Chapter 2

Amterdam, Rumah Dinas Dubes RI.

2 pria dengan ketampanan yang hampir seimbang, berjalan keluar dari rumah dinas. Dialah Milano Arghani Baskara, seorang Diplomat Indonesia. Beserta Boni Narapati, kepala sekretaris yang sudah menemani Argha sejak bertugas di Belanda dari 5 tahun yang lalu.

"Pak, semuanya sudah siap. Jet juga sudah siap," lapor Boni, ketika mendapatkan kabar dari bawahannya.

Orang yang dipanggil "pak" itu, hanya merespon dengan anggukan kepala.

"Nanti setelah gala dinner berakhir, ada after party juga Pak," lanjut si sekretaris.

"Siapkan speech text ya, Bon. Saya hanya punya waktu 30 menit untuk after party."

"Ok, pak."

Langkah mereka saling berkejaran. Seolah tengah balapan dengan waktu. Bukan tampa alasan dua pria Dominan yang sudah memasuki usia kepala 3 itu, memiliki waktu yang sempit. Bahkan untuk sekedar menikmati after party yang dikhususkan, untuk merayakan keberhasilan negara mereka dalam penyelengaraan pameran budaya pun, tak bisa membuat mereka menetap sejenak.

Hal itu dikarenakan padatnya jadwal Milano Arghani Baskara hari itu. Pagi harus menghadiri pameran lukisan seniman realisme Indonesia di kota Den Haag. Dilanjutkan dengan pertemuan diplomasi pembebasan WNI yang ditahan, akibat dijebak menggunakan Narkoba.

Dan besoknya, jadwal bapak yang satu ini tak kalah padat. Dirinya harus menyerahkan surat pengunduran diri sebagai Duta Besar RI untuk Belanda. Karena yang bersangkutan terpilih menjadi bakal calon Presiden pada Pemilu 2023. Sungguh di kejar- kejar waktu. Dan kegiatan harus berjalan sesuai rencana, agar kepulangannya tidak tertunda.

Sebenarnya Argha cukup heran, saat mengetahui dirinya diusung menjadi bakal Calon Presiden. Karena sebelum ini, belum ada Calon yang terpilih, jika umurnya belum menyentuh kepala 4.

Bukankah diusungnya Argha menjadi bakal calon Presiden di pemilu 2023 itu, cukup menggelitik? Sebenarnya, bukan tidak boleh, dilarang ataupun tidak memenuhi kriteria. Hanya saja, selama 77 tahun Indonesia Mardeka, belum ada calon Presiden semuda dirinya. Karena dianggap masih minim pengalaman. Dan ini baru yang pertama.

Entah apa yang dilihat anggota Partai dari dirinya sejak 2 tahun yang lalu. Dan sudah di targetkan akan diusung di tahun sekarang. Argha merasa, karirnya biasa- biasa saja dan tidak terlalu menonjol jika di bandingkan dengan lawannya di Pemilu nanti. Pengalamannya pun, masihlah sedikit. Ia belum merasakan pahit, asam, asin, gurih, manisnya dunia politik.

Dan Partainya, begitu percaya diri mengusung dirinya di Pemilu 2023. Bukankah itu sama saja menggali lubang kekalahan sendiri?

Namun, jelas dirinya takkan menolak jika sudah ditetapkan partai. Meski menjadi RI 1 bukanlah impian awal Argha. Namun, ada misi yang harus Argha jalankan jika benar terpilih nantinya. Yaitu, membangun Papua dengan Infrastruktur yang meliputi jalur penerbangan, Tol, Sekolah dan Rumah sakit. Demi mewujudkan sila ke- 5 dasar negara Indonesia.

Jelas dirinya sudah memiliki gambaran akan kejayaan Indonesia, jika pembangunan di Papua terutama di daerah yang memiliki kekayaan alam potensial, benar terealisasi. Hati kecil Argha cukup menjerit kesakitan, disaat PT. Freeport hanya mengeruk hasil tambang emas, tampa memberi kompensasi yang layak.

Selain kekayaan alam, wisata alam Papua pun, tidak kalah dari Bali. Bahkan sumber daya manusianya, menyaingi pulau Jawa. Hanya saja, Papua tidak seberuntung Bali dan Jawa. Yang sejak Orde lama hingga detik ini, selalu menjadi anak emas.

Argha ingin kehidupan yang lebih layak untuk masyarakat Papua. Agar kesetaraan sosial merata disana. Oleh sebab itu, Argha tidak menolak saat di usung menjadi bakal calon Presiden. Dan di minta pulang untuk melakukan kampanye. Dan melepaskan pengabdiannya di kantor kedutaan besar RI di Belanda.

"Pak Argha mau lunch di Anderson seperti biasa, atau mau ke tempat lain pak? Tanya Boni, yang membuyarkan lamunan Argha.

"Kayaknya resto Asia saja Bon. Saya kangen makan Nasi goreng."

"Siap, pak."

Boni segera memerintahkan sopir untuk memutar arah. Dan mengantar mereka ke resto Asia. Sebelum melanjutkan agenda mereka ke Kota yang lainnya.

Milano Arghani Baskara, merupakan putra terbaik yang dimiliki Indonesia. Sudah lama melalang buana ke berbagai Negara. Mungkin, sudah sejak dalam kandungan. Ia saja lahir di Milan. Oleh sebab itu, ia diberi nama Milano. Karena keluarga Argha juga berkarir di lingkaran Chain Politic sejak jaman buyutnya.

Bicara mengenai sepak terjang Argha di dunia politik. Awal karirnya di umur 24 tahun, ia sudah menjadi staf khusus kepresidenan. Tidak lama setelah itu, ia mendapat gelar Magister di Oxford. Yang membuat karirnya cepat melesat tinggi. Meskipun, hal itu tidak terlepas sari Background keluarga, yang memang rata- rata berkecimpung di dunia politik.

Namun, otak yang cemerlang, karir yang bagus, mempunyai harta, jabatan, penghormatan saja tidak cukup. Apalah arti itu semua, jika hatinya masihlah kosong. Ya! Disaat teman- teman seusianya sudah menikah, sudah memiliki anak, memiliki keluarga, sementara dirinya masihlah melajang.

Tuhan tidaklah sia- sia. Ia akan selalu memberi kekurangan pada setiap manusia, sebelum menurunkan ke bumi. Agar manusia- manusia ini menyadari, jika diatas langit masih ada langit.

Pernah sekali Argha mencoba menjalin hubungan dengan teman 1 kampusnya. Namun berakhir di bulan pertama, karena Argha bukanlah sosok yang romantis dan ekpresif. Membuat si wanita bosan, hingga memutus sepihak hubungan mereka. Namun, dirinya menerima dengan lapang dada. Karena ia menyadari, dirinya memanglah seperti itu. Meskipun saat itu, ia merasakan patah hati.

"Pak, kalau nanti sudah di Indonesia, langsung cari calon ya pak."

Ucapan Boni cukup menyentil hati, ginjal, paru- pari hingga jantungnya.

"Kenapa? Kamu lelah menyiapkan semua keperluan saya?" balas Argha to do point.

"Ya gak gitu juga pak. Masa bakal capres Jomblo. Agak gimana gitu kedengarannya. Gak mungkin kan pak, saya terus yang masang-in dasi bapak setiap hari, hingga masa jabatan bapak berakhir. Kalau nanti 2 putaran, saya ikutan ngejomblo dong pak? Gak mungkinkan saya ngelangkah-in bapak. Sungkan sama yang lebih tua."

Argha tertawa mendengar ocehan Boni. Tidak bisa ia pungkiri. Apa yang dikatakan Boni, ada benarnya. Calon Presiden memang membutuhkan pasangan. Selain menaikan elektabilitas, hal itu juga untuk mendapatkan kepercayaan publik. Sangat berpengaruh dalam keseharian.

Lagipula, tidak mungkin 1x24 jam, ia selalu memanggil Sekretaris atau ajudannya, untuk sekedar sarapan, makan malam, bertukar pikiran ataupun minta dipijit. Sebetulnya, belum memiliki pendamping pun, tidak masalah bagi Argha. Toh, masih ada ART yang bisa membuatkan sarapan, makan malam dan kopi untuknya. Masih bisa panggil tukang pijat ke rumah jika ia merasa lelah. Ataupun memanggil Boni untuk memasangkan dasinya setiap hari. Tapi, memiliki pendamping saat ini, akan membantu Argha dalam melakukan misi pelayanan domestik.

Agaknya, Argha harus bersiap- siap ketika menginjakkan kaki di bumi Pertiwi. Para petinggi partai, maupun kedua orang tuanya, akan ribut menanyakan perihal calon istri. Jika ia tidak memiliki calon, maka bersiap- siap saja, ia akan di jodohkan entah dengan siapa.

Jika itu sudah terjadi, mau tidak mau, suka tidak suka, Argha harus mengikuti permintaan orang tuanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!