Senin pagi, pukul 06.04.
“Gema, kamu sudah bangun belum?” tanya seorang wanita berusia 29 tahun, mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu mewah dengan penuh kesabaran.
Di balik pintu, terdengar gumaman malas. “Hm,” jawab Gema, suara itu tersimpan dalam balutan selimut abu-abu yang membungkus tubuhnya yang besar. Dia jelas enggan melepaskan diri dari kenyamanan hangat yang menggodanya.
“Gema! Bangun sayang, udah siang, nanti kamu telat,” ucap wanita bernama Anita tersebut. Tidak ada respon dari dalam, sehingga Anita kembali mengetuk pintu.
“Gema bangun sayang, kalau dalam lima menit gak keluar dari kamar, Mami suruh Om Dean buat blokir kartu kredit kamu,” ancam Anita dengan nada tinggi agar didengar, wajahnya tetap sabar menghadapi kemalasan anaknya.
“Iyaaa,” sahut Gema sembari duduk di tepi ranjangnya yang berukuran king size itu.
“Kalau udah selesai mandi langsung turun, Mami tunggu,” ucap Anita sebelum meninggalkan kamar Gema dan menuruni tangga megah rumahnya.
Gema bangkit dari ranjangnya menuju kamar mandi setelah duduk beberapa menit untuk mengumpulkan nyawanya.
....
06.15
“Pagi Mami!” sapa Gema dengan hangat.
Ia mencium pipi Maminya sembari duduk di meja makan. Anita memberinya dua roti dan segelas susu. Gema memakan roti tersebut sambil memainkan ponselnya, memastikan apakah ada pesan yang belum sempat dia lihat.
“Loh, Om Dean kemana, Mi?” tanya Gema sembari menatap kursi di ujung meja yang biasanya ditempati pamannya.
“Mas Dean ada urusan di Italia, katanya bisnisnya ada yang ganggu, palingan minggu depan pulang,” jawab Anita sembari memakan roti tawar selai kacang.
Gema lanjut scrolling layarnya, terpampang pesan-pesan dari kenalannya. Ia melihat sebuah pesan dari sahabatnya, Tara.
Gema tampak bahagia, “Saatnya ambil kesempatan!” batin Gema dengan bersemangat.
“Mi,” panggil Gema, Anita menengok.
“Gema boleh bawa mobil gak?” ucap Gema dengan memohon.
“Gak,” tolak Anita.
“Ah elah, Mi, Mami sama Om Dean kan udah janji kalau Gema udah kelas sebelas boleh punya mobil. Gema malu sama temen-temen Gema, masa Gema nebeng sama Tara, entar Gema dikira miskin,” rengek Gema.
Ya, beginilah sifat Gema ketika di rumah, sifat manja yang hanya ia tampakkan kepada Mami dan pamannya.
“Siapa yang bilang miskin?”
“Temen-temen Gema,” jawab Gema, ia cemberut.
Anita menghela napas, “Yaudah iya, kamu boleh bawa mobil ke sekolah,”
Anita bangkit dari kursinya dan berjalan menuju meja TV di ruang tamu. Ia membuka laci di bawah meja tersebut, terlihat berbagai macam kunci mobil tersusun rapi. Anita mengambil salah satu kunci dengan warna dominan hitam dan logo BMW berwarna putih dan biru di tengahnya. Kunci itu terasa dingin di tangannya.
“Nih,” Anita memberikan kunci tersebut.
Gema tampak bahagia, ia buru-buru mengambil kunci itu, “Makasih Mi!”
Anita menyembunyikan kunci itu ke punggung rampingnya, tampak bimbang.
“Gak jadi deh,” ucap Anita sembari memasukkan kunci itu ke dalam saku celana tidurnya.
“Kenapa Mi?” Gema tampak sedih kembali.
“Masa Mami kasih mobil tapi kamu gak bisa nyetir? Udah, nebeng Tara aja dulu,” titah Anita.
“Bahaya juga, kalau kamu maksa, kamu bisa ditilang polisi, kan kamu belum punya SIM,” ucap Anita memberi alasan.
“Loh? Aku bisa nyetir kok,” ucap Gema meyakinkan Anita.
“Emang kapan kamu belajarnya?”
“Pas bo-” Gema langsung menutup mulutnya.
Anita tampak kesal.
“Oh jadi kamu sering bolos?! Awas aja, Mami bilangin Om Dean baru tau rasa kamu,” Anita meninggikan suaranya.
“Aduh, bukan gitu, Mi. Maksud aku, aku belajarnya pas baru pulang sekolah. Lagian jalan ke sekolah gak ada polisi,” Gema nampak panik, ia sangat takut jika Maminya itu meninggikan nadanya.
Anita berpikir sejenak. “Aku janji deh, aku nggak akan buat masalah lagi. Aku juga gak bakal kebut-kebutan di jalan,” Gema memberikan tatapan memelas.
Bukan hanya untuk menjemput Raisa, Gema juga tidak enak pada Tara. Sudah dua tahun Gema menjadikan sahabatnya itu sebagai sopirnya untuk kemana-mana, meskipun Tara tidak mempersalahkan.
“Yaudah nih, tapi ingat! Kalau kamu buat masalah atau kebut-kebutan, Mami tarik mobil dan kartu kredit kamu,” Anita akhirnya memberikan kunci itu.
Wajah Gema kembali bahagia, ia mencium pipi Maminya sembari mengambil kunci.
“I love you, Mi!”
“I love you too, sayang,”
Gema salim ke Anita, “Assalamualaikum!”
Gema berjalan meninggalkan Anita dengan bahagia.
“Walaikumsalam,” ucap Anita lirih.
“Gua jadi inget Bara kalau ngeliat Gema,” Anita tersenyum manis.
Sementara itu, Gema sudah berada di halaman rumah, terparkir mobil BMW 330i warna hitam.
Gema memasuki mobil itu di tempat pengemudi.
“Kak Raisa tunggu di rumah cantik!” Gema menancap gas.
Senyuman Gema semakin mengembang mengingat ia bisa menjemput Raisa. Betapa beruntungnya ia bisa bersahabat dengan Diwantara Putra Jayawardhana atau kerap di sapa Tara, orang yang sering mentraktirnya.
Dan lebih beruntungnya lagi, Tara adalah pacar Andra Putri Anggraini, yang notabenenya sahabat dari Raisa Navasya, senior yang sudah lama Gema cintai.
Dari semua siswi-siswi di SMA Gajah Mada, hanya Raisa yang menggetarkan hati seorang Gema Tangkas Merapi.
Flashback satu tahun lalu
Di sebuah kantin yang ramai, Gema melangkah dengan penuh percaya diri. Suasana menjadi sunyi sejenak ketika para siswi menoleh ke arah Gema dengan tatapan penuh kekaguman.
"Eh, itu Gema," ucap Indah dengan nada terkejut, menoleh ke teman-temannya yang juga mulai mengamati.
"Ngapain dia?" tanya Raisa sambil melanjutkan suapannya, tampak tak tertarik.
"Biasalah, cari perhatian," jawab Gita dengan nada kesal, wanita berkulit hitam manis merasa terganggu oleh kehadiran Gema.
Gema tiba di meja Raisa dan teman-temannya, menatap Raisa dengan tatapan serius namun tetap dengan senyuman di wajahnya. Ia meletakkan sepotong kue di meja Raisa dengan gerakan hati-hati.
“Hai Kak Raisa,” sapanya dengan penuh percaya diri. “Ini, buat kakak. Selama ini gua suka sama lu. Lu mau nggak jadi pacar gua?”
Raisa tampak terkejut, mulutnya terbuka sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil, “Makasih, tapi aku gak mau jadi pacar kamu.”
Di meja, para sahabat Raisa mulai berbicara dalam bisik-bisik penuh empati dan cemoohan.
"Kasian banget lu, Gem!"
"Tetep berjuang, Gem!"
“Cinta ditolak, dukun bertindak!”
Gema mengangguk dengan tenang, berusaha menahan diri untuk tidak merespon teriakan para sahabatnya. Ia mendekatkan wajahnya dengan percaya diri, “Gak ada kata gak mau, Kakak cantik.”
Raisa menghela napas lelah, merasa frustrasi dengan ketekunan Gema. Ini sudah sebulan penuh Gema menggangu dan menggombal kepadanya tanpa henti.
Dengan kesal, Raisa berdiri sambil memegangi segelas es jeruk. Ia menatap Gema dengan tajam, “Kalau kamu gak mau denger, ya sudah, lupain aku aja!”
Gema tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Raisa dan ketiga temannya yang menjauh. Dia hanya bisa diam, pikirannya berkecamuk. “Mungkin lu sekarang bilang gak mau, Kak. Tapi masa depan belum tentu sama,” gumamnya dalam hati, penuh harapan dan tekad.
..........
Flashback off.
Mobil Gema berhenti di titik rumah Raisa, terlihat sebuah rumah besar bernuansa modern.
Ia keluar, merapikan rambutnya serta memasukkan seragamnya ke dalam celana abu-abunya.
Tok! Tok!
Gema mengetuk pagar rumah itu, “Permisi! Kak Raisa!” panggil Gema .
Tak lama keluar seorang pria paruh baya, bertubuh gempal dengan jenggot berantakan mengenakan baju sekuriti.
“Kenapa mas?” tanyanya .
“Kak Raisa ada nggak pak?”
“Oh gak ada mas, baru aja tadi jemput cowok,” ucap security dengan nametag 'Joko Prakoso'
Seketika Gema tampak bingung, “Dia pake baju sekolah saya nggak pak? Atau wajahnya kayak gimana?” tanya Gema memastikan apakah yang menjemput Raisa seseorang yang ia kenal.
“Waduh kalo wajah sih saya nggak liat, karena dia dateng pake helm full face, sama jaket kulit hitam gitu daleman seragam,” jelas pak Joko.
“Masa Rafi sih? Ah ntar gua tanya kak Raisa deh,” batin Gema.
“Ada yang mau di tanyain lagi mas? Dan mas siapanya non Raisa ya?”
“Saya adek kelasnya kak Raisa pak. Gak ada yang saya mau tanya lagi sih pak, saya izin pamit dulu ya pak,” Gema berjalan memasuki mobilnya.
Ia menurunkan kaca, “Assalamualaikum pak,”
Gema menjalankan mobilnya.
“Walaikumsalam mas,”
..........
Kini Gema sudah sampai di sekolah, sekolah yang terbilang cukup elit. Setelah memarkirkan mobilnya, ia keluar sembari menggantungkan tas di bahu kirinya dan memakai topi sekolah.
Terlihat siswa-siswi sudah ada di lapangan dan siap melakukan upacara, Gema berlari dengan tergesa-gesa agar ia tidak hukum dan Anita menarik mobil barunya.
Setelah dekat lapangan, Gema menaruh tas ransel hitamnya ke bawah pohon rindang yang dekat dengan lapangan.
“Weh, baru dateng lu,” ucap temannya, Kian, ia mengajak tos dan disambut Gema.
“Si Tara mana?” tanya Gema yang bingung karena tidak melihat sahabatnya itu.
“Biasa, lu kayak nggak tau Tara aja, kan prinsip dia 'Selagi belom upacara mulai, nikmatin dengan main game,' dia sekarang lagi dikantin,” kini Dava ikut nimbrung, siswa bertubuh tegap dan berkulit kuning langsat itu tampak sedih.
“Kenapa lu Dav? Lu ditolak?” tanya Gema dengan wajah heran, tak biasanya sahabatnya itu terlihat sedih.
Dava merangkul Gema, dan mengarahkannya ke sebuah arah. Terlihat pujaan hati Gema, Raisa sedang asyik ngobrol dengan seorang pria. Pria jangkung berkulit putih.
“Kenapa? Palingan temennya,” ucap Gema berpikir positif.
“Nggak, itu pacarnya. Namanya Adam, orang bule. Adam sendiri yang konfirmasi tadi, mereka mesra-mesraan sebelum lu dateng,” ucap Dava dan Kian secara bersamaan.
Seketika hati Gema terasa hancur, aura keceriaan yang terpancar berubah menjadi kelam.
Terasa sesak di dada Gema, dunia terasa menjengkelkan. Ia ingin menangis, tapi ia tidak bisa, menangis di depan publik akan merusak citranya yang anak ceria.
.............
Raisa Navasya
Gema Tangkas Merapi
Raisa Navasya, wanita dengan seragam dan perlengkapan sekolah lengkap berjalan di lorong kelas 12 yang ramai.
Mereka berbondong-bondong jalan ke kelas setelah upacara bendera. Raisa sudah ada di depan pintu kelas, “Raisa!” ia berbalik badan, melihat teman-temannya menghampirinya.
“Ra! Lu beneran pacaran sama Adam?!” tanya Andra dengan semangat.
“Baru, kok lu tau?” bingung Raisa.
“Ya gimana gak tau Ra, si Adam pamer kalo dia berhasil dapetin lu, sebelom lu turun,” jelas Indah, wanita chindo berkulit putih, dan rambut panjangnya terurai sampai sepunggung.
“Kok lu gak bilang sih?!” Indah nampak heboh.
“Ini baru mau bilang ke kalian,” jawab Raisa dengan datar.
“Ciee, ciee udah punya pacar,” goda Indah.
“Alhamdulilah ya Allah, akhirnya sahabat hamba punya pacar dan gak bisa di godain lagi si buaya Gema,” ucap Gita bersyukur.
“Apasih kalian, heboh bener!” kesal Raisa. Pipi putih nan lembut itu mengembung.
“Yailah Ra, jangan ngambek dong. Gua bilangin Adam nih,” goda Indah kembali.
“Lah kasian dong si Gema,” celetuk Andra, wanita separuh bule itu memasang wajah polos ketika sahabat-sahabatnya melirik ke arahnya.
“Biarin aja, si Gema kan playboy. Palingan dia udah dapet cewek baru pas denger berita ini,” ucap Indah dengan santai
“Tapikan Gema cuman nyatain cintanya ke Raisa doang, dan ke cewek lain dia cuman gombal doang,” bela Andra
“Itu namanya playboy Andra!” ucap Indah dan Gita yang kesal atas kepolosan Andra.
Meskipun penampilan Andra yang tomboy, ia memiliki sifat polos yang mudah untuk dibodohi.
Indah dan Gita sibuk mengocehi kepolosan Andra serta menjelaskan apa arti playboy. Sedangkan Raisa? Ia hanya diam memikirkan celetukan Andra.
..............
Kegiatan belajar sudah selesai. Otomatis para guru bilang waktunya istirahat, seketika para murid berhamburan keluar kelas menuju kantin untuk mengisi perut mereka yang kosong, sekaligus mengistirahatkan otak mereka yang lelah akibat memikirkan banyak materi.
Begitu juga dengan Gema, ia kini juga berada di kantin, tentu bersama ketiga sahabatnya, yaitu Kian, Dava dan Tara. Mereka duduk santai sembari menyantap bakso kesukaan mereka, bakso mang Udin.
“Jadi, lu beneran dibolehin bawa mobil?” tanya Kian memulai percakapan disela kegiatan makan bersama.
Gema hanya mengangguk sambil memaksa makanan miliknya.
“Ngomong napa Gem, dari upacara sampe istirahat mingkem Mulu kayak DPR yang diminta tanggung jawab,” Dava melirik ke Gema, memang sejak mengetahui Raisa memiliki pacar sampai kini Gema masih menutup mulutnya.
“Eh bangsat, gua lagi makan. Kalo gua ngomong sambil makan, gua bisa makan bareng sama malaikat Izrail,” ucap Gema yang kesal sekaligus setengah bercanda.
Seketika kedua sahabatnya langsung tertawa terbahak-bahak, “Bener juga. Tapi lu nggak dapet larangan apa?” tanya Dava.
“Ada lah, gua gak boleh kena masalah dan kena lapor sama Bu Imah atau kepsek, bisa diambil lagi mobil gua, makanya tadi gua buru-buru,” jelas Gema.
“Lah kenapa buru-buru? Kan sahabat kita anaknya Bu kepsek,” Kian merangkul Tara yang sedang asik makan tepat di sampingnya.
“Lu gila apa gimana sih? Walaupun gua anaknya kepsek, gua telat ato bolos, bisa di gantung idup-idup sama Mak gua,” Tara kini membuka mulutnya.
“Bener juga,” ucap Dava.
“Lu dari tadi bener juga, bener juga. Emang di otak lu gak mikir apa?” ledek Gema
Seketika mereka tertawa mendengar ejekan Gema kecuali Tara.
“Untunglah lu nggak jadi dingin kayak si Tara Gem,” celetuk Kian.
“Gua lagi yang dibawa-bawa,” sahut Tara dengan dingin.
“Ya elah Tar. Makanya jangan dingin-dingin banget napa? Heran gua, kok bisa hubungan lu sama Andra bisa langgeng dari masa kita SMP kelas dua,” heran Dava.
Pasalnya, tak hanya dingin kepada teman-temannya, Tara juga terlihat dingin dengan Andra yang notabenenya adalah pacarnya.
“Ya langgeng lah Dav, lu kan tau sahabat kita yang pinternya ngelebihin Einstein. Jadi, kalo si Andra nanya sesuatu hal polos, Tara langsung ada jawabannya,” sahut Kian.
“Terserah lu berdua dah, gua bilangin Mak gua tentang kelakuan lu berdua baru tau rasa,” ancam Tara.
“Yaelah maaf Tar, kalo bapak gua tau, bisa abis gua di sambet gesper bapak gua,” mohon Kian.
“Bener tuh, lu nggak kasian sama dua sahabat lu yang gantengnya melebihi Ryan Reynolds ini,” ucap Dava dengan wajah memelas.
Sementara Tara? Ia hanya mendengus kesal sembari melanjutkan membaca komik digital yang sempat tertunda.
Gema kembali tersenyum hangat, melihat tingkah laku ketiga sahabatnya itu. Meski terlihat sering bertengkar, mereka sudah bersama sejak TK, dan terus bersama meskipun salah satu mereka sedang terpuruk.
Seketika senyuman hangat Gema memudar ketika melihat dua insan manusia berbeda kelamin sedang bermesraan. Siapa lagi kalau bukan Adam dan Raisa, mereka bermesraan di meja yang terpaut satu meja darinya.
Tangan Gema mencengkeram botol air mineral kuat-kuat hingga air didalamnya membasahi lantai. Hatinya terasa seperti dihimpit batu besar, melihat Raisa dan Adam tertawa bersama.
Sadar akan perubahan sifat Gema, Tara, Kian dan Dava langsung menoleh ke arah yang di tatap Gema.
Adam dan Raisa. Mereka tampak asyik berbincang. Tangan kiri Adam memegangi mangkuk yang mungkin berisi mie ayam, sedangkan tangan kanannya di gandeng oleh Raisa.
Gema hanya bisa menatap tajam, rahangnya mengeras. Menandakan kalau ia sedang cemburu.
Tara dan Kian hanya bisa diam, mereka bingung harus melakukan apa, apapun yang mereka lakukan tak merubah fakta bahwa Raisa sudah memiliki pacar.
Sadar bahwa hanya diam tidak baik, Dava meninggalkan mereka. Tak lama ia datang dengan sebuah pel.
Ia mengelap air yang menggenangi lantai dibawah Gema, setelah selesai. Dava mendekatkan mulutnya ke telinga Gema.
“Tenang bro, selama wali belum bilang sah dan hajatan belom digelar. Kesempatan masih tetap ada, santai aja, yang penting semangat!” bisik Dava menyemangati Gema.
Senyuman Gema kembali muncul. “Thanks bro!” Gema bangkit dari tempatnya.
“Eh, ini sekalian taro dong,” pinta Dava sembari memberikan pel an.
Gema menyambutnya. “Dimana?” tanya Gema.
“Di gudang,” Gema mengangguk ia memberikan uang berwarna hijau, ia berjalan meninggalkan kantin. Tangannya masih terus mengepal.
Ingin sekali Gema menghajar Adam dengan membabi-buta.
“Lu bisikin apaan ke Gema Dav?” tanya Kian penasaran.
“Udah gak usah nanya mulu lu kayak reporter, lebih baik kita abisin bakso, terus bayar dan susul sahabat kita,”
mereka melanjutkan makannya.
..................
“Maaf ya Ra, nanti aku gak bisa nganterin kamu pulang. Ada acara keluarga soalnya, dan kemungkinan aku gak bisa bales chat sampe malem karena itu acaranya selesai jam dua belas,” jelas Adam kepada kekasihnya, Raisa.
Mereka berdiri dikelas XII MIPA 4, kelas Raisa, karena kini istirahat sudah berakhir.
“Iya nggak apa-apa kok, palingan aku sama taksi atau nebeng Indah,” Raisa tersenyum manis.
Adam mengusap pelan rambut Raisa,
“Aku pengen banget deh anter kamu pulang,” ucap Adam dengan wajah menyesal.
“Udah gak apa-apa kok,” Raisa sembari mengacak-acak rambut Adam.
“Beneran gak apa-apa? Ntar kamu diapa-apain gimana?” Adam tampak sangat khawatir.
Raisa memegang kedua pipi Adam, “Gak apa-apa sayang. Aku udah biasa naik taksi kok kalo mobil aku rusak,” ucap Raisa berusaha menepis pikiran buruk di otak kekasihnya.
Tara sudah lama tahu perasaan Gema terhadap Raisa, dan meskipun ia adalah sahabat baik Gema, ia juga menghormati pilihan Raisa.
“Balik sana,” titah Raisa. “Aku nggak mau kamu di hukum pak Maul karena aku,” lanjut Raisa.
Raisa merapikan seragam Adam yang tidak rapi.
“Ciee mulai perhatian,” goda Adam sembari mengacak-acak rambut Raisa.
“Ish Adam! Rambut aku jangan di berantakin ih, ntar rusak gimana,”
Adam tertawa sembari merapikan rambut Raisa, “Udah aku rapiin, kamu masuk duluan sana,” titah Adam.
Raisa mengangguk pelan dan berjalan memasuki kelasnya.
“Raisa,” panggil Adam, otomatis Raisa balik badan.
“Aku sayang kamu,”
“Apasih kamu, alay banget,” Raisa kembali berjalan memasuki kelasnya yang sudah ramai.
Meskipun dari ucapan seperti tak suka, sebenarnya Raisa sangat menyukainya.
...
“Menyendiri mulu lu Gem, biasanya ikut nimbrung, napa sih lu?” tanya Kian.
Gema hanya diam tidak menjawab. Gema duduk di sudut lapangan basket yang masih basah akibat hujan tadi pagi. Aroma tanah basah bercampur dengan keringat para siswa yang bermain basket.
“Ravi, Dani! Tukeran!” Tara dan Dava memberi arahan pada temannya untuk menggantikannya.
Tara mengambil botol minum miliknya serta satu bola basket yang tidak terpakai di dekat tiang bendera. Ia melempar bola basket ke arah Gema, dan sahabatnya itu menangkapnya dengan sigap.
Mereka menghampiri Gema, “Kenapa Gem?” tanya Dava dengan napas yang terengah-engah.
“Biasa Dav, mikirin utang negara,” sahut Kian, seketika mereka berempat tertawa kecil.
Gema hanya diam. Ia merasakan rasa sakit yang tajam di hatinya. ‘Kenapa harus Adam?’ pikirnya. ‘Apa yang dia punya yang gue nggak punya?’
“Jangan dipikirin Gem, setiap utang pasti di bayar,” ucap Dava.
“Eh bangsat, lu boleh ngomong gitu kalo lu udah bayar utang, lu aja masih ngutang sama gua goban,” timpal Kian.
“Yaelah Ian, menurut lu goban murah kan?” tanya Dava dan di jawab anggukkan pelan oleh Kian.
“Anjing sombong, biar Allah yang bales,” seketika Dava berlari kabur setelah mengucapkannya.
Kian dan Dava pun melakukan kejar-kejaran. Sedangkan Tara? Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan kedua sahabatnya yang semakin hari semakin absurd.
Brak!
Kian menyeleding Dava, membuat semua siswa-siswi yang melihatnya langsung tertawa terbahak-bahak termasuk Gema dan Tara.
“Yes! Kedua sahabat kita bisa ketawa lagi Dav!” ucap Kian dengan antusias.
Ia memeluk tubuh Dava dan mengangkatnya. “Lepas bangsat, kita jadi keliatan homo tolol,” bisik Dava.
Kian menurunkan Dava dan melepaskannya.
“Lu kenapa sih galauin bang Adam sama kak Raisa, masih banyak cewek di dunia ini,” ucap Dava sembari menepuk-nepuk punggung serta pantatnya yang kotor akibat debu.
Seketika Tara dan Kian menatap tajam ke Dava. Ini bukan saatnya membicarakan Raisa, apalagi Adam.
Dava hanya bisa diam menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia merasa bersalah pada ucapannya.
“Anak-anak, olahraga udah selesai, silahkan ke atas, dan ganti baju, ” titah Pak Ami, guru olahraga.
Gema mendengus sebal. Ia berdiri dan berjalan meninggalkan lapangan sembari menenteng bola basket dari Tara tadi, “Gem! Mau kemana lu?!” panggil Tara yang sedikit teriak karena mereka terpaut cukup jauh.
Gema tak menjawab, ia berbalik badan, lalu melemparkan bola basket pada Dava. Dan Dava hampir jatuh karena berusaha menangkap bola itu.
Ia meninggalkan sahabat-sahabatnya yang diam membisu.
Tara, Kian, dan Dava saling beradu pandang, “Lagian, tertutup banget kalo ada masalah,” ujar Kian.
“Bukannya tertutup, dia nggak mau bebanin kita. Ke atas yuk, ganti baju, biar dia nenangin diri,” ajak Tara.
Mereka berjalan meninggalkan lapangan yang sudah mulai kosong itu.
Catatan: lapangan untuk olahraga dan upacara sama ya.
....
Dua jam sudah berlalu, dan bel istirahat sudah berbunyi. Tentu Raisa dan teman-temannya memutuskan untuk ke kantin.
“Eh lu pada ngerasa ada yang aneh gak?” tanya Indah pada ketiga temannya.
Gita mengerutkan dahinya, “Apaan?” .
“Ya ampun Git, masa lu nggak sadar apa kalo nggak ada yang ngerusuh hari ini?” sahut Andra.
“Bener juga, pacar lu sama sahabat-sahabatnya mana Ndra?” tanya Gita sembari memakan mie ayam miliknya.
“Au, palingan adu bola sama Radit,” jawab Andra.
“Loh itu bukannya si Gema? Tumben banget jalan sendirian,” heran Indah.
Seketika mereka melirik ke arah yang di tuju Indah. Terlihat Gema yang baru saja datang, ia membawa Nintendo switch ditangannya.
Ia berjalan menuju abang tukang bakso, Raisa menghentikan kegiatan makannya dan fokus memperhatikan Gema.
“Gema!” panggil Andra tiba-tiba dan melambaikan tangannya. Seketika Raisa menundukkan kepalanya dan pura-pura memainkan ponselnya.
Merasa namanya dipanggil, Gema menghentikan langkahnya dan menengok, lalu ia tersenyum dan balas melambai. Kemudian ia melanjutkan langkahnya tanpa menyapa Raisa tidak seperti biasanya.
Indah, Gita dan Andra tampak keheranan, begitu juga dengan Raisa.
Biasanya Gema merusuh seperti menyapa, menggombal atau apapun itu ketika melihat Raisa, namun kali ini tidak.
Ada di rasa hampa di hati kecil Raisa jika tidak merasakan adik kelasnya itu tidak mengganggunya.
“Ra, tumben lu diem aja, napa? Dan muka lu keliatan bete banget. Jangan bilang gara-gara Gema nggak nyapa lu?!” tebak Indah.
“Lu suka ya sama Gema?! Dan Adam cuman pelarian doang?!” ucap Gita ngasal.
Andra hanya bisa diam melirik Raisa, takut salah ngomong.
“Apaan sih kalian?! Orang gua dari tadi chatan,” Raisa menyodorkan ponselnya kepada teman-temannya.
Terpampang jelas kalau Raisa sedang membalas pesan Adam. Namun itu hanya sebentar karena pikiran Raisa lari memikirkan Gema.
“Ciee, enak banget sih bisa chatan bareng cowok, apalah hamba yang jomblo ini,” ucap Gita mendrama.
“Ya ampun Ra, jangan mesra-mesraan mulu napa. Jadi iri gua,” ujar Indah.
Raisa memutar matanya malas.
Gema baru saja duduk ditempat yang hanya terpaut satu meja dengan Raisa Dkk. Tanpa sadar Raisa melamun memperhatikan Gema yang tengah memakan baksonya sembari main game sendirian.
“Ekhem!” suara Gita memudar lamunan Raisa. Raisa menoleh ke Gita, sang sumber suara barusan.
“Betah amat neng mandangin nya,” goda Gita.
“Apasih gak jelas banget,” ketus Raisa.
“Hm, ternyata bener dugaan gua,” goda Gita lagi.
Raisa hanya diam dan fokus membalas pesan dari Adam. Ia lebih memilih diam dan tak menanggapi godaan Gita.
Sementara di meja lain, Gema sudah selesai makan, setelah membalikkan mangkuk baksonya. Ia langsung berjalan meninggalkan kantin. Namun, saat Gema mendekati meja Raisa, tatapan mereka saling bertemu.
Gema menunjukkan senyuman hangatnya, sedangkan Raisa memalingkan wajahnya dan tak membalas senyuman Gema.
......................
(Abaikan tato nya)
Adam Stevanus
Embusan angin menerpa, angin hari ini cukup kencang jika dirasakan diketinggian. Seorang pria sedang berbaring di sofa kulit yang sudah sobek-sobek.
Di sisi kanannya terdapat tiga teman sebayanya, mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing, karena mereka sedang main game online bersama.
Keempat orang ini sedang berada di rooftop sekolah, meskipun bel pulang sekolah sudah berbunyi. Hanya untuk sekadar menghirup angin yang nikmat.
Matahari tertutupi oleh awan, membuat hawa siang kala itu tak terlalu panas.
“Itu dari tadi gak bangun-bangun, jangan-jangan udah dijemput malaikat Izrail di dalem tidurnya,” ucap Kian setelah selesai bermain game. Ia melirik ke Gema yang masih tertidur pulas.
“Bangunin sana, anak-anak kelas tiga udah pada balik,” titah Tara ketika melihat sudah jam 14.36 .
“Gema! Bangun Gem! Tidur mulu lu!” teriak Dava sembari menggoyangkan tubuh Gema.
Namun Gema tak bergeming, dan masih tertidur pulas.
“Dav, lu nggak kenal sahabat kita apa kalo lagi tidur,”
“Makanya lu bantuin gua, gua bingung ni anak kalo tidur nggak bisa dibangunin kecuali sama Tante Nita dan terompet sangkakala,”
Tara hanya bisa menghembuskan napas lelah, tiada hari tanpa pertengkaran bagi Kian dan Dava.
“Lu berdua disuruh bangunin orang malah berantem!” Tara berjongkok sembari memikirkan caranya.
“Kita harus gimana cok?” ucap Dava.
“Coba bawa-bawa beliau deh,” celetuk Kian.
“Beliau? Beliau siapa?” bingung Dava.
“Itu, kak Raisa. Gua bilang beliau karena takut dia marah,” Kian menunjuk Gema.
“Kita harus gimana ya?” Dava tampak berpikir, lalu ia menjentikkan jarinya.
“Kita jatohin aja dari atas,” ucap Dava, reflek Tara dan Kian menepuk jidatnya heran.
“Gini nih, akibat punya temen iq 78,” ucap Kian.
“Ah lama ayo bangunin, bilang aja kak Raisa kesini mau minta dianterin,” ucap Tara.
Mereka bertiga menarik napas dalam-dalam.
“GEM BANGUN! KAK RAISA MINTA DIANTERIN PULANG!” teriak mereka bertiga secara bersamaan.
“Hah?! Mana?! Dimana?!” sontak Gema terbangun. Saking semangatnya ia langsung merapikan seragamnya yang kusut.
Jika menyangkut senior bernama Raisa Navasya, Gema akan langsung datang.
Tawa jahil keluar dari ketiga sahabatnya. Otomatis Gema langsung menoleh kesal pada ketiga sahabatnya, ketika tidak melihat batang hidung Raisa. Ia hanya melihat sampah berserakan di rooftop bekas mereka.
“Anjing lu pada, ganggu orang lagi tidur aja,” Gema kembali merebahkan tubuhnya ke sofa.
“Bangun lu,” Tara mencolek tubuh Gema, membuatnya berbalik badan membelakanginya.
“Udah bel pulang, lu mau tidur disini?” tanya Tara.
“Emang udah jam berapa?” Gema sedikit menoleh.
“Udah jam tiga kurang dua puluh,” jawab Tara.
Gema bangkit, ia merenggangkan otot-ototnya yang pegal akibat tidur terlalu lama dan menguap.
“Woi ayo kebo! Udah setengah jam lu tidur,” Dava menepuk-nepuk punggung lebar Gema.
Gema berdiri, ia mengambil tasnya dan berjalan turun dari rooftop dengan wajah masih mengantuk.
“Heh! Mau kemana lu? Beresin dulu ini sampah! Gua kasih 9 ribu, mau kagak?!” tawar Tara.
Seketika Gema langsung mengambil kantung plastik di dekatnya, dan memasukkan nya satu persatu. Begitu pula dengan Kian dan Dava.
...
“Lu pulang bareng siapa Indah?” tanya Raisa pada teman sebangkunya, Indah.
Kini sudah jam pulang, mereka sedang membereskan buku-buku ke dalam tas.
“Di jemput nyokap, hari ini nyokap gua pulang lebih cepet,” jawab Indah.
“Kalo lu Git?” tanya Raisa pada Gita yang tempat duduknya di depannya bersama Andra.
“Biasa, sama taksi kalo nggak ojek,” jawab Gita sembari menengok ke belakang.
“Kalo Andra gak usah ditanya lagi, diakan bareng Tara mulu,” ucap Indah, Andra menoleh dan tersenyum
salah tingkah. “Biasalah, bucin,” sambung Indah.
“Terus lu sama siapa Ra? Eh gua lupa, lu kan udah punya Adam, jadi pasti dianter jemput sama Adam,” ucap Indah.
Namun Raisa menggeleng, “Adam ada acara keluarga, jadi dia nggak bisa anter gua pulang,”
“Anjir, kasian banget lu. Parah banget si Adam,”
“Iya ih, gak kasian apa pacarnya pulang sendiri,”
“Kalian pikir, Adam itu dilan? Dia punya kehidupannya sendiri, bukan cctv yang harus pantau gua 24 jam,” ucap Raisa membela pacarnya.
Ia langsung pergi meninggalkan teman-temannya yang diam membisu dan merasa menyesal.
Andra mengejarnya, “Ra, lu marah sama Gita dan Indah?”
“Nggak, siapa yang marah,” ucap Raisa yang tidak sesuai dengan wajahnya yang cemberut.
“Lu bisa pulang bareng sama Gema sih,” ucap Andra.
Raisa melirik dan mengangkat sebelah alisnya, “Bukannya kelas dia pulangnya setengah jam sebelum kita ya?”
“Bener, tapi biasanya Tara, Gema, Kian sama Dava gak langsung pulang, mereka paling ngaso di rooftop sampe gua pulang,” jelas Andra.
“Tapi itu kalo lu nggak mau naik taksi sih dan Adam ngizinin sih,” lanjut Andra.
....
Langkah Gema terhenti ketika matanya menangkap sosok seorang gadis berdiri sendirian di depan gerbang. Itu Raisa, dengan rambutnya yang terurai lembut serta poni dan wajah yang terlihat termenung di balik layar ponselnya. Gema merasakan detak jantungnya semakin cepat. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke parkiran, masuk ke dalam mobilnya, dan melaju menuju tempat Raisa berdiri. Mobil Gema berhenti perlahan di samping Raisa. Gadis itu tersentak, menoleh, dan bertemu pandang dengan Gema yang tersenyum lebar dari dalam mobil mewahnya.
Seketika Raisa langsung menunduk pura-pura sibuk dengan ponselnya.
“Hai kak Raisa, kok masih disini? Mobilnya mana?” tanya Gema dengan halus, namun Raisa tidak menjawab dan langsung membelakanginya.
Gema tersenyum. “Pacar kak Raisa mana?” tanya Gema lagi, membuat Raisa menoleh kaget.
“Mobil aku rusak, Adam lagi ada acara. Jadinya aku disini nunggu taksi,” jawab Raisa cuek.
“Yaudah, kalo gitu bareng gua aja,” ucap Gema menawarkan tumpangan.
Raisa menghembuskan napas berusaha menghilangkan kegugupannya.
“Makasih, tapi aku maunya naik taksi,” tolak Raisa. Padahal sudah 30 menit ia menunggu taksi yang belum datang juga.
“Taksi di jam segini mana ada sih kak. Gua ikhlas kok bantuin lu kok, ayo masuk, udah mendung gini, yakin lu masih mau nungguin taksi?”
bener juga sih, daripada nungguin taksi sampe lumutan. Gua minta izin sama Adam kali ya.
Raisa membuka kontak Adam
“Gimana kak? Mau nggak? Kalo nggak mau sih gua gak apa-apa,” ucap Gema lagi.
“Oke deh, aku mau,” Raisa membuka pintu mobil di bagian penumpang dan langsung duduk. Gema tersenyum senang.
Mungkin kalian berpikir kalau Gema merupakan perusak hubungan orang, tapi itu bukan hal yang ingin Gema lakukan, ia hanya ingin dekat dengan Raisa. Tidak lebih.
Setelah Raisa duduk, Gema menjalankan mobilnya.
Belum begitu jauh, Gema langsung menepikan mobilnya, membuat Raisa mengerutkan dahinya bingung. Tiba-tiba Gema mendekat, reflek Raisa terpekik.
“Ka-kamu mau ngapain?!” tanya Raisa dengan gugup, membuat Gema menaikan satu alisnya.
“Menurut lu, gua mau ngapain?” tanya Gema dengan nada berat. Mendengar itu, membuat wajah Raisa pucat sekali. Ia bingung harus menjawab apa, apa ia harus menjelaskan kalau Raisa berpikir Gema akan melakukan-
......................
Diwantara Putra Jayawardhana
Kiandra Darmansyah
Dava Basmati
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!