"Apa yang kamu langitkan tidak akan kembali, kecuali sesuai dengan yang kamu minta atau diberi dengan sesuatu hal yang lebih baik daripada yang kamu minta. Allah Maha Baik, oleh sebab itu janganlah pernah berputus asa dalam memohon dan meminta karuania-Nya."
Hari ini adalah hari di mana aku akan bertemu dengan seorang pria yang dijodohkan oleh orang tuaku untukku. Sejujurnya aku tidak terlalu suka dijodoh-jodohkan begini, karena seolah-olah aku tidak mampu untuk mencari pasangan sendiri. Tetapi, orang tuaku sangat ingin aku segera menikah, sebab aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku sendiri telah menikah, dan tinggal satu kampung dengan kami tetapi beda rumah. Bapak dan ibuku bilang mereka sudah tua, dan usiaku pun sudah cukup matang untuk menikah, jadi mereka tidak mau menunggu lama.
Aku memakai sedikit riasan di wajahku, hanya bedak tipis dan lip tin tipis agar wajahku tidak terlalu pucat. Aku tidak memaki riasan lain seperti pelentik bulu mata, alis, eye shadow, atau blasn on, aku lebih suka begini. Sederhana. Tidak berlebih-lebihan dalam berdandan, takutnya jadi tabbarruz.
Saat ini aku memakai jilbab besar menutup dada dan menutup punggung berwarna hitam tanpa motif, polosan saja. Begitupula dengan gamisku, berwarna hitam pekat tanpa corak. Aku memang lebih suka memakai warna-warna gelap, karena aku orangnya pemalu dan introvert, aku tidak suka menarik perhatian orang-orang.
Ibu, ayah, kakak dan suaminya sudah ada di ruang tamu, menunggu kedatangan calon suamiku beserta kiyai Nasir. Sejauh ini aku belum bertanya, siapa nama calon suamiku, tinggal di mana, dan apa pekerjaannya. Biasanya jika ibu atau bapak atau yang lainnya menjodohkan ku dengan seorang pria aku pasti sudah bertanya lebih dulu kepada ibu kerjanya apa, tinggal di mana, dan namanya siapa. Tetapi kali ini berbeda. Aku sudah malas untuk bertanya. Lagipula, hari ini adalah hari perkenalan, jadi aku akan tanyakan hari ini langsung kepada orangnya.
"Zara, calonmu sudah datang, ibu suruh kamu ke ruang tamu sekarang!" ujar kak Farah menghampiriku, bibirnya mengukir senyum bahagia.
"I-ya kak," aku mengangguk dan berjalan mengikuti kak Farah ke ruang tamu.
Aku melihat ayah, ibu, dan bang Reza suami kak Farah menyambut Kiyai Nasir beserta rombongannya di teras rumah. Sedangkan aku duduk di sofa pada ruang tamu di dampingi oleh Kak Farah. Hatiku dag-dig-dug, aku sudah berjanji kepada ibu dan ayah bahwa aku tidak akan menolak perjodohan ini apapun yang terjadi. Tetapi bagaimana jika pria yang dicarikan oleh Kiyai Nasir bukan seperti kriteriaku?
Meskipun ku tahu pria pilihan kiyai Nasir pastilah pria baik baik. Sebab kiyai Nasir adalah pimpinan di sebuah pondok pesantren ternama di daerahku. Jadi, pastilah Kiyai Nasir adalah orang yang terpercaya dan amanah untuk mencarikan calon yang baik untukku. Tapi... tetap saja, aku khawatir jika pilihan kiyai Nasir tidak sesuai dengan isi hatiku. Sedangkan aku telah berjanji kepada ayah dan ibu, untuk menerima pria mana saja yang mereka pilihkan untukku.
"Assalamu'alaikum..." suara salam itu membuat hatiku semakin goyah. Bayangan wajah pria yang dijodohkan kepadaku, tak dapat ku tebak. Hatiku campur aduk. Tidak seperti biasanya.
Perlahan-lahan aku mengangkat wajahku ke arah sumber suara, dan menyahut, "wa'alaikumussalam..."
Aku termenung sesaat, tatkala aku melihat pria yang berjalan masuk ke dalam rumah bersama kiyai Nasir. Pria yang datang bersama Kiyai Nasir itu tidak asing lagi bagiku. Begitupula dengan kedua orang tua yang membersamainya. Aku sangat mengenal mereka. Yah, itu kak Adam beserta kedua orang tuanya. Adam Nugraha nama lengkapnya, dia dulu adalah abang kelasku semasa SMP.
"Silahkan duduk Kiyai, Pak, Bu,..." bapak mempersilahkan para tamu untuk duduk. Kiyai Nasir duduk disebuah sofa khusus satu orang, adapun Pak Burhan, Bu Minah, dan Adam duduk berdempetan disebuah sofa panjang. Jadi, posisinya, aku, ibu, dan bapak duduk di kursi panjang berhadapan dengan keluarga Adam. Kak Farah dan bang Reza duduk disebuah sofa berhadapan dengan kiyai Nasir. Aku pandangi wajah Adam, dia benar benar Adam yang ku kenal dulu. Aku tak bisa melepaskan pandanganku dari Kak Adam. Rasanya aku harus memastikan bahwa pria tampan yang ada di hadapanku saat ini adalah Kak Adam. Seorang pria bintang sekolah yang punya banyak penggemar, murid kesayangan guru, dan idola kaum hawa pada masa itu.
"Suttt.... jaga pandangan.." kak Farah menyikutku pelan dengan tangannya, seraya tersenyum mengingatkanku. Dengan segera aku menarik pandangan ku. Dan beristighfar dalam hati, sebab aku telah lalai dalam menjaga pandanganku kepada kak Adam.
"Salaman dulu Zara..." Ibu tersenyum, memintaku untuk salaman kepada para tamu. Aku mengangguk, dan beranjak pelan dari tempat dudukku, dan mulai menyalami para tamu satu-persatu. Para tamu itu adalah orang tua Adam , Adam, dan Kiyai Nasir. Aku langsung bisa mengetahui mereka adalah orang tua Adam, sebab aku sering mencari tahu tentang Adam dan keluarganya secara diam-diam.
Sebelum menyalam mereka, aku melapisi tanganku dengan jilbabku kemudian salam takjim kepada Kiyai Nasir, dan Pak Burhan ayah Adam. Aku melapisi tanganku karena bagaimanapun Pak Burhan dan Kiyai Nasir bukanlah Mahramku, lagipula dengan melapiskan jilbab seperti ini akan terkesan lebih sopan.
Setelah itu, aku salam takjim kepada Bu Minah ibunda Adam, khusus Bu Minah aku tidak memakai lapis tangan, sebab Bu Minah adalah mahramku. Dan khusus Kak Adam, aku tidak menyalamnya, aku hanya menangkupkan ke dua tanganku di dada, dan kak Adam pun membalas dengan hal yang serupa. Tidak ada senyum di sana, kak Adam menatapku dengan tatapan datar.
"MasyaAllah cantiknya..." ujar Bi minah, ibunda Kak Adam mencolek daguku tatkala aku meyalamnya. Aku tersenyum menatap Bu Minah, tapi ekor mata ku masih melirik kak Adam.
Apa benar kak Adam yang akan di jodohkan denganku? Tetapi bukannya dia telah menikah 2 tahun yang lalu? Tetapi, bersama Kiyai Nasir tidak ada pria lainnya selain Adam, ayah, dan ibunya. Jika dia benar pria yang akan dijodohkan denganku, apa dia sedang mencari istri kedua? Dan aku akan dia jadikan istri kedua?
"Zara...." Ibu menegurku, yang membuyarkan lamunanku. Aku pun langsung menoleh ke arah ibu.
"Iya Bu..." Sahutku.
Setelah aku selesai menyalami Kiyai Nasir, Pak Burhan, Bu Minah, dan Kak Adam, akupun kembali duduk ke tempat duduk ku semula. Aku mengamati Adam diam-diam. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, ternyata dia tidak mengalami banyak perubahan. Ia tetap ganteng bahkan lebih ganteng dari jaman SMP dulu, ia rapi, dan senyumnya masih saja manis seperti dulu.
"Inilah calon pria yang kemarin saya bicarakan kepada Bapak. Namanya Adam Nugaraha, biasa dipanggil Adam. Dia sudah pernah menikah, namun pernikahannya kandas. Jadi saat ini Adam berstatus duda. Selama ini Adam tinggal di Bandung, tetapi karena perceraiannya dengan istrinya pertama maka Nak Adam memutuskan untuk kembali ke Sumatera, ke tanah kelahirannya." Aku menatap wajah Adam, Adam menunduk wajahnya yang tadinya datar berubah menjadi murung. Ia pasti merasa malu jika ada yang mengungkit kegagalan rumah tangganya di masa lalu, tetapi seharusnya dia tak perlu malu kepadaku, sebab apapun dirinya aku tetap mengaguminya.
"Pekerjaannya sekarang adalah pengusaha, lebih tepatnya adalah pengusaha di bidang kuliner. Nak Adam ini sudah membuka beberapa cabang restoran di Jawa, dan rencananya akan mencoba membuka restoran baru di daerah sini, di Sumatra, sehingga jika menikah nanti Adam akan berdomisili di sini. Lebih lanjut, bisa di tanyakan langsung kepada orangnya," jelas pak Kiyai Nasir, memperkenalkan Adam kepadaku dan keluargaku. Dari semua yang dikatakan kiyai Nasir aku sudah tahu sebelumnya, kecuali mengenai perceraian Kak Adam. Aku tidak tahu menahu akan hal itu.
Ayah dan ibu mengangguk-angguk, ibu tersenyum kepadaku. Aku hanya menunduk.
"Dan ini adalah Zara Amani, biasa di panggil Zara. Belum pernah menikah, baru lulus sarjana pendidikan ekonomi. Belum pernah menikah, dan saat ini dia berprofesi sebagai guru di si SMA Cagar Budaya. Seperti yang kita lihat orangnya cantik, pendiam, pemalu, lemah lembut, dan tentunya orangnya juga cerdas. Tak kalah cerdas dengan nak Adam. Jadi, saya rasa cocok jika disandingkan dengan Nak Adam di pelaminan." Gantian aku yang dikenalkan oleh pak Kiyai kepada Adam dan keluarganya.
Orang tua Adam mengangguk-angguk seraya tersenyum menatapku. Aku semakin malu, sebab yang dikatakan oleh kiyai Nasir mengenai aku yang cantik, pemalu, lemah lembut, apalagi cerdas rasanya itu terlalu berlebihan. Aku tak cantik, apalagi cerdas.
Tidak sama sekali. Mungkin kak Adam menyadari akan hal itu, sehingga kak Adam sedari tadi berwajah datar tampak tak bersemangat dengan sesi perkenalan ini.
Dari awal datang hingga saat ini, aku melihatnya tanpak tidak bersemangat. Ia hanya tersenyum sekali saja, itupun saat pertama kali dirinya memasuki rumah ini, dan seterusnya ia berwajah datar. Barangkali aku memang bukan wanita idamannya. Aku jadi insecure karena ini.
"Bagaimana nak Adam, nak Zara ada yang ingin ditanyakan satu sama lain? Atau ingin bertukar CV juga boleh," ujar Kiyai Nasir.
Aku menggelengkan kepala. Aku tidak ingin bertanya apapun lagi, aku sudah cukup mengenalnya, sebab aku adalah pengagum rahasianya. Saat ini aku hanya ingin menjawab 'Ya' aku setuju dengan perjodohan ini. Bila perlu hari ini saja nikahnya, aku sudah siap. Dia adalah pria yang selama ini aku langitkan dalam do'a-do'aku. Jadi, bagaimana mungkin aku akan menolaknya.
"Kalau kamu nak Adam, ada yang ingin kamu ditanyakan? Atau kamu berniat untuk meminta CV nak Zara. Itu hak kamu, kamu boleh memintanya untuk perkenalan lebih lanjut," ujar Kiyai Nasir.
Kak Adam menatap ku. Tatapannya kosong. Ia memang tidak mengenalku, meski kami satu SMP tetapi dia adalah Abang kelasku, kami tidak satu angkatan, dan tidak pernah ada event yang membuat kami saling bicara atau saling kenal. Hanya akulah yang mengenalnya, sedangkan dia tidak mengenalku.
"Apakah aku bisa berbicara berdua dengannya pak Kiyai? Aku ingin menjelaskan diriku padanya tanpa terkecuali, tetapi aku tidak mau ada orang lain yang mengetahuinya," ujarnya, aku menatapnya dalam-dalam.
"Ta'aruf itu adalah perkenalan yang di lakukan oleh kedua belah calon mempelai dengan di dampingi wali, jadi jika hanya berdua tentu saja saya tidak mengijinkannya. Tetapi, kamu bisa memberikannya CV milikmu, dan di sana kamu bisa menerangkan panjang lebar mengenai dirimu kepadanya." Tentu saja pak Kiyai tidak mengijinkan jika aku dan kak Adam mengobrol berdua tanpa didampingi oleh wali. Sebab itu untuk menjauhkan kami dari zina, dan menjauhkan kami dari hal yang buruk.
"Baiklah pak Kiyai, kalau begitu apa aku bisa meminta alamat email Zara? Aku ingin kami saling bertukar CV melalui email," ujar Adam, ah jika dia membaca cv milikku sudah pastilah dia akan menolakkku.
Bagaimana tidak, semasa menjadi pelajar dan mahasiswi aku adalah pelajar dan mahasiswi yang lurus lurus saja. Tidak ikut organisasi, tidak memiliki perkumpulan, dan yang jelas pengalamanku sangat minim. Jadi guru pun gajiku tidaklah seberapa, karir menjadi guru adalah karir surga, maksud ku jangan berharap lebih jika masih di dunia. Sedangkan kak Adam, aku tahu banyak mengenai beliau. Semasa jadi pelajar dia adalah pelajar yang berprestasi, dan semasa jadi mahasiswa beliau adalah seorang aktivis, aku bisa mengetahuiny berkat melihat semua postingannya di media sosial miliknya. Dan setelah lulus kuliah beliau memiliki usaha kuliner yang cepat berkembang bahkan bisa sampai buka cabang, aku mengetahuinya juga dari laman Facebook nya.
"Ya, kalau itu tentu saya ijinkan," ujar Pak Kiyai Nasir.
"Apa alamat emailmu?" tanya Kak Adam kepadaku. Jantung ku berdebar kencang, kakiku seraya melayang. Setelah puluhan tahun aku menjadi pengagum rahasianya, dan baru kali ini Kak Adam berbicara langsung kepadaku. Ya, ini adalah untuk pertama kalinya dia berbicara kepadaku dalam hidupku.
"Zaraamani@gmail.com" aku memberikan alamat emailku kepadanya, dan dia mengetiknya di ponselnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments