NovelToon NovelToon

Siapa Aku? (Cinta Ku Ada Di Alam Lain)

Kancing? [1]

^^^Minggu, 19 Juni 2023 (18.49)^^^

Matahari siang habis tenggelam, kembali ke ufuk timur sisi malamnya, walaupun tugas dia menyinari hari ini terus di ganggu oleh awan mendung yang bertebaran.

Cuaca sejak pagi tidak berubah, hujan yang sempat terjeda kembali aktif. Meributkan malam sunyi dibawah kebisingan pikiran seorang gadis. Jendela kamar insan tersebut terbuka setengah, dia sengaja membiarkan angin hujan masuk.

Ada beberapa rasio yang belum terselesaikan di tempurung otak. Gadis itu memilih duduk depan meja belajar, tempat kaca bening lainnya terletak, sebelah kaca jendela yang terbuka. Tapi masih memberi peluang angin untuk bersemilir penuh menerpa wajah Natha dari luar.

Gadis itu memilih menjejakan bokong pada kursi depan meja belajar, tempat kaca bening lainnya terletak, sebelah daun jendela yang terbuka. Namun cukup memberi peluang angin untuk bersemilir penuh menerpa wajah sang gadis dari luar.

Dia memang suka duduk dan termenung menikmati arus udara, guna menghabiskan petikan waktu. Terutama ketika banyak pikiran, jadi akan lebih santai dan tenang apabila dia bisa menikmati angin-angin disekitaran wajah, suatu kegemaran besar gadis tersebut.

Waktu sudah berjalan ke pukul 18.49, hampir dua jam lebih gadis itu hanya duduk termenung memandangi kaca. Sekedar diam guna menatapi tiap tetesan hujan yang bertali turun ke bawah pada dataran luar jendela bening. Namun tak kunjung mendapatkan jawaban atas pilihan sendiri.

Tadi siang gadis itu memperoleh pemberitahuan untuk pembayaran daftar ulang semester 4, juga buku ajar yang harus di beli. Hampir tiga minggu dia sudah menunggak.

Jadi admin yang bertugas memintanya untuk segera melunasi biaya kuliah, atau memang masih tidak di tunaikan, makan secara otomatis gadis itu akan di Drop Out.

Sudah sebelumnya dia berupaya meminta kompensasi agar menunda atau setidaknya menyicil pembayaran, sayangnya admin di sana tidak mengizinkan lagi.

Banyak mahasiswa yang juga memiliki kasus seperti dirinya, jadi jika gadis itu diberi izin maka akan terasa tidak adil bagi mahasiswa lain yang ditolak. Uang di tabungan gadis tersebut juga tersisa sedikit, mungkin semata cukup untuk setengah dari harga daftar ulang.

Tersisa dua pilihan terakhir di benaknya yang terus meronta di gelimpagan otak malam ini, antara dia berhenti kuliah, atau memang mencoba meminta bantuan ibu guna membayar biaya kuliah.

Gadis itu berfikir pada satu rencana yang akhirnya jatuh terpilih, dia tetap akan membayar kembali uang yang di pinjam dari ibu, berharap jika novelnya bisa selesai dan menghasilkan sedikit uang.

Maka dari uang itu dia akan menyicil dan melunasi nominal dari bantuan ibu, sehingga dengan kata lain gadis itu tetap akan membayar sendiri, tapi hanya mencoba meminjam kepada ibu untuk membayar sementara di masa sekarang.

Sempat terdengar di telinganya, beberapa insan lain bisa mendapatkan uang sebatas dari cerita yang mereka buat, di zaman yang semakin maju tahun 2023. Sekedar bermodalkan kisah dan alur, lalu di kirimkan pada penerbit, orang-orang sudah bisa menerima uang yang jumlahnya lumayan.

Atas demikian, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan paruh waktu, gadis itu terus menulis dan merangkai kisah. Berharap tulisannya kelak juga bisa di terima oleh para penerbit buku, dan memberikan penghasilan.

Jadi satu-satunya jalan keluar yang pertama sebelum berhenti kuliah di masa mendesak sekarang adalah mencoba berbicara kepada ibu guna membantu dirinya.

Malam ini gadis itu berinisiatif untuk membicarakan langsung, walau dalam hati yang berdebar dan tidak karuan.

Perbincangan dirinya dan ibu perihal kuliah terakhir kali tidaklah berujung bagus, entah begitu juga atau tidak pada topik kali ini.

“ Natha!... ayo makan! “ Suara ibu menggelegar dari luar kamar. Sudah waktunya makan malam.

Menaikkan eksistensi telinga sang gadis, setelah namanya terpanggil. Dia diam sejenak mengelola undangan ibunya, makan malam ini adalah kesempatan bagi gadis bernama panggilan Natha tersebut supaya bertanya.

Karena jika menunggu pagi hari ibu pasti akan sibuk dan tidak terlalu mendengarkan permintaannya. Sementara waktu malam setidaknya ibu cukup lengang, dan dia sedikit memiliki peluang guna berbicara baik-baik demi membujuk ibu.

Gadis itupun lekas berjalan keluar dari sembunyian kamar, memenuhi panggilan dari luar, dia duduk di meja depan televisi sisi kanan pada ruang tengah, posisi yang dekat dengan kamarnya.

Lalu ibu juga akan meletakkan tubuh di belahan kiri dari televisi, sebab dekat akses menuju dapur belakang, mereka sudah biasa dan selalu duduk di posisi yang sama.

Keduanya mulai makan dengan lazim, hari ini ada lauk ikan asin, dan tempe yang sudah ibu panaskan. Tempe sisa kemarin, dengan kangkung yang baru ibu masak agar lebih nikmat memakannya saat panas.

Ibu menonton televisi layaknya makan malam biasa, dia tidak banyak bertanya terhadap sang anak tentang acara-acara yang disiarkan. Hanya fokus dan tersenyum lucu, dari penampilan para tokoh dalam layar kaca canggih yang sederhana dekat tembok ruang tengah.

Berulang di sela makan gadis itu berniat untuk buka suara, tapi senyum ibu yang asik menyaksikan tontonan membuat niatnya ragu, sampai makanan yang di meja akhirnya habis.

Mereka telah selesai makan malam, ibu sedang mencuci di wastafel dapur, dengan gelisah Natha juga ikut membantu dan mengemasi sisa-sisa piring juga makanan di permukaan meja kecil ruang tengah.

Setelah puas termenung, akhirnya gadis itu merasa menyerah, dia terlalu takut, dan berpikir mungkin bukan waktunya malam ini untuk mengobrolkan, masih ada pagi esok. Dia tidak ingin membuat suasana ceria ibu malam ini berpindah hancur.

“ Ibu tau ada yang ingin kamu omongkan dengan ibu. “ Suara tegas nan lembut seorang wanita paru baya memecah niatan mengalah gadis tersebut.

Ibu sudah selesai mencuci piring. Menurunkan kerah lengan baju juga mengibas untuk mengeringkan tangan. Beralih menatapi sang anak di belakang.

Wanita paru baya itu rupanya cukup sadar dengan kegelisahan yang anak semata wayangnya perbuat selama makan, naluri seorang ibu tidak akan pernah tumpul untuk mengenali.

Hanya saja dia berpura-pura asik, dan mencoba menikmati dulu makanan yang ada. Akan terasa tidak nyaman jika makan sambil membicarakan hal yang serius.

Natha sontak terkejut usai mendengar tuturan kalimat dari ibu, dia hendak pergi ke kamar, barang-barang yang di kemas telah selesai.

Tapi terjeda karena ibu yang menyela bersuara. Lantas memindahkan aksi gadis tersebut guna menoleh menengok balik raga ibu, dalam posisi yang sama dan jarak di antara. Tidak berprasangka jika ibunya akan sepeka ini.

Ibu membidik kembali iras anaknya dengan lekat. Sorotan matanya terlihat menurun. Ada campuran tatapan sedih dan tegas.

“ Tapi sebelum itu ibu katakan. Kamu pasti udah tau bagaimana hidup dan keseharian kita. Bisa makan dan menyekolahkan kamu sampai lulus SMA aja udah beruntung. Jadi ibu harap kamu juga akan mengerti mengapa ibu ngga pernah mendukung kamu untuk kuliah. “ Naluri ibu tajam dan tepat.

Tebakan tentang hal yang di omongan sama persis, memang Natha sejak tadi ingin membicarakan perihal kuliah.

Gadis itu terpatung menerima gelombang kata-kata dari ibunya, cukup tidak menyangka jika naluri wanita paru baya di depan akan setajam ini.

Tapi dia juga jauh telah menebak beberapa persen hal yang dia perkirakan sendiri jika ibu cepat paham dan mengerti hanya dari gerak-geriknya.

Kendati bukan permasalahan itu yang sekarang menganjal di hati Natha usai menerima ujaran, termasuk bukan niat untuk berbicara lagi dengan ibu agar membantu membayar biaya daftar ulang.

Melainkan alasan keras mengapa ibunya terus menolak mentah-mentah niatan sang anak untuk kuliah sejak pertama, yang justru menarik pemikiran gadis itu menjadi bergejolak saat ini.

Padahal dulu semasa Sekolah Menengah Atas ibu selalu menasehati Natha supaya bersekolah dengan benar. Dia di minta ibu harus bisa menjadi anak yang terpelajar walaupun ibu sampai perlu banting tulang agar mampu memenuhi biaya pendidikan.

“ Kenapa? “ Gadis itu mencoba berbalik bertanya. Alisnya menyatu penuh emosi.

Ibu yang hendak pergi ke kegiatan lain terhenti, padahal niatnya hanya ingin memberi pemberitahuan kepada sang anak, dan berharap gadis itu memahami sehingga tidak membicarakan lagi permasalahan di awal.

Naas, rencananya tidak berjalan dengan baik, gadis tersebut malah mempertanyakan permasalahan yang lain. Ibu cuma merespon diam setelahnya, mendengar perkataan putrinya dari belakang.

Tidak menoleh atau mencoba menatapi, sekedar memberi jeda diam untuk menerima gelombang suara.

“ Kenapa ngga bu?! Kenapa cuma kuliah? “ Gelora emosi di batin Natha terlihat sudah tidak bisa terbendung.

Dia melanjutkan kalimat sebagai ungkapan perasaan dan isi hati yang selama beberapa waktu di pendam.

“ Dulu semasa sekolah ibu selalu ingetin aku untuk jadi orang yang terpelajar. Bahkan dengan semua usaha dan pengorbanan ibu demi aku mengayomi pendidikan. Tapi sekarang, saat aku bener-bener ingin kabulkan keinginan ibu dan jadi orang terpelajar yang diakui semua orang. Mengapa malah ibu tentang? Kenapa malah ibu yang balik ngga mendukung aku? “

Memang sewaktu gadis itu bermula masuk kuliah, sang ibu telah menentang mentah-mentah niatannya. Justru berbalik menolak walau Natha sudah berupaya dengan niat menimba ilmu menggunakan beasiswa sekalipun.

Padahal semasa sekolah dahulu ibu begitu gila agar Natha dapat mengemban pendidikan, pantang jika dia sampai ketinggalan kelas atau bolos dari sekolah.

Yang meningkatkan hasrat gadis itu usai terlanjur terpupuk guna menambah pendidikannya ke yang lebih tinggi dan memiliki gelar. Sayang ketika sudah ingin mewujudkan, sikap ibu tiba-tiba saja berubah, wanita paru baya itu bergilir drastis untuk menolak maksud gadis tersebut guna berkuliah.

Atas demikian, dahulu Natha masih belum berani untuk bertanya. Hanya berpura-pura menurut padahal aslinya dia tetap saja diam-diam mendaftarkan diri pada salah satu perguruan tinggi, di kota tempat kelahirannya. Kebetulan menjadi salah satu universitas favorite di negaranya, bahkan mencakup manca negara luar.

Ibu sedikit terperanjat atas reaksi Natha, tapi masih mampu menahan kesabaran, dan akhirnya memilih tidak mengidahkan pertanyaan sang anak.

Dia memilih beralih merapikan barang-barang dapur yang tersisa. Menahan suatu hal dalam diam dan ketersengajaan tidak merespon. Kerongkongan wanita itu terlihat tercekat karena memendam.

“ Ibu jelasin! Jelasin sama aku tentang alasan itu. “ Natha belum menyerah, walau di acuhkan dia bersikeras meraih responsivitas dari ibu. “ Kalau ibu jelasin, mungkin bisa aja aku memilih berhenti sekarang. Biaya pendaftaran aku nunggak, aku juga ngga tau harus cari uang ke mana. Tapi ada satu alasan yang buat aku tetep kekeh untuk kuliah walaupun ngga tau gimana caranya. “

Berangsur suara menanjak Natha mulai turun dengan stabil, dia mendekat perlahan ke arah ibu dari belakang. Penglihatannya mulai berkaca-kaca dalam perasaan emosi, cukup terluka setelah semua perlakuan yang ibunya perbuat beberapa waktu terakhir.

“ Perkataan ibu yang nyuruh aku buat jadi orang terpelajar. “ Kalimat Natha lugas, tapi berirama pelan dan mengalun, terdengar sangat pedih ketika menuturkan.

Gadis itu berujar serius sambil menatap punggung belakang wanita paru baya yang tampak tak berisi.

Telinga ibu memanas setelah mendengar, wanita dengan rambut pendek yang di ikat setengah ke sudut belakang kepala tersebut, lantas menghempas barang yang di pegang. Sudah tidak mampu lagi untuk menahan. Dia mendorong sang anak kembali ke kamar.

“ Udah Natha! Cukup! Balik ke kamar kamu sekarang! “ Dengan tegas ibu memerintahkan.

Tapi Natha masih enggan untuk menyerah, dia tidak memperdulikan. “ Ngga bu! Pliss jangan bersembunyi lagi dari aku, dan jelasin ke aku tentang semua alasan ibu! Aku bisa aja berjuang untuk kuliah dari biaya novel yang aku kerjakan. Aku akan coba usahakan upaya itu sendiri bu! Ngga akan minta uang dari ibu sepeserpun. Sekalipun iya, aku akan bayar kembali sama ibu. Ngga berniat untuk ngebebanin ibu sama sekali. Aku janji! Aku cuma akan kuliah dengan biaya dan usaha aku sendiri demi mewujudkan keinginan ibu. “

Suasana di sana semakin keruh, kedua mata Natha terlanjur bergelimpang cairan. Dia bersikeras memegangi sepasang telapak ibu. Agar wanita itu bisa menatap mata dia sepenuhnya dan mendengarkan.

Ibu terkejut, pandangan matanya bergerak bolak balik menatap dalam sisi kanan dan kiri netra memarah dari sang anak. Hati ibu terluka melihat wajah putrinya.

Tapi masih mencoba mengontrol diri agar tidak menjatuhkan air mata, juga berupaya tegar supaya tidak terluluhkan dengan tatapan sang putri.

Anaknya sudah cukup keras kepala sekarang untuk menentang dia. Jadi ibu pikir dia harus lebih tegas kepada gadis berusia 19 tahun tersebut.

“ Iya? Dari uang novel? “ Ibu bertanya meragukan Natha. Terlihat perkataan dan wajah ibu sudah kacau. Ada campuran emosi disebalik kata-katanya, telah kehabisan kesabaran sejak tadi.

Alis-alis gadis di depan bergelombang, naik turun dengan bingung. Tatapannya heran menerima ekspresi ibu.

“ Maka sekarang ngga ada lagi novel yang bisa kamu harapkan! “ Ibu pergi beralih dari pegangan Natha, menghempas kukungan jari-jemari itu.

Meninggalkan kebingungan dan panggilan heran dari anaknya. Dia berjalan cepat masuk ke kamar Natha yang berada di sisi kanan bagian rumah. Mengobrak-abrik lalu mencari suatu hal di kamar sang putri.

Natha berupaya mengikuti dari belakang, dia kaget dengan aktivitas yang ibunya perbuat dalam kamar. Mencoba mencegah juga bertanya dengan tindakan dari ibu. “ Ibu, berhenti! Ibu! Ibu pliss… berhenti! Ibu mau cari apa! “

Ibu sungguh tidak mengidahkan suara dari manapun, kamar gadis itu hampir berantakan sepenuhnya, beberapa buku-buku sudah bertaburan di lantai kamar.

Banyak baju juga rak yang di serakan, di lempar dan di hamburkan di atas dataran bilik. Sampai sebuah buku di lantai bawah meja belajar, bekas dia mengobrak abrik lembaran lain, dan terlihat menghadiahkan keberadaan benda tersebut karena terlempar ke sudut kamar.

Membuat ibu akhirnya diam dalam sejenak waktu, perlahan menunduk untuk meraihnya. Mata ibu memerah kombinasi cairan bening menatap nanar buku di genggaman tangan.

Ibu ingat buku ini adalah susunan lembaran kertas yang sering sang anak gunakan ketika membuat novel, ibu sudah lama menentang Natha untuk menulis.

Wanita paru baya tersebut berpikir membuat cerita khayalan seperti itu tidak ada gunanya, tapi mengingat hal demikian tidak terlalu menganggu keseharian sementara Natha.

Jadi dulu ibu tidak terlalu bermakrifat untuk melarang Natha dengan keras. Sampailah di malam ini, ternyata ada harapan besar dari kegiatan itu yang menjadi salah satu alasan kuat sang anak tetap bersikeras guyuran hujan deras di malam itu mendapatkan sebuah ide.

Mungkin bisa dikatakan ide gila dan nekat. Ibu panik dengan tatapan Natha memandangi hujan, dia hendak mencegah. Tapi Natha sudah mendorong tumpah tong panas tersebut dengan kedua belah telapak tangannya.

Gadis itu tidak memedulikan rasa panas dan terbakar di sekujur kulit tangannya, sampai siraman deras hujan di malam itu benar-benar bisa membuat api di sekitaran buku habis.

Tubuh munggil itu terus melangkah mendekat ke ibunya dengan memegangi novel setengah terbakar depan perut, kulit-kulit telapak tangannya terlihat kemerahan. Dia menatap wajah ibu dalam keadaan basah kuyup ulah hujan.

Ada tatapan mendalam di mata Natha atas ketercewaan besar kepada ibunya.

“ Kamu sengaja membakar ini bu? “ Natha bertanya dengan suara pelan menatap ibu, tapi terdengar melodi luka yang begitu menyayat.

Di matanya berharap ada jawaban ‘tidak’ dari mulut ibu. Tatapannya dalam dan penuh kesedihan.

Ibu menahan emosi dan tanggisnya, dia kehabisan pikir dengan tindakan Natha barusan. Sudah sebangkang itukah Natha dengan perkataan dari dia.

Ibu menjadi naik pitam menatapi mata Natha. “ Iya! “ Kemarahannya sudah tidak bisa terbendung lagi. “ Kamu tadi bertanya sama ibu tentang alasan ibu yang ngelarang keras agar kamu kuliahkan?! “ Nada wanita itu terlanjur naik berbicara di depan anaknya.

Matanya memerah berair bercampur rasa murka. Sudah kehabisan cara untuk membuat Natha mendengarkan keinginan dia. “ Ha! Iya? Baiklah ibu jelasin sekarang! “

Mata Natha yang berkaca-kaca berganti dengan alis yang mengkerut. Dia menatapi ibu dengan raut kecewa bercampur heran. Ada rasa kaget dengan reaksi ibunya sekarang.

Untuk pertama kalinya dia menatap mata ibu yang penuh amarah. Dan untuk pertama kalinya dia seakan tak mengenal ibu. Setelah semua kemarahan sejak kecil, baru di malam ini jiwa ibu membeludak berkoar-koar, seperti bukan sosok wanita paru baya yang dikenalinya.

“ Iya! Ibu sangat tidak suka jika kamu berkuliah. Haruskah kamu menjadi orang bodoh! Sudah cukup ibu kesusahan membesarkan kamu! Mau sampai kapan ibu harus banting tulang hanya karena seorang anak! Ibu capek Natha! ibu juga bisa capek!! “

Wanita itu berteriak dengan semua tenaga. Entah sadar atau tidak ibu sudah mengungkit keberadaan Natha. Atas kelahiran gadis tersebut.

Bola mata Natha melebar penuh, malam itu hujan semakin ribut dan deras. Gemuruh-gemuruh terus bersautan.

Anak!

Anak!

Anak!

Kata itu seakan mengulang di kepala Natha. Dia diam mengamati raut ibu, jantungnya berpompa cepat merasa syok, dua bola mata Natha kembali penuh dengan genangan air.

“ Maaf jika kehadiran Natha membuat ibu kesulitan. “ Suara itu pelan dari lirihan gadis tersebut.

Ibu terpatung setelah mendengar, dia kaget sudah berbicara hal yang di luar batas. Pangling langsung berbalik menatapi wajah sang putri.

Tapi terlalu tidak sanggup menyorot langsung dua netra anaknya sendiri, memilih untuk berbalik dan pergi karena hal ini adalah satu-satunya cara agar Natha berhenti kuliah.

Dengan tekat dan meneguhkan hati, ibu memilih untuk meninggalkan Natha begitu saja di malam itu. Bawah lebatnya guyuran air Tuhan pada luar rumah halaman belakang, tengah gendang petir yang menjilat-jilat.

“ Apakah ibu semalu itu dengan kehadiran Natha? “

Langkah ibu terhenti, kalimat itu sukses membuat dia terkejut. Matanya melebar seakan tidak percaya jika anaknya sudah berkata demikian. Tapi diam dan enggan menoleh sama sekali.

“ Ibu Natha minta maaf, tapi Natha juga tak ingin jika kehadiran Natha malah membuat ibu menjadi seperti ini. “

“ Cukup Natha. “ Ibu bersuara tanpa menoleh.

“ Ibu jika bisa meminta, Natha juga tak ingin di lahirkan di saat itu. “

“ Natha ibu bilang cukup! “

“ Ibu bisakah- “

“ Natha!!! “

Plakkkkkk! Ceglekkkkk!

~Bersambung~

Kancing? [2]

^^^Jumat, 17 Juni 2023 (07.15)^^^

Deruan angin pagi berhembus di jendela kamar, melaju masuk dari titisan cuaca gelap. Mengayun dan menghamburkan tirai putih yang terbengkalai di tepian jendela.

Membiarkan angin sejuk itu masuk dan menerpa anak rambut yang berkeliaran di pipi berisi gadis berumur 19 tahun. Beberapa buku lain di sekitaran lantai berterbangan, terbuka di sejumlah lembar, dan berakhir di bagian tengah dengan tulisan Nathania berbentuk kaligrafi.

Gadis itu tiba-tiba menutup buku atas dataran meja, terdengar gemuruh kecil dari langit luar, membuat dia sadar jika hari ini akan segera hujan. Segera dia bangun meninggalkan sebuah buku lain di meja kecil tengah kamarnya.

Buku yang penuh dengan banyak tulisan, ada pulpen dan beberapa coretan kecil dalam paragraf. Juga kumpulan lembaran-lembaran lain ditumpuk, agar tidak terbuka lagi terkena angin.

Gadis berambut hitam kecoklatan, dengan kuncir satu, bergegas pergi mengangkat jemuran yang masih basah di halaman belakang, dia dan ibunya tidak akan sempat mengangkat lagi jika hari ini benar-benar turun hujan.

Jadi dari pada membuat baju itu basah kuyup karena terlanjur di guyur air, lebih baik di angkat sekarang untuk menghemat wangi deterjen yang ada di baju.

Ibu dari gadis itu datang di sela dan ikut mengambil beberapa helai pakaian yang tersisa.

Wanita paru baya, dengan sandang sederhana dan rambut semampai bahu di ikat. Bersama beberapa helai anak rambut yang keluar di sisi pipinya.

Keriput kecil tidak menutup kemunculan dalam tatanan kecil permukaan wajah yang lusuh, tetapi tetap memiliki pori-pori yang kecil dan halus.

Pertanda jika wajah wanita paru baya itu sesungguhnya dulu begitu bagus dan cantik, hanya saja tidak terurus serta di rawat baik selama sekarang.

“ Natha kamu belum berangkat, udah jam berapa nih. “ Ibu bertanya tanpa menoleh dan asik mengambil baju di jemuran. Sampai helai kain yang memisahkan pandangan meraka di tarik dan di ambil ibu.

Gadis yang bernama Natha sempat memerhatikan sejenak wajah ibu, usai pertemuan muka yang tidak di sengaja. Dari sudut mata wanita itu terlihat muka lusuh dan flak hitam yang ada di sekitaran tulang tertawa.

Padahal dulu sebelum ibu bekerja keras untuk menghidupi Natha, dia tergolong gadis yang cantik dan banyak di gemari pada masanya. Di tambah hidung mancung dan senyuman manis ketika ibu menunjukan deretan gigi rapi.

Bahkan sekarang setelah berusia hampir 39 tahun, wajah nan cantik itu masih terpancar meski terselimuti di balik raut ibu yang tidak terjaga dan jarang tersenyum. Natha tersentak sadar ketika ibunya menoleh balik memerhatikan sang anak.

Tidak ada perbincangan di sana, ibu hanya diam sambil kembali memasukan baju-baju yang sudah dia bawa ke lobang ember dekat pintu.

Tidak berniat, walau secuilpun guna bertanya pada pandangan dari sang anak yang sempat tertangkap cukup intens.

“ Bentar lagi bu. “ Natha menyahut sekilas, dia baru memberikan jawaban.

Setelah sempat melamun akan nasib wanita paru baya di hamparan depan. Cepat melanjutkan mengambil sisa pakaian yang tertinggal di atas tali jemuran sisinya.

Ibu segera menyusul Natha, tumpukan baju yang dia bawa di jatuhkan ke ember kecil milik sang anak. Karena tidak muat lagi di padatkan dalam ember miliknya. Rintik hari semakin deras, waktu mereka terus menipis.

“ Nah liat, baju kamu udah basah kaya gitu. Udah-udah biarin! Biar ibu aja yang beresin sisanya. “ Ibu menepuk-nepuk beberapa noda basah di kemeja Natha. Akibat tertular baju yang di angkat anaknya, padahal semula sudah rapi dan bersih.

Natha memang telah mandi dan bersiap untuk berangkat ke Universitas, tapi sekarang masih tersisa secercah waktu, jadi gadis itu mencoba memanfaatkan guna menulis novel yang kerap dia lakukan di setiap hari lain.

Kendati tidak di sangka, hujan lebih dulu menyela tengah kegiatannya, yang kemudian melahirkan keberadaan raga gadis itu pada halaman belakang rumah masa ini.

Perlahan Natha hanya mengangguk bungkam, dia beralih untuk kembali ke kamar dan mengambil tote bag yang sudah disiapkan.

Sekilas anak mata Natha sempat melirik noda basah di kaca persegi kecil pada sudut kamarnya, cerminan balik tampilan tubuh dia.

Benar ada noda yang telah dikatakan oleh ibu, noda itu tidak bisa dihilangkan jika ditepuk-tepuk, akhirnya memberi inisiatif di pikiran Natha untuk mengenakan sweater biru tua sebagai pembungkus luar.

Dari beberapa susunan baju yang di gantung dalam lemari kecil miliknya.

Pakaian Natha tidak mahal, tapi cukup layak dan tidak ketinggalan zaman, karena masih mendapat beberapa baju bekas dari majikan tempat ibu bekerja.

Dipikirnya hari ini akan hujan, jadi lebih baik Natha mengenakan sweater untuk bersiaga. Noda itu juga akan mengering dengan sendirinya, ketika telah lama terjamah udara. Natha menutup rapat jendela geser di kamarnya sebelum pergi.

Bergegas memasang sepatu di ambang pintu. Sepatu putih lusuh, tapi juga masih layak untuk digunakan. Model rambut yang Natha kenakan tak jauh berbeda dari ibunya, diikat seperti ekor kuda, dengan beberapa poni panjang yang terbelah dan berjejer di sekitaran pipi yang berisi.

Outfit Natha hari ini sederhana, sekedar kemeja putih polos yang dibaluti dengan sweater biru tua, dan celana kain berwarna burlywood. Tak lupa Tote bagnya yang berlatar putih polos.

Ibu datang dan menyodorkan tangan di sebelah wajah Natha dari belakang. Dia sudah selesai mengangkat pakaian tadi. Terlihat ada uang Rp10.000,00- dan pecahan Rp5.000,00- yang di lipat-lipat dalam genggaman.

Ibu menggerakkan kembali telapak untuk Natha ambil, karena anaknya malah diam dan hanya memandangi di beberapa waktu.

“ Untuk hari ini segini dulu ya, besok kalau ada ibu kasi lagi. Tapi ingat, jangan boros-boros. “ Ibu berbicara sambil berjalan pergi. Dia masih banyak memiliki kesibukan.

Alih-alih merasa tidak bersyukur, Natha justru melirik sendu gumpalan uang yang dilipat-lipat oleh ibunya. Dia tau seberapa besar gaji wanita itu, dan seberapa kerasnya ibunya berusaha untuk membiayai kehidupan dan kebutuhan sehari-hari.

Bisa makan dan masih memiliki stok beras saja sudah bersyukur, bahkan terkadang Natha tau jika ibunya sengaja makan lebih lambat, agar Natha yang lebih dulu melahap nasi hingga kenyang.

Wanita itu juga rela bekerja di dua tempat yang berbeda, dan masih menitipkan kue di warung-warung demi menambah pemasukan.

Kendati demikian, Natha sang anak malah bersikeras untuk kuliah, pilihan itu sempat di tentang mentah-mentah oleh ibu, wajar dalam ekonomi yang mereka miliki masa ini.

Sayang gadis itu juga tetap keras kelapa dan bertekad kuliah, walau berkata harus sambil bekerja untuk membiayai kuliahnya sendiri.

Nyatanya tak semudah itu mendapatkan pekerjaan yang paruh waktu, juga bisa di imbangi dengan jadwal kuliah. Orang-orang yang sudah lulusan kuliah bahkan masih banyak yang menganggur.

Lowongan kerja cukup sulit di temukan di masa sekarang. Tapi siapa sangka hanya dengan menabung dari uang jajan yang diberikan ibu layak hari ini, gadis itu rupanya mampu berhasil membayar biaya masuk dan biaya semester di tahun awal.

Beruntung Natha juga berhasil masuk ke Universitas Purna Witarma, yang sangat didambakan semua siswa layaknya dia.

Mungkin sebuah keberuntungan yang memang ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa untuk jalan Natha agar bisa tetap lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Salutnya meski menentang, sang ibu masih mau memberikan uang jajan seperti hari ini.

Uang yang nantinya Natha tabung untuk membayar biaya buku dan semester di tahun-tahun mendatang.

“ Natha! Mau hujan hari ini. Bawa payungnya! “ Ibu berteriak dari dalam rumah. Dia tetap kalut dalam pekerjaan.

Natha yang mendengar di tepian penutup rumah, hanya diam memandangi sekilas sebuah payung yang bertengger di dekat pintu.

“ Bu! Natha berangkat. Ada tempelan nomor ibu sama nomor Natha di kamar ibu ya. Biar ngga lupa lagi kalau ibu mau ngehubungi Natha! “

Gadis itu lanjut melangkah pergi, menaikan tudung hoodie di kepalanya, tapi sengaja tidak membawa payung yang di suruh orang tua.

^^^Jumat, 16 Juni 2023 (10.01)^^^

Angin bekas hujan bersemilir lewat, menari-nari dalam pagi jumat, terlihat menjadi penghias udara sejuk di hari itu. Langit-langit masih gelap, suara gemuruh berbisik berbunyi.

Belum sepenuhnya berhenti dan hanya memberi jeda sejenak untuk tidak menjatuhkan tumpahan air dari langit. Seorang gadis berjalan disekitaran halaman, memanfaatkan jeda itu untuk berpergian.

Melangkah dekat genangan-genangan air yang terbendung usai hujan. Terlihat gadis berkemeja putih yang dimasukan ke dalam tersebut sibuk membaca, wajahnya tertutup novel sambil berjalan.

Tengah menikmati roti isi rasa keju yang menjadi santapan menu siangnya di genggaman tangan kanan.

Natha memilih memasukan kemeja baju yang dipakai usai kejadian dalam beranda toilet, merasa takut jika kemeja itu akan terbuka lagi dihembusan angin sekarang. Gadis itu tidak terlalu memerhatikan jalan, sibuk dalam hanyutan cerita dari penulis.

Sampai notifikasi pesan masuk terdengar di kedua telinga Natha. Gadis itu berdecih kesal, mengigit roti juga mengapit novelnya di sela ketiak, demi mengambil handphone di dalam Tote bag.

Ada alat komunikasi layar sentuh keluaran lama yang muncul. Dia membaca pesan yang masuk.

...(Inaaaaa)...

(10.01) Woi kamu d mna!!!

^^^Taman (10.01)^^^

^^^Kenapa? (10.01)^^^

(10.02) Okey aku k sna skrng

(10.02) Jgn k mana2 ya!

^^^Untk ap? (10.03)^^^

(10.03) Jgn byk tnya

(10.03) Tunggu saja!

^^^Cpt (10.03)^^^

Natha menatap malas isi pesan, memasukan asal handphonenya di dalam tote bag. Lanjut makan dan membaca seperti sebelumnya.

Gadis yang mengirimkan pesan adalah Ina. Mahasiswi cantik jurusan sains bahasa, dia teman satu-satunya yang Natha punya. Ada kejadian di balik pertemuan mereka.

Sampai gadis itu akhirnya memilih Natha sebagai teman kuliah sekaligus satu jurusan. Ina sangat dekat dan melekat terhadap Natha. Sudah kebiasaan Ina yang tidak masuk setiap hujan, hanya beralasan padahal malas untuk bangun pagi.

Lalu barulah gadis itu akan meminta catatan Natha untuk di tulis kembali, padahal mereka berada di angkatan yang berbeda, ayah Ina akan curiga jika buku-buku gadis itu kosong.

Makanya sekarang Ina hendak menemui Natha guna meminjam catatan mata kuliah semester lalu, untuk di jadikan bahan pura-pura agar selamat layak biasa.

Kegiatan itu sebenarnya tidak masalah, tapi Ina selalu datang terlambat ketika janji, makanya Natha malas untuk meladeni di setiap ajakan.

Perlahan Natha menuruni tangga tengah taman, dia hendak pergi ke kursi tengah halaman universitas untuk menunggu Ina.

Banyak mahasiswa yang juga berlalu lalang disekitar taman. Sibuk dengan tujuan juga kegiatan masing-masing. Beberapa dari mereka bahkan ada yang bermain basket di lapangan samping.

Tak mengindahkan tukikan kaki dan tumpukan air habis hujan. Satu-persatu kaki Natha menuruni tangga, matanya tetap lekat, asik dengan novel romansa yang dia pinjam di perpustakaan perguruan tinggi.Salah satu hobi juga inspirasi bagi Natha.

Roti yang Natha makan tergigit setengah. Belum cukup habis sampai salah seorang pria tiba-tiba menyenggol Natha dari depan.

Pria itu tampak melangkah cepat menjejaki tangga, berusaha naik sambil setengah berlari

karena terburu-buru. Tidak sengaja malah menabrak Natha yang asik membaca novel tengah tangga.

Grukk!!! 

Natha terkejut, tubuhnya yang menghadap turun semakin terdorong, buku dan rotinya otomatis terlempar jatuh. Badan mungil gadis itu sudah setengah melayang untuk menerjang bawah.

Hingga pergerakan Natha di detik-detik seketika terhenti, ada tangan yang rupanya sigap menarik ujung baju Natha sebelum sungguhan terhuyung ke bawah.

Jiwa Natha telah terlanjur membeku, dia menelan susah roti yang tersisa dalam mulut, ada pria lain yang rupanya juga berada di dasar bawah tangga.

Pria itu sama panik, tangannya tampak telah bergerak maju, hendak menangkap Natha jika gadis itu benar-benar jatuh kebawah.

Perlahan Natha yang bertatapan pandangan dengan mata pria di bawah, akhirnya berpindah balik.

Giliran untuk memandang naik pria yang menjadi pelaku penarikan ujung kerah baju dekat lehernya.

Ada cahaya silau dari mentari, Natha mengerjap sebentar sebelum akhirnya dapat melihat jelas pria yang telah menolong dia.Pria itu rupanya juga menjadi pelaku penabrakan Natha.

Angin berhembus menggoyangkan daun disela, ada gemuruh yang menonton, mereka menjadi saksi pertemuan ketiga insan tersebut.

Antara Natha yang berada ditengah-tengah, di apit dua lelaki pada tangga atas dan tangga bawah taman universitas. Pandangan mereka saling bertemu, bungkam di bawah gulungan angin yang berlalu.

^^^Minggu, 19 Juni 2023 (19.11)^^^

Ting… Ting… Ting…

“ -aku tidak dilahirkan di dunia saja… “ Pelan, kalimat itu lirih terkeluar lewat bibir pucat Natha.

Berlanjut dari kalimat sebelumnya, dia memelan dan akhirnya bungkam di bawah pandangan terbelenggu.

Kancing lengan baju ibu terlepas, bergulir ke permukaan semen, jatuh dan berhenti tepat di bawah guyuran hujan halaman luar tempat pakaian biasa di jemurkan.

Langit malam semakin ribut, ada petir yang menyahut, seiring tetesan darah yang bergulir di pipi kanan Natha setelahnya.

Gadis itu terdiam tanpa lafal, buliran cairan bening di mata kananya akhirnya jatuh, di saut dengan darah yang ikut menetes membentuk pola bulat atas dataran buku novel setengah terbakar pada dekapan genggamnya.

Kedua tangan Natha menyatu kuat meremas tepian novel, dia tertekuk untuk menatap hamparan bawah, rambut poni yang basah berhamburan ke muka depan.

Ibu terkesiap setelah menyadari tindakan sendiri, tangannya bergetar hebat, manik nanar menjadi ekspresinya untuk menyoroti wajah Natha yang sudah membeku di dalam kesunyian.

“ Na-Natha. “ Ibu bersuara ragu.

Dia bergerak kaku mendekat untuk menemukan wajah Natha dari gelimpangan kepala sang gadis yang tertunduk sunyi, penuh rasa khawatir dan takut. Dia tersadar telah melakukan tindakan yang kelewatan batas.

Perlahan kepala Natha bertahap-tahap naik ke wilayah atas, kedua penglihatannya memerah penuh cairan, dia bungkam dalam ributnya hujan.

Membuat ibu membelalak hebat atas penglihatan pada darah segar yang bergulir menali di latar pipi Natha, di akibatkan oleh kancing dari lengan baju wanita itu saat menampar anaknya 

“ Maaf bu… “

Kalimat itu menjadi aspirasi terakhir yang terkeluar dari untaian bibir Natha, sebelum akhirnya tubuh gadis itu berlalu pergi. Berlari masuk ke kamar yang terbengkalai semula, dia duduk memeluk lutut di sisi kasur.

Pintu kamarnya telah di kunci, buku novel yang dia pegang di jatuhkan begitu saja atas lantai bilik, tersusun di antara tumpukan benda lain yang berhamburan tidak berbentuk.

Sampai terseret dan berakhir di dekat kaki kursi dalam kamar. Ada dua noda di atas novel setengah terbakar. Berwarna merah dan bening tanpa rona.

Ibu berusaha berteriak memanggil dari luar kamar, berulang kali mengetok juga menggoyangkan knop pintu.

Malam itu angin ribut bergelombang, menari masuk dari jendela luar dalam derasnya hujan. Tidak berhenti membunyikan lagu petir yang bersautan.

Tirai putih sisi jendela melayang-layang acak, para buku yang berantakan di lantai terbuka satu persatu. Saling berterbangan dengan lembaran kertas dan kain.

Natha menangis sejadi-jadinya dalam pelukan lutut. Suaranya penuh dan bungkam dalam kepungan. Kilat-kilat memberi cahaya sesekali di sela kegelapan kamar, kebetulan lampu padam akibat salah satu tiang yang tersambar petir.

Kesudahannya memberi tampilan kondisi Natha yang larut tengah gelora kelam dunia. Jam kecil yang tergeletak atas hamparan lantai tiba-tiba berhenti, tepat pada pukul 19.11.

Juga notifikasi di handphone sang gadis atas dataran kasur, tentang pemberitahuan pesan masuk. Ada tampilan awal yang menunjukan tanggal 19 Juni 2023.

Natha! Natha!! Natha!!!

...~Bersambung~...

Dia hanya sebuah benda. [1]

^^^Senin, 20 Juni 2023 (06.40)^^^

Aliran angin begejolak cepat menebar kilatan hembusan, dedaunan sekitar pecah berhambur naik, debu-debu tumpah berterbangan.

Surai kecoklatan panjang sekitar pipi berisi terlihat hanyut dalam gelora udara, mengubak area sekitaran wajah bekas luka beset sisi kanan, kibasan laju dua kendaraan mendobrak raga terperanjat seorang gadis.

Dia terpatung di tengah lintasan, jalan bebatuan dan semen kasar tidak seperti permukaan aspal. Di apit auman gas menanjak mobil ganda yang mengesek kuat jalanan untuk berputar singgah.

Serentak perhatian insan-insan teralihkan akibatnya, mereka bersorak ramai untuk berkerumun, berduyun-duyun mendekat ke pakiran dua mobil mewah yang telah menyatu di halaman depan gedung.

Termasuk teriak histeris kaum pengguna rok yang membabi buta. Sedikit menarik perhatian gadis lain berbaju biasa, korban himpitan dua mobil itu semula, netranya melirik polos dari jarak jauh. Tepat ketika dua pelaku pengemudi keluar pelan dari dalam kereta modern.

Kilauan cahaya berpancar penuh, menyorot pada satu penglihatan wajah, yang tampak bertahap mengeluarkan kaki hingga tubuh dan kepala dari daun pintu mobil.

berpostur tinggi di atas rata-rata, matanya tajam di bawah siluet alis lebat dan hitam, dengan bibir merah muda yang ranum.

Parasnya tampan, balutan tubuh cukup berisi bak model menjadi eksistensi raganya, serta tatapan datar yang dingin di atas garis rahang yang tajam.

Rambut panjang menjadi penutup acak kening depan, berwarna hitam dan lurus bervolume. Satu hal yang mencolok jauh di sana, hidung mancungnya yang melebih kapasitas kelaziman.

Seakan tak mau kalah, pria berparas campuran tampan dan manis di samping pakiran mobil pria pertama, ikut memberi godaan dalam lambatan waktu, matanya tajam menyorot tapi terlihat lembut dan melengkung ke bawah ketika tersenyum.

Keluar dari mobil merah menyala, bibirnya lebih berisi dan bulat kecil dengan tambahan alis lebat yang legam, membuat lelaki jangkung itu memikat.

Rambut kehitamannya belah tengah, terlukis panjang juga lurus. Terlihat dia lebih ramah di banding pria berhidung mancung dari mobil mewah putih mengkilap sebelumnya.

Terpancar ketika pria manis itu sesekali menebar senyuman ramah dan menyapa gadis-gadis fanatik di sekitaran.

" Aslan!!!!! Iefan!!!!!!! "

Udara bergelayut di sekitaran lamunan Natha, membuat gadis itu segera sadar untuk kembali ke keberadaan awal.

Pesona dua pria tak dikenal mencuri atensinya sejenak, seakan ada waktu lambat yang menemani pengeluaran insan ganda tengah kerumunan tersebut, sampai dia sempat terhanyutkan sebelumnya.

Lamun tidak berjeda lama, seseorang sekelibat mengapai tubuh Natha. Membekap mulut sang gadis, dia menarik paksa dan membawanya dari hanyutan insan-insan di gerombolan halaman.

Tak ada yang menyadari, sampai raga Natha telah berpindah di lempar kasar tengah hamparan gedung kosong.

Suara dentuman terdengar bergema. Menyajikan pemandangan kursi dan meja lama yang bertebaran terbengkalai.

Di sana sunyi, banyak pecahan beling hasil kaca yang lama, salah satunya menjadi alas Natha di lempar saat ini. Berakibat pada salah satu pergelangan Natha yang tergores dari sisa kaca dekatnya.

Darah segar perlahan menetes lewat lengan kecil tak berisi, membasahi ujung pergelangan baju gadis itu, ada noda merah yang semakin membesar di serat-serat kain kemeja putih.

Natha menyatukan alis merasa perih, menatap nanar darah yang bergulir. Rasanya hampir tak mungkin saat ini dia tengah bermimpi jika tubuhnya saja bisa merasakan sakit dan berdarah.

Kebingungan berkelut di benak sang gadis, dia beralih naik memandangi ketiga insan di jejeran muka. Baru sadar ada tiga gadis yang berdiri tajam mengelilinginya tengah kekosongan lokasi gedung.

Mereka berpakaian seragam Sekolah Menengah Atas ternama. Dilihat dari busana yang dikenakan, ketiga gadis ini pasti merupakan oknum yang tidak benar.

Tergambar jika sifat yang suka membully juga mengerjai siswa-siswa yang lemah di sekolahan. Tertonjol dari model busana mereka yang seksi dan berbentuk ketat.

Salah satu orang memiliki tubuh yang berisi, dengan balutan seragam pass body, juga kancing dada yang terbuka satu di atas.

Rambutnya tergerai panjang, hampir menyelimuti hingga ke bokong, di tambah aksesoris make up yang mencolok, dengan jaket kulit yang crop.

Juga kedua temannya sisi sebelah yang mengapit, salah satu dari mereka berambut pendek, dia memakai rok mini, berpasangan kaos kaki panjang atas lutut, dengan sepatu bot tinggi, dan permen bertangkai di bibir kecil.

Tak kalah sejoli di sebelah memakai seragam ketat yang berbentuk, rambutnya di gerai juga, tapi berwarna agak keorenan gelap, dengan make up full, dan sepatu both berwarna coklat.

Tak seharusnya pakaian anak sekolahan tersohor di manca negeri ini terlihat demikian, pikir Natha.

Termasuk tindakan mereka yang mengapa malah menyeret Natha ke kawasan gedung tak terpakai belakang sekolah, dia bahkan berseragam baju biasa.

Tidak bisakah mereka membedakan mana siswa dari Sekolah Menengah Atasnya sendiri atau bukan.

" Cih. " Seorang gadis tersenyum sinis, matanya menyipit melirik darah yang semakin basah di lengan putih baju Natha.

Menjadi pelaku yang membekap juga menyeret sang korban dengan kekerasan. Rautnya tampak muak. " Kenapa! Mau nangis? "

Dia bertanya dengan menantang sekaligus mencemooh. Kesal menanggapi sikap lemah tak berdaya dari reaksi Natha.

Kepala Natha diam menunduk, dia menggenggam erat dalam batin, mengutuk mengapa dirinya sekarang tak melawan, melainkan duduk bersimpuh, dengan tetesan air mata yang tiba-tiba terkeluar ke permukaan tanah.

Natha kaget sendiri melihat genangan matanya. Kedua cekungan netra gadis itu sungguh mengeluarkan aliran air, tersedu-sedu lalu menoleh menatap ketiga pelaku yang masih duduk di Sekolah Menengah Atas. Seharusnya Natha melawan, dia jelas lebih tua dari mereka.

Wanita yang memakai sepatu both di sisi kiri tertawa, berjalan maju sambil duduk mendongak paksa kepala Natha, namanya Ruby.

" Kenapa Natha? Ada yang sakit? Aduh-aduh, kasian banget ya nasib lu. Yang sabar ya, orang miskin emang di takdirkan kaya gini. Tapi... lu tenang aja, penderitaan lu ngga lama kok, palingan ya... sampai lu mati aja. "

Mulut Ruby naik turun mengejek. Gerakan tangannya sesekali mencibir kecil, seakan jijik mendekat ke Natha.

Tawa Sania berpaut puas setelah temannya berbicara, merasa lucu dengan guyonan ekstrim sesama kelompok.

Sementara Sekar hanya tersenyum sinis dengan angkuh, gadis yang selalu diam sejak awal. Rambutnya tergeraian hitam panjang, dan tubuh langsing serta proposional, dalam kata sempurna.

Mereka menindas Natha di tengah sunyinya gedung tak terpakai.

Tangisan Natha pecah, dia tersedu-sedu menahan isak. " Pliss... lepasin aku, aku ngga bermaksud untuk mendorong kamu kemarin. "

Suara Natha lirih, dia seakan memohon dengan lelah, bahkan tidak berani untuk balas menatap mata tiga gadis di depannya.

" Ha? Dorong? Ngedorong apa! Gila sih ni mimpi. " Masih Natha meyakini perasaan diri sendiri, walau sempat terkesiap dengan semua kenyataan dan deruan sakit sekarang.

Tapi dia tetap mengira jika kejadian ini adalah sebuah bunga tidur.

Sekar kaget, dia cepat memegangi wajah Natha setelah kalimat-kalimat dari gadis di bawah ini berkeluaran.

Panik juga berusaha mengelap buliran dengan lengan cardigan yang dia pakai. Alisnya bertaut khawatir, penuh rasa khawatir dan cemas.

" Cup-cup! Udah jangan nangis. Lu ngga salah kok Natha. Lu tenang aja. Gue yang salah. " Elusan telapak tangan Sekar menurun, kalimat-kalimat baik penenangnya berubah menjadi cengkraman tiba-tiba di dagu Natha.

" Gue yang salah karena ngebiarin lu masih hidup sampai sekarang! " Tiba-tiba tatapan gadis itu berubah bertukik tajam, dia mengambil sebilah beling dari lantai.

Menyorot wajah Natha dan juga pecahan kaca tersebut silih berganti. Entah bagaimana ekspresi panik itu bercampur dengan tatapan psikopat di dalamnya, haus untuk menyatukan ujung kaca yang dia pegang pada muka Natha yang pucat.

Ada senyuman kecil di bibir Sekar, tapi genggaman tangan Natha di bawah mengalihkan perhatiannya.

Sekar melirik takjub tangan-tangan Natha yang mengenggam erat kerikil di tanah. Seolah tengah mengulum kemarahan besar. Hasil dari rasa kesal Natha yang sesungguhnya dalam jiwa.

Manik-manik penglihatan sekar melebar, mengerti betul gadis di tengah genggam jari-jemarinya ini sedang menahan geram.

Bertolak belakang pada reaksi Ruby dan Sania yang silih berganti menatap panik. Beling itu bukan hal sebatas candaan, Sekar pasti sudah punya rencana lain dengan pecahan tersebut.

" Se-sekar. " Ruby memanggil ragu, dia berniat untuk menanyakan eksistensi beling tersebut. Takut jika Sekar akan melakukan hal kelewatan batas.

Tapi di tahan dengan dengusan dari Sekar. " Suuuuuttttt!!!! " Dia menaikan ujung satu jari di dekat bibirnya.

Bermaksud agar kedua temannya di belakang berubah diam. Lantas dia cepat beralih kembali menatap wajah Natha sambil menyeringai.

" Ngga papa jangan takut Natha... " Pelan suara Sekar mendayu membujuk.

" Ngga papa kok. Aku ngga bakal marah sama perbuatan kamu kemarin. Tenang aja... " Tapi ada seyuman terselubung di setiap sela perkataan lembut gadis itu.

Akal sehat jiwa Natha tidak bodoh untuk menyadari, benda tajam itu sudah berada sedikit demi sedikit di ambang atas matanya.

Entah bersiap hal apa yang akan gadis psikopat di depannya lakukan. Raga luar Natha menangis mengeleng seiring pandangan nanar pecahan tersebut.

Sementara batinnya juga sadar, gadis berpapan nama Sekar Tamorika Amar di sisi atas saku kanan bajunya tersebut sudah gila.

Dari gerakan dan tatapan matanya, gadis itu akan melakukan tindakan di luar batas. Tapi tubuh Natha tak kunjung berhasil untuk melawan, juga bergerak sesuai keinginan dari saraf-saraf otak.

Hingga sekejab tanpa ragu Sekar tiba-tiba saja mengayunkan benda bening bersisi tajam itu untuk menghujam permukaan wajah Natha.

Gadis penuh ceceran air mata di bawah hanya bisa reflek mengatup kelopak mata, memiringkan wajahnya, baik di raga luar maupun dalam batin kesadaran penuh.

Sudah pasrah jika akan terjadi suatu hal pada permukaan raganya detik berikut.

Cruengg!!!

Sampai suara hempasan beling antar beling membuat Natha terperangah sadar, perlahan kembali membuka mata untuk mencari kenyataan yang terjadi.

Keadaan sunyi dan tegang menyelimuti permukaan kabut sekitaran depannya.

Seseorang tiba-tiba saja mucul dan menahan tangan Sekar dengan erat, membuat gadis sombong itu bungkam bertemu muka, sampai tanpa sadar melepas beling yang dia pegang ke bawah dataran tanah dengan rasa takut.

Kedua insan di depan Natha saling bertatapan sekilas waktu, antara gadis bernama Sekar dan seorang pria yang tidak asing untuk di kenali.

Sebelum itu, manik kecoklatan milik netra tajam sosok pria tersebut berpindah haluan ke raga tak berdaya Natha sisi bawah. Ada pancaran tajam dan marah dalam gejolak cengkramannya yang semakin mengeras, setelah menemukan keadaan Natha.

Seolah merasa marah ketika melihat kondisi memprihatinkan gadis di bantalan tanah.

Bola penglihatan Natha melebar selepas mengingat, pria tersebut adalah siswa tampan yang keluar dari mobil mewah tengah halaman depan gedung megah tadi.

Pria berparas dingin dan tajam itu rupanya menjadi orang yang menyelamatkan Natha pagi ini.

Dia menatap Natha untuk sesaat waktu, tatapan mereka saling bertemu di keheningan detik, dengan mata Sekar yang nanar atas kemunculan tiba-tiba Aslan di tengah keduanya.

Angin seakan bertiup kencang, menerpa dedaunan, menonton keadaan beku antar dua manusia yang berjenis kelamin berbeda.

Sejak penglihatan di tengah kerumunan tadi, ini adalah perjumpaan Natha secara langsung bersama raga eksotis sosok pria pujaan para gadis tadinya.

Aslan menghempas tangan Sekar di udara, membuat gadis itu bungkam tak berkutik. Mundur menjauh dengan takut.

Masih memancarkan tatapan kaget. Cepat dua sejoli gadis itu di belakang, menarik temannya yang tertangkap basah di peluang waktu.

" Senyumlah, rekaman ini akan menjadi siaran lu nanti. " Suara serak basah lelaki lain keluar, berbicara pelan tapi menusuk.

Wajahnya santai dengan tatanan bibir yang mengurai manis. Rupanya berasal dari pria jakung yang tadinya ikut keluar seiring dari mobil merah menyala dengan pria dingin depan Natha saat ini.

Jantung Sekar dan kedua temannya seakan berhenti berdetak, mereka membelalak mencari cepat sumber camera di ujung belakang.

Tampak gerakan tangan beringsut membentuk pola garis melengkung senyum, dari telunjuk jari pria bernama Iefan, di salah satu sisi halaman yang menjadi juru pemegang camera.

Pria itu menebar lengkungan dengan nyaman, membabat habis nafas ketiga wanita pembully yang sudah ketakutan setengah ubun-ubun.

Mereka menjadi diam membatu, penuh peluh dan keringat cemas, semua tindakan jahat mereka telah terekam lengkap dalam benda canggih penangkap gambar.

" Semua tindakan lu, udah terekam full dari awal mula kejadian. Gue ragu setelah ini jika di ekspose apakah akan tetap semua orang menganggap lu sebagai korban, atau justru pelaku yang berpura-pura sebagai korban? " Iefan berujar tenang pada area posisinya.

Aslan tersenyum kecil di sudut ujung bibir kanannya. Menaikan alis seakan bertanya dengan polos. " Tuduhan kalian udah mentah, bukti ini akan menunjukan siapa sebenarnya pelaku dan korban yang terdesak. "

Aslan mulai mendekat, dia menusuk tajam mata Sekar. Mengintimidasi gadis tersebut, bertanya dengan nada yang pedas.

Sekar bungkam, tubuhnya bergetar hebat, dia menaik takut pandangan untuk membalas tatapan Aslan. Hingga tiba-tiba saja bersimpuh pasrah, setelah tertekan dengan tidak berdaya.

" Maafkan gue Aslan! Gu-gue mengaku salah! Bisakah kalian ngga menyebarkan video itu. " Dia mencoba memeluk kaki Aslan, menunduk-nunduk dengan permohonan.

Sayangnya Aslan bahkan tidak secuilpun mengidah, tidak tergerak selangkahpun untuk kasian, tatapannya tetap begis dan tajam.

Lalu dengan santainya seorang gadis bangkit kesakitan, mengapai lengan Aslan dengan pelan, menyela di antara aktivitas keduanya.

" Udah... Kalian maafin aja mereka. Kejadian kemarin udah berlalu, dan tetap biarlah menjadi berlalu. " Serak-serak suara Natha terkeluar pelan. Mencoba memberikan pendapat di sela dua insan depannya.

Padahal di jiwa pikiran asli Natha sudah memaki diri sendiri, mengapa bibirnya yang sejak tadi seolah terlem, tiba-tiba saja mengucapkan kalimat menjijikan untuk para gadis tak berperasaan ini.

Setelah semua tindakan lewat batas yang hendak mereka lakukan padanya. Bayangkan saja jika laki-laki bernama Aslan tersebut, tidak datang tepat waktu.

Maka hal apa yang akan di terima Natha mentah-mentah akibat beling dari tangan Sekar. Lalu bisakan sekarang dia berbicara untuk melepaskan mereka dengan begitu mudah.

Cepat para gadis yang melihat aura Aslan sedikit menurun, melarikan diri di kesempatan.

Mencoba menyelamatkan sebelum dua laki-laki itu berubah pikiran usai mendengar kalimat Natha.

Kendati di sela limpahan waktu, ujung mata Natha tak sengaja bertemu satu, dengan netra milik Sekar di halaman atas ketika hendak pergi.

Helaian rambutnya menjuntai panjang, dengan warna mata yang berbeda, dia seolah menyorot dengan artian lain kepada Natha. Seakan jika keduanya pernah bertemu sebelum ini.

Wuss...

Angin bergelayut di celah waktu, menerpa kecil anak-anak rambut di sekitaran muka Natha.

Membuat tubuh gadis itu tiba-tiba saja terduduk lemas, dia sempat mencoba melirik wajah dingin pria penolongnya yang telah berpindah untuk menghujam penampakan Natha. Dari biras silau mentari posisi atas.

Aneh lama kelamaan tatanan itu semakin silau dan buram, penuh cahaya dari cemaran atas, bibir-bibir kecil Natha yang baru mendapat kembali kendali tubuh terlihat bergerak samar sebelum dunia di pandangannya terlanjur meredup dan hitam.

Brukkk!!

...~Bersambung~...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!