NovelToon NovelToon

Happy Story

Me, You, and Coffee part 1.

Pagi muncul lagi hari ini, menyambutku yang baru bangun dari tidur. Jendela kamarku sudah terbuka, mengizinkan matahari pagi menyinari seisi kamar. Adikku pasti bangun terlalu pagi lagi, seperti biasa. Dia memang lebih rajin dari pada aku. Sejak ia tinggal di kamar kos yang sama denganku, aku tidak pernah lagi membuka jendela sendiri kalau tidak sedang terjaga semalaman untuk mengerjakan ilustrasi.

Aku melirik jam dinding dengan mata sepat. Sudah jam 10 pagi. Aku kesiangan, lagi-lagi. Padahal semalam aku cuma begadang sampai jam 1. Mungkin karena sudah terbiasa bangun siang, mataku jadi terbiasa tidur sampai siang.

Aku mengeliat lalu bangkit dari tempat tidur. Waktunya untuk cari kopi enak.

Aku menarikan lightpen-ku di layar tab, berusaha membuat ilustrasi untuk sampul novel seorang penulis yang lumayan cerewet. Ini sudah revisi ke dua dan dia masih memintaku untuk memperbaiki desainnya. Kalau setelah ini ia masih minta revisi, aku berniat menyerah saja. Prinsipku, jika seseorang tidak suka dengan cara kerjaku, berarti kami memang tidak bisa bekerja sama. Untuk apa memaksakan diri untuk tetap bekerja sama. Iya, kan?

Aku meletakkan lightpen-ku sejenak untuk mengangkat cangkir espresso-ku. Aku mendekatkan cangkir ke hidung lalu menghirup aroma kopi yang menenangkan sebelum menyesapnya. Rasanya luar biasa! Seenak yang kuharapkan dari secangkir kopi mahal. Aku tidak pernah kecewa dengan kopi racikan barista Café ini. Tidak pula dengan ketampanannya yang luar biasa.

Aku menatap wajah di balik bar yang tidak kehilangan ketampanannya itu, meski ia hanya memakai kaos putih biasa dan celemek hitam. Ia sedang tersenyum sambil mengobrol dengan pelanggan, mungkin tidak menyadari betapa memabukkannya senyuman di bibirnya. Senyumnya itu menutrisi jiwaku, membuatku betah berlama-lama di café ini sambil mengerjakan ilustrasi.

Namanya Alan, pemilik Café ini sekaligus baristanya. Umurnya 28 tahun dan saat ini sedang tidak memiliki pendamping. Sejak bercerai dengan istrinya 2 tahun lalu, ia memilih menyendiri, tidak mempedulikan perempuan yang ingin memilikinya karena terpesona dengan senyumnya yang memabukkan jiwa. Aku tidak pernah mendambakan untuk memilikinya karena aku lah wanita bodoh yang menceraikannya itu.

Ya, aku yang menceraikannya. Ada ketidak cocokan di antara kami, jadi setelah 4 tahun membina rumah tangga, aku memutuskan untuk menceraikannya. Orang-orang mengejekku karena aku menceraikan Alan. Mereka biasanya adalah jenis-jenis yang menganggap kami sebagai pasangan sempurna. Couple goals, begitulah mereka menyebut kami terkadang. Seandainya mereka tahu seberapa toxic-nya hubunganku dan Alan, mereka tidak akan menganggapku begitu.

Aku berhenti menatap mantan suamiku itu. Aku masih mendambakannya, aku akui. Tidak mudah melupakan orang yang masih sangat aku cintai. Aku bercerai bukan karena sudah tidak cinta, tapi karena sikapnya yang membuatku lelah dan hampa. Kalau saja Alan tidak membuatku tertekan, mungkin aku tidak akan punya alasan untuk menceraikannya.

Dari sudut mataku, aku melihat warna celemek hitam itu bergerak mendekatiku. Saat menoleh, aku melihat Alan berjalan mendekatiku membawa dua cangkir dalam nampan logam. Aku mengira dia ingin mengobrol denganku, seperti kebiasaannya jika meja Café sudah penuh dengan pengunjung. Kami memang masih berteman baik, karena itulah ia berani menghampiriku.

“Lagi sibuk?”tanyanya. “Aku mau gabung.”

Aku meletakkan tab dan lightpen di meja lalu mengeliatkan untuk meregang badan. “Gabung aja. Udah waktunya buat aku istirahat juga.”

Ia meletakkan salah satu cangkir di hadapanku. “Nih, espresso tambahan buat kamu.”

“Makasih,”kataku sambil tersenyum.

“Gimana, kerjaan? Lancar?”tanyanya.

Aku menyesap kopi gelas pertama sebelum menjawab. “Lumayan. Penghasilanku stabil.”

“Susah, ya, hidup tanpa aku biayain?”godanya.

Aku menyipitkan mata. “Jangan mulai,”kataku memperingatkan.

Alan tertawa. “Dasar galak,”ejeknya.

“Kamu yang suka cari masalah,”tuduhku.

Alan terkekeh. “By the way, kamu udah punya penggantiku atau belum, sih? Sendiri mulu keliatannya.”

Aku menyesap kopi gelas pertamaku sampai habis. “Mau fokus kerja dulu. Lagi pula aku belum mau jalin hubungan lagi.”

Alan tersenyum tipis. Ia lalu menyesap kopinya pelan tanpa suara seruputan, berbeda sekali denganku yang selalu berisik saat minum kopi.

“Kamu juga sendiri mulu. Kapan mau punya gandengan,”pancingku.

“Gimana mau cari gandengan kalo belum bisa move on,”jawabnya tanpa menatapku. “Luka hatiku masih basah, jadi belum bisa di sentuh cinta lain macam apa pun. Kecuali kamu mau ngobatin pake perhatianmu lagi. Kayak dulu.”

Aku menatap lama wajahnya. Ada rasa sakit yang terlihat samar di sana. Aku mengalihkan pandangan dari wajahnya ke buku-buku jariku. “Kamu tau kalo keinginan kamu itu mustahil buat aku wujudkan. Kita memang harus kayak gini.”

“Aku tau kamu masih cinta aku.”

“Dan kamu tau kalo aku nggak sanggup hidup sama kamu,”serangku.

“Aku udah berubah.”

“Kamu nggak akan bahagia berubah hanya untuk kenyamananku.”

“Setidaknya aku mau.”

“Aku nggak butuh. Aku cuma butuh kita kayak gini, temenan tanpa menyakiti.”

Alan mendesah. “Kamu buang aku,”tuduhnya.

“Nggak. Aku cuma nyelamatin diri.”

“Dengan cara buang aku,”kukuhnya.

“Kita masih berteman.”

“Pertemanan aja nggak cukup.”

Aku memilih diam. Perdebatan ini akan semakin pnjang jika aku meladeni omongannya terus. Aku memilih membereskan peralatanku, bersiap-siap untuk pergi.

“Jangan pergi,”mohonnya.

Aku melirikya sekilas. Ada rasa sakit di wajahnya yang membuatku merasa bersalah. Aku tahu dia mencintaiku setengah mati. Tapi jika hanya bisa saling menyakiti, lebih baik kami berhenti menjalin hubungan. Aku bangkit dari kursi lalu menghampirinya. Kukecup lembut pipinya, lalu merasakan rindu tumbuh di hatiku. “Aku pergi,”pamitku.

“Kamu selalu kayak gini. Ngehindar dan nggak mau dengerin aku,”omelnya.

“Kamu juga selalu keras kepala dan cerewet. Tapi aku nggak pernah protes.”

“Kamu emang gitu, nggak pernah protes, bikin aku ngerasa hubungan kita baik-baik aja, lalu nggak ada angin atau hujan, tiba-tiba kamu minta cerai.”

Aku tersenyum lalu mengelus pipinya pelan. “Jangan diomongin lagi. Kita udah berakhir, Lan. Jalani aja apa yang bisa kita jalani,”kataku lembut.

Alan mendengus.

Aku memilih berlalu.

“Kak, aku butuh biaya buat pergi ke seminar di luar kota. Kakak bisa biayain nggak? Cuma 300 ribu, kok,”pinta adikku dengan nada memelas.

Aku mendesah. “Males ke ATM. Emang perlunya kapan, sih?”

“Besok.”

“Kok baru bilang?”omelku.

Adikku memandangku takut-takut. “Baru tau tadi.”

“Kita kan nggak ada kendaraan, Dek. Kalo mendadak kayak gini kakak nggak bisa.”

Adikku mengguncang-guncang lenganku. “Ayolah, Kak. Aku beneran butuh uang itu,”mohonnya.

Aku mengambil dompet dan mengecek isinya. Cuma ada 150 ribu uang kertas dan beberapa buah uang koin. Aku menatap wajah memelas adikku, merasa tidak tega. “Oke. Kakak pergi ke ATM pake ojek.”

“Jangan pake ojek malam-malam gini. Ntar Kakak dibegal, loh.”

“Kok kamu malah nakut-nakutin, sih!”

“Cuma mau bilangin aja. Mending Kakak minta ditemenin bang Alan aja. Bang Alan, kan punya mobil,”usulnya.

Aku melotot. “Kakak nggak enak kalo harus minta bantuan Alan!”

Adikku terlihat putus asa.

“Emang kamu nggak ada duit sama sekali?”tanyaku.

“Tinggal 50 ribu. Duit yang dikirim sama Mama belum aku ambil,”jelasnya tanpa menatapku.

Aku mendesah. Satu-satunya orang yang ada di pikiranku saat ini hanya Alan. Mungkin ia mau membantu mengantarkanku ke ATM. Dia, kan pernah berkata kalau ada perlu dia siap membantuku. Mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk minta tolong padanya.

“Ya udah. Kakak minta bantuan Alan, deh. Kamu tunggu di kos, oke?”

Adikku mengangguk patuh.

Aku mengetuk pintu rumah Alan. Suara beratnya yang merdu menyuruhku menunggunya sebentar. Tidak sampai semenit kemudian, pintu terayun terbuka, menampilkan susok Alan yang jangkung. Sinar matanya yang awalnya terlihat lelah berubah jadi suka cita saat menyadari kehadiranku. “Hai, Mina. Ada apa?”tanyanya dengan suara serak.

“Kamu lagi nggak sehat, ya?”tanyaku.

“Cuma flu sedikit. Nggak parah, kok. Ada apa?”

Aku sedikit ragu. “Beneran cuma, flu?”

“Iya. Kenapa? Khawatir?”godanya.

Aku mendesah lega. Kalau dia masih sempat bercanda, artinya dia tidak apa-apa. “Aku boleh minta tolong kamu buat antar aku ke ATM. Adikku butuh uang buat bayar biaya seminarnya.”

“Oh, mau transfer uang?”

“Bukan. Dia butuhnya cash. Kamu kan tau kampus adikku ada di dekat sini. Pendaftaran seminarnya tutup jam 12 nanti,”jelasku.

Alan tertawa kecil. “Kayak Cinderella aja yang sihirnya abis jam 12 malam,”candanya.

Aku memutar mata. “Nggak nyambung.”

“Iseng doang,”katanya. “Ya udah, tunggu di sini sebentar. Aku mau ambil kunci mobil.”

Aku mengangguk.

Beberapa menit kemudian kami sudah ada di dalam mobilnya yang melaju di jalan raya, menuju ATM terdekat. Kami tidak saling bicara karena aku tahu Alan tidak suka mengobrol saat sedang mengemudi. Alan adalah jenis orang yang menomor satukan keselamatan dalam berkendara. Aku masih ingat semua kebiasaan-kebiasaan Alan meski aku sudah tidak jadi istrinya. Aku masih terlalu mencintainya untuk bisa lupa.

Alan memarkir mobilnya di tempat parker sebuah toko kue di dekat ATM. “Ayo keluar. Aku temenin,”katanya.

Aku mengangguk. Ini kebiasaan lama. Alan selalu menungguiku untuk mengambil uang karena ia takut aku akan jadi korban kejahatan. Perhatian Alan membuatku berpikir ia sama sepertiku yang belum bisa melupakan kisah kami. Mungkin juga porsi cintanya melebihi aku. Laki-laki normal mana yang mau memberi perhatian lebih pada orang yang tidak ia cinta? Alan yang kukenal tidak sebaik ini pada perempuan lain.

Menyadari hal ini membuat hatiku hangat.

Aku segera masuk ke bilik ATM lalu menarik uang lima ratus ribu. Aku yakin adikku juga butuh uang jajan tambahan. Akhir-akhir ini aku jarang memberinya uang jajan tambahan karena pekerjaanku sedikit bermasalah. Tapi biarlah. Toh uang dua ratus ribu yang kuberikan padanya tidak akan membuat hidupku kekurangan.

“Udah?”tanya Alan saat aku keluar dari bilik ATM.

“Iya. Balik, yuk.”

“Oke.”

Alan mengantarku sampai depan kos. Aku mengucapkan selamat tinggal lalu menunggu mobilnya menghilang di kejauhan. Aku merenung menatap langit malam. Sepertinya bercerai dengan Alan adalah keputusan yang buruk. Bisa-bisanya aku menceraikan orang sebaik dia.

Me, You, and Coffee part 2 end.

Aku memasukkan bumbu sop ke dalam periuk lalu menutupnya kembali. Aku mendesah lega. Akhirnya tinggal menunggu sop ayam buatanku matang. Aku harap Alan akan menyukai masakan buatanku. Hanya masakan ini adalah satu-satunya cara berterima kasih yang terpikir olehku atas bantuan yang Alan berikan. Aku pikir, karena Alan selalu terang-terangan memperlihatkan perasaannya padaku, ia pasti akan senang menerima makanan buatanku.

“Wih! Tumben masak.”

Aku mengulas senyum di bibir untuk menyambut Andin yang baru datang. “Kamu habis dari mana?”tanyaku.

“Pasar. Biasa, belanja mingguan.” Andin meletakkan belanjaannya di meja dapur lalu menarik kursi di sebelahku untuk duduk. “Ayo ngaku. Masak buat siapa?”godanya.

Aku tersipu-sipu.

“Aduh! Banyak yang bakal patah hati kayaknya,”godanya lagi. “Eh, iya. Tadi aku ke Café Alan tapi kok dia nggak buka, ya? Kalian janjian buat pergi bareng, ya?”

Keningku berkerut. “Nggak, kok. Ini juga mau ngasih kejutan.”

“Cariin ke rumahnya aja nanti. Cafenya nggak buka,”usul Andin.

Aku ingat, kemarin Alan sempat berkata kalau ia kena flu. Apa penyakitnya semakin parah, ya?

Aku mengetuk pintu rumah Alan, berharap ia tidak membuka pintu karena ia sedang berada di suatu tempat dengan teman-temannya, bukannya terbaring sakit seorang diri di rumah ini. Tidak ada sahutan, tapi melihat tidak satu pun jendela rumahnya yang terbuka, aku jadi khawatir Alan malah tumbang. Alan yang kukenal selalu membuka jendela rumahnya yang berteralis walau ia sedang pergi ke Café. Katanya untuk menjaga udara rumah agar tetap sehat.

“Alan! Kamu ada di rumah nggak?!”teriakku panik.

Aku medengar suara batuk yang terdengar menyiksa dari dalam rumah. Ya Allah! Mungkin sakitnya memang semakin parah.

Pintu berayun terbuka, menampakkan wajah kuyu dan pucat Alan. Meski pun terlihat lemah, ia tetap berusaha tersenyum untuk menyambutku. “Hai. Butuh bantuan lagi?”tanyanya dengan suara serak yang lebih parah dari kemarin.

Aku mendesah lalu menyentuh keningnya tanpa izin. Aku meringis saat merasakan perbedaan suhu yang jauh antara telapak tanganku dan keningnya. “Katanya cuma flu. Kok sekarang kamu malah demam?”

Alan tersenyum. “Kamu peduli?”

“Ya pedulilah! Kita udah kenal lama! Pernah hidup bareng juga! Nggak mungkin aku nggak peduli!”omelku.

Alan tertawa senang. “Aku seneng kamu masih peduli. Aku memang butuh kamu saat ini.” Ia melirik kotak makan susun yang kubawa. “Wih! Bawa makanan, ya? Kebetulan aku laper banget.”

Aku mendesah. “Udah minum obat?”

“Nggak punya obat apa pun di kotak obat. Sejak kamu pergi, nggak ada lagi yang perhatiin kebutuhanku.”

“Jangan mulai.”

Alan mengedikkan bahu. “Aku ngomong apa adanya, kok.”

“Aku bawa obat flu sama paracetamol. Habis makan nanti langsung minum obat, ya.”

“Oke Nyonya Besar!”

Aku tertegun. Panggilan lama itu kembali kudengar dari mulutnya.

“Eh, udah bukan, ya. Sorry. Aku kira kamu masih istriku,”candanya.

Aku mendengus. “Jahil.”

Alan terkekeh. “Pengen nostalgia aja.”

“Boleh masuk nggak, nih?”

“Boleh, dong. Yuk.”

Aku melangkah masuk, sedikit khawatir melihat tubuh Alan berjalan pelan terhuyung-huyung menuju ruang makan.

“Alan! Duduk di sini aja!”seruku. “Aku siapin makanannya di sini aja!”

Alan menoleh. “Kenapa? Bukannya kamu nggak suka makan kalo nggak di ruang makan?”

“Nggak usah dipaksain. Dulu kalo kamu sakit biasa juga makan di kamar.”

Alan duduk di lantai yang tertutup karpet. “Masih ingat aja kamu. Aku ngaku, deh. Emang nggak kuat gerak sejak subuh. Semalam juga nggak bisa tidur karena bersin dan batuk terus.”

“Kok nggak pake jaket, sih? Kamu kan kalo demam emang sering kedinginan,”omelku.

Alan mendesah. “Jaketku lagi di laundry semua. Belum aku jemput.”

Aku mendecak. “Manja, deh. Di rumah ini kan ada mesin cuci. Boros, ya, kamu.”

“Mau gimana lagi. Aku sibuk di Café. Pas pulang udah capek. Istri aku kan udah minta cerai, jadi aku nggak bisa asal ambil dan pakai baju lagi.”

Aku kesal di sindir terus. “Comot aja tuh, cewek yang naksir kamu! Istri kamu capek jadi babumu, makanya minta cerai!”

Alan tertawa pahit. “Kok dia nggak pernah bilang, ya? Kalo aku tau pasti aku cariin pembantu. Ini malah langsung minta cerai aja. Bikin hatiku sakit aja.”

Aku menggeram kesal. “Kamu kan sibuk ngurus Café! Bahkan buat program hamil aja kamu nggak mau! Kamu nggak peduli sama istri kamu yang kangen gendong bayi! Café terus yang diurusin sampai buka cabang di mana-mana! Uang terus yang kamu cari! Padahal istri kamu rela hidup sederhana asal bisa bangun keluarga bahagia kayak yang dia impiin sejak kalian masih pacaran! Emang kamu inget?!”

Alan terlihat kaget. Ia terus menatapiku yang terengah-engah seolah ia baru mendengar semua ini. Oh, iya. Ini luapan amarah dengan pikiran jernihku yang pertama. Ini memang pertama kalinya aku mengatakan semua penyebabku ingin bercerai. Dulu aku lebih banyak menangis tanpa menjelaskan apa-apa. Aku tidak pernah memberinya kesempatan untuk memperbaiki apa pun karena ia tidak punya waktu untuk mendengar keluh kesahku. Ia hanya mencariku saat butuh seks dan makan. Selebihnya, ia hanya berkutat dengan pekerjaannya.

“Kamu nggak pernah bilang. Jadi selama kita nikah kamu nggak bahagia sama aku?”tanyanya, terdengar merasa bersalah.

“Aku mau gendong bayi! Tapi kamu selalu nolak periksa dengan alasan sibuk! Kamu nggak pernah ada saat aku butuh kamu! Padahal aku selalu jadi istri yang selalu ada buat kamu! Aku ngerasa waktuku yang aku kasih buat ngurus kamu nggak bisa bikin kamu mau ngasih aku waktu kamu juga buat hidupku! Aku capek! Kamu nggak pernah jadiin aku dan keluarga yang kita bangun sebagai prioritas dalam hidup kamu! Makanya aku pergi! Jangan sindir-sindir aku lagi! Aku muak dengernya!”

“Kamu nggak pernah bilang! Aku nggak tau salah aku apa! Ya aku kesel, lah! Aku sama kamu nggak pernah berantem tapi tiba-tiba kamu minta cerai! Kenapa nggak bilang kalo Mau program hamil?!”

“Kamu selalu sibuk!”

“Kalo aku tau kamu butuh aku, aku pasti luangin waktu!”

Aku mendesah. “Nggak usah bahas ini lagi. Kita udah selesai. Aku siapin makanan dulu. Habis kamu makan dan minum obat, aku pergi,”kataku dingin.

“Kenapa kamu peduli?”tanyanya dengan suara bergetar. “Biarin aja aku mati sekalian.”

Aku tercengang mendengarnya bicara seperti itu. Seperti bukan Alan yang kukenal saja. Nada putus asa itu bukan bagian yang kukenal dari dirinya. Nada itu membuatku berpikir dia bukan lagi Alan si independent yang tidak butuh siapa pun dalam hidupnya. Sekarang ia terdengar seperti memohon belas kasihanku.

“Aku hancur sejak kamu pergi, Mina. Aku ngerasa nggak punya alasan buat hidup lagi. Tiap hari setelah aku talak kamu dipengadilan agama, aku mikir sebaiknya ajalku datang lebih cepat dari yang seharusnya. Padahal kamu pernah janji kalo kita akan selalu sama-sama sampai jadi tua renta, tapi kamu malah buang aku dari hidup kamu,”katanya dengan nada putus asa yang asing itu. Air mata lalu mengalir dari kedua matanya yang terus menatapku.

Mataku berkaca-kaca. Aku merasa bersalah. Kalau saja aku cukup kuat dulu saat minta bercerai, aku pasti melontarkan alasanku minta bercerai agar dia bisa memutuskan akan menuruti keinginanku atau melepasku. Tapi aku malah meninggalkannya tanpa menyatakan alasan. Rasanya ini semua memang salahku.

Aku mendekati tubuh laki-laki yang kukira kuat itu, meletakkan kotak makan yang kubawa lalu memeluknya. “Maafin aku, ya,”mohonku.

Alan meraungkan tangisnya lalu memelukku erat. “Jangan tinggalin aku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Kamu tau aku selalu bergantung sejak dulu sama kamu. Aku nggak bisa nahan rasa sepiku tiap kali pulang ke rumah kita. Aku beli rumah ini buat kita, bukan buat aku tinggali sendiri. Aku kesepian. Nggak peduli berapa kali pun aku berusaha buka hati buat perempuan lain, kenangan tentang kamu selalu menghantui hidupku. Kalo nggak sama kamu bahagia nggak punya defenisi dalam hidupku.”

Aku mengusap-usap punggung Alan sambil menahan air mataku. Sekarang aku mengerti siapa sebenernya yang salah dalam hubungan kami. Mungkin Alan memang salah karena terlalu sibuk, tapi akulah yang lebih salah karena meninggalkannya tanpa alasan. Hatiku damai mengetahui hal ini. Ternyata Alan bukannya tidak mencintaiku. Kami hanya saling salah paham. Aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan memperbaiki semua ini.

~Selesai~

Sensasi atau Cinta? part 1.

Sejak dulu aku adalah orang yang tidak percaya cinta bisa membuat segalanya jadi lebih baik karena orang tuaku bercerai dan mereka pernah mengaku padaku kalau mereka saling mencintai. “Lalu rasa itu hilang,”kata Ayahku. “Yang tersisa hanyalah sebuah komitmen. Rasanya seperti terikat tapi nggak saling membutuhkan lagi. Seperti menelan makanan yang rasanya udah nggak enak lagi. Kamu nggak usah mencoba jatuh cinta. Rasanya nggak seindah yang para pujangga gambarkan.”

Ayahku berkata begitu sehari sebelum ia kutemukan bunuh diri di kamarnya. Ia melakukannya karena Ibuku berselingkuh sampai kabur dan menikah lagi dengan sahabatnya. Walau pun begitu aku tidak mendengarnya menjelek-jelekkan persahabatan. Mungkin bagi Ayahku saat itu, persahabatan masih berarti sampai akhir hayatnya. Papaku hanya menganggap cinta yang ia agung-agungkan sebagai hal yang buruk.

Saat ini aku berhadapan dengan situasi sulit. Pacarku menawarkan komitmen yang tidak aku butuhkan. Dan aku rasa jawaban dariku akan menyakitinya.

“Kamu mau, kan jadi istriku?”tanyanya lagi.

Aku mendesah. “Aku pacaran sama kamu cuma demi seks,”kataku tenang. “Aku setia karena kamu setia. Tapi untuk sebuah komitmen bernama pernikahan aku nggak bersedia untuk menjalaninya bersamamu.”

Pacarku terdiam dan hanya bias menatapku. Bukan salahku jika dia sakit hati. Dia yang sudah berharap terlalu banyak dariku.

Aku melepas cincin berlian yang baru saja ia pakaikan. “Cari perempuan yang lebih serius. Aku bukan untuk komitmen sesakral pernikahan.” Setelah berkata begitu aku pergi.

Dia tidak mengejarku dan aku juga tidak berharap di kejar. Saat sedang melewati sebuah Café di dalam mal, aku melihat laki-laki itu. Dia baru saja di tampar seorang perempuan muda berpenampilan high class.

“Cowok brengsek tukang selingkuh kayak kamu mending ke neraka aja!”makinya.

Laki-laki itu tertawa. “Kamu bukan perempuan pertama yang berkata begitu,”katanya santai.

Saat perempuan yang memakinya pergi, aku mengikuti laki-laki itu. Ia berjalan ke basement mal. Akhirnya ia bersandar di sebuah mobil sedan hitam lalu merokok dengan santainya.

Aku menepuk bahunya.

Ia menatapku, menilai penampilanku lalu tersenyum. Sepertinya dia tidak kecewa dengan apa yang dia lihat. “Ada yang bisa saya bantu?”tanyanya.

Sikapnya yang gentle dan sopan memikat hatiku. Aku mengulurkan nomor HP yang baru saja kutulis. “Kalau butuh partner seks hubungi aja nomor ini,”kataku tanpa basa-basi.

Dia tertawa. Tatapannya menggodaku.

“Kalau ini nomor anda saya tidak keberatan.”

“Tentu saja itu nomorku. Sampai jumpa lagi. Secepatnya,”kataku sebelum meninggalkannya.

Kami tidak memberitahu nama satu sama lain, membuat perkenalan kami terasa angin-anginan sekali. Tapi bukan masalah untukku dan sepertinya bukan masalah untuknya.

Malam harinya, dia menelponku. “Ini cowok yang tadi siang kamu kasih nomor HP. Bisa ngobrol bareng sekarang?”tanyanya di telepon.

“Oh, hai. Kita ketemuan atau ngobrol di telepon?”tanyaku.

“Ketemuan. Sambil makan kalo kamu mau.”

Aku menyadari bahasanya yang jadi santai. Aku suka bahasa sopannya dan lebih suka lagi bahasa santainya. “Jam makanku udah lewat. Kita ngobrol sambil minum kopi aja gimana?”

“Aku nggak suka kopi.”

“Makanan manis?”

“Oke. Perlu kujemput.”

“Boleh.” Aku menyebutkan alamatku.

“Wah! Ternyata kita sekomplek loh. Kita kumpul di rumahku aja gimana? Nggak ada siapa-siapa selain aku.”

Aku membayangkannya sebagai salah satu pemilik rumah mewah di kompleks tempat kosku berada. Tampan dan kaya. Kombinasi yang sulit untuk ditolak.

“Mau ngapain di rumah? Café aja. Lebih asyik,”tolakku. Aku tidak mau masuk ke wilayah pribadinya dulu. Aku merasa kami perlu mengenal satu sama lain dulu.

“Oke,”jawabnya santai. “By the way, kamu jual diri?”

“Nggak. Aku cuma orang yang suka seks bebas. Seks without money. Just taste and doing. Keberatan sama hubungan kayak gitu?”

Dia tertawa. “Not. Kerja di mana kalau gitu?”

“Aku akuntan. Kalau kamu?”

“Aku owner Café. Aku udah mau ke kosmu. Sampai ketemu nanti.”

Aku bersiap-siap lalu keluar dari kos untuk menunggu kedatangannya di luar gerbang kos. Sekali lagi aku lupa menanyakan namanya. Biarlah. Aku akan menanyakannya nanti.

Aku melihat mobil sedan hitam yang tadi siang ia sandari berhenti di depanku. Ternyata itu mobilnya. Tidak menyiratkan kalau dia kaya sekali, tapi mobil itu terlihat bersih mengkilat. Satu lagi hal bagus yang kulihat darinya. Aku suka laki-laki yang selalu terlihat bersih.

Jendela mobil terbuka. Ia tersenyum di balik kaca yang terbuka. “Hai! Kamu lupa nulis namamu di kertas yang kamu kasih. Boleh kenalan dulu?”

Aku mengulurkan tangan. “Aku Hana.”

“Aku Latif. Salam kenal. Silakan masuk.”

Aku membuka pintu di samping pengemudi. “Kamu tau tempat dessert yang enak?”

“Café-ku?”tawarnya.

“Oke.”

Aku sebenarnya tidak peduli dia akan mengajakku makan apa. Aku butuh sekali tubuhnya malam ini. Sudah berminggu-minggu sejak seseorang yang baru saja jadi mantan pacarku terakhir kali menyentuhku. Aku butuh seks dan tubuh laki-laki ini sangat menggiurkan untukku. Aku mungkin bias mempertimbangkannya untuk jadi partner seks tetap tanpa hubungan semengekang pacaran. Aku hanya harus membuatnya tertarik pada tubuh dan pengalamanku dalan seks. Aku berharap akan semudah itu.

“Pertama kali aku lihat kamu, aku liat kamu di tampar cewek. Pacarmu?”

“Mantan tunangan. Aku juga belum lama ini di damprat Mamanya. Dia bilang nggak sudi punya menantu kucing garong kayak aku. Dia ngembaliin cincin yang pernah mengikat aku dan anak gadisnya. Dia bilang ingin punya menantu yang lebih bermoral.” Latif tertawa.

“Padahal suaminya sendiri setipe sama aku. Hanya karena takut miskin dia bertahan dengan suaminya. Tapi yah sudahlah. Mungkin dia berharap anaknya nggak ngehadapin hal yang dia hadapin. Aku bisa paham, makanya aku terima aja dibentak-bentak. Tapi, tetap aja ada yang terasa luka saat aku mengalah.”

Omongan yang panjang. Tidak kusangka dia akan mengungkapkan hal seperti ini padaku. Awalnya aku hanya ingin membuka obrolan. Sekarang aku malah jadi bingung harus menanggapinya dengan kalimat yang bagaimana.

“Kalo kamu. Apa yang kamu lakukan sebelum melihatku?”tanyanya, membuatku lega.

“Baru nolak lamaran laki-laki yang udah pacaran hampir 5 tahun denganku.”

“Wah! Dia bajingan juga?”

Aku tertawa kecil, walau jujur rasanya sedikit getir. “Cara kami pacaran yang brengsek. Aku nggak mau ada anak yang lahir dari hubungan seperti hubungan kami. Aku pergi untuk membuat dia membatalkan niat terhormatnya. Nggak ada anak yang mau punya orang tua seperti kami.”

“Prinsip yang bagus. Tapi seharusnya kamu menerima niat pacarmu untuk melangkah kehubungan yang lebih serius. Mungkin dia menganggap kamu adalah orang yang tepat setelah apa yang kalian jalani.”

“Aku membenci pernikahan.”

“Kenapa?”

“Orang tuaku bercerai dan Ayahku bunuh diri karena putus asa. Sepanjang hari sebelum mengakhiri hidupnya, Ayahku bercerita banyak hal tentang masa lalunya bersama Ibuku. Ayahku bilang jatuh cinta bukanlah hal yang sepele. Kehilangan kekasih yang dia cinta membuat hidupnya memburuk. Hanya itu yang kumengerti dari cerita panjangnya. Saat itu aku berpikir Ayahku cuma ingin bercerita. Tapi malam harinya saat aku memanggilnya untuk makan malam, aku melihat mayatnya yang terlihat seperti tertidur. Keesokan paginya aku baru menyadari kalau Ayahku mati.”

“Kamu nyalahin Ibumu?”

“Nggak. Aku nyalahin Ayahku karena terlalu lemah. Ibuku sudah lama menderita karena penghasilan Ayahku tidak seberapa. Kami sering menahan lapar sampai aku menangis dan Ibuku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku lega Ibuku menikah lagi. Tapi aku tidak bisa berpura-pura bahagia karena aku hanya ingin ada Ayahku di sisi Ibuku selama-lamanya. Kalo kamu? Apa yang bisa kamu ceritakan tentang keluargamu?”

“Aku nggak mau dan nggak bisa cerita banyak. Orang tuaku bahagia dengan apa yang mereka miliki. Tapi suasana rumah kami dingin. Itu saja yang ingin kubagikan tentang mereka.”

“Saudara?”

“Dua abang dan dua kakak. Aku anak terakhir.”

“Bungsu, toh.”

“Iya. Masih mau makan dessert?”

“Nggak terlalu. Kenapa?”

“Hotel favoritmu di mana?”

Aku mengerti arah pembicaraan ini. “Nggak punya,”jawabku santai.

“Aku punya kamar kos di sekitar sini. Tempatnya bersih. Mau ke sana?”

Rasanya terlalu terburu-buru karena aku masih ingin melanjutkan obrolan. Tapi aku suka karena dia sudah ‘panas’ duluan. Aku tertawa.

“Apanya yang lucu?”tanyanya.

“Aku suka sifatmu. Itu aja.”

Aku merasakan tangan hangat menyentuh pipiku yang dingin. Butuh beberapa detik sebelum aku merasa bisa membuka mataku yang masih butuh tidur.

“Aku punya waktu sejam sebelum cafeku buka. Mau kuantar ke tempat kerjamu?”kata Latif.

Saat aku membuka mata, aku mendapati Latif hanya memakai handuk putih yang menutupi pinggang sampai lututnya. Aku mendesah. HP-ku pasti kehabisan baterai lagi. Kalau tidak, alaramnya parti sudah berbunyi dari tadi. “Jam berapa sekarang?”tanyaku.

“Baru jam 6.”

Aku bingung. “Cafemu buka jam 7?”

“Iya. Kami buka dari waktu sarapan sampai makan malam selesai. Jadwal bukanya sengaja kuatur lebih pagi. Targetnya karyawan kantoran yang belum sarapan.”

Aku kembali menyelimuti tubuhku. “Aku bisa pergi kerja sendiri. Makasih untuk tawarannya. Aku mau tidur sebentar lagi. Jam kerjaku mulai jam 9 pagi. Kalo boleh, aku pinjam kunci kamar kosmu. Nanti kuantar kuncinya ke Café-mu. SMS-in aja alamat Café-mu ke nomorku,”kataku dengan suara lemah karena masih mengantuk.

“Kamu aja yang pegang kuncinya. Kalo kamu suka, kita ke sini lagi kalo ada waktu.”

Aku tersenyum dengan dada di penuhi rasa menang. Akhirnya aku punya partner seks tetap lagi. Semalam dia tidak mengecewakanku. Sepertinya aku juga tidak mengecewakannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!