebih memilih pergi untuk menjernihkan pikiran dan menenangkan diri.

Tak lama setelah Binar sampai di kelas dan duduk di bangkunya. Ternyata, Pelangi menyusul dan duduk di samping Binar.

"Lo kenapa?" tanya Pelangi.

"Coba aja yang ngejar gue sama yang nanyain gue kenapa tuh kak Cakra." Binar menghembuskan napas pelan lalu menidurkan kepalanya di atas meja.

"Oh, jadi lo nggak mau gue tanyain kenapa gitu?"

"Ck, bukan!"

Pelangi menyandar pada kursinya. "Lo kenapa sih? Ada yang aneh deh, lo tadi ngobrol sama kak Cakra loh, gue lihat tadi dia narik tangan lo, kalian---"

"Nah iya! Gue belum cerita!" Binar tiba-tiba bangun dengan semangat membuat Pelangi tersentak kecil, apalagi selanjutnya Binar jadi mesem-mesem.

Perasaan, Binar baru saja bilang lagi bad mood, sekarang sudah mesem-mesem aneh lagi. Pelangi jadi takut kalau Binar benar-benar sudah jadi stres karena kakak kelas yang ditaksirnya itu. Kemudian Binar memajukan tubuh membuat Pelangi memundurkan tubuh dengan kening mengernyit.

"Gue ..., ditembak sama kak Cakra," bisik Binar dengan ekspresi ceria, lalu cekikikan.

Pelangi mengerjap, kemudian mengernyitkan kening. "Ha?"

Decakan singkat keluar dari mulut Binar. "Kok cuma 'ha' doang sih?"

Pelangi meraba kening Binar sementara Binar menepis tangan gadis itu.

"Lo ngigau? Masih sehat kan Bi? Kayaknya lo mulai gila deh."

Binar mendecak pelan. "Gue serius ih! Lo kan lihat sendiri gimana hari ini gue sedekat itu sama kak Cakra!"

"Lo serius?"

"Iya!"

"Masa?"

"Nggak percayaan banget sama teman sendiri! Terserah deh lo mau percaya atau nggak! Tapi gue emang ditembak sama kak Cakra. Tadi ya pas lo duluan tuh sama kak Bima, gue gugup banget karena kak Putra udah duluan sama temen-temen lain. Nah di situ, kan tinggal gue sama kak Cakra, gue baru aja mau ngelangkah ...."

Binar menjelaskan panjang lebar, sementara Pelangi yang sesekali menyimak bisa dibilang diambang percaya dan tidak percaya. Mungkin Binar ngigau, lagipula Pelangi tak menyaksikan sendiri, juga tak ada saksi mata.

Tapi bisa saja ucapan Binar itu benar, memang tidak ada saksi mata, ia tak menyaksikan sendiri, tapi kejadian-kejadian yang dijelaskan Binar cukup masuk akal.

"Na, lo denger nggak? Percaya kan sekarang?"

Chapter 3. Gadis Labil

Pelangi mengerjap dan tersadar dari lamunannya. "Apa?"

Binar melotot. "Dari tadi gue jelasin sampai mulut gue hampir berbusa-busa lo nggak dengar?"

Pelangi nyengir. "Gue nggak minta lo jelasin kejadiannya, jadi bukan salah gue dong kalau nggak dengerin, salah siapa yang jelasin sendiri?"

"Gue kan mau cerita! Bagi-bagi gitu lagi senang, bodo ah gue ngambek! Gue nggak mau bicara lagi sama lo sampai besok!" Binar memalingkan wajah sambil bersidekap dada.

Dari zaman ia masih zigot sampai jadi seonggok daging dan tulang sampai sekarang, satu-satunya manusia yang ngasih tahu lagi ngambek dan ngambeknya sampai kapan, yang baru Pelangi temukan hanya Binar Arrabella Prakasa. Temannya itu memang agak spesial, mood-nya gampang berubah dan cerewet, sangat labil. Meski begitu, Pelangi menyayanginya dan tak mau Binar terluka.

***

Sepertinya Binar benar-benar ngambek, ia yang biasanya sering bicara jadi diam dengan ekspresi judes. Padahal sahabatnya itu biasanya tak tahan kalau tak bicara lima menit sekali saja, kecuali pas lagi tidur mungkin. Pelangi sih biasa-biasa saja, ia jamin Binar tak akan kuat ngambek padanya meski hanya sampai besok sekali pun.

Istirahat kedua, Binar memilih duduk di kursinya sambil memainkan smartphone.

Meski Pelangi akui, Binar cukup kuat tahan sampai bel pulang sudah berbunyi kali ini.

"Gue pulang duluan ya, mau pulang sama kak Bima."

Pelangi melangkah keluar bangku. Binar baru saja akan berbicara namun ia menahan diri dan mengatupkan kembali rahangnya mengingat jika ia masih dalam mode ngambek. Jadi ia hanya mencibir pelan saja.

"Dih, geli amat. Gue juga bisa sekarang! Mau pulang sama kak Cakra!" monolognya.

Binar keluar dari bangku sambil menghentakkan kakinya, lalu melangkah agak cepat, kini sudah melangkah keluar kelas dan berjalan menyusuri koridor.

Setelah beberapa saat, ia menatap ke arah parkiran. Baru saja akan melangkah lagi, langkahnya terhenti ketika ada yang mencekal tangannya sekaligus memanggilnya.

"Binar!"

Gadis itu refleks menoleh. Ia tak bisa menahan helaan napas kasar waktu tahu jika itu lagi-lagi adalah Surya. Kapan sih lelaki ini berhenti mengganggunya? Pikir Binar.

"Apaan sih ah? Gue mau pulang."

"Kebetulan dong, kita sear---"

"Nggak usah repot-repot! Gue mau pulang sama kak Cakra!" Binar memotong ucapan Surya.

Lelaki itu menaikan alis. "Cakra? Cakrawala Letnio?"

Binar mendelik. "Iyalah, Cakra mana lagi?" sungutnya kesal.

Kening Surya mengernyit. "Nggak mungkin."

"Tahu ah bodo amat! Pokoknya ya gue mau pulang sama kak Cakra!" gadis itu menarik tangannya yang berada di genggaman Surya, lalu mengibaskan rambutnya yang panjang sampai sedikit menampar wajah lelaki itu.

Surya kaget dan memundurkan tubuh. Tapi untungnya, rambut Binar wangi. Ia memandangi Binar yang pergi menjauh menuju parkiran. Surya menghela napas, kapan usahanya akan terbayar? Kapan Binar akan melihatnya sekali saja tanpa adanya Cakrawala Letnio? Lelaki itu hampir tahu apa pun tentang Binar. Ia hanya bersikap sok tak tahu menahu di depan gadis itu.

Lewat Pelangi, Surya selalu bertanya, apa yang Binar suka, apa yang Binar tidak suka, siapa yang Binar suka. Soalnya kalau nanya Binar langsung, gadis itu tak acuh dan mungkin akan menganggapnya terlalu kepo, lalu merasa risi.

Tapi tentu saja segala usahanya tidak cukup ampuh untuk membuat Binar luluh. Jelas, idol kesukaannya dan Cakrawala Letnio adalah musuh besar utamanya yang akan sulit digeser dari puncak hati Binar. Bahkan mungkin, dilihat dari bagaimana gadis itu berbicara dan menatap padanya, Binar seolah malas dan enggan. Boro-boro jadi yang ke satu, masuk seratus besar lelaki yang menduduki tempat spesial di hati Binar pun mungkin tidak.

Apalagi sekarang, Cakrawala Letnio satu langkah lebih dekat dengan gadis itu. Kesempatannya mungkin hanya tinggal 0,01 %. Surya tersenyum miris.

Sementara Binar kini sudah melangkah mendekat menuju motor gede berwarna hitam yang diapit dua motor gede berwarna hitam pula di kanan kirinya. Itu adalah motor Cakra. Ia hanya tinggal menunggu sang empunya motor yang sekarang mungkin masih menuju perjalanan ke sini.

Kebetulan! Ia melihat Cakrawala sudah berada di ujung koridor dan sedang melangkah ke sini bersama Bima, Pelangi, dan ..., Ravana. Gadis itu jadi mendengus. Seharusnya yang sekarang di sana itu dia! Binar iri dengki dan kini merengut.

Walau berikutnya keningnya mengernyit melihat ada seorang lelaki yang menggaet leher Ravana sampai kakak kelasnya itu kaget dan memekik. Gadis itu memberontak ingin dilepaskan, namun bukannya dilepaskan ia malah digeret paksa mengikuti langkah lelaki itu hingga keduanya berjalan terlebih dahulu. Kalau tidak salah ... namanya Asenaga Presmana. Lelaki itu merupakan senior kelas dua belas yang masuk list cowok tampan menurut Binar di SMA nya, meski tingkahnya rada-rada goblok dan nakal.

"Woi!"

"Akh!" Binar meringis sekaligus kaget ketika ada yang menyentil keningnya.

Gadis itu refleks mengusap keningnya yang terasa agak sakit, kini menatap pada si pelaku.

"Tiap ketemu, lo pasti lagi bengong, hati-hati kesambet penunggu parkiran, lo nggak tahu kan di sini ada penunggunya? Waktu itu ada yang kesurupan." Cakra malah menakut-nakuti.

Binar percaya begitu saja, tanpa sadar merapat pada lelaki itu dan menabok lengan Cakra. "Hah? Emang iya? Dih nggak mungkin! Mana ada!"

Binar suka agak parnoan. Tak peduli meski itu pagi, siang, sore atau pun malam.

"Ada, mang Jawi penunggunya. Masa lo nggak tahu?" Cakra mengerjap polos. Menyebutkan salah satu satpam sekolah yang terkenal paling garang dan tegas dalam sepak terjang persatpaman di SMA mereka.

"Ih itu mah beda lagi!" Binar menabok keras lengan lelaki itu untuk kedua kalinya. Bukannya meringis karena ditabok, Cakrawala malah tertawa melihat wajah sebal yang ditunjukan Binar.

"Sejak kapan kalian sedekat ini?" suara Pelangi memecah perhatian mereka.

"Sejak tadi, mereka kan udah pacaran." Bima yang menjawab, ia mengusap puncak kepala pacarnya itu dengan lembut.

Kedua mata Pelangi membulat. "Ciee. Jadi, lo serius?" tanya Pelangi kini menatap Binar dengan gaya antusias berlebihan.

"Iya lah! Masa bohong!" kata Binar kesal. Sudah lupa jika ia tidak akan bicara sampai besok pada Pelangi.

"Ya ampun gue terharu! Anak mamah akhirnya nggak jomblo," katanya.

Lalu gadis itu mengusap sudut matanya yang sama sekali tak berair dan sok dibuat terharu. Binar mendesis jijik, sejak kapan sih Pelangi yang doyan nyinyir sebelas dua belas sepertinya jadi lebay seperti ini?

"Gue kira tadi lo ngibulin gue!" kata Pelangi.

"Ya nggak lah ya ampun." Binar mendengus.

"Sorry-sorry." Pelangi cengengesan.

"Pulang yuk," ajak Bima.

Pelangi menoleh ke belakang sesaat. "Ok! Lo pulang sama kak Cakra, Bi?" tanyanya pada Binar.

Binar melirik Cakra yang menatap padanya. Kemudian dengan pipi merona dan ragu menjawab, "Kayaknya."

"Ok deh!"

Binar menatap sahabatnya yang kini dipakaikan helm oleh Bima meski Pelangi bilang bisa memakainya sendiri. Lalu setelah keduanya memakai helm dan menaiki motor, Bima dan Pelangi meninggalkan parkiran sekolah serta Binar dan Cakra.

"A-aku nebeng Kak Cakra ya? Kita kan searah," cicit Binar.

"Ok. Tapi gue cuma bawa helm satu," kata Cakra.

"Nggak papa, Kak Cakra aja yang pakai."

Cakra mengangguk. Sebelum menaiki motor, ia membuka topi hitam yang ia pakai, kemudian memakaikannya pada Binar yang langsung membuat gadis itu terdiam kaget karena perlakuan tiba-tibanya.

"Lo pakai itu aja," katanya.

Binar mengerjap. Mencoba menguatkan hati supaya tak ambyar di tempat.

"Kak Puput kok nggak ada?" tanya Binar setelah menaiki motor besar milik Cakrawala. Mencoba mencari topik untuk dibicarakan.

Lelaki itu menoleh ke belakang sekilas. "Kenapa nyariin? Naksir?"

"Bukan! Mana ada ..., maksudnya kan kalian tiga sekawan dan selalu bareng-bareng."

"Nggak selalu bareng-bareng." Cakra mulai menyalakan motornya, kemudian melajukan motor hingga meninggalkan parkiran sekolah.

"Si Puput pasti ke kelas ceweknya, lo tahu kan? Sesi kelas XII IPS 1. Senior."

Binar mengangguk, dengan ragu melingkarkan tangannya ke pinggang Cakra. Kali ini, gadis itu tak bisa menahan senyuman di balik punggung lelaki di depannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!