NovelToon NovelToon

Istri Yang Tak Di Anggap

Ch 1

Candra berdiri di tepi jendela, menatap hujan yang jatuh dengan deras. Air turun dari atap, menciptakan genangan di halaman. Suara petir memecah kesunyian. Ia membalikkan tubuhnya, mendengar langkah suaminya, Arman, mendekat.

"Kau tidak lelah menunggu?" Arman berdiri di ambang pintu, dengan raut wajah datar.

“Aku tidak menunggu,” jawab Candra, suaranya rendah. “Aku hanya tidak ingin membiarkan hujan masuk ke dalam rumah.”

Arman mendengus, lalu melangkah masuk. Ia melepas sepatu kotor, mengabaikan genangan air di lantai.

“Kau punya cara yang aneh untuk mengekspresikan perasaan,” katanya, mengangkat bahu.

“Perasaan? Kau tak pernah memikirkan itu, kan?”

Arman menatap Candra, kerutan muncul di pelipisnya. "Apa maksudmu?"

“Kenapa kau menikahi aku jika kau tak mencintai aku?” Candra menantang, matanya bersinar dengan ketidakpuasan.

Arman menggerakkan bahunya sekali lagi, menghindari tatap Candra. "Pernikahan adalah tentang komitmen, bukan hanya cinta."

“Jadi, apa? Kita terjebak dalam kontrak? Kau tidak merasakannya? Tidak pernah merasa sedikitpun?”

Arman berjalan menuju lemari, membuka pintu kayu yang berderit. "Kadang-kadang, perasaan itu tidak penting saat semuanya berjalan baik."

Candra mengepalkan tangan. "Mungkin bagimu. Tapi aku merasa sepi. Seperti ruangan ini—kosong."

“Kau terlalu dramatis,” Arman menjawab, tanpa menoleh.

Candra melangkah mendekat, suaranya menggetarkan. "Aku berusaha untuk memahami mengapa aku ada di sini. Apa yang kau inginkan dariku?"

Arman berhenti sejenak, lalu berbalik. "Kau menjalani tugasmu dengan baik. Dan aku melakukan apa yang harus dilakukan sebagai suami."

“Merawatku seperti proyek? Atau sebuah kewajiban?” Candra tersenyum pahit. “Katakan padaku, Akankah kau terjaga saat aku pergi dari hidupmu?”

Arman mengerutkan dahi. “Kau memang aneh. Kau membicarakan hal-hal cenderung tidak masuk akal.”

“Apakah tidak masuk akal untuk berharap suami mencintai istrinya?” Candra bertanya, suaranya nyaring, penuh perasaan.

“Cinta tidak selalu harus ada dalam pernikahan.”

“Lalu, apa yang ada?” Candra melangkah mundur , matanya menyelidik. "Lalu, apa yang kau cari?"

Arman menatapnya, namun pandangannya kosong. "Stabilitas. Kesetiaan. Itu cukup."

“Cukup?” Candra mengerutkan alisnya. “Apa kau benar-benar percaya itu?”

“Betul,” sahut Arman, lebih percaya diri. “Cinta bukan segalanya.”

“Dan tanpa cinta, apa artinya ini semua?” suara Candra bergetar. “Kau menuntut dari aku, tetapi apa yang kau berikan?”

Arman menarik napas panjang. “Aku memberi ruang dan perlindungan.”

“Perlindungan dari apa?” Candra menggeleng, frustrasi. “Jangan katakan kita hanya bertahan untuk terlihat baik di mata orang lain.”

“Tepatnya,” Arman menjawab, nada suaranya tenang. "Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, itu tidak perlu diketahui orang lain."

“Jadi, kita hanya akting di depan orang-orang di luar sana? Apa kita benar-benar tidak lebih dari sekadar pasangan palsu?”

Arman terdiam, pikirannya seolah terperangkap dalam labirin. Ia meraih cangkir kopi di meja dan meneguknya.

“Candra, hidup tidak sesederhana itu,” jawabnya pelan.

“Ya, kita seharusnya berbicara lebih sering. Seharusnya kau tidak menganggapku seperti ini,” Candra melangkah kembali, semakin dekat. "Kita bukan teman. Kita bahkan tidak saling mengerti."

“Bisa jadi kita tidak perlu pemahaman yang dalam,” Arman memotong, sedikit kesal.

“Jadi ini apa? Hubungan tanpa kedalaman? Apa ini yang kau inginkan?”

Arman mengeluh, tampak frustrasi. "Lihat, aku tidak suka mengulangi hal-hal yang tidak ada artinya. Ini kehidupan kita, dan kita punya pilihan."

“Pilihan? Apa yang bisa kutentukan di sini?” Candra menatap lekat. "Kau ingin memperlakukanku seperti ini selamanya?"

Arman menatap jendela, tidak bisa menghadapi dirinya sendiri. “Kita bisa melakukan rutinitas ini, dan semuanya akan baik-baik saja.”

Candra merasakan kepedihan. “Jadi aku seorang yang menjalani rutinitas? Seorang puppeteer dalam sandiwara ini?”

“Begitu juga kau. Kita tidak bisa melawan arus,” Arman menambahkan, suara menjadi parau.

Mereka saling terdiam, dikelilingi oleh hening yang kian berat. Suara hujan tetap menggema di luar, menambah ketidakpastian dalam diri mereka.

“Tapi aku ingin lebih dari sekadar rutinitas,” Candra berbisik, nadanya melunak. "Kenapa kau tak berjuang sedikit untukku?"

Arman berpaling lagi, sorotan matanya beberapa detik bergetar. "Aku tidak tahu apakah aku mampu, Candra."

“Mulailah dari berbicara,” Candra mendesak, jari telunjuknya menunjuk ke arah Arman. “Jangan berpura-pura tidak pernah ada yang salah.”

Arman menengadah, mengombang-ambingkan pikirannya. “Aku tidak tahu harus berkata apa.”

“Apa saja. Biarkan aku mendengarnya. Kau berhak bersuara di sini,” Candra bersikeras.

Mendengar suara permohonan itu, wajah Arman seolah memberi sedikit tepi harapan. Namun, ragu masih menyelubungi jiwanya.

“Hari itu—aku menikahimu. Itu keputusan yang tetap harus kujalani.”

Seolah disambar petir, Candra merasa sakit. “Tapi kau seharusnya tidak menikahiku tanpa cinta.”

“Cinta yang kau bicarakan tumbuh seiring waktu,” Arman mencoba menjelaskan, gemetar dalam kata-katanya. “Aku percaya itu.”

“Apakah begitu? Mungkin kau hanya berusaha meyakinkan dirimu sendiri agar tidak merasa bersalah.”

Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela, tangannya menggenggam sudut meja.

“Kau membuatku merasa seperti penjahat,” Arman merespons, tidak berdaya. “Tapi aku tidak tahu bagaimana mencintai dengan cara yang kau inginkan.”

"Dan itu menyakitkan. Setiap hari, aku menunggu sesuatu berubah, tetapi tidak ada."

Arman tertegun, ketika Candra melangkah lebih dekat. “Apa pun itu, kau bisa memberikan kesempatan untuk mencoba.”

“Coba merasakan cinta?” Arman bertanya, nada suaranya dikepalkan.

“Ya,” sahut Candra yakin. “Atau mungkin melihat apakah kita bisa menemukan cinta itu bersama-sama.”

Candra tersenyum, harap mengular di hatinya, sekaligus merasakan ketakutan. Arman menghela napas, keraguan melintas di wajahnya.

“Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa,” jawabnya pelan.

“Setidaknya kita mulai berbicara. Itu langkah pertama.”

Dan dalam riuh hujan yang tak kunjung berhenti, dua jiwa merasa diambang pilihan—mulai dari sebuah harapan.

Arman menatap Candra, merasakan beban dalam setiap tatapannya. Pergulatan antara rasa bersalah dan keinginan untuk terbuka menyiksanya.

“Kau tahu, aku melihat posisiku sebagai suami itu berbeda,” Arman mulai berani membuka diri. "Ada banyak ekspektasi di pundakku."

Candra merenggangkan jarak sedikit. “Dan aku merasakannya. Setiap hari, kau lebih terjebak dalam dunia sendiri.”

"Bagaimana bisa aku membagi dunia ini denganmu jika aku sendiri tidak tahu dimana batasnya?" Arman berusaha menyampaikan keraguan yang menghimpitnya.

“Berbagi adalah langkah pertama, bukan?” Candra berkata dengan lembut. “Aku di sini, menanti, tetapi kau tersesat dalam pikiranku.”

Arman menggelengkan kepala, bingung. “Dan kau pikir berbagi bisa mengubah segalanya?”

“Bukan segalanya, tapi bisa jadi awal baru.” Candra mendekat, wajahnya dipenuhi harapan. “Kita kadang lupa alasan kita bersatu.”

“Namun, bisa jadi itu adalah kesalahan terburuk dalam hidupku,” Arman menjawab, suaranya penuh penyesalan. “Kau pantas mendapat lebih.”

“Mungkin,” kata Candra, suaranya semakin pelan. “Tapi aku ingin berjuang untuk ini. Untuk kita.”

Detak jantung Arman melambat. Ia merasa terpaksa menjawab, disertai rasa takut kehilangan yang menusuk. “Apa yang kau inginkan dariku?”

“Keberanian untuk menghadapi ini. Bukan hanya menjalani rutinitas yang kau anggap baik,” Candra berkata menegaskan. “Beranilah untuk mencintaiku, meski perlahan.”

Arman terdiam, hening kembali menyelubungi mereka. Ia menyesap krisis pikirannya, merasa tidak mampu menyampaikan apa yang selama ini terpendam.

“Candra, tidak semua orang mampu mencintai dengan semangat seperti kau lakukan,” ia akhirnya mengakui, penuh kejujuran.

“Lalu, apa artinya semua ini?” Candra berusaha menjaga emosi. "Jika kita terus berputar seperti ini, kita akan saling menghancurkan."

Arman merenung, sikapnya lebih serius, “Kau benar. Tapi cinta yang seperti apa yang kau inginkan?”

Candra mengambil napas dalam-dalam, berusaha merangkai kata-katanya. "Cinta yang tulus. Yang membuat kita saling mengerti, bukan sekadar berbagi ruang dan waktu."

Arman melempar pandangannya ke luar, berpikir keras. "Tapi, apakah kau yakin bisa menemukan cinta itu di antara kita?"

Candra mengangguk, meski hatinya bergetar. "Aku yakin. Asalkan kita berdua berusaha."

"Hanya itu? Berusaha?" Arman memandang Candra dengan penuh keraguan. "Apa itu cukup?"

"Kau tidak bisa hanya berdiam diri dan berharap semuanya berubah," Candra menjawab, suara tegas. "Kita harus menciptakan momen-momen itu, bahkan di tengah kebiasaan-kebiasaan yang monoton ini."

Arman terlihat berpikir. Ia berjalan mundur, menyandarkan punggung ke dinding. “Momen seperti apa yang kau maksud? Apa yang bisa membuat kita tiba-tiba... terhubung?”

Candra mengerutkan dahi, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “Mungkin, mulai dengan saling mendengarkan. Menghabiskan waktu tanpa ponsel atau tayangan televisi. Kita bisa memasak bersama, atau hanya bercakap-cakap di teras. Sesuatu yang tidak terbebani oleh rutinitas harian.”

Arman terdiam, raut wajahnya menunjukkan kebingungan. "Jadi, buat semua ini terasa lebih 'normal'?"

Candra menggeleng, menekan jari telunjuknya ke dadanya. "Bukan normal, Arman. Lebih dari itu. Kita butuh keaslian, koneksi yang nyata."

Dia mengalihkan pandangan keluar jendela, mendengar suara hujan yang tak berhenti. “Apakah kau ingat saat pertama kali kita pergi ke taman, sekadar berjalan-jalan?” Suara Candra lembut, penuh nostalgia.

...----------------...

Ch 2

Candra berdiri di pinggir jendela, menatap hujan di luar. Setetes air mengalir deras dari atap, membentuk genangan di tanah. Dalam hati, ia bertanya lagi untuk kesekian kalinya.

"Arman," panggil Candra tanpa menoleh.

Arman muncul dari arah dapur, memegang secangkir kopi yang masih mengepul. Ia mengangkat alis, tidak perlu banyak berpikir untuk tahu apa yang ingin dijelaskan Candra.

"Kau tahu kenapa aku bertanya? Kenapa kita di sini jika kau tidak mencintaiku?" suaranya terdengar lemah, tapi penuh harapan.

Arman meneguk kopinya dengan tenang. Pandangannya menyapu ruangan.

"Kau ingin jawaban yang kuberikan ribuan kali. Kita menikah supaya keluarga tidak ribut."

Candra memutar matanya, teringat semua kata-katanya yang selalu terabaikan. "Itu bukan alasan. Kau menganggapku seperti apa? Teman sekamar?"

Arman menggelengkan kepala. "Kau selalu meributkan hal yang tidak perlu. Hidup kita baik-baik saja. Bukankah itu yang penting?"

"Baik-baik saja?" Candra tertawa pahit. "Begitu kita saling berbicara seperti ini? Seolah-olah kita dua orang asing yang saling berbagi atap?"

Arman menghela napas, menempatkan cangkir di meja. "Kau tidak mengerti. Ini bukan tentang cinta, Candra. Ini tentang komitmen. Aku menghargai kita berdua."

Komitmen. Kata itu meresap ke dalamnya, tapi terasa kosong. Hanya rangkaian kata yang terputus tanpa makna.

Candra berpaling, membiarkan air matanya mengalir. "Ini bukan kehidupan yang aku inginkan. Aku mengharapkan lebih dari sekadar komitmen. Aku ingin merasa dicintai."

Arman mengerutkan kening. "Kau tahu betapa sulitnya hidup ini. Kita butuh kenyamanan, bukan cinta yang utopis."

"Jadi, semua ini tentang kenyamanan? Itu jawaban terbaik yang kau bisa berikan?" Candra melangkah mendekat, satu langkah, lalu satu lagi.

"Jangan buat ini lebih rumit dari yang seharusnya." Arman menstabilkan suaranya, tapi matanya terlihat gelisah.

"Rumit adalah apa yang kita jalani setiap hari! Tak ada kasih sayang, tak ada kehangatan. Melainkan hanya rutinitas. Rasanya seperti berperang tanpa tujuan."

"Perang? Itu berlebihan." Arman mengepalkan tangan, lalu meluruskan kembali. "Kita hanya berbeda pandangan."

Candra mengerjapkan matanya, terkejut. "Berbeda pandangan? Ini lebih dari sekadar pandangan, Arman. Kita terjebak dalam kebohongan yang sama."

"Berhenti membuatku terpojok." Arman mengalihkan pandangannya, mencuri waktu untuk menyeimbangkan pikirannya. "Apa lagi yang kau inginkan?"

"Setidaknya pengakuan." Candra tersenyum pahit. "Aku ingin kau mengakui bahwa aku lebih dari sekadar istri di rumah ini."

"Jadi, apa kau berharap aku akan jatuh cinta padamu? Sebuah romansa yang dikhayalkan?" Arman menantangnya, bersikap defensif.

Tidak ada jawaban dari Candra. Hanya hening.

"Begitu. Kau juga tahu itu tidak akan terjadi," lanjutnya, suara sedikit menurun.

"Jadi, kau akan menjalani hari-harimu seperti biasa?" Candra menepuk meja. "Di antara semua benda tak bernyawa ini, kita tidak ada bedanya."

Arman mengangkat bahunya. "Sepertinya itulah pilihan yang paling logis."

"Logika memang menjadi penyelamat kita,” Candra mendengus. “Tapi ada saatnya logika terbantahkan oleh perasaan."

Arman mengetuk meja, mencari jalan keluar dari jalan buntu ini. "Perasaan? Kecuali kita bisa membangun dunia lain, perasaan tidak akan menyelesaikan apa pun."

"Kenyataan tidak selalu sesuai harapan, Arman. Tapi ini bukan alasan untuk tidak berjuang,” ucap Candra, nadanya bergetar.

"Berjuang untuk apa?" Arman tampak frustrasi. "Menghadapi rasa sakit dan kekecewaan yang lebih dalam? Kita bukan anak-anak."

Candra merasakan sesuatu dalam pandangan Arman—sebuah kekosongan yang mengintai di balik kata-katanya. "Tapi kita adalah pasangan. Kita bisa memperbaiki ini."

"Dari mana kau mendapatkan ide itu?" Arman menggelengkan kepala, tampak bingung sekaligus tertarik. "Kau ingin mengubah apa?"

"Jangan bertindak seolah-olah itu tidak mungkin. Kita bisa mulai dari komunikasi." Candra berusaha tenang, berusaha agar kata-katanya tidak terdengar putus asa.

"Tapi kau tidak mau menerima kenyataan. Aku tidak bisa mengubah yang sudah terjadi," Arman menudingkan jarinya ke arah Candra, pikirannya tak teratur.

Tetapi Candra maju, berhadapan dengan Arman. "Satu-satunya yang perlu kau lakukan hanyalah membuka dirimu. Tidak ada yang perlu dipaksakan. Tolong..."

Arman mengalihkan perhatian, menatap hujan di luar. "Hujan menciptakan luka lebih dalam dari yang kau bayangkan."

Candra mendekat, suaranya lembut. "Dan aku di sini untuk membuatnya sembuh. Tapi aku butuh kau di sisiku. Di dalam kerentanan."

Arman terdiam. Saat Candra berbicara, ia bisa merasakan jarak itu mulai menyusut, meski sebelah kakinya masih berat menyentuh jembatan yang rapuh ini.

"Apakah kau tahu berapa kali aku bertahan?"

"Tapi aku di sini, Arman. Jika kau bisa mengizinkanku untuk mendekat," Candra menggenggam tangan Arman.

Sekilas, Arman tersentuh, tapi segera mengerakkan tangannya menjauh.

"Kau mengabaikanku. Seolah semua ini tidak terjadi," ucap Candra, napasnya berat.

"Karena kita telah mengatur hidup kita, Candra. Semuanya berjalan sesuai rencana." Arman tampak bingung antara ketidakpastian dan kenyataan.

"Rencana kita. Bukan rencana kita berdua,” Candra menekankan, merasakan ketidakadilan.

Arman menatapnya, matanya licin. "Bisa kau lihat dari sudut pandangku, Candra? Ini semua tidak sederhana."

"Apakah perlu rasa sakit ini agar kita mengerti?" Suara Candra rendah.

Arman menunduk, memikirkan jawabannya. Sebuah suara berbisik dalam hatinya, mengingatkan bahwa berjuang untuk kejujuran bukanlah hal yang bodoh.

"Jadi, kita mengabaikan keadaan dan menjalani hidup kita dengan rutinitas ini?" Candra menuangkan semua perasaannya dalam nada.

Arman mengangguk, lalu mengalihkan tatapan ke luar. "Kau bisa mengubah apapun dalam hidupmu jika itu membuatmu bahagia.”

"Kau tahu apa? Kadang, aku merasa lebih tidak berarti ketika bersamamu dibandingkan saat kita berjauhan," Candra menantang.

"Jadi, mau kenapa?" Arman berbicara pelan. "Apakah ini tanda bahwa kita harus berpisah?"

Candra terkejut. "Apakah kau ingin kita begitu?"

Arman menyandarkan punggungnya pada dinding. "Jika itu membuat kita bahagia, mungkin ya."

Kedua jiwa itu terdiam, saling menatap dengan penuh kerinduan dan ketakutan. Rasa sakit di dalam hati mereka, lebih dalam dari hujan yang jatuh di luar.

Candra mengangguk pelan. "Aku hanya ingin pernikahan kita berarti, Arman. Apa salahnya aku berharap?"

"Dan aku tidak bisa menjanjikan itu," Arman bersifat realistis. "Tapi aku tidak ingin kehilanganmu."

Keduanya terjebak dalam ketegangan, saling menggenggam mimpi dan kenyataan yang berbenturan, meraba di jendela kejujuran yang gelap.

Candra menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Jadi, kita berdiam di antara keraguan dan harapan hingga waktu menghabiskan segalanya?"

Arman menggigit bibir, berpikir. "Kau tahu kita bisa lebih baik dari ini. Tapi bukan dengan cara yang kau bayangkan."

"Jadi, bagaimana cara yang kau inginkan? Apakah kita harus terus menerus bersembunyi di balik rutinitas harian ini?" Candra terasa frustrasi. Semangatnya menggebu-gebu, tapi Arman tetap tenang, tampak tak tergoyahkan.

"Rutinitas memberi kita stabilitas," jawab Arman, mencoba mempertahankan argumennya. "Kita memiliki pekerjaan, rumah, hingga teman-teman. Itu cukup."

Candra meringis, memperhatikan Arman yang terjebak dalam pandangannya. "Cukup? Itu semua? Apa kau tidak merindukan sesuatu yang lebih?"

Arman mengerutkan dahi. "Apa maksudmu dengan 'lebih'? Hidup ini bukan film romantis, Candra. Kita tidak bisa berpatokan pada itu."

"Kau tidak mengerti," Candra mendesak, geram. "Aku tidak butuh keajaiban, hanya sedikit kehangatan. Kadang, bahkan sebuah pelukan bisa mengubah segalanya."

Arman mendengus pelan, mencoba memahami. “Pelukan? Seberapa sering pelukan itu menyelesaikan masalah? Mungkin buat sejenak, tapi kita tetap di titik yang sama.”

"Kau terus menghindar, Arman," Candra menatapnya tajam.

...----------------...

Ch 3

Candra berdiri di depan cermin, tangan terlipat di dada. Wajahnya memantulkan keraguan, tapi matanya bersinar dengan tekad. Di luar, angin berhembus kencang, seolah mengantarkan pesannya.

"Arman!" panggilnya, suaranya tegas, memecah keheningan di rumah kecil mereka.

Arman, yang tengah asyik menatap layar ponsel, mengalihkan pandangannya. "Ada apa?"

Candra memutar tubuhnya dan menatap suaminya. "Kita perlu bicara."

"Selalu ada yang perlu dibicarakan," jawab Arman dengan nada sinis, kembali tersekap dalam dunia digitalnya.

"Ini penting!" Candra menarik napas, berusaha mengontrol emosi. "Aku merasa seperti hantu di rumah ini."

Arman menghentikan sesaat, menatapnya dengan separuh perhatian. "Hantu? Apa yang kau maksud?"

Candra menggigit bibir, berusaha menahan rasa kecewa. "Kau tak pernah menganggapku. Aku di sini, hidup bersamamu, tapi kau seperti tidak melihat kehadiranku."

Arman terdiam, dan mata Candra mencari jawaban dalam ekspresi wajahnya. Tidak ada yang muncul.

“Kau tidak mengerti.” Arman berdiri, merapatkan tubuhnya. “Kita sudah menikah. Kita menjalani hidup yang baik.”

“Bagaimana bisa baik jika aku tidak merasa dicintai?” Candra melangkah mendekat, menantang Arman dengan tatapan tajam.

Dia tertegun, seolah mendengar kata-kata itu untuk pertama kalinya. “Aku melakukan segalanya untuk kita. Aku bekerja keras, bukan itu yang seharusnya kau syukuri?”

“Bekerja keras? Untuk siapa? Untuk apa? Jika kau hanya menganggapku sebagai pelengkap hidupmu!”

Candra merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Dia melanjutkan, “Aku sudah tidak tahan, Arman. Aku ingin kita bicara serius.”

Arman mendengus, menyandarkan punggungnya di dinding. "Serius? Tunggu, Candra. Apa ini tentang perceraian?"

Candra terdiam sejenak. “Aku ingin bercerai.”

Raut wajah Arman berubah. “Apa? Kau bercanda, kan?”

“Tidak. Aku tidak bercanda. Aku sudah memikirkannya lama. Kita tidak cocok. Aku tidak bahagia.”

Arman menggaruk kepalanya, terkejut. “Jadi, semua ini hanya karena perasaanmu? Cuma itu?”

“Perasaanku? Ini bukan hanya perasaanku! Ini tentang kita. Tentang hidup yang kita jalani.”

“Tetapi kita bisa memperbaiki ini,” Arman mencoba bertahan.

“Perbaiki? Bagaimana caranya? Setiap kali aku meminta perhatianmu, kau hanya mengabaikanku,” Candra menepis harapan yang mulai menyusut.

“Kau harus tahu, aku tidak mengabaikanmu. Aku hanya sibuk.” Arman menambahkan nada defensif.

“Sibuk? Itu alasan yang buruk, Arman! Aku butuh cinta, butuh perhatian! Siapa yang akan memberikannya jika bukan suamiku?”

“Semua orang di luar sana juga sibuk,” jawab Arman, suara mulai meninggi. “Kami tidak mungkin selalu bersama.”

“Apakah itu alasan untuk mengabaikan pernikahan kita?” Candra menatapnya, rasa sakit di dadanya semakin dalam.

Arman menghela napas berat. “Apa kau yakin mau mengambil langkah ini? Cerai berarti mengakhiri segalanya.”

“Tidak mungkin ada yang baik dalam pernikahan yang penuh dengan ketidakpastian seperti ini,” kata Candra, meraih tangan Arman.

Dia mencabut tangannya. “Candra, kita sudah di sini. Kita harus memikirkan kembali.”

“Berpikir. Selama ini aku berpikir. Dan aku rasa ini keputusan terbaik.” Candra merasa beban yang menimpanya mulai ringan.

“Jika kau pergi, apa yang akan kau lakukan?” Suara Arman terdengar rapuh.

“Aku akan memulai hidupku sendiri. Tanpa beban. Tanpa mengandalkan siapa pun.” Candra menjawab dengan tegas, menyusuri jalur keinginannya.

Arman terperangah. “Kau benar-benar yakin dengan keputusan ini?”

“Ya. Ini bukan langkah yang mudah, tapi aku rasa ini yang terbaik. Bagaimana aku bisa bertahan dalam hubungan ini jika aku merasa sendirian?”

Insting Arman mencoba mengatur kata-katanya. “Candra, kita bisa mencoba memberi satu sama lain lebih banyak. Kita bisa…”

“Cukup! Aku sudah tidak ingin mendengar kata 'kita' jika itu hanya untuk menyakiti diri sendiri lebih jauh. Aku ingin mencintai dan dicintai dengan tulus.”

“Ini semua terasa terlalu cepat,” keluh Arman, suaranya serak.

“Semua terasa lambat untukku, Arman. Ketika harapanku sirna, aku sudah siap merelakan.”

Arman terdiam, berpikir sejenak. “Dan jika semua ini salah? Bagaimana jika kau menyesal?”

“Jika aku menyesal, itu adalah konsekuensiku sendiri. Tapi selamanya terjebak dalam ketidakbahagiaan? Itu jauh lebih menakutkan.”

Arman melangkah pergi, menghampiri jendela. Tangan Candra gemetar.

“Aku tidak tahu harus berkata apa lagi,” ia akhirnya berucap dengan nada hampa.

Candra mengangguk, hatinya berdebar cepat. “Aku tidak butuh jawaban saat ini. Yang aku mau hanya kejelasan.”

Arman menjauh dari jendela, berjalan kembali ke arah Candra. “Kapan kau berencana melakukannya?”

“Saat sudah siap. Dalam waktu dekat.”

Nafas Arman seolah tertahan. “Kau jangan terburu-buru. Ini tentang masa depanmu.”

“Masa depanku bersamamu terasa tak ada,” Candra balas tegas.

“Jadi, ini selesai?” Arman tanya, tiap kata seakan terlepas berat.

“Ya. Cukup sampai di sini.”

Arman merunduk, wajahnya memucat. “Carilah waktu untuk berpikir kembali. Ini bukanlah permainan.”

“Aku bukan main-main, Arman. Aku lelah.”

Suara langkahnya menggema saat Candra beranjak menjauh. Kakinya terasa berat, tetapi ia tahu, keputusan ini adalah untuk hidup yang lebih baik.

Dari arah belakang, suara Arman terdengar perlahan. “Kau pasti tidak ingin semua ini berakhir gini.”

Candra berhenti, tanpa menoleh. “Seharusnya, kita tidak pernah memulai jika ini yang akan datang.”

Dengan langkah pasti, Candra melanjutkan perjalanan hidupnya, meninggalkan bayang-bayang yang pernah mengikatnya. Suara jendela yang tertutup melukiskan akhir dari sebuah kisah yang tak pernah sama.

Kaki Candra membawanya keluar dari rumah. Setiap langkah bergetar di hatinya, tetapi satu perasaan kuat menyelimuti pikiran: pembebasan. Dia berjalan menyusuri jalan setapak, imajinasinya melayang jauh, jauh dari pernikahan yang penuh penantian dan kesedihan.

Di taman dekat rumah, angin dingin menyapa wajahnya. Candra berhenti sejenak, menghirup udara segar yang terasa menenangkan. Dia menatap daun-daun yang berguguran, mengingat momen-momen kecil di antara mereka yang sering merasa absen.

“Candra!” suara mantan teman sekaligus tetangga, Dira, memanggilnya. Wajah cerah Dira menghadirkan sedikit kebahagiaan dalam hati yang panas ini.

“Dira,” ia menyapa, paksaan senyuman menghias bibirnya.

“Kenapa tampak murung? Ada masalah?” Dira memperhatikan wajah Candra dengan seksama.

“Tidak, semua baik-baik saja,” jawabnya, namun suara itu terasa berat.

Dira terdiam, meneliti mata Candra. “Kau tahu, kadang kita harus berani mengambil keputusan yang sulit untuk diri sendiri.”

Candra menelan kata-kata itu, meresapi pemahaman yang mendalam. “Aku baru saja membuat keputusan yang... sulit.”

“Seperti apa?” Dira bertanya, antusias.

“Aku memutuskan untuk bercerai.” Dalam sekejap, bisikan angin menampung keputusannya.

Dira menatapnya lekat, terkejut. “Serius? Kenapa?”

Candra menghela napas, seolah menarik kembali semua beban yang terasa lebih ringan. “Aku sudah merasa sendirian terakhir ini. Arman tidak pernah menganggapku.”

“Kadang itu bukan salah kita,” Dira menjawab. “Tapi, apakah kau sudah berpikir matang?”

“Pikiranku sudah matang. Rasanya, aku tak akan menemukan kebahagiaan di situ,” ungkap Candra, dengan bimbang menyisakan secercah harapan.

Dira mendekat, memegang bahunya. “Jika ini yang kau rasa benar, aku akan mendukungmu. Kau pantas untuk bahagia.”

Candra tersenyum tipis. “Terima kasih, Dira. Ini bukan keputusan yang mudah, tetapi aku merasa lepas,” ia menghela napas, merasakan kelegaan.

Perbincangan di antara mereka terhenti sejenak, suara burung-burung menyanyikan lagu ceria. Dira menyenggol Candra dengan riang, “Ayo kita makan sesuatu. Ini akan mengalihkan pikiranmu.”

Candra mengangguk pelan, meski hatinya masih bergetar oleh keputusan yang baru ia ambil.

“Jadi, ke mana kita pergi?” tanya Candra, sedikit bersemangat.

“Tukang sate di pojok jalan. Sate mereka juara!” Dira berkata sambil melangkah, menarik Candra bersamanya.

Sepanjang jalan, Dira bercerita tentang kesibukannya yang baru.

“Kau tahu, kerja di kantor baru ini bikin aku lebih produktif. Banyak proyek menarik,” ujar Dira, senyumnya tak pernah pudar.

Candra hanya mengangguk, terdengar seperti melontarkan jawaban otomatis.

“Eh, jangan hanya focus di pernikahanmu!” tambah Dira, mengulurkan tangan untuk menepuk bahu Candra. “Hidup ini butuh keseimbangan.”

Kedua wanita itu sampai di warung sate, aroma bumbu rempah menggugah selera. Mereka memesan penyetan sate yang menggiurkan serta sepiring nasi hangat.

“Kau rasa, kau sudah siap untuk semua perubahan ini?” Dira bertanya

"Ya aku siap" jawab Candra.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!