Bab 18

"kasihan mas Adam" ucapku dalam hati tatkala melihat mas Adam tidur di sofa ruang tamu.

Aku tadi sempat tertidur, dan terbangun tepat pukul satu lewat dini hari. Begitu membuka mata, aku langsung menatap selimut dan bantal yang telah aku siapkan khusus untuk mas Adam. Selimut dan bantal itu masih ada di ujung tempat tidur, itu artinya mas Adam belum mengambilnya. Aku pun menuruni anak tangga, dan melihat mas Adam  tengah meringkuk di sofa tanpa selimut, dan berbantalkan bantal sofa. Padahal suhu malam ini sangat dingin. Dengan hati-hati aku menyelimutkan selimut yang ku bawa dari kamar tadi, agar Mas Adam tidak terbangun.

Entah mengapa aku bisa secinta ini kepada Mas Adam, sedangkan Mas Adam sama sekali tidak mencintaiku. Bahkan sampai saat ini, sekalipun ia telah membawa wanita lain ke rumah ini, tetapi tetap saja perasaanku kepadanya tak berubah. Barangkali orang-orang akan menertawakan ku jika tahu aku masih bertahan dengan laki laki yang jelas jelas hatinya tidak untukku.

Mas Adam sama sekali tidak menyentuhku, juga tak pernah mencintaiku, seharusnya jika kami berceraipun aku tak dirugikan sama sekali, sebab aku masih suci sama seperti waktu belum menikah dulu.  Meski berstatus janda tetapi aku masih suci. Tetapi, aku malah sama sekali tak ingin berpisah dengannya. Biarlah waktu yang akan menjawab, akan berakhir ke mana hubungan ini.

"Non, belum tidur" ucap Bi sumi menghampiri ku.

"Suttt" aku meletakkan jari telunjuk kebibirku, meminta agar Bi Sumi memelankan suaranya. Bi Sumi pun langsung meletakkan tangannya ke mulutnya. Aku mengajak bi Sumi untuk menjauh dari ruang tamu, agar tak mengganggu tidur mas Adam.

*****

"Belum bi, aku tadi memberi selimut kepada mas Adam, tadi aku ke ruang tamu dan melihat mas Adam tidak memakai selimut" ujarku seraya meneguk segelas air putih. Aku duduk di kursi pada meja makan dapur.

"Ohhh iya non" ujar Bi Sumi.

"Jangan panggil non bi, panggil aja Zara" ujarku, aku berasal dari keluarga sederhana, seumur hidup ini baru pertama kalinya aku merasakan punya pembantu rumah tangga. Jadi aku merasa tak biasa jika ada yang memanggilku dengan sebutan 'non'.

"Baik non, eh maksudnya Zara" ujar Bu Sumi.

"Bibi sendiri kenapa belum tidur, ini kan sudah jam satu lewat bi?" ucapku seraya menatap jarum jam di dinding yang telah menunjukkan pukul 01.45, sudah hampir pukul dua pagi.

"Iya non, bibi baru selesai menyiapkan bahan bahan buat masakan besok pagi," ucap Bi sumi.

"Harus ya bi nyiapin masakan besok pagi, jangan sampai selarut ini, besok besok bibi harus tidur tepat waktu, tidak perlu sampai selarut ini. Kasihan bibi kalau tidur selarut ini setiap hari"  ucapku, aku merasa tak tega melihat Bi Sumi yang sudah paruh baya harus tidur selarut ini hanya untuk menyiapkan makanan. Ya, aku tahu itu adalah tugasnya, tetapi aku berharap bi Sumi bisa inisiatif agar dia tak perlu tidur sampai selarut ini.

"Baik non, eh maksudnya Zara"

"Iya bi, begini saja kalau masaka menyiapkan bahan masakan besok pagi bibi enggak usahan khawatir, pagi pagi nanti Zara bakalan bantu bibi buat masak, agar bibi tak perlu tidur larut malam" ucapku, aku bercencana akan membantu bi Sumi memasak kalah pagi pagi agar bi sumi tak perlu menyiapkan bahan masakan untuk pagi hari di malam hari.

"Tidak perlu nak Zara, biar bibi saja, itukan tugas bibi di rumah ini" bi Sumi tampka khawatir.

"Ah, tak apa apa bi, Zara sudah biasa di rumah mengerjai pekerjaan rumah, jadi kalau nggak masak atau beberes rasanya ada yang kurang bi" ucapku seraya bangkit dari kursi.

"Begitu ya nak Zara?" tanyanya memastikan.

"Iya, ya sudah bi, bibi istirahat, saya juga mau istirahat" ujarku dan bi Sumi mengangguk. Kami sama sama meninggalkan dapur.

bi Sumi lebih dahulu sampai ke kamarnya, karena kamarnya dekat dengan dapur, sedangkan aku haru menaiki anak tangga lagi untuk sampai ke kamar. Tetapi sebelum ke kamar, aku ingin mengecek keadaan mas Adam lebih dulu.

"Dek.. dek..." aku mendengar mas Adam mengigau, ketika aku kembali mengecek keadaan mas Adam ke ruang tamu sebelum aku menuju kamarku.

"Dek..." igaunya lagi sambil tangannya melayang ke udara seperti mas Adam ingin meraih sesuatu. Aku dengan cepat meraih tangannya, dan mas Adam masih dengan tak sadar memegang tanganku. Dia masih mengigau.

"Dek... Mas sayang sama adek... Tolong jangan tinggalin mas..." ucap mas Adam dengan mata terpejam. Mendengar igauannya aku semakin mengeratkan tanganku dalam genggaman tangannya.

"Selia aku mencintaimu, kita harus rujuk Selia, kita harus rujuk, aku tak bisa tanpamu" ucapnya seraya memegang tanganku dengan kedua tangannya. Matanya masih terpejam. Aku tak kuasa mendengar semua ini, aku dengan cepat melepaskan tanganku dari tangannya dan berlari menuju ke kamarku. Aku menaiki anak tangga dengan begitu cepat. Di dalam kamar aku menangis sejadi-jadinya.

"Mengapa mencintaimu harus sesakit ini mas, kenapa?" ujarku seraya menepuk nepuk pelan dadaku. Sesak sekali rasanya.

*****

Saat azan subuh berkumandang aku terbangun, aku tak tahu aku tidur jam berapa, barangkali aku tertidur sambil menangis semalam. Meski aku masih mengantuk, tetapi aku tak bisa menunda bunda waktu, ini sudah dapat waktu sholat subuh, jadi aku harus segera melaksanakannya, sebelum matahari terbit.

Setelah menyelesaikan sholat subuh, aku bergegas ke dapur, seperti janjiku kepada Bi sumi, aku akan membantunya memasak.

Sesampainya di dapur ku lihat bi Sumi sudah selesai memasak, kini bi Sumi hanya tinggal mencuci piringnya saja, padahal ini masih jam 5.20.

"Bi, kok cepet banget masaknya bi, memangnya bibi bangun jam berapa?" tanyaku menghampiri bi Sumi yang tengah mencuci perkakas dapur.

"Eh nak Zara, iya nak zara, bibi bangun jam 4 pagi, terus langsung masak" ujarnya tertawa kecil.

"Jangan bilang bibi nggak sholat subuh?" cecarku, dan bi Sumi tanpak tertawa cengengesan.

"Bibi sholat subuh kan tadi?" tanyaku lagi memastikan.

"Enggak non" ujarnya seraya menggelengkan kepala, yang membuatku spontan tepuk jidat

"Ya sudah bi, sana sholat dulu, ini biar Zara yang kerjain, masih ada waktu sebelum waktu sholat subuh habis"printahku, seraya meraih sabuk piring untuk melanjutkan pekerjaan bi Sumi.

"Tapi non?" tanya bi Sumi lagi.

"Sudah bi sana cepet sholat subuh sebelum waktunya habis, bibi itu harusnya mengutaman panggilan Allah dulu baru melakukan pekerjaan yang lainnya" ujarku seraya mencuci piring.

"Iya baik non" ujar Bi sumi seraya berlari kecil meninggalkanku.

"Satu lagi bi, jangan panggil Zara debgn sebutan non, tapi panggil saja dengan sebutan Zara" perintahku setengah teriak karena posisi bi Sumi yang telah menjauh dariku.

"Baik non, en maksudnya nak Zara" ucap Bi sumi setengah teriak pula. Aku pun menggeleng gelengkan kepala.

"Alhamdulillah selesai" ucapku lirih saat piring terakhir aku taruh di rak piring.

"Astaghfirullah..." aku terkejut begitu aku berbalik badan, sebab di belakangku telah ada kak Adam yang menatap ku dengan datar. Entah sejak kapan dia ada di sana aku pun tak tahu.

Aku menatap matanya sejenak, dan langsung menundukkan pandanganku dan berjalan meninggalkannya.

"Zara..." Panggilnya begitu aku telah berjalan beberapa langkah darinya. Mau tidak mau aku pun berbalik menghadap nya, sebab tak sopan jika berbicara membelakangi lawan bicara.

"Iya kak" ucapku ragu.

"Tadi malam kamu datang ke ruang tamu?" ucap mas Adam, yang membuatku jadi merasa takut. Jangan jangan dia sadar saat aku meraih tangannya saat dia mengigau memanggil nama Selia.

Aku pun menggelengkan kepala.

"Jangan bohong, jika kamu tidak datang ke ruang tamu tadi malam jadi selimut siapa yang aku pakai semalam. Aku ingat selimut itu ada di kamarmu. Jadi, siapa lagi yang memberikan aku selimut itu kalau bukan kamu" ucapnya, aku baru ingat aku tadi malam menyelimuti nya saat dia tertidur.

"Oh iya mas, tadi malam aku ke ruang tamu dan melihat mas adam tidur tanpa selimut, jadilah aku ambilkan selimut dari kamar zara, dan menyelimuti mas Adam," ucapku masih menunduk.

"Lain kali tak perlu melakukan hal itu, atau yang lainnya. Sebab aku tak butuh perhatian darimu, urus saja dirimu, tak perlu mengurusku. Kamu paham" ucapnya dengan nada datar, tapi cukup menyayat hati.

"Paham mass, maaf jika tindakan Zara kemarin salah" aku menunduk, merasa tak enakan kepada mas Adam.

"Iya kali ini saya maafkan. Oh ya, selimutmu sudah saya letakkan di sofa ruang tamu, silahkan kamu ambil, dan lain lagi jangan bertindak seperti itu lagi. Jika aku tak memakai selimut itu artinya aku memang tak ingin memakai selimut, jika aku tak memakai bantal itu artinya aku memang tak ingin memakai bantal, dan jika aku ingin bagaimana pun itu artinya aku memang ingin melakukannya" ujarnya panjang lebar, dan aku hanya bisa menganggukkan kepala saja.

Kemudian dia melangkah pergi.

Oh iya aku lupa, aku kan harus sekolah hari ini. Dengan cepat aku siap siap untuk bergegas pergi ke sekolah.

Setelah siap siap aku sarapan pagi, sedangkan bi Sumi tengah memberikan Selia makan. Begitupula dengan kak Adam, dia tengah menemani Selia. Tetapi biarlah, tak apa makan sendiri yang penting tidak telat pergi ke sekolah.

Setelah selesai makan, aku pun bergegas ke luar rumah.

"Mau ke mana?" Itu suara mas Adam, yang membuat langkahku terhenti. Aku menoleh ke arah sumber suara, kak Adam telah rapi dengan penampilannya.

"Mau ngajar mas Adam" ucapku gugup, aku lupa belum meminta ijin kepada kak Adam untuk mengajar kembali. Bagaimana pun kak Adam adalah suamiku, sudah semestinya aku meminta ijin jika ingin beraktivitas di luar rumah, sekalipun itu untuk mengajar.

"Mengajar?" ucapnya heran.

Dan aku hanya mengangguk, "iya mas, Zara mengajar, Zara baru keterima mengajar di SMP tunas bangsa sebagai pengajar ekonomi. Sebelumnya Zara meminta maaf sebab tak ijin lebih dulu kepada kak adam" ucapku merasa tak enakan kepada kak Adam.

"Ini kamu mau berangkat ke sekolah SMP tunas bangsa?" tanyanya, tanpa merespon permintaan maaf ku.

"Iya mas" ucapku masih menunduk.

"Ya sudah biar saya antar, kebetulan saya juga mau ke restoran dan jalannya searah dengan SMP tunas bangsa" ucap mas Adam seraya berjalan menuju mobilnya.

Aku tersenyum, ada perasaan senang di dalam hati. Jika dia mau mengantarkan ku ke sekolah itu artinya kak Adam tak marah jika aku mengajar kembali meskipun aku tak ijin sebelumnya. Dan itu artinya mas Adam telah memberiku ijin untuk mengajar di SMP tunas bangsa.

"Ngapain masih berdiri di situ, ayukkk, nanti aku telat lagi" ujarnya, dan aku langsung berlari pelan dan masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil kami kembali diam diaman, tak ada pembicaraan. 5 menit kemudian aku sampai di depan gerbang SMP Tunas Bangsa.

"Nanti pulang jam berapa?" tanya mas Adam, saat aku melepaskan self belt ku.

"Jam 12.30 kak" ucapku.

"Nanti tunggu aja saya di sini, kebetulan aku ke restoran tak akan lama, aku hanya ingin memantau restoran saja. Jadi aku nanti akan cepet pulang" ucapnya, dan aku mengangguk setuju. Hatiku rasnaya berbunga bunga sebab mendapatkan perhatian dari kak Adam.

"Baik, terima kasih mas  Adam" ucapku. Dan dia hanya diam.

"Ya sudah sana turun, aku harus cepat pergi" ujarnya, dan aku pun dengan cepat turun dari mobilnya.

*****

"Jadi kamu mengajar di sini Zara?" tanya mas Romi, kami bertemu di dalam pekarangan sekolah, dan saat ini kami tengah berjalan menuju gerbang sekolah. Ini sudah jam pulang sekolah.

"Iya kak, kalau mas  Romi sendiri ada di sini ada keperluan apa?" tanyaku, sebab setahuku mas Romi bukanlah pengajar, tetapi ada keperluan apa mas Romi ada di sini.

"Ohh iya itu usaha percetakan saya ada kerjasama dengan sekolah ini, untuk mencetak buku, jadi saya ke sini untuk menyelesaikan sisa tagihan untuk cetak buku tersebut" ujarnya. Oh iya aku paham, mas  Romi punya cabang usaha percetakan di sini, dan ternyata sekolah ini adalah salah satu sekolah yang bekerjasama dengan mas Romi.

"Oh ya kamu pulang naik apa?" tanya mas Romi.

"Aku dijemput sama mas Adam, suami saya mas Romi" ujarku, dan mas Romi hanya tersenyum.

"Oh iya ya, kalau begitu saja duluan Zara," ucapya seraya melambaikan tangan, dan aku pun membalasnya. Mas Romi memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah, sedangkan mas Adam telah menungguku di gerbang sekolah. Aku bisa menatap mobilnya dari sini.

"Mas Adam sudah lama menunggu?" Tanyaku begitu aku masuk ke dalam mobil. Tetapi wajahnya tampak tak bersahabat.

"Siapa yang tadi berjalan denganmu? Rekan gurumu?" tanyanya. Oh ternyata dia melihatku berjalan dengan mas Romi. Apa mas Adam cemburu?

"Kamu jangan berpikir yang aneh aneh, aku tak sedanh cemburu. Aku hanya mengingatkanmu kamu masih berstatus sebagai istriku, jadi jaga marwahmu sebagai seorang istri" ucapnya, kemudia melajukan mobilnya.

"Iya mas,  maaf" ucapku, dan mas Adam hanya terdiam saja.

"Apa kalian sudah lama dekat?" tanyanya.

Dan aku spontan menggelengkan kepala.

"Tidak kak, kami baru saja kenal, itu juga karena dia ada kerja sama dengan sekolah di bidang cetak buku" ucapku, sengaja tak membahas perkenalan kami saat mas Adam masih di rumah sakit bunda. Takut mas  Adam malah makin salah paham antara aku dan mas Romi.

"Ohhh, saran ku jangan terlalu dekat dekat dengan pegawai laki laki, atau laki laki manapun, sebab saat ini kamu masih berstatus sebagai istri orang lain. Jadi, kamu harus bisa memposisikan diri" ucap mas Adam dan aku mengganguk.

Lima menit kemudian kami pun sampai di rumah.

Begitu sampai di rumah, mas Adam ke kamar selia, tentu saja dia pasti ingin melihat keadaan Selia. Dan aku langsung naik masuk ke dalam kamar mas Adam, yang mana untuk sementara waktu aku akan menginap di kamar ini.

Aku mengganti pakaian dan melaksanakan sholat Zuhur.

"Tok... Tok..." Suara pintu di ketuk, dengan masih mengenakan mukenah, aku pun membuka pintu.

"Iya sebentar" ucapku lalu membukakan pintu, di depan pintu telah ada mas Adam yang berdiri dengan tatapan malas ke arahku.

"Minggir" ujarnya, dan aku spontan minggir dan mas Adam langsung masuk ke dalam kamar.

"Mas... Mau ngapain?" tanyaku heran. Mengikutinya berjalan ke arah lemari.

"Apa ya yang mau ngapain?" tanya mas Adam heran menatapku.

"Mas, nga-pain ma-suk ka-mar a-ku?" tanyaku terbata bata.

"Enggak usah gr deh, aku hanya mau ngambil baju ganti aku doang. Kamu lupa kalau ini kamar aku, dan barang barang aku masih ada di kamar ini" ujarnya seraya membuka lemari.

Astaga, bisa bisanya aku lupa. Aku menepuk jidatku sendiri, malu sekali rasanya.

"Ingat jangan kamu sentuh barang barang aku di sini" ujar mas Adam, kemudian pergi meninggalkan ku.

"I-ya ma-mass..." ucapku menunduk malu. Bisa bisanya tadi aku berfikiran yang tidak tidak kepada mas Adam, padahal jelas jelas ia hanya ingin mengambil baju gantinya saja.

Terpopuler

Comments

Susi Akbarini

Susi Akbarini

egois..
nglarang istri fekat orang lain dianya dekat ama mantan istri

2025-02-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!