Degup musik yang keras bukan hanya menggetarkan gendang telingaku, namun getaran itu sanggup menggetarkan dadaku. Kuku-kuku palsu Mikaela yang panjang menusuk kulit pergelangan tanganku saat dia menarikku membelah kerumunan orang-orang yang sedang menari. Tubuh mungilnya yang berada di depanku meliuk-liuk seirama musik yang berdentum. Satu tangannya terangkat ke atas dan terkadang dia menggelengkan kepalanya, mengibaskan rambutnya yang terurai cantik.
Tampaknya tidak hanya aku yang memperhatikan Mikaela, orang-orang yang kami lewati pun langsung memberi jalan pada gadis mungil cantik ini yang menggunakan sayap merah muda berkerlip-kerlip di punggungnya. Namun tak lama jalan itu menutup, membuatku terantuk beberapa orang yang pada akhirnya menggumam atau bahkan mengumpat kesal padaku. Yah, aku tidak bisa apa-apa selain mengikuti langkah-langkah Mikaela dan menubruk sana sini karena cengkraman Mikaela sekuat baut yang masih baru.
Malam ini malam Halloween dan Mikaela mengajakku ke sebuah klub untuk berpesta dengan teman-teman kuliahnya yang tidak kukenal. Awalnya aku tidak mau ikut, namun karena kehadiran Mikaela yang heboh dengan mini dress dan sayapnya yang berkerlip di minimarket tempatku bekerja, membuatku mau tak mau mengikutinya kemari. Memang pada saat itu pekerjaanku sudah selesai dan toko sudah tutup, tapi bukan ini yang aku mau. Aku hanya ingin beristirahat bukannya ke klub malam.
Mikaela adalah peri merah muda mungil cantik dengan rambut yang bergelombang sempurna dan riasan wajah yang memukau. Tampak jelas dia sudah mempersiapkan semuanya dengan baik sebelum datang kemari. Sedangkan aku? Yah, aku kan baru pulang kerja dan hanya memakai pakaian kerjaku, kaus polo berwarna putih. Nama minimarket tercetak jelas di dada kiriku dan punggung belakangku. Mikaela bilang kalau aku tidak perlu mengganti pakaianku, karena pakaianku bisa dibilang kostum yang unik dan tidak akan ada yang mengembariku. Dia mengimbuhkan daripada kostum playboy bunny yang sudah pasaran, pakaianku jauh lebih otentik.
Ha! Dibanding dress mininya yang penuh sequin dengan jahitan desainer yang rapi, pakaianku hanyalah seperti sebuah lap piring yang di cetak masal tanpa adanya QC.
Kini entah kemana dia menarikku, aku juga tidak tahu. Katanya tadi dia ingin bertemu dengan seseorang dan tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Aku hanya berharap dia tidak mengajakku merayu cowok yang biasa dilakukannya, karena aku tidak mau menjadi patung canggung di ujung meja.
Akhirnya kami sampai pada bukaan dan menuju ke arah VIP. Dimana kami harus melalui dua orang penjaga yang membukakan garis bertuliskan VIP LOUNGE lalu menaiki beberapa tangga, menuju bilik-bilik kotak yang terlihat mewah. Di setiap bilik ada sebuah tirai kain hitam tembus pandang yang menutupi pandang, ada beberapa yang sengaja dibuka lebar, namun ada yang tertutup rapat.
Orang-orang di dalamnya sibuk berpesta dengan makanan dan minuman yang melimpah di atas mejanya. Bahkan ada wanita-wanita yang menari-nari di atas meja dengan para pria yang mendongak menatap mereka penuh damba. Ada juga yang tampak sedang dalam pembicaraan serius, mereka semua tampak menunduk di atas meja dan membungkukkan bahunya sambil berdiskusi sesuatu.
Aku terlalu sibuk melihat-lihat bilik-bilik itu hingga tidak menyadari Mikaela memelankan langkahnya yang berhenti di bilik yang terakhir. Bilik kesepuluh. Saat aku dan Mikaela sampai di bilik yang tertutup tirai hitam, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Entah kenapa disini rasanya jauh lebih gelap dibanding bilik-bilik yang lain. Walau bilik-bilik ini menghadap lantai dansa, namun disini rasanya sangat jauh dari segala keriuhan itu. Walaupun aku mendengar percakapan dan suara tawa nyaring dari balik tirai itu, namun rasanya tetap saja aku bergidik ngeri.
“Halo,” Sapa Mikaela dengan suara centilnya pada dua orang pria yang berjaga di depan bilik itu. Biasanya aku hanya pernah melihat petarung gulat di televisi saja, namun kali ini aku bisa melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Satu pria memiliki potongan rambut buzz cut dengan tato yang menghiasi sisi kepala hingga lehernya. Satu pria lagi lebih besar sudah seperti pegulat sumo yang luar biasa besar. Aku dan Mikaela harus mendongak menatap pria-pria itu. “Aku mau bertemu rahasia.” Lanjut Mikaela santai. Entah Mikaela sudah pernah bertemu mereka sebelumnya atau kedatangannya sudah di tunggu, pria bertato itu langsung menarik kelepak tirai dan memberi jalan, tanpa menunggu Mikaela menyelesaikan kata-katanya.
Mikaela melenggang dengan santai sedang aku masih mengikuti di balik tubuh mungilnya. Percakapan yang tadi kudengar kini terhenti, hanya terdengar suara musik yang masih cukup lantang dari luar. Saat melewati tirai hitam entah kenapa perasaanku tidak enak. Hawa disini terasa berat seolah aku sedang menghirup asap rokok yang tebal, padahal bau rokok disini tidak separah di bawah sana. Tanpa bisa kutahan aku mundur selangkah, namun di punggungku rasanya ada sebuah tembok beton kuat alih-alih sebuah tirai tipis tembus pandang. Merasakan pergerakkanku yang menjauh darinya, cengkraman Mikaela semakin erat. Aku tidak bisa kemana-mana selain menghadapi apa yang di depanku.
Di dalam sini hanya terdapat empat lampu kecil di setiap sudut di langit-langit dan itu hampir tidak cukup untuk menerangi ruangan yang ternyata cukup luas ini. Tanpa aku bisa melihat dengan jelas mereka satu persatu, aku hanya tahu ada enam orang di dalam ruangan ini, pria dan wanita, dan tatapan mereka semua jatuh padaku dan Mikaela.
Bukan, bukan pada kami berdua, tapi hanya padaku. Entah bagaimana aku ‘merasakan’ tatapan mereka secara nyata.
“Aku datang.” Ucap Mikaela sambil mengambil langkah maju, sedangkan aku tetap terpaku di tempatku hingga aku harus membungkuk karena tanganku masih berada di dalam cengkramannya. “Aku mau barangku.” Suara centil Mikaela tadi kini menghilang, tampaknya bukan hanya aku yang merasa tidak nyaman disini.
Seseorang yang lebih dekat denganku yang sosoknya hampir menyerupai pegulat di luar tampak menyeringai. Gigi-giginya entah bagaimana bisa berkilat di bawah cahaya yang sangat minim ini dan dia mengambil satu langkah kedepan.
“Maju satu langkah lagi, aku akan mengirimmu ke neraka.” Ucap seseorang dengan suara berat dan tegas. Cukup membuat kami semua membeku di tempat. Termasuk aku dan Mikaela. Kuku-kukunya menusukku semakin dalam dan dengan perlahan dia mundur selangkah, kembali pada tempatnya.
Suara itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dan nafasku memendek. Pengelihatanku agak mengabur dan telapak tanganku mulai basah. Aku sangat yakin ada yang salah. Apa tadi Mikaela memasukkan sesuatu ke minumanku? Tapi aku yakin Mikaela bukan teman yang seperti itu walau dia sendiri sering meminum minuman beralkohol.
Kedua mataku mencari-cari orang yang memberi perintah itu, namun tampaknya tidak ada yang bergerak selain pria bergigi mengkilat tadi. Dia mundur beberapa langkah kebelakang dan kini malah tampak lebih mengerikan seperti pengintai di kegelapan. Saat seorang wanita yang tadi duduk di atas meja, turun dan menyingkir, maka tampaklah seorang pria lagi. Ternyata mereka bertujuh dengan pria itu di antara para pria dan wanita itu.
Sama seperti yang lainnya, aku hampir tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa wajahnya. Hanya garis-garis wajah dan tubuhnya saja. Pria itu pun tampak sebesar pria bergigi mengkilat, hanya saja dia tampak lebih langsing dibanding pria tadi yang agak gempal. Selain itu aku juga merasakan ada sesuatu yang lebih superior darinya dibanding semua orang yang ada disini.
Tawa tersekat Mikaela lah yang memecah keheningan di sini. “Kita… Kita sudah ada perjanjian kan? Kamu nggak lupa kan?” Ujarnya terdengar sangat gugup.
Perjanjian? Perjanjian apa yang Mikaela lakukan dengan pria kasar seperti ini?
Pria itu melambaikan tangannya. “Pulanglah.”
Akhirnya Mikaela melepas tanganku dan dengan berani dia kembali melangkah satu langkah ke depan. “Kita sudah ada perjanjian dan aku sudah membayarnya! Kamu nggak bisa membatalkannya begitu saja!”
“Kamu membawa orang asing kesini.”
Walau dia tidak menyebut namaku, aku tetap tersentak saat yang dia maksudkan adalah aku. Saat aku menoleh pada Mikaela hendak membujuknya agar kami segera pergi, nafasku tersekat saat menyadari apa yang ada di sudut pandanganku. Aku melihat bayangan-bayangan hitam yang besar di belakang orang-orang yang di seberang ruangan. Namun saat aku kembali menoleh ke arah depan, bayangan hitam tadi menghilang. Hanya tembok abu gelap yang berada di belakang mereka.
Apa tadi? Apakah aku terlalu lelah? Tapi aku sangat yakin, bayangan hitam itu seperti benda yang solid, seperti sofa dan meja, tapi…?
“Dia bukan orang asing.” Ucap Mikaela membuatku kembali menoleh padanya, namun kali ini tidak ada bayangan hitam di sudut mataku. “Amy saudaraku.”
Tawa beratnya terdengar menggema. Pria itu memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua sikunya pada lututnya. “Pembohong.” Walaupun nadanya ringan, namun tuduhan itu cukup membuatku menggigil.
“Terserah kamu mau bilang apa.” Mikaela menaikkan dagunya menantang walaupun suaranya jelas-jelas terdengar gemetar. “Aku mau barangku sekarang.”
“Tidak ada barang untukmu.” Pria itu kembali menyandarkan tubuhnya di sofa dan menumpukan kaki jenjangnya di atas kakinya yang lain. “Pulanglah.”
“Tidak! Aku tidak akan pulang tanpa barangku!”
“Pulanglah.” Ujarnya untuk ketiga kalinya, namun kali ini nada suaranya lebih berat seolah dia menekankan untuk terakhir kalinya. “Atau aku sendiri yang membuatmu berpulang.”
Tanpa menunggu Mikaela, aku menariknya dan menyibakkan tirai hitam. Kini giliranku yang menarik Mikaela dengan erat, walau dia berusaha menarik lepas tangannya dariku. “Em! Lepas!” Sentakannya terlalu kuat hingga akhirnya cekalanku lepas darinya. “Aku membutuhkan ini!”
Walau kami masih berada di depan bilik, namun rasanya udara disini lebih segar dan lebih hidup. Aku memejamkan kedua mataku dan menarik nafas panjang menikmati udara ini walau bau asap rokok menggantung berat. Ini lebih baik daripada di dalam bilik tadi yang seolah merenggut nafasku. Perlahan rasa berat yang aneh tadi kini seolah terangkat.
Aku merasakan sentuhan ringan di lenganku. “Em?” Aku membuka kedua mataku dan menoleh melihat Mikaela yang kini menatapku khawatir. “Kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan agak pucat.”
Aku mengangguk. “Aku baik-baik saja. Tapi…” Aku melirik ke arah tirai hitam yang tertutup dan merendahkan suaraku. “Kamu… bertransaksi apa?” Tanyaku was-was.
Mikaela menghela nafas panjang dan dia menatapku seolah akhirnya dia harus menghadapi pertanyaan ini dariku. “Ayo, aku ceritakan.” Ujarnya sambil menggamit lenganku dan kami menjauh dari ceruk gelap ini.
Saat kedua siluet itu menghilang aku bisa mendengar nafas tertahan dari para teman-temanku kembali terhembus lega, tidak aku pungkiri, aku pun juga menghembuskan nafas lega. Bukannya kami membutuhkan oksigen seperti manusia, hanya saja itu sebagai kontrol pada diri kami sendiri yang seharusnya bisa dibilang mustahil.
“Kamu tahu kan betapa berharganya gadis tadi?” Aku tahu Kruz akan berkata hal yang sudah jelas kami semua ketahui. “Apa kalian nggak lihat seutuh apa benihnya?”
“Kita nggak buta, Kruz.” Sahut Astar seraya menyulut rokoknya yang entah keberapa kalinya.
“Nah, sudah berapa lama kita nggak lihat benih seutuh itu?” Ujar Kruz lebih bersemangat. “Dua puluh? Tiga puluh?”
“Enam belas tahun, Kruz. Nggak perlu melebih-lebihkan.” Tukas Deynara. Dari sudut penglihatanku aku bisa melihatnya sengaja menaikkan keliman gaunnya sebelum duduk kembali di meja di hadapanku. Aku menaikkan tanganku hendak menyingkirkannya dari depanku, namun wanita itu malah mencengkram tanganku dan meletakkannya dengan lembut di pahanya yang terbuka.
Kruz membuka lebar mulutnya, menampakkan gigi-giginya yang berlapis emas dan tertawa. “Ha!” Serunya seraya menepuk tangannya keras-keras. “Sudah lama sekali kan? Gadis itu pasti lebih dari cukup untuk menyegarkan tenggorokan kita yang sudah lama kering.”
“Yeah, pasti terasa sangat enak.” Ujar Kaliyah sambil lalu dan merayap naik kepangkuan Sa’el yang dengan senang hati mencumbu leher gadis itu.
“Pasti sangat mudah memburu gadis itu.” Suara nyaring belati yang terasah mengiringi ucapan Ozzeus yang terdengar sangat bersemangat seraya mengasah senjata kesayangannya.
Di antara kami semua, Ozzeus lah yang memiliki naluri melacak sangat baik. Kesenangannya hanyalah melacak sesuatu. Terkadang dia menghabiskan waktunya dengan mengamati seseorang di klub, lalu mulai melacaknya berbulan-bulan kemudian tanpa bantuan siapapun atau apapun yang manusia sebut sebagai teknologi. Hanya dengan ingatan akan bau manusia itu dan hebatnya tak ada satu pun yang lolos dari Ozzeus, dia pasti akan mendapatkan buruannya.
“Kapan kita mulai perburuannya? Malam ini?” Tanya Kruz semakin bersemangat menggosok-gosokan kedua tangannya.
Terdengar erangan tertahan dari Deyna dan saat kusadari kuku-kukuku sudah menancap di pahanya. “Aku tahu kamu juga nggak sabar, Raz.” Jemari lentiknya seolah merayap seperti ular di wajahku dan menyusup ke rambutku.
“Bukan malam ini.” Ucapku seraya menepis tangan Deyna dariku dan berdiri.
“Apa?” Bisa dibilang Kruz melompat ke arahku. “Kita nggak bisa mengabaikan kesempatan ini! Benih itu bisa rusak kapan saja! Atau malah kita bisa kehilangannya!”
Kruz benar. Kalau benih itu rusak setitik saja, benih itu tidak akan cukup memuaskan nafsu kami yang sudah lama terkubur. Benih itu berharga untuk kami para malaikat jatuh karena benih itu adalah benih malaikat. Memakan benih itu membuat kami merasakan kembali kejayaan kekuatan kami seperti dulu sebelum kami terjatuh. Walau tidak untuk jangka panjang, namun esensi benih itu lebih dari cukup memuaskan dahaga kami yang selalu ada berabad-abad lamanya.
Sebenarnya kalau kami mengambil benih dari gadis itu, dia akan terbebas dari pekerjaan malaikat yang merepotkan, seperti kami dulu. Tapi sayangnya gadis itu akan mati saat kami menarik benih malaikat darinya. Namun jiwanya akan tetap kemanapun Tuhan membawanya, karena tidak ada yang memusnahkan jiwa selain Dia. Hanya saja gadis itu tidak akan menjadi malaikat seperti yang sudah di takdirkannya. Gadis itu seharusnya bersyukur pada kami kalau kami merenggut benih itu.
“Besok malam.” Ucapku seraya berjalan keluar dari bilik ini. Aku mendengar erangan frustasi dari Kruz, namun aku mengabaikannya.
Kedua mataku menyapu lantai dansa yang ada di bawah. Kemungkinan gadis itu masih ada disini. Kami yang terjatuh bisa melacak apa saja sejauh apapun, yah, walau tidak sehebat Ozzeus. Tapi entah itu manusia atau iblis kami bisa melacak mereka, namun kami tidak bisa melacak benih atau para malaikat. Biasanya para iblis lah yang bisa melacak benih, karena bagi mereka benih itu seperti suar di dalam kegelapan. Tapi mereka yang terkutuk tidak menginginkan benih seperti kami menginginkannya. Mereka lebih suka merusak benih itu hingga tidak utuh lagi, hanya untuk mengejek kami.
Jangan kira yang terjatuh dan yang terkutuk bersekutu di dunia ini. Kami dulu memerangi mereka, dan kini kami terbuang di daerah teritori mereka, tentu saja tidak ada keakraban di antara kami dan mereka.
Sebenarnya banyak benih yang tersebar di dunia ini, namun karena ulah iblis, benih-benih itu tidak lagi utuh. Mereka masih tetap hidup, namun nyala benih itu meredup atau bahkan ada yang sudah padam dan mereka sudah tidak terlalu menarik lagi bagi kami. Si terkutuk tidak bisa mengambil benih itu seperti kami bisa mengambilnya dari tubuh fana manusia, jadi mereka hanya senang mengkorupsinya saja.
Seperti kata Deyna, terakhir kali kami memburu benih yang utuh sekitar enam belas tahun lalu. Saat itu kami ada di Singapura, dan sekitar lima tahun lalu kami baru pindah ke Indonesia. Kami terus berpindah dari satu negara ke negara yang lain, dari satu kota ke kota yang lain untuk mencari mangsa.
Seiring berjalannya waktu benih yang utuh tidak lagi banyak. Para iblis kini semakin menggiatkan pekerjaannya. Memang harus kuakui, mereka itu maniak kerja. Namun bukan hanya para terkutuklah yang membuat kami harus bergerak cepat, tapi sesama kami. Para kelompok terbuang yang lain. Ada banyak malaikat terbuang di dunia ini dan kami berjumlah jutaan. Namun ada yang yang menetap di neraka, ada juga yang berkeliaran di dunia ini.
Seperti manusia, kami yang ada di dunia membentuk kelompok-kelompok yang tersebar di seluruh dunia ini. Bisa di bilang kelompokku termasuk kelompok yang terkecil, hanya tujuh. Biasanya setiap kelompok memiliki puluhan hingga ratusan malaikat terbuang. Karena itu, bagi kelompok-kelompok besar, kelompok ku ini bukanlah ancaman besar. Sebaliknya, mereka adalah ancaman cukup besar untuk kami.
Untungnya kami masih bisa melacak satu sama lain, dan menurut informasi dari Ozzeus, kelompok terdekat yang lain, kebetulan berada agak jauh dari sini. Mereka sedang berburu di Indonesia Timur, sedangkan kami ada di pusat negara ini, Jakarta.
Kruz sempat uring-uringan mengetahui kelompok lain berburu di daerah kami, apalagi kami sendiri sudah lama tidak berburu. Mereka kelompok dari Australia, tidak begitu jauh dari Indonesia, jadi mungkin karema itulah mereka datang. Tapi seperti yang aku bilang tadi, kami tidak ingin membawa ancaman pada kelompok kecil kami, jadi kami hanya bisa membiarkan mereka. Selain itu karena kami tidak bisa melacak benih dengan mudah, mereka pasti kebetulan mendengar keberadaan benih itu.
Jadi sebenarnya aku sangat memahami kenapa Kruz begitu ingin berburu secepatnya. Keberadaan kelompok lain itu bisa cukup merepotkan. Aku hanya berharap tidak ada kekacauan dalam perburuan kali ini.
Saat itu di Singapura terjadi kekacauan cukup parah. Informasi tentang benih tersebar di antara kelompok-kelompok terjatuh dan itu akibat para terkutuk sialan itu! Selain merusak benih, mereka juga suka melihat kami para terjatuh terpecah belah, melawan satu sama lain. Dan itu yang sangat ingin kuhindari kali ini.
Harum tubuh Mikaela sampai pada ke penciumanku. Saat aku menoleh ke arahnya yang sedang duduk di bar bersama seorang laki-laki, aku tidak melihat benih itu bersamanya.
Sebenarnya aku tidak sedang mengikuti benih itu. Yang tadi aku katakan pada Kruz memang benar, aku memang tidak ingin ada perburuan hari ini. Melihat benih utuh tidak membangkitkan keinginanku akan benih seperti sebelumnya, malahan mengingatkanku tentang apa yang terjadi di Singapura. Jadi aku hanya ingin keluar dari tempat ini atau lebih tepatnya, aku ingin keluar dari neraka ini. Aku sangat lelah dengan semua ini. Memang benar, penyesalan selalu datang terlambat.
Langkahku terhenti.
Disana. Benih itu ada disana.
Gadis itu berada di ujung lorong sepi yang mengarah ke tempat lain dan dia tampak sedang mengobrol dengan seorang pria paruh baya. Aku tidak bisa melihat wajah gadis itu karena gadis itu membelakangiku, sedangkan pria paruh baya itu sedang berbicara dan tertawa.
Sial!
Hanya beberapa menit saja benih itu sudah mulai terkontaminasi.
Di sini suara musik sudah tidak terlalu menggelegar hingga cukup membuat keletak sepatuku terdengar cukup nyaring. Namun itu saja tidak cukup memisahkan kedua manusia itu hingga aku sampai di belakang gadis itu dan menarik bahunya.
Suara kisapannya cukup lantang. Saat gadis itu berbalik dan melihatku, kedua matanya membulat saat melihat akulah yang menariknya. Akhirnya aku bisa melihat wajahnya dengan jelas di bawah sinar lampu yang lebih terang. Namun bukan kelembutan wajahnya yang membuatku tertegun, tetapi rasa tubuhnya yang berada di bawah telapak tanganku. Walaupun ada sehelai kain yang memisahkan antara tanganku dan kulitnya, aku bisa merasakan denyut hangat dari benih itu terasa merembes dari telapak tanganku dan mengalir ke seluruh tubuhku. Rasanya kehangatan mulai bersemayam di dadaku. Hangat dan nyaman.
Aku hampir kehilangan akal kalau tidak kembali menyadari ada dua manusia yang sedang menatapku keheranan. Rasa muak di dalam dadaku kembali berkobar.
“Apa yang kamu lakukan!” Itu bukan pertanyaan. Selantang ucapanku yang menggema, itu adalah tuduhan.
Mulut gadis itu terbuka dan tertutup, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya terpaku di tempat, dan kedua matanya berkilat kebingungan dan ketakutan. Pria yang berada di belakang gadis itu berdeham. “Mmm… Lain kali kita bicara lagi.” Sayangnya pria itulah yang sanggup menyadarkan gadis itu, bukan aku, dan untuk itulah aku ingin membungkam pria itu selamanya. Namun saat aku melihat pria itu ketulusan lah yang terpancar dari kedua matanya, bukan tatapan yang aku curigai sebelumnya.
Masih di dalam cengkramanku, gadis itu berusaha menghadap pada pria itu, namun aku tidak membiarkannya bergerak lebih jauh. “Tapi pembicaraan kita belum selesai.” Ujarnya terdengar kecewa.
“Sudah selesai sekarang.” Jawabku. Tanpa menunggu apapun, aku menarik gadis itu bersamaku.
“Aw! Sakit!” Gadis itu berusaha menyingkir dariku, namun cengkramanku pada bahunya tidak mengendur sedikit pun.
Aku bisa merasakan hangat nafasnya saat gadis itu melihat cengkramanku di bahunya. Jemarinya yang dingin mengusap tanganku dengan lembut sebelum mulai menarik jari kelingkingku ke arah berlawanan. Rasa sakit mulai terasa, namun sebuah senyum terulas di bibirku.
Gadis ini pintar. Siapa tadi namanya? Amy?
Sebelum melepaskannya aku menyentaknya dan membuatnya menghadapku sepenuhnya. Kedua mata kami bertemu dan beberapa detik berlalu begitu saja. Aku tahu dengan pasti di dalam sana benih itu berdengung rendah, dan dengungan rendah itu mulai membuat apa yang tersembunyi di dalam benakku bergolak. Seperti bara yang mulai menyala, saat aku pikir sudah padam.
“Beritahu aku, apa yang bisa kamu dapatkan dari pria tua seperti tadi, Amy?”
Gadis itu mengerutkan dahinya. “Apa urusannya denganmu?”
“Apa Mikaela mengajarkannya padamu?” Tanyaku alih-alih menjawabnya. Namun memang iblis bisa menggunakan siapa saja untuk merusak sebuah benih, termasuk sahabat atau keluarga sendiri.
“Apa?” Tanya gadis itu semakin bingung, namun kedua matanya semakin berkobar dengan kekesalan yang terlukis jelas. “Aku tidak tertarik mengkonsumsi sesuatu yang haram! Begitu juga, Mikaela! Jangan bertransaksi apapun lagi dengannya!”
“Aku tidak membicarakan temanmu.” Tepisku. “Aku tidak peduli padanya.”
“Lalu kenapa kamu di sini?” Tanyanya sambil menunjukku. “Kalau kamu ingin menawarkan barangmu padaku, maka itu tidak akan terjadi!”
Amy berputar pada kakinya dan mulai melangkah melewatiku. “Lalu apa yang kamu tawarkan pada pria tadi?” Tanyaku pada Amy yang masih berjalan.
“CVku tentu saja!” Teriak gadis itu tetap berjalan menjauh. Dia membuka pintu keluar dan membiarkannya berdebam keras di belakangnya.
Tawa kecil terlepas dari bibirku. Aku tahu ini salah, tidak seharusnya aku berbicara padanya, apalagi besok kelompokku akan mulai memburunya. Namun tentu saja aku tidak bisa berdiam diri kalau ada seseorang atau sesuatu yang hendak merusak benih itu. Karena itu aku memutar kakiku dan mengikuti langkah-langkah Amy
“Jadi tadi kamu mau beli apa sih, Mik?” Tanyaku pada Mikaela yang masih berkutat di meja riasnya. Lampu-lampu berderet yang menempel di kaca membuat mataku silau. Tapi entah kenapa Mikaela bisa betah berjam-jam di bawah sorot lampu itu sambil menuangkan botol demi botol perawatan wajah yang sudah tidak bisa kuhitung lagi jumlahnya. “Kamu belum cerita apa-apa.” Ulangku untuk mengingatkannya pada transaksi mencurigakan tadi.
Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi, dan sekitar empat jam lagi aku sudah harus berada di minimarket tempatku bekerja. Aku sudah sampai di rumah Mikaela sekitar satu jam yang lalu dan saat kedua mataku hendak tertutup, Mikaela akhirnya pulang dan mencerocos tanpa henti tentang pria baru yang tadi dia temui bar.
Mikaela mengerang kesal. “Kamu itu kenapa sih selalu mengalihkan percakapan!” Ujarnya lalu memutar duduknya untuk menatapku yang sedang berbaring di tempat tidurnya. “Lagian kamu ini kenapa sih? Ngeselin banget, aku di tinggal sendiri!”
Aku menarik nafas panjang. Seharusnya yang bilang seperti itu aku, bukan Mikaela. Sebelum aku terseret ke bilik gelap, aku sudah bilang berkali-kali pada Mikaela kalau aku mau pulang karena aku lelah sekali sudah mengambil dua sif. Namun setelah keluar dari bilik itu pun, Mikaela masih memintaku untuk menemaninya minum. Lalu seperti biasa dia berkenalan dengan seorang pria dan malah mengabaikanku.
“Aku sudah bilang kalau aku mau pulang, Mik.” Aku menunjuk jam di dinding. “Beberapa jam lagi aku harus bekerja.”
Kalau Mikaela tidak merajukku selama sebulan yang lalu untuk ikut pesta di klub tadi, aku tidak akan pernah keluar malam hanya untuk merasakan kepala berat keesokan paginya karena kurang tidur.
“Cuti sajalah.” Mikaela mengibaskan tangannya dengan santai.
Aku melotot kesal padanya. “Ya, sudah aku mau tidur!” Ujarku seraya memunggunginya dan menutupkan selimut hingga kekepala menandakan aku sudah tidak ingin membicarakan apapun lagi, namun sayangnya itu tidak berarti apa-apa untuk Mikaela.
“Aku hanya ingin bertemu Papaku lagi.”
Mikaela benar-benar tahu cara untuk menarikku ke dalam percakapan lagi dan aku benci gadis itu karenanya. Tapi tetap saja aku menyibakkan selimut untuk kembali menatapnya.
“Mik, Papamu-”
“Mati.” Selanya dengan kasar. “Aku tahu. Karena itulah aku menemui si rahasia itu.”
“Si rahasia?” Tanyaku bingung.
Wajah Mikaela tampak bersinar dengan sebuah harapan yang terasa baru. “Aku tahu kalau aku nggak boleh memberitahu siapapun. Tapi aku percaya kalau kamu nggak besar mulut.”
Yeah, tidak sepertimu kan?
“Si rahasia tadi menjual sebuah bulu yang bisa menunjukkan apa yang kamu inginkan. Ya, memang nggak bisa membangkitkan orang mati sih, tapi aku bisa bertemu Papaku, Em! Sebenarnya aku sudah pernah membeli bulu itu, awalnya aku pikir itu bohongan, tapi ternyata itu benar, Em! Aku bertemu dengan Papa! Tapi sayang itu hanya berlangsung selama dua puluh menit saja.”
Mungkin memang pada dasarnya aku ini tidak banyak bicara, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Biasanya Mikaela lah yang selalu mengolokku karena aku suka membaca buku-buku fiksi. Dia pernah berkata kalau otakku bisa rusak karena membaca kebohongan-kebohongan seperti itu. Tapi kini nyatanya otaknya lah yang rusak.
“Em! Kamu dengar nggak sih?” Mikaela menyentakkan kakinya dengan kesal. “Pokoknya itu yang ingin aku beli lagi. Bulu!”
Aku mendorong tubuhku untuk duduk. Aku sudah merasakan kepalaku semakin pusing. “Mik?” Panggilku perlahan. “Kamu mabuk atau aku yang sedang bermimpi?”
Kebiasaan Mikaela kalau mabuk itu cukup menyebalkan, dia akan mencerocos tanpa henti, lalu mengulanginya lagi hingga ribuan kali. Hanya di sela oleh muntah, menangis, pingsan sejenak lalu kembali sadar dan mencerocos dari awal lagi. Sungguh, kalau hal itu terjadi malam ini, aku rasa kepalaku sudah tidak kuat dan hiliranku yang akan pingsan.
Mikaela mengerang kesal dan melemparkan kedua tangannya ke atas dengan gaya frustasi. “Kamu nggak mendengarkan aku lagi kan? Selalu saja seperti itu!” Mikaela beranjak dan memukul saklar lampu dengan keras. “Sudah tidur saja! Malas bicara denganmu!”
“Mika.” Panggilku. Namun Mikaela tetap berjalan ke sisi tempat tidur yang lain dan beranjak naik. “Mik, aku nggak paham kamu bilang apa.” Lanjutku pada Mikaela yang kini memunggungiku. “Mika!”
Aku menunggu detik demi detik dengan sabar karena aku yakin Mikaela yang cerewet tidak akan bisa diam barang sejenak pun. Namun ternyata tak lama yang aku dengar hanyalah dengkurannya.
Oke, jadi dia memang mabuk.
***
Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang, sedangkan jam istirahatku jam dua siang. Entah kenapa jam bergerak sangat lambat. Terlebih lagi karena agak sepi pengunjung, aku tidak bisa mengalihkan pikiranku dengan baik. Berkali-kali aku menguap dan memijit pelipisku. Kepalaku masih sangat sakit, walau aku sudah minum obat sakit kepala.
Selain itu masih ada dua belas jam lagi aku baru bisa merebahkan tubuhku di atas kasur. Hari ini aku masih mengambil dobel sif, yang akan berakhir bulan ini.
Aku menghela nafas panjang dan sebisa mungkin menggerak-gerakkan badanku di bilik kasir yang sempit ini. Tadi pagi aku sudah berlama-lama mengisi stok barang dan menata barang-barang agar aku bisa bergerak leluasa, melupakan rasa kantuk yang menggangguku. Tapi kini bagiku, berjaga di kasir yang kosong lebih terasa menyiksa.
“Sin.” Panggilku pada kolegaku yang sedang menata kotak-kotak rokok di rak belakang kasir. “Bisa tolong gantikan sebentar?”
“Mau ke toilet lagi?” Tanya Sindu tanpa menoleh padaku.
Aku mengiyakan dan mengangguk. Sudah ada sekitar lima kali aku ijin ke toilet hanya untuk menyegarkan kepalaku. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi.
“Ya udah sana cepat. Masih banyak stok yang harus aku urus.” Ujarnya masih berkutat dengan kotak-kotak kecil itu.
Tanpa menunda-nunda aku melangkah keluar dari kotak kasir dan berjalan menuju arah pintu belakang. Entah bagaimana berjalan keluar dari kotak kasir serasa cukup menyegarkan. Rasa berat masih ada, namun rasa kantukku perlahan memudar.
Aku tidak masuk ke bilik toilet, aku hanya menghampiri wastafel dan membasahi tanganku lalu menempelkannya pada kedua mataku.
“Bertahanlah!” Gumamku pada diriku sendiri.
Sejenak aku mengibas-ibaskan kedua tanganku dan memutar-mutar kepalaku seolah aku sedang melakukan pemanasan sebelum berolahraga. Setelah aku merasa cukup, aku berjalan keluar. Rupanya ada seorang pelanggan yang berjalan menghampiri kasir. Cepat-cepat aku berlari kecil menuju bilik kasir dan menyapa ramah wanita tua yang sudah menyodorkan beberapa botol minuman dan makanan kecil.
“Ini saja, Bu?” Tanyaku ramah dan wanita itu mengangguk sambil tersenyum. “Totalnya tujuh puluh lima ribu.”
Setelah membungkus dan memberikan uang kembalian pada wanita itu, wanita itu mengeluarkan satu botol minuman yang dibelinya tadi. “Untukmu.”
Aku menunduk dan melihat botol minuman yang ternyata berisikan minuman kopi. “Ah? Buat saya?” Tanyaku dan wanita itu mengangguk. “Wah, tidak perlu repot-repot, Bu.” Ujarku mendorong kembali botol itu padanya.
Wanita itu tersenyum dan mengibaskan tangannya lalu pergi begitu saja walau aku sudah memanggilnya.
“Sudah terima saja.” Ujar Sindu yang masih menghadap rak rokok.
Sebenarnya berapa kotak rokok sih yang dia stok?
Aku kembali mengambil botol minuman yang masih dingin itu dan terkisap. “Aku belum bilang terimakasih!”
“Nggak apa, dia pasti tahu.” Kata Sindu seolah dia lah wanita tua tadi. “Eh? Lho kok nggak diminum?” Kali ini Sindu menoleh menatapku yang sedang menyimpan botol minuman itu di bawah meja kasir.
“Masih belum jam istirahat.”
Sindu berdecak. “Kamu ini terlalu taat, tahu nggak?”
Aku hanya tersenyum dan menyapa pelanggan baru yang datang. Belum saja aku meminum kopinya rasa kantukku sudah agak berkurang. Dan untunglah kali ini waktu berbaik hati padaku, jam makan siang datang lebih cepat. Setelah menyerahkan tugas kasir pada rekan kerjaku, aku langsung beranjak ke ruang belakang untuk makan.
Tadi pagi aku menyempatkan diri membuat nasi goreng ala kadarnya sebelum berangkat kerja. Di rumah Mikaela yang begitu besar dan mewah tidak ada bahan makanan sedikit pun. Nasi pun tidak ada, jadi aku harus memasak beras cepat-cepat menggunakan air panas. Bumbu nasi goreng pun hanya garam, gula dan kecap tanpa bawang, cabai, bahkan bumbu kaldu pun tidak ada. Sebenarnya aku bisa beli lauk tak jauh dari tempatku bekerja, hanya saja di jam-jam segini warung itu ramai. Sedangkan aku ingin cepat menyelesaikan makanku dan mengistirahatkan mataku barang dua puluh menit saja.
Setelah menandaskan bekal dan kopi yang tadi di berikan wanita baik itu, aku memasang timer di ponselku selama dua puluh menit lalu bersandar di dinding dan memejamkan kedua mataku. Namun aku cepat-cepat kembali membuka kedua mataku dan menatap sekeliling. Tadi saat menutup kedua mataku rasanya aku melihat suatu bayangan, kupikir ada rekan kerjaku yang lain yang juga sedang istirahat. Namun ternyata aku masih sendirian di ruang luas yang berisikan bertumpuk-tumpuk kardus.
Aku menghela nafas panjang dan meyakinkan diriku kalau aku hanya kurang tidur. Kembali aku menutup kedua mataku dan memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!