Pov Kara
Nama ku Lengkara Prasatya gadis berusia 23 tahun, semenjak aku lulus kuliah sekitar 2 tahun yang lalu aku memutuskan mencari kerja ke Jakarta yang kebetulan aku mendapat tawaran langsung disana. Usia ku yang sudah mulai terbilang matang untuk menikah tak membuat aku tertarik menjalani hubungan berumah tangga untuk saat ini.
Karena, aku berkeinginan menjadi wanita karier dan usia 23 tahun belum masuk target ku untuk menikah. Lebih tepatnya aku belum siap berumah tangga, belum siap untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Tapi, orang tua ku terus saja mendesak ku agar cepat menikah. Sebenarnya sudah ada beberapa laki-laki yang mengajak ku untuk berumah tangga tapi mereka tidak masuk di kriteria ku, pun aku benar-benar belum memikirkan untuk menikah secepat itu.
Jarak antara Jakarta ke Yogyakarta, tempat tinggalku yang hanya memakan waktu kurang lebih 1 Jam 30 menit jika naik pesawat tak membuat aku sering pulang kampung. Setahun aku hanya pulang dalam sekali atau dua kali tidak lebih.
Alasannya karna aku banyak pekerjaan dan tak bisa mengambil cuti begitu saja. Memutuskan hanya pulang di saat lebaran dan tahun baru saja. Apalagi perusahaan yang aku tempati bekerja bergerak di bidang Skincare, tak banyak hari libur tentunya.
Pulang di sore hari sudah menjadi rutinitas ku selama 2 tahun terakhir ini. Tapi, untuk hari ini aku pulang di saat jam sudah menunjukkan 18:39 WIB karna menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Rasanya badan ku benar-benar lelah seharian duduk di depan komputer, tapi aku butuh membersihkan diri terlebih dahulu untuk bisa beristirahat dengan tubuh yang nyaman di kasur empuknya. Pun perut ku sudah kelaparan ingin segera di isi oleh makanan-makanan.
"Hari ini benar-benar nguras tenaga, cape banget duduk terus dari pagi sampai malem," keluhku menidurkan diri di kasur.
Setelah merasa sudah tidak terlalu lelah aku putuskan untuk mandi terlebih dahulu, baru setelah itu aku akan memutuskan memasak atau gofood. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk aku mandi dan selesai berpakaian. Karna, malas memasak dan aku sudah sangat lapar akhirnya aku memutuskan untuk gofood saja. Butuh waktu 15 menit akhirnya makanan yang aku pesan sudah tiba.
Aku makan malam dengan menyalakan tv agar tak terlalu hening. Selesai makan aku langsung mencuci peralatan makan yang baru saja ku pakai agar tidak menumpuk dan menjadi pekerjaan besok pagi. Aku kembali duduk di sofa yang tadi ia duduki dan membuka ponselnya. Bertepatan dengan itu Ibuku di kampung menelfon.
"Wa'alaikumusalam, kenapa bu?" tanya ku bersabar di sofa.
"Kamu udah pulang?" tanya sosok suara yang sangat aku rindukan di sebrang sana.
"Iya, udah makan juga. Ini lagi nonton tv doang, " jawab ku memfokuskan pandangannya pada layar 45 inci yang menempel di dinding.
"Ibu sama ayah sehat?" tanya ku ingin mendengar kabar orang tuanya. Sebenarnya hampir tiap malam aku bertelponan dengan Ibu tapi karna jauh aku terus menanyakan hal yang sama setiap hari.
"Iyaa, alhamdulillah sehat. Adek mu juga udah mulai ga nakal. Udah ga terlalu keluyuran kalau malam."
"Harus itu, Adnan udah kelas dua belas. Gak baik kalau dia mainnya kelayapan mulu. Dia harus fokus belajar buat masuk di Universitas Negeri."
"Hm... Ra! Ibu mau ngomong sesuatu," suara Ibuku terdengar ragu-ragu.
"Iya, ngomong aja. Kara dengerin kok."
"Kalau ada laki-laki yang tiba-tiba datang kerumah lamar kamu apa kamu terima?" tanya Ibuku disebrang sana.
"Ini perumpamaan kan? Ibu gak niat jodohin aku kan?" tanya ku merasa was-was.
"Sebenarnya ada laki-laki yang baru aja lamar kamu tadi..."
"Terus gimana? Ibu sama Ayah tolakan? Aku udah pernah bilang lho aku masih mau sendiri, belum kepikiran nikah di umur segini. Minimal dua puluh lima tahun lah, udah cocok kalau umur segitu..."
"Maafin Ayah sama Ibu ya, Ra..." suara Ibuku terdengar parau dan sangat-sangat menyesal.
"Hah? Maaf kenapa bu? Ibu gak punya salah!!"
"Kami terima lamarannya tanpa sepengetahuan dan persetujuan kamu..."
"APA BU!!!"
Kara reflek berteriak dan hampir menjatuhkan ponselnya. Ia kembali mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
"Ibu bercanda kan? Aku gak percaya!! Kalau cuman mau Kara pulang secepatnya, iya Kara bakal usahain bulan depan. Kalau bulan ini belum bisa." Aku berusaha untuk tetap berpikir positif. Ibuku pasti hanya bercanda, itu hanya sebagai ancaman agar aku segera pulang. "Besok baru aku usulin buat minta cuti ya bu?"
"Ibu gak bercanda, nak..."
"Ibu, Kara tau Ibu bohong. Jadi ga usah bercanda lagi, Kara gak suka dan bakal usahain pulang secepatnya."
"Orang yang lamar kamu anaknya sahabat ayah, pak Dewa yang pernah nawarin kamu kerja di perusahaannya, Dewaganari grup."
"Ibu!!"
"Kamu pulang secepatnya ya nak, maafin Ayah sama Ibu yang ngambil keputusan tanpa nanya ke kamu dulu. Bukannya kami gak mikirin perasaan kamu, tapi kami malu kalau mau nolak lamaran mereka. Apa kata orang nanti, mereka bakal nganggap kita pemilih-milih dan terlalu sombong. Apa lagi sudah ada beberapa lamaran sebelumnya yang kita tolak."
"Kita cuman keluarga sederhana, Ibu terlalu malu untuk bilang tidak," kata Ibuku terdengar parau.
"Ibu!! Kalian gak mikirin perasaan aku? Kalian cuman mikirin omongan orang???" tanya ku yang tanpa sadar sudah menetaskan air mata.
"Setidaknya Ibu ngabarin dan tanyain ke aku, bukannya ngambil keputusan gitu aja!! Aku yang di lamar Bu! Aku yang bakal jalanin!! Kenapa kalian seenaknya ngambil keputusan!" Aku semakin menangis memikirkan orang tua ku tak memikirkan perasaan ku sedikit saja.
"Maafin kami, nak..."
"Kalian semua egois! Emang kenapa kalau kalian nolak? Nolak secara baik-baik itu gak burukkan??" cecar ku tak habis pikir.
"Halo! Kara ini Ayah..."
"Apa? Ayah mau ngomong apa? Mau ngomong kalian terpaksa ngambil keputusan sendiri tanpa mau tanya ke Kara dulu??"
"Kamu dengar, sebelum-sebelumnya saat ada yang datang kerumah lamar kamu, kami masih bisa tolak secara baik-baik. Kamu ingat sudah lebih dari lima laki-laki yang datang kesini yang kami tolak dan itu demi kamu."
"Apa kata orang nanti kalau kami nolak lagi, apa lagi ini bukan keluarga biasa. Mereka keluarga terpandang, kamu tau perusahaan manufaktur yang terkenal itu? Anak mereka yang datang lamar kamu dan dia juga bukan orang lain, tapi sahabat ayah."
"Kalau kali ini kami kembali nolak, tetangga bakal beranggapan banyak dan mikir kita terlalu sombong, terlalu bangga karna banyak laki-laki yang sudah kita tolak. Apa lagi ini anak pak Dewa."
"Kalian lebih mentingin rasa malu daripada aku???"
"Terserah kamu Kara. Ayah sudah capek dan sudah terlalu malu karna omongan tetangga. Kamu pikir hidup kami disini baik-baik saja? Hampir setiap hari kamu yang di omongin di sini asal kamu tau."
"Yasudah kalau memang kamu gak mau pulang gapapa. Karna ada atau gak adanya kamu disini pernikahan tetap berlanjut. Kita tetap bisa melanjutkan akad yang penting ada wali."
"Ayah!!"
"Dua minggu lagi kamu bakal nikah, kalau masih nganggep kamu punya orang tua dan keluarga disini secepatnya kamu pulang. Sudah cukup selama ini kami yang selalu nurut kekamu. Sekarang giliran kamu yang nurut ke kami!!"
"Ayah tutup. Assalamu'alaikum."
Aku tak berniat menjawab salam Ayahnya dan membiarkan panggilan di akhiri begitu saja di seberang sana. Dengan pandangan kosong aku terdiam beberapa saat mencerna ini semua. Kemudian tangisan ku langsung mengisi apartemen ini yang sebelumnya terdengar tv menyala.
"KALIAN SEMUA EGOIS!!"
"KALIAN NGAMBIL KEPUTUSAN GITU AJA TANPA NGELIBATIN AKU. PADAHAL AKU YANG DI LAMAR TAPI AKU KAYA ORANG BODOH YANG GAK TAU APA-APA!!!" aku berteriak histeris seperti orang yang kesetanan.
"HAHA LUCU, KALIAN LUCU SAMPAI SETEGA INI SAMA AKU. KALIAN LEBIH MENTINGIN OMONGAN TETANGGA DIBANDING ANAK KALIAN."
"Oke! Kalau kalian gak nganggap aku dan pikirin perasaan aku. Aku juga bisa!! Aku juga bisa nganggap pernikahan ini gak ada dan gak mikirin perasaan kalian."
Malam semakin larut tapi aku belum juga berhenti menangis. Menyesali dan menyalahkan semuanya. Menganggap orang tua ku terlalu egois.
Paginya, aku datang kekantor dengan mata sembap. Karna tak ingin orang-orang kantor tahu bahwa mata ku bengkak karna terlalu banyak menangis, aku memutuskan untuk memakai kacamata. Tentu saja orang-orang menatap ku dengan pandangan aneh. Tapi tak ku hiraukan.
Sampai di ruang kerja aku mendapati sudah ada beberapa orang kemudian aku menyapa mereka seperti biasa. Salah satu dari mereka kemudian bertanya kenapa ku memakai kacamata hitam di dalam ruangan begini.
Dengan tetap mencoba terlihat santai, aku menjawab dengan sedikit berbohong bahwa mata ku sedang sakit. Ya, benar aku sakit tapi bukan sakit mata , tapi sakit hati. Aku kemudian mulai mengecek apa saja yang akan aku kerjakan hari ini. Mengecek komputer dan lain-lain. Kebetulan aku bekerja di bagian pemasaran.
"Gilaa! Cewek independen gue udah dateng nih. Kenapa tuh Buk tumben pake kacamata di dalam ruangan kaya gini. Kacamata hitam lagi."
Kaget? Tentu saja, karna sedang asik menyusun list kerjaan hari ini, aku tiba-tiba di kagetkan dengan suara cempreng yang bersumber di samping ku.
"Ck, ngagetin lo!" aku berdecak kesal karna kaget mendengar suara cempreng sahabatku.
"Kenapa lo, sakit mata apa sakit hati?" tebak Disha asal. Sahabat ku sejak kuliah sampai sekarang, persahabatan kami sudah terjalin kurang lebih 6 tahun.
"Udah gak usah tanya-tanya, dan jangan natap gue kaya gitu kalau gak mau ketularan sakit mata," ujar ku berbohong mengalihkan pandangan ku dari Disha.
"Beneran??? Padahal gue cuman asal ceplos lho??"
"Udah gak usah cerewet, kerjain kerjaan lo. Ketahuan Bu Adis, gue gak mau ikut-ikutan di marahin."
"Ck, orang belum datang kali. Gak usah takut," kata Disha mulai menyalakan komputernya.
Aku memilih tak menyahuti perkataan Disha, karna jika di jawab maka urusannya akan panjang.
Tak lama dari itu Ibu Adisty tepatnya Bos di divisi pemasaran pun datang. Ia berjalan dengan elegant masuk keruangan tanpa membalas sapaan dari para bawahannya.
Ruangan yang tadinya hening semakin hening saat tau Ibu Adis sudah datang. Bahkan untuk sekedar bergerak saja kami semua kaku. Kami semua semakin menyibukkan diri lebih tepatnya sok menyibukkan diri. Setengah jam Bu Adis berada di dalam ruangannya dan kemudian kembali keluar. Untuk mengontrol dan mengecek pekerjaan kami, ku lihat dia melangkah mendekat padaku.
"Yang saya suruh kemarin apa udah siap?" tanya Bu Adis to the point.
"Oh iya Bu, kebetulan sudah saya cek semua dan kebanyak ga sesuai kriteria perusahaan kita Bu, hanya ada sepuluh orang yang termasuk Bu," jawab ku sopan. Ya, pekerjaan ku adalah staff HRD.
"Ya sudah, bawakan saya datanya."
"Baik Bu." Aku mengangguk paham lalu bernafas lega saat Bu Adis pergi. Tiba-tiba saja wanita itu kembali berbalik lagi menatap ku, membuat ku menahan nafas. Takut ada kesalahan yang ku perbuat.
"Itu kacamata lupa kamu lepas? Apa gak gelap kamu lihat komputernya??"
Aku menarik napas. "Maaf Bu, sebelumnya. Mata saya sedang sakit Bu, saya takut ini akan menular, jadi saya pakai kacamata Bu."
Bu Adis tampak membulatkan bibirnya dan mengangguk mengerti. "Oh yasudah, lanjutin pekerjaan kamu dan ga usah natap saya kaya gitu."
Aku menunduk sopan saat sadar tatapan ku pada Bu Adis sedikit intens. "Maaf Bu."
Tanpa berniat menjawab perkataan ku, Bu Adis pun berlalu pergi masuk kembali keruangannya.
"Ra, tumben lo kepo??" suara Disha dari samping membuat ku menoleh ke arahnya dimana Disha sedang menatap komputer yang ada di depan ku.
"Hah? Maksud lo?" tanya ku bingung.
"Itu komputer lo di pencariannya nanya siapa anak pemilik Dewaganari grup?" Disha langsung tersenyum misterius.
"Apa? Gue salah pencet."
"Ah, masa? Gue percaya gak yaa?" Disha semakin tersenyum menggoda.
"Yaudah kalau mau percaya terserah, kalau enggak percaya juga terserah. Gak ada pengaruhnya di gue," ucapku kembali memfokuskan pandangan pada komputer didepanku. Mengetik asal disana agar Disha tak semakin curiga.
"Gue dengar-dengar nih ya, anaknya Pak Dewa ganteng lho. Masih muda udah jabat CEO. Duh, yaallah calon suami idaman banget," Disha merasa berbunga-bunga saat mengatakannya.
"Gak sedikit juga anak pejabat dan anak teman Pak Dewa yang mau jodohin anaknya ke anak Pak Dewa."
"Gue gak nanya. Mohon maaf aja," ucap ku seakan tidak perduli.
"Lo kan belum sempat nyari info tentang anaknya Pak Dewa. Jadi, karna gue sedikit tau gue kasi tau lo lah,"cibir Disha merasa kesal.
"Makasih infonya, tapi, sekarang gue mau kerja. Jadi ceritanya di pending dulu aja."
"So sibuk lo," Disha semakin mencibir.
"Emang sibuk kok," sahut ku akan menuju ruangan Bu Adis.
"Awas aja kalau lu dimakan. Gue yang paling pertama ketawain," kata Disha. Tapi, takku hiraukan ucapannya.
...Ω...
Aku mengetuk pintu ruangan Bu Adisty pelan. Sambil berkata. "Ini saya Bu, Kara."
Bu Adhisty segera menyahut dan mempersilahkan ku masuk. Di dalam aku melihat Bu Adhisty membaca sebuah dokumen. Saat dia menatap ku segara aku membuka suara dan memperlihatkan laporan pemasaran yang ku bawa. "Ini bu data-data pelamar yang Ibu minta," ujar ku memberikannya sebuah dokumen kepada Ibu Adhisty.
"Oke, nanti saya periksa lagi ," katanya. "Oh iya, saya panggil kamu kesini bukan cuma buat minta bawain data pelamar, saya mau ngomong sesuatu."
Perkataan Ibu Adisty barusan membuat aku seketika gugup bercampur takut, takut ada kesalahan yang ku perbuat sehingga dia akan memarahi ku. Dengan berusaha terlihat tenang aku menyahuti. "Apa itu bu? Apakah saya ada kesalahan atau Ibu memerlukan sesutu?"
Wanita itu menggeleng. "Bukan, saya cuma mau ngasi tau. Rencananya mau ajak kamu dan teman-teman kamu buat liburan, yang mungkin cuma ke puncak lah. Buat refresing karna tiga bulan ini kalian sudah berkerja keras dan beberapa kali lembur," ucap Ibu Adisty membuat aku bisa bernafas lega mendengarnya.
"Baik bu, nanti saya info kan ke yang lainnya dan akan menanyakan kapan mereka bisa."
"Kalau menurut saya sih pas wekeend, tapi minggu depan saya mau ada acara keluarga dulu. Sebaiknya minggu setelahnya lagi, bagaimana menurut kamu?"
Aku mengangguk. "Itu hari yang bagus bu, nanti saya tanyakan ke yang lain. Apakah bisa hari minggu kedua atau tidak."
"Oke, nanti info kan ke saya. Kamu boleh balik," kata Bu Adisty setelah dia merasa tak ada lagi yang akan di sampaikan kepada ku.
Aku pun mengangguk lalu pamit dari ruangan itu, aku tak lupa menutup pintu kembali setalah berada di luar. Ku lihat Disha yang menatap penasaran ke arah ku, dan saat aku sudah duduk di kursi gadis itu langsung saja melayangkan pertanyaannya. "Di tanya apa aja lu sama Ibu Adis?"
"Cuma ngasi data-data orang yang lamar kerja, terus kita semua di ajak buat liburan ke puncak buat dua minggu ke depan. Katanya sebagai refresing karna tiga bulan ini kita semua udah bekerja keras," ulangku menjelaskan perkataan Bu Adisty kepada Disha.
"Wah seru tuh, tumben Bu Adis baik dan kepikiran ke sana. Gue sih gas aja, tapi tanyain ke yang lain mereka bisa apa ngga. Tapi, harus di usahakan bisa sih," ujar Disha.
Aku pun mengangguk. "Nanti kalau istirahat baru gue infoin ke mereka. Sekarang kerja dulu," kata ku segera mengusir Disha agar balik ke mejanya.
"Gapapa gue mau gosip sesuatu, jangan di usir dulu," katanya yang tak aku hiraukan.
"Lagi banyak kerjaan gaada waktu buat ngegosip, mau lu di omelin Bu Adisty kalau ketahuan??" tanya ku dan Disha langsung menggeleng.
Dengan perasaan sedikit kesal ia pun kembali ke mejanya yang ada di samping kanan ku. "Dengan terpaksa ceritanya harus gue pendam dulu," gumamnya yang masih bisa aku dengar.
1 minggu berlalu dan tak terasa hari pernikahan ku juga sisa 1 minggu lagi. Setiap hari Ibu dan adik ku meneror dengan mengirimkan pesan atau langsung menelfon menyuruh ku untuk segera pulang. Mengingatkan akan hari pernikahan ku yang semakin dekat.
Aku hanya membacanya pesan dari Ibuku yang baru saja masuk, aku tidak berniat untuk membalas pesan. Membiarkannya begitu saja dan aku berlalu ke kamar mandi, aku butuh mandi agar perasaan ku tak suntuk.
Kebetulan besok adalah wekeend jadi aku memutuskan untuk bermalas-malasan saja. Tak berniat untuk keluar walaupun sekedar malam minggu. Seperti orang pada umumnya, aku tak seniat itu.
"Kenapa hidup gue harus gini?"
"Kalau bisa gue mau tukeran sama orang lain."
"Kenapa dia mau sama gue? Gue sama sekali gak ada kelebihannya."
"Coba aja dia ga datang ngelamar. Coba aja ayah ga sahabat sama pak Dewa. Hubungan gue sama Ayah, Ibu, Adnan gak bakal kaya gini dan pernikahan ini ga bakal terjadi."
Air mata sudah meluncur membasahi pipi ku, aku terisak pelan. Mencoba menahan semua ke sedihan ini. Berandai, berandai, dan berandai.
Hanya itu yang bisa ia lakukan, aku tak tahu harus bagaimana sekarang, aku benar-benar tak mau pulang. Aku ingin egois. Tak ingin menuruti perkataan kedua orang tuaku karna ini adalah hidupku, hanya aku yang boleh mengambil keputusan.
Setiap malam aku hanya mengurung diri di kamar kemudian menangis walaupun sering kali Disha mengajak ku keluar, tapi aku berbohong dan banyak memberi alasan. Demi apapun aku belum siap menikah. Kenapa Ayah dan Ibuku menerima lamaran itu tanpa bertanya terlebih dahulu padaku yang bahkan wajah dari anak Om Dewa aku tak tahu.
Menikah itu bukan cuman perihal ijab kabul lalu sah. Tapi, pernikahan itu adalah ibadah seumur hidup, aku takut tak bisa menjalaninya. Aku terlalu takut walau hanya sekedar membayangkannya. Apalagi menikah dengan laki-laki yang tak ku kenal tidak pernah terlintas dalam pikiran ku.
Diluaran sana banyak desas desus tentang orang yang dijodohkan kemudian tak lama setelah menikah mereka kemudian berpisah. Salah satu alasannya ya itu selingkuh, entah suami yang selingkuh atau istrinya yang selingkuh, aku tak mau semua itu nantinya terjadi padaku.
Bagaimana aku harus menerima ini semua?
Sibuk merenung, layar ponselku kembali menyala dan menampilkan chat dari Ibuku lagi. Aku hanya membacanya, benar-benar tidak berniat membalasnya. Karna tak ingin di ganggu aku kemudian memblokir nomor kedua orang tuaku adikku, dan keluargaku yang lain. Aku benar-benar menutup semua akses.
"Bodo amat dengan pernikahan yang sisah seminggu lagi."
Tak lupa aku juga mengeluarkan kartu simku lalu mematahkannya. "Sekarang siapapun yang mau hubungi gue gak akan bisa. Kalian bisa gak mikirin perasaan gue kan? Sama gue juga bisa!"
Aku menghapus aplikasi WhatsApp agar siapapun tak bisa menghubungi berkontakan denganku. Untung saja aku mempunyai dua ponsel lalu punya pikiran memisahkan nomor untuk keluargaku dan urusan pekerjaan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sedangkan di sisi lain, tepatnya di kediaman Prasatya. Mereka semua di landa kecemasan saat Kara sudah tak bisa dihubungi. Karna memblokir semua akses mereka yang ada disini.
"Yah, gimana ini. Kara ga bisa di hubungi??" Anjani— Ibu Kara bertanya pada Satya suaminya dengan harap-harap cemas.
"Dan pernikahan mereka tinggal seminggu lagi. Gimana kalau Kara benar-benar gak pulang? Gimana sih, Yah. Aku laginya nanya solusinya kamu malah diam aja!!" kata Anjani kesal karena Satya suaminya tak menanggapi.
"Masih banyak waktu untuk nyuruh Kara pulang dengan paksa. Ibu tenang aja, nanti Ayah suruh beberapa orang kesana untuk bawa pulang Kara kesini," ujar Satya menatap sang istri.
Adnan, adik laki-laki Kara, menatap kedua orang tuanya itu dengan tatapan kesal. "Seharusnya, dari awal Ibu sama Ayah gak boleh ngambil keputusan gitu aja tanpa tanyain ke Mbak Kara apa dia mau atau enggak. Kalau gini siapa yang mau disalahin, Mbak Kara?"
Adnan menatap jengah kedua orang tuanya, selama dua minggu ini yang Ibunya lakukan hanya menghubungi Kara dan menyuruh Kara pulang. Tapi lihat, Kara belum juga pulang.
"Kamu gak tau apa-apa! Jangan ikut campur urusan kami!!" Satya menatap putranya itu dengan tatapan tajam penuh penghakiman.
"Kamu gak tau seberapa malunya kami yang selalu di gunjing orang-orang karna sudah banyak lamaran yang di tolak. Mereka berpikir kita ini orang sombong, terlalu membanggakan diri karna tak ada pun lamaran yang kita terima."
"Ayah itu cemas selalu memikirkan hal-hal yang akan menimpa keluarga kita ataupun Mbak mu karna sudah banyak lamaran yang kita tolak. Kamu tahu hukum menolak lamaran laki-laki sebanyak tiga kali?" jelas Satya menatap Adnan.
Adnan yang di tatap pun menyahut. "Yaudah terserah Ayah, aku ga mau ikut campur. Kalian sendiri yang terlalu terburu-buru mengambil keputusan tanpa lihatin Mbak Kara, padahal dia nanti yang akan jalanin. Sekarang Ayah sama Ibu sendiri yang akan terima akibatnya, padahal waktu keluarga om Dewa kesini kalian bisa minta waktu buat jawab karna mau tanyain ke Mbak, tapi apa? Ibu sama Ayah langsung terima lamarannya gitu aja."
Setelah Adnan berkata seperti itu, ia pun langsung pergi begitu saja di depan kedua orang tuanya yang langsung mencerna perkataan putranya barusan. Perkataan Adnan memang benar adanya, mereka berdua terlalu terburu-buru dan gegabah mengambil keputusan, tanpa bertanya ke Kara terlebih dahulu.
Kini putri sulung mereka itu menolak menikah karna tak di libatkan sedikitpun, Kara benar-benar menutup akses. Semua media sosialnya tak ada yang bisa dihubungi, kini mereka akan menanggung malu karna ke gegabahan itu. Anjani hanya bisa menangis setelah mendengar perkataan Adnan, sedangkan Satya terdiam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!