NovelToon NovelToon

Vanadium

episode satu

Angin malam berhembus pelan memainkan anak rambut di dahi, langit hitam terlihat bersih tanpa awan, bintang gemintang terlihat menggantung di malam di bulan ke sebelas. hari ini adalah hari libur, sekitarku terasa sangat ramai, ramai oleh celoteh anak-anak kecil yang riang berjalan ke sana kemari bersama orang tua mereka, ada juga sepasang pemuda pemudi yang sedang dimabuk asmara, atau ada juga yang hanya datang sendiri menatap keramaian seperti diriku.

Aku mengangkat jariku setelah bosan memainkan air danau di depanku, tempat ini adalah tempat yang penting bagi, pohon akasia tempatku berasal dari ini menjadi saksi bisu betapa pentingnya semua kejadian itu pernah terjadi. aku menatap jam di pergelangan tangan, waktuku hanya tersisa kurang lebih tiga jam lagi

' bukhhh.' entah dari mana asalnya tiba-tiba sebuah bola plastik berwarna merah mengenai bahuku, tidak sakit memang aku hanya terkejut, aku menoleh ke sana kemari mencari siapa pemilik bola ini. tepat di arah jam lima dari tempat dudukku si pelaku sudah terlihat, seorang gadis kecil yang sedang berjalan pelan ke arahku sambil menundukkan kepalanya.

" ehh anuu, itu om maaf rindu tidak sengaja om, awalnya kan rindu mau lempar ke Salma, eh malah kekencangan terus kena oom deh. " ucapnya sambil menunjuk temannya yang sedang menunduk tidak jauh dari tempatku berada.

" ehh oom tidak marah kan?" sambung gadis kecil itu.

Aku tersenyum, bagaimana mungkin aku bisa marah, lihatlah gadis kecil yang sekarang sedang menunduk ini, harap harap cemas kalau aku akan memarahinya, wajahnya yang bulat sempurna, hidup pesek, rambut hitam panjangnya di biarkan tergerai, mata hitam yang bagaikan biji leci itu sekarang sudah berkaca kaca siap untuk menumpahkan segala bentuk emosi yang ada. Dan yang terpenting lagi adalah di usianya yang terbilang masih enam tahun, dia sudah berani untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf, benar benar sebuah pola asuh yang baik dari orang tuanya.

" tidak, om tidak marah kok" ucapku sambil mengembalikan bolanya.

" ehh beneran omm?" tanya nya memastikan.

Aku tersenyum lalu mengangguk, aku sungguhan tidak marah, gadis kecil itu tertawa senang, mengambil bolanya setelah mengucapkan terimakasih lalu balik kanan menuju temannya yang masih menunduk sejak tadi, harap harap cemas kalau dia juga akan kena marah.

" sebentar" ucapku sambil merogoh saku celana, mencari sesuatu.

' ada apa? Bukannya tadi sudah di suruh pergi? Atau jangan jangan oom nya berubah pikiran, bakalan marah sekarang nih, atau aku kabur aja ya.' batinnya

" ini, buat kamu sama temennya, jangan lupa di bagi dua ya." ucapku sambil menyerahkan dua buah bungkusan kecil.

" wahh coklat. Terimakasih banyak ya om." ucapnya sambil tertawa lebar kali ini, lalu kembali ke tempat temannya.

Aku menatap punggung gadis kecil itu yang sudah mulai menjauh, rambut hitam panjangnya terlihat bergerak kesana kemari, aku kembali mengambil sebungkus coklat lagi dari saku celanaku, tidak ada coklatnya, hanya ada bungkusnya. Tanganku pelan mengikuti guratan yang ada di bungkusan coklat itu, aku hafal pasti karena hampir setiap hari aku melakukannya. Bagiku bungkusan coklat ini sangat penting, semenjak hadirnya dia hidupku menjadi penuh pertanyaan, dan pertanyaan paling penting apa lagi kalau bukan tentang cinta.

Mataku menyipit ke arah seberang danau, di sana terlihat konvoi mobil serta beberapa motor yang mulai memadati sebuah rumah, aku tersenyum tipis, sepertinya sebentar lagi akan di mulai. Baiklah, aku punya waktu kurang dari tiga jam saat ini, aku akan menjelaskan segalanya, segalanya tentang bungkusan coklat yang amat penting dalam hidupku, aku minta maaf kalau nanti ceritanya berlepotan Karena aku bukan pembicara yang baik di depan banyak orang. Aku akan memulainya dari dua puluh tahun yang lalu, saat umurku masih hitungan jari tangan dan kaki, saat aku belajar tentang kehilangan untuk yang pertama kalinya.

***

Umurku lima belas tahun kala itu, ketika orang yang paling aku sayangi pergi meninggalkan. Adalah ibu, sosok yang melahirkan, merawat, serta menjagaku

sejak tadi aku hanya mengelus pelan pusara ibu, tidak ada air mata yang mengalir di pipiku sejak tadi, karena ibu mengajariku untuk tidak mengekspresikan emosi dengan cara menangis. Tapi hatiku lah yang menangis sejak tadi, tidak ada satu pun kata yang bisa menggambarkan kesedihan seorang anak ketika di tinggali oleh orang tua, terutama ibu. Kerumunan warga sudah mulai mereda di bandingkan sejak tadi, hanya tinggal menyisakan beberapa orang, termasuk teman teman sepermainanku.

" Aku turut berdukacita nak, ibumu adalah orang yang baik semasa hidupnya, dia juga adalah teman sepermainanku saat kecil." ucap wak El sambil mengelus kepalaku.

Wak El adalah sesepuh di kampus kami, beliau sangat di hormati para warga karena kebijaksanaannya, wak El juga terhitung masih sepupu jauh ibu.

" warga yang bertugas memandikan jenazah ibumu menemukan secarik kertas yang berisikan wasiat untukmu nak." sambung wak El

kepalaku yang hanya berjarak dua jengkal dari wak El terangkat.

" wasiat?" tanya ku pelan.

" iya nak, wasiat. Ibumu memintamu untuk pergi merantau ke kota kabupaten. Pergi dan carilah ayahmu itulah permintaan terakhirnya. Jangan pikirkan tentang ongkosnya, aku bersama para warga sudah menggalang dana untuk keberangkatanmu." ucap wak El sambil menyerahkan dua buah amplop berwarna coklat kepadaku.

Aku tau apa isi dari amplop itu, yang aku tidak tau adalah mengapa ada dua amplop?

" amplop ini berisi uang sumbangan dari para warga, tidak banyak memang, tapi aku rasa cukup untuk membuatmu bertahan hidup di sana selama satu bulan penuh sebelum akhirnya kau bisa mencari uang sendiri. Amplop kedua berisi tiket keretamu, aku yang menulisnya, kau bisa menyerahkan nya ke kondektur nanti. Jangan terlambat Dium, keretamu malam ini jam sembilan, kereta terakhir Minggu ini.

" terimakasih banyak Wak" ucapku sambil menerima amplop dari wak El lalu memasukkannya ke saku baju.

Wak El mengangguk, lalu pamit undur diri bersamaan dengan para warga serta teman teman permainanku yang tersisa, mereka semua beranjak pulang setelah mengucapkan beberapa kalimat motivasi. Aku menghembuskan nafas pelan, lembut mengusap pusara ibu, tertulis namanya yang hanya tiga huruf, ibu meninggal di usianya yang ke empat puluh lima tahun, padahal Minggu depan adalah hari ulang tahun ibu, biasanya aku akan memasak rebung bambu dan ikan asap, lalu kami akan menghabiskan malam dengan mengobrol di teras depan.

" ibu, kau tau mengapa aku selalu marah ketika kau mendongengkan ku sebelum tidur tentang cerita cerita kepergian? Karena aku selalu takut tentang kepergian, apalagi kepergian dirimu Bu. Dan ternyata hari ini kau benar benar pergi Bu, itu artinya mulai saat ini aku sendirian. Aku tidak tau kenapa kau memintaku untuk pergi mencari ayah bu, tapi demi dirimu, demi wasiat terakhirmu, aku akan melakukannya mulai malam ini bu." ucapku sambil menggurat pusara ibu, tanganku yang satu merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah anyaman bunga yang memang sudah ku persiapkan jauh jauh hari sebagai hadiah ulang tahun ibu, bunga itu aku letakkan di depan pusara.

Aku mulai bangkit berdiri, sejenak menatap gundukan tanah ini untuk yang terakhir kalinya, lalu balik kanan menuju gerbang pemakaman. Pemakaman kampung kami persis di atas bukit di belakang kampung, di apit oleh air terjun setinggi dua belas meter di sebelah kiri, serta hutan lebat yang menjadi tempat para warga untuk mencari rebung, kayu atau sebagainya di sebelah kanan.

Seharusnya jam jam saat ini, di bawah air terjun sana, anak anak sepantaran denganku akan menghabiskan waktu dengan bermain air setelah lelah seharian membantu bekerja di ladang, baru akan pulang ketika sudah di teriaki atau di kejar dengan rotan di tangan oleh ibu masing masing. Namun hari ini, tidak ada terdengar gelak tawa atau ringisan setelah di pukul dengan rotan.

Aku mulai berjalan turun, terlihat beberapa pusara lama yang tidak teratur, melewati jalan setapak dari tanah liat, medan yang curam serta di penuhi dengan bebatuan tidak menyulitkan ku karena hampir setiap hari aku bermain di sini. Aku mulai memasuki perkampungan, terlihat beberapa rumah panggung warga yang berdiri kokoh. Lampu minyak tanah menerangi hampir semua beranda rumah. Obor di sekeliling jalan membantu memerangi jalanku, takutnya ada landak kampung atau ular sawah yang tidak sengaja melintas, tidak banyak rumah di kampung ku, hanya sekitar dua puluh rumah, tiga rumah di antaranya sudah di tinggali oleh pemiliknya, banyak dari mereka yang hanya sekedar pergi merantau namun tidak pulang pulang lagi, sama seperti ayah.

Dua ratus meter kemudian rumahku akhirnya terlihat, tidak jauh berbeda dengan rumah rumah warga lainnya, hanya beberapa ornamen yang terlihat menghiasi bagian dinding yang merupakan hasil karyaku dengan ibu. Aku tidak masuk ke dalam, hanya sebatas melihat dari depan saja, bagiku ibu adalah rumahku, rumah dalam artian yang sebenarnya. Aku kembali meneruskan perjalanan menuju stasiun sambil menenteng buntalan kain berisi pakaian serta makanan yang tadi sempat di siapkan oleh salah satu warga.

Dengan kecepatan ku saat ini, aku mungkin bisa tiba di stasiun satu jam lebih awal. Untuk mengetahui waktunya tidaklah sulit, tinggal membagi antara jarak tempuh dengan kecepatan ku saat ini. Aku menyukai pelajaran berhitung, meskipun di kampung tidak ada sekolah, tapi ibu adalah sekolah sekaligus guruku, ibu mengajariku banyak hal mulai dari membaca, menulis, berhitung, serta masih banyak lagi yang di ajarkan oleh ibu. Aku tidak tau apakah dulu ibu pernah sekolah? Bagaimana ibu bisa ketemu dengan ayah? Semuanya terasa gelap karena ibu tidak pernah mau membahas tentang masa lalu, ibu hanya sering mengatakan untuk fokus saja ke masa depan tanpa memperdulikan yang ada di belakang. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah jalan yang aku lewati tidak lagi memiliki penerangan, aku bahkan sudah dua kali terjatuh karena tidak sengaja tersandung tunggul kayu yang melintang, ilmu berhitung sepertinya tidak bisa memperhitungkan dengan pasti kapan aku bisa tiba di stasiun, bisa jadi lebih cepat, bisa jadi juga aku terlambat.

episode dua

" huftt... Huftt .." Nafasku terengah-engah, sepanjang jalan menuju stasiun aku memutuskan untuk berlari, aku mengecek lutut kanan ku yang sejak tadi entah mengapa terasa begitu perih, dan ternyata dugaan ku benar, warna kulitku berubah menjadi merah, untuk saja celanaku tidak robek.

Benar benar menegangkan, di sisa jarak yang hanya lima kilo meter lagi, aku memutuskan untuk berlari sekuat tenaga, tidak perduli kalau aku jatuh untuk yang ke sekian kalinya, tidak perduli kalau kakiku berulang kali menghantam benda tumpul entah itu tunggul kayu yang melintang atau batu yang tertanam di sela sela jalan.

Aku sampai di stasiun tepat waktu, persis ketika orang orang berbaris rapih mengantri untuk menyerahkan tiket kepada petugas lalu mulai menaiki anak tangga kereta. Aku menyilakan orang orang agar duluan, sengaja baris paling belakang karena aku memiliki kepentingan dengan kondektur kereta api ini, menyerahkan surat dari wak El, meskipun aku tidak tau bagaimana isi suratnya.

Aku mulai menyapu pandangan melihat di sekelilingku, kereta ini adalah barang paling berharga yang ada di desa, asap hasil pembakaran terlihat mengepul di bagian cerobong pembuangan, tidak seperti sekarang di mana kereta api sudah menggunakan listrik, kala itu kereta api masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak batu bara yang di gunakan untuk bisa membuat kereta api ini tiba di stasiun berikutnya, pengaplikasian baru bara sebagai bahan bakar benar benar sedang mengalami revolusi besar besaran, walaupun demikian penggunaan batu bara sebagai sumber energi masih kurang efisien karena bahan bakunya akan habis jika terus menerus di gunakan, serta menghasilkan polusi udara yang berlebihan. Kereta dengan panjang lima gerbong ini terlihat gagah di bawah penerangan lampu minyak tanah.

Tidak banyak penumpang kereta malam itu, hanya sekitar tiga puluh orang, yang rata rata mereka semua berusia empat puluh tahun ke atas, warga kampung sangat jarang berpergian menggunakan kereta api, biaya yang mahal, serta perjalanan panjang yang membosankan membuat warga kampung lebih memilih menjalani kehidupan di kampung di bandingkan harus keluar.

stasiun ini sudah berdiri hampir lima puluh tahun lamanya, di bangun ketika masih penjajahan Belanda. Belanda sengaja membangun sebuah stasiun di antara dua kampung untuk memudahkan mereka mengangkut hasil bumi para warga.

Antrian penumpang sudah semakin menipis, hanya tersisa lima orang lagi di depanku, meskipun kala itu aku baru berusia lima belas tahun, tapi karena asupan gizi ku yang terpenuhi, tinggi serta postur tubuh ku tidak jauh berbeda dengan orang orang dewasa kebanyakan. Aku akhirnya melihat petugas kondektur yang di maksud oleh Wak El, namun langsung menelan ludah setelah melihatnya, seorang bapak bapak paruh baya dengan tubuh tinggi besar, pakaian dinas kerja yang di penuhi lambang lambang serta pin yang tidak ku kenali, sorotan mata yang tajam serta bola mata yang besar, dahi yang lebar dan astaga, yang membuat aku menahan nafas adalah kumisnya yang melintang.

Antrian semakin menipis, hanya tersisa dua orang lagi di depanku, aduh bagaimana jika ternyata dia menolak membaca surat ku, atau bagaimana jika dia tetap tidak perduli setelah membacanya dan malah mengusir ku dari stasiun, dahiku mulai berkeringat, aku tidak pernah terbiasa dengan hal seperti ini.

Tinggal satu orang lagi penumpang di depan ku, aku bisa mendengar dengan jelas bagaimana kondektur itu menanyakan tiket kepada penumpang, tampangnya yang garang ternyata tidak berubah walaupun sedang melayani seorang penumpang perempuan, aduh ... Atau aku putar balik aja, mengurungkan niatku untuk berangkat malam ini saja, persis ketika aku ingin balik badan, terlambat kondektur itu sudah menyadarinya.

" mau ke mana kau? Mana tiket mu heh?" tanya nya

" eh anu pak itu, saya kebelet mau ke kamar mandi, eh iya ini surat dari wak El pak, tadi dia pesan suruh kasih ke bapak." ucap ku gelagapan sambil menyerahkan amplop dari wak El.

Kondektur itu mengambil amplop itu dari tanganku. Membuka segelnya lalu mulai membaca, aku bisa menyimpulkan bahwa surat yang di tulis Wak El tidak panjang, karena kondektur itu hanya butuh waktu empat puluh tiga detik untuk menyelesaikan membacanya, tapi yang menariknya adalah dia memutuskan untuk membaca sekali lagi, mencerna ulang.

Satu menit dua puluh enam detik akhirnya kondektur itu selesai membaca surat dari wak El. Kondektur itu melipat kembali kertas, menghela nafas pelan, menatapku prihatin.

" aku turut berdukacita nak, aku dan elio dulu adalah teman dekat semasa kecil, aku pindah dari kampung sekitar tiga puluh tahun yang lalu ketika kedua orang tuaku meninggal dunia, memutuskan mencari peruntungan di kampung orang, aku, elio, dan ibumu adalah teman yang bahkan bisa di bilang keluarga, ibumu selalu melindungi ku ketika elio dan anak anak yang lainnya jahil kepadaku. Aku benar benar merasa kehilangan nak." ucap kondektur itu sambil mengusap air mata yang mulai mengalir di pipi.

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, aku pikir tadi akan di marah oleh kondektur ini, ternyata dia adalah teman ibu.

" Kau bisa naik dulu nak, jangan risau mengenai tiket mu, aku yang akan mengurusnya. Kau duduk saja dulu di gerbong paling ujung, aku masih ada sedikit pekerjaan mengenai dokumen penumpang, satu jam lagi baru aku bisa menemanimu, kalau kau mau ke kamar mandi, di setiap gerbong ada kamar mandi di sudut kanannya." ucap kondektur itu sambil berusaha tersenyum yang membuat wajahnya tambah seram.

Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih lalu mulai menaiki anak tangga. Aku mulai berjalan di antara gerbong gerbong kereta, sebenarnya satu gerbong hanya sekitaran sepuluh meter panjangnya, hanya saja karena jalan antar gerbong yang di desain agak kecil supaya bisa memuat banyak penumpang jadi sedikit menyulitkan ku. Semakin kebelakang gerbong maka semakin sedikit pula penumpang yang kutemui, beberapa di antara mereka bahkan sudah terlelap tidur karena sekarang sudah hampir jam sepuluh malam, bagi orang orang di kampung jam jam segini sudah terhitung larut, karena mereka harus menyiapkan banyak stamina untuk besok bekerja di ladang sampai sore.

Setelah hampir sepuluh menit berusaha jalan di antara gerbong gerbong kereta, akhirnya aku tiba di gerbong terakhir. Pintu gerbong yang sudah tua dan berkarat sedikit berdecit ketika ku dorong. Hanya ada dua orang bapak bapak di dalam gerbong itu yang masing masing terpisah tiga kursi dan sudah terlelap tidur. Aku memilih kursi paling belakang dan yang dekat dengan jendela, ku buka sedikit jendela kereta namun enggan lalu ku tutup kembali karena percuma tidak ada yang bisa ku lihat selain gelapnya malam.

Aku meletakkan buntalan kain di atas kursi, lalu mengambil buntalan kecil berisi makanan. ' semoga belum basi' batin ku dalam hati. Persis aku membuka penutup rantang, aroma makanan langsung menyergap hidungku. Gulai sayur nangka, tumis ikan asin, dan nasi putih. benar benar makanan kesukaanku. Aku tidak tau siapa yang telah menyiapkan ini semua, karena ketika tadi para tetangga menyapa atau pamitan, aku hanya mengangguk sambil menundukkan kepala.

Aku cuci tangan sebentar di kamar mandi gerbong yang sesuai perkataan kondektur tadi berada di sudut kanan gerbong. Pikiranku sedang kacau sebenarnya, apalagi kondisi hatiku, tapi perutku harus tetap di isi agar aku punya tenaga untuk melakukan aktivitas besok. Lima menit kemudian karena nafsu makan ku yang belum kembali, aku hanya bisa menghabiskan 1/4 saja makananku, aku kembali mencuci tangan lalu membereskan peralatan makananku. Aku memutuskan untuk mandi. Daripada aku termenung tidak jelas, dan pikiran pikiran negatif menghantui ku lebih baik aku mandi sejenak, ibu pernah mengatakan kalau air memiliki nilai sugesti yang baik.

Selesai mandi aku mengenakan pakaian yang di siapkan oleh warga, yang lagi lagi aku tidak tau siapa yang telah menyiapkannya. Mandi di kereta api benar benar menjadi pengalaman baruku, biasanya kalau di kampung aku bisa langsung mandi di bawah guyuran air terjun, kalaupun mau mandi di rumah maka harus ambil air dulu di sungai, tapi di sini aku tinggal mandi saja.

Aku duduk sejenak di kursi, menyisir rambutku yang basah menggunakan jari jemari. Berbeda sekali dengan zaman sekarang yang sudah maju, di kala itu perabotan yang ada di kereta api benar benar terbatas, sangat terbatas malahan, hanya ada dua puluh kursi penumpang yang di desain berdekatan serta berhadapan, sebuah kamar mandi di sudut kanan ruangan, sudah hanya itu saja, jangan bandingkan dengan saat ini yang dimana di setiap gerbong ada AC nya, ada televisi, bahkan ada jaringan internet gratis.

Aku menghembuskan nafas pelan, terlihat embun mulai terbentuk di kaca jendela gerbong, aku menyipitkan mata melihat keluar jendela, di antara gelapnya malam ternyata ada banyak kunang kunang yang berterbangan di dekat kereta api

Getaran di sekitar ku terasa semakin kencang, ' ada apa?' tanya ku dalam hati, spiker di atas pintu masuk menjawab pertanyaanku. Petugas menginformasikan bahwa kereta akan segara berangkat, para penumpang yang mengantar keluarganya di persilahkan untuk turun kembali, petugas juga menginformasikan durasi perjalanan serta ketibaan di stasiun kota kecamatan besok hari.

Aku menarik nafas lega, ternyata kereta akan segera berangkat, aku tadi sempat berfikir akan terjadi gempa bumi atau apa. Ternyata hasil pembakaran dari batu bara tidak mulus, atau jangan jangan memang ada kerusakan pada kereta api, kepalaku berfikir cepat menggambarkan desain grafis dari interior kereta api, aku tidak tau pasti karena aku bukan teknisi dan aku tidak memiliki ilmu lanjutan tentang kereta api, tapi aku bisa menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan kereta api ini. aku melirik ke dua penumpang lain yang berada di depan, ternyata mereka tetap tertidur pulas, apakah memang seringkali terjadi hal begini atau mereka tidak sadar?

Aku menghela nafas pelan, baiklah aku akan mulai berhenti memikirkan hal hal buruk.

episode tiga

" kring kring.."

" selamat malam para penumpang, mohon maaf karena menganggu istirahat malam anda, kami ingin menginformasikan bahwa dokumen perjalanan anda semua telah selesai di periksa dan kereta akan segera berangkat." suara seorang petugas wanita terdengar di spiker

Kakiku yang sedang menendang nendang ke kolong kursi sepertinya mengenai sesuatu, setelah aku cek ternyata satu set selimut serta bantal untuk penumpang, kebetulan sekali aku sejak tadi sudah kedinginan, entah mengapa udara di dalam gerbong terasa seperti menembus tulang, aku sejak tadi sudah kedinginan karena tidak membawa baju tebal atau selimut.

Suara decitan antara roda kereta yang berbahan besi bersentuhan dengan rel kereta membuat ngilu telinga di awal awal, getaran kembali terjadi setelah kereta berjalan kurang lebih lima belas meter, instingku langsung bekerja, ada sesuatu yang tidak beres dengan kereta ini, entah memang ada kelalaian petugas karena sudah malam atau ada yang sengaja melakukannya. Tidak lama getarannya, mungkin hanya lima detik, tapi itu cukup untuk membuat buntalan kainku yang ada di rak atas menimpa kepalaku. Untung saja tadi aku sudah meletakkan rantang di bawah kursi, kalau di atas juga bisa bahaya.

Dari sini aku bisa mendengar langkah kaki para petugas yang mulai memasuki gerbong, mengembalikan dokumen perjalanan para penumpang, aku sebenarnya belum pernah melakukan perjalanan jauh apalagi menaiki kereta, hanya beberapa kali ketika mengantar tetangga yang ingin pergi merantau, itupun kami langsung di suruh turun oleh petugas ketika kereta akan jalan. Pernah ada satu kejadian, temanku yang iseng tidak mau turun dari kereta, dia malah ngumpet di kamar mandi, memang awalnya berhasil, tapi ketika kereta sudah berjalan hampir tiga puluh meter dan petugas sudah mulai melakukan pengembalian tiket, dia ketahuan lalu kereta berhenti sejenak dan dia di turunkan, petugas memperingatkan apabila dia melakukan lagi maka ia akan di denda, kami semua yang menunggu di stasiun ketawa melihat wajah masamnya setelah berjalan kaki.

Aku belum pernah melakukan perjalanan dengan kereta, tapi sekali melakukan malah perjalanan jauh dan sendirian. Aku menghembuskan nafas pelan, tidak pernah sekalipun terbesit di pikiranku bahwa aku akan melakukan sebuah perjalanan seperti saat ini.

Pintu gerbong kembali berdecit, seorang petugas dengan seragam rapih lengkap dengan topi di kepala masuk ke dalam gerbong, petugas itu meletakkan dua dokumen penumpang yang sudah tidur di samping mereka masing masing. Lalu petugas itu berjalan ke arahku

" ini dokumen mu, kamu pergi sendirian?" tanya nya sambil menyerahkan dokumenku

Aku mengangguk sambil menerima dokumen dari tangannya lalu mengucapkan terimakasih

Dia balas mengangguk lalu tersenyum dan pamit keluar. Aku memperhatikan punggung nya yang mulai hilang di telan kegelapan. Lalu terdengar lagi decitan pintu yang menandakan bahwa dia sudah menutup pintunya.

Aku mulai memperhatikan dokumen ku, di situ tertulis namaku, asal stasiun, stasiun tujuan, waktu perjalanan, serta tiket untuk makan besok, ada tiga jadwal makan yaitu pagi jam enam, siang jam satu, dan malam jam tujuh. Aku melipat kembali dokumen ku, meletakkannya hati hati di saku bajuku, memastikan sekali lagi sudah benar benar aman atau belum.

Sejujurnya aku memiliki banyak hal yang tidak di ketahui oleh orang lain termasuk ibu, aku tidak tau apakah itu memang bakat alamiah ku atau hanya sekedar hayalan ku. Ada tiga hal yang menjadikanku berbeda dengan anak anak lain, yang pertama aku bisa menghitung sesuatu yang bahkan orang dewasa bingung bagaimana caranya, aku bahkan bisa membuat sebuah kalkulasi atau perhitungan presisi sebelum sesuatu itu terjadi, yang ke dua aku memiliki seni bela diri yang aku kembangkan sendiri, ketika aku memiliki waktu luang atau ketika aku sedang pergi ke hutan untuk mencari rebung atau kayu bakar, maka terkadang aku sekalian mengasah kemampuan bela diri ku, aku bisa menggunakan parang serta alat alat sederhana dari ranting pohon yang ku serut sedemikian rupa, yang terakhir aku memiliki insting yang kuat, sama halnya dengan perjalanan ini, ada sesuatu hal tidak beres yang sedang terjadi.

Aku mencoba kembali meraba lutut ku, rasa nyerinya sudah mulai berkurang, ternyata hanya sedikit memar. aku melongok keluar jendela menatap bintang gemintang, sudah hampir jam dua belas ternyata, kami di kampung di ajarkan bagaimana cara melihat jam, arah, serta tanda tanda alam dari langit. Aku memang terbiasa tidur larut, ketika ibu sudah tidur biasanya aku yang pura pura tidur akan kembali bangun lalu mengambil pensil dan kertas, aku akan menuangkan ide atau apapun yang dapat aku pikirkan pada hari itu, sayangnya saat ini aku tidak bisa melakukannya karena tidak membawa pensil dan kertas.

Tidak mengapa, siapa tau kondektur teman lamanya ibu bisa memberikanku kertas dan pensil nanti, tapi mengapa dia lambat sekali, bukannya tadi dia bilang cuman satu jam?

panjang umur, orang yang baru aku pikir kan akhirnya kelihatan batang hidungnya. Kondektur itu melangkah masuk ke dalam gerbong, dia sudah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan pakaian dinas yang banyak lambang itu, namun menggunakan pakaian seperti bapak bapak pada umunya.

" aku minta maaf karena membuatmu menunggu lama." ucapnya saat tiba dan duduk di kursi depanku.

Aku mengangguk, tidak masalah aku juga tadi jadinya sempat untuk mandi dan makan dulu

" namaku Rizal nak, teman temanku dulu termasuk elio dan ibumu memanggilku Ijal, kau bisa memanggilku sesuka hatimu." ucap kondektur itu memperkenalkan diri.

" ketika aku memutuskan untuk merantau, kala itu aku masih berusia delapan belas tahun nak, lebih tua sedikit darimu. Aku masih bisa mengingat kejadian itu dengan jelas. Hari itu setelah pamit ke semua tetangga dan menitipkan rumah orang tuaku kepada ayah elio, aku memutuskan berangkat, dan di antar oleh elio dan ibumu nak. Aku masih bisa mengingat dengan jelas kala itu ibumu yang memohon agar aku tidak pergi, dan juga elio yang dengan berlinang air mata hanya bisa terdiam. tapi aku sudah memutuskan kala itu, aku akan pergi, tak kuat rasanya hatiku setiap hari melihat bayangan mendiang orang tuaku di rumah, maka aku akan mencoba untuk menerima dengan caraku sendiri. Sekuat apa pun ibumu memintaku membatalkan niatku, dan sekuat apapun elio berusaha menahan ku, aku tetap naik kereta. Aku melihat ibumu dan elio yang mengejar kereta lalu terhenti setelah ibumu terjatuh di antara bebatuan kerikil. sakit sekali rasanya hatiku menyaksikan itu semua. Maka aku berjanji kepada diriku sendiri, apapun yang terjadi aku akan membantu di saat sahabatku membutuhkan bantuan ku." ucap pak Rizal sambil menghapus air mata yang kembali mengalir di pipinya.

Aku terdiam, aku bisa membayangkan posisi pak Rizal kala itu, aku bisa di katakan dalam posisi yang lebih baik, karena pak Rizal kehilangan dua orang tuanya di saat yang bersamaan sekaligus.

" lima tahun telah berlalu dengan cepat, aku sudah mengunjungi banyak tempat, bekerja dari satu tempat ke tempat yang lain, bekerja dari pagi sampai malam, bekerja dengan giat berharap aku bisa menutupi semua rasa sedih dengan melakukan banyak hal, di tahun ke enam kepala tempat ku bekerja mempromosikan ku untuk naik pangkat, dia melihat kinerja ku yang sungguh sungguh, hanya aku lah satu satunya karyawan yang tidak pernah mengambil cuti dan bekerja dengan benar, setelah itu aku semakin mudah untuk mendapatkan promosi. Di tahun yang ke sepuluh terbesit sebuah surat ke meja kerjaku, surat itu pendek sekali isinya tapi cukup sudah menjadi alasan untukku kembali ke kampung, surat itu di kirim oleh ibumu yang entah bagaimana caranya dia bisa mengetahui alamatku. Di surat itu tertulis bahwa dia baru saja menyelesaikan sekolah sarjana dan ada seorang pemuda kampung sebelah yang meminangnya." pak Rizal diam sejenak sambil tersenyum mengenang masa lalu itu

Aku yang duduk di sebelah pak Rizal juga semakin terdiam, aku akhirnya mengetahui dua fakta yang selama ini tidak pernah ibu beritahu, fakta bahwa ternyata ibu adalah seseorang yang berpendidikan, serta ayah yang merupakan pemuda kampung sebelah.

" Aku menerima surat itu malam hari, maka saat itu juga aku berlari ke meja atasan ku untuk meminta cuti seminggu mulai besok. Atasan ku tertawa lebar, dia bilang kalau aku ingin mengambil cuti selama setengah tahun juga tidak apa apa. Aku berangkat malam itu juga nak, mengejar kereta terakhir hari itu, perjalanan hampir selama satu hari, pagi pagi sekali ketika kereta akhirnya tiba di stasiun kampung. Aku tertegun, aku kira hanya ibumu dan elio saja yang menjemput ku, di samping ibumu, berdiri calon ayahmu kala itu, tampan sekali wajahnya, khas campuran Jawa dan Portugis, jangan di bandingkan dengan aku dan elio kami kalah jauh, ibumu langsung menangis dan langsung memelukku, aku awalnya takut calon suaminya marah, tapi ayahmu malah tersenyum mengangguk, dia paham situasinya. Dan astaga di samping elio ada ramai sekali, ada seorang perempuan khas keturunan cina, serta tiga orang anak kecil, yang satu masih dalam gendongan istrinya, yang dua kembar sedang berlarian. Aku memelukmu elio, lama sekali aku tidak bertemu dengan sahabat sahabatku, ternyata mereka semua sudah ada yang memiliki anak, aku sempat bergurau dengan elio mengapa dia tidak mengundangku ketika menikah, elio menjawab kalau dia takut aku masih di hantui oleh masa lalu itu, aku mengangguk paham dengan maksudnya.

pernikahan ayah dan ibumu di gelar tiga hari kemudian, ada begitu banyak tamu undangan yang datang, bahkan profesor tempat ibumu sekolah juga turut hadir, elio kala itu sudah menjadi kepala kampung menggantikan ayahnya yang sudah dua tahun meninggal, ia di pilih oleh warga dengan suara bulat.

momen yang paling mengharukan dari semua ini adalah ternyata tujuan dari ibumu memintaku hadir di acara pernikahannya adalah karena dia memintaku untuk menjadi wali hakimnya." ucap pak Rizal dengan bergetar, kali ini ia agak lama mengusap air mata di pipi

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!