Pagi-pagi sekali, Adnan sudah selesai menyuci pakaian. Rumah mereka juga sudah dibersihkan oleh Rheina. Setiap Minggu pagi, mereka selalu bahu membahu mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara itu, di hari lain, mereka melakukannya di sore hari setelah pulang bekerja. Rheina juga memasak makanan untuk makan malam. Rumah tangga mereka benar-benar harmonis, sesuai impian mereka dulu.
Adnan mengangkat pakaian yang baru saja ia cuci ke dekat tiang jemuran yang terletak di halaman depan. Rheina akan melanjutkan pekerjaan Adnan, untuk menjemur pakaian tersebut.
"Sayang, aku ke luar dulu, ya! Pengen beli mi ayam di warung Bude Ratih," ujar Adnan.
"Jauh amat beli sarapannya! Eh ... Tapi nggak apa juga, sih. Udah lama juga nggak makan mi ayam di sana. Sekalian beli sate telur puyuhnya, ya, Sayang!" Rheina tersenyum membayangkan nikmatnya mi ayam Bude Ratih jika dimakan dengan sate telur puyuh.
"Siap, Bu Bos!" ucap Adnan sambil berjalan menuju mobil yang terpakir di garasi. Warung mi ayam Bude Ratih letaknya memang cukup jauh dari rumah mereka. Namun, demi menikmati semangkuk mi ayam yang terkenal sangat lezat, Adnan rela jauh-jauh ke sana.
Setelah kepergian Adnan, Rheina kembali meneruskan kegiatannya menjemur pakaian. Namun baru beberapa lembar pakaian yang terjemur, perutnya tiba-tiba terasa kram lagi. Keringatnya dingin membasahi tubuh wanita berhidung mancung tersebut, menahan sakit yang luar biasa. Ia berjalan perlahan ke teras. Dicobanya mengurut bagian pinggang, untuk meredakan sakit, tetapi tidak ada pengaruh sedikit pun. Untuk menelpon Adnan agar cepat pulang, ia tidak sanggup berjalan ke dalam rumah.
Rheina menyandarkan badannya ke dinding, sambil menarik napas dan meniupkannya secara perlahan, berharap rasa sakitnya bisa berkurang. Ia benar-benar tak sanggup untuk berdiri. Ditahannya rasa sakit yang teramat sangat, berharap Adnan akan segera balik.
Setelah beberapa lama menahan sakit, akhirnya mobil Adnan memasuki halaman rumah. Laki-laki tersebut sangat kaget melihat istrinya kesakitan di teras rumah.
"Kamu kenapa, Sayang? Wajah kamu pucat sekali," tanyanya cemas.
"Perut aku kram lagi, Sayang" jawab Rheina sambil terus memegang perutnya.
"Kita ke dokter sekarang, ya," ujar Adnan sambil menggendong istrinya ke dalam kamar. Laki-laki tersebut sangat cemas melihat kondisi istrinya. Ia takut terjadi sesuatu pada bayi mereka.
"Nggak usah, Sayang. Aku masih punya obat kram perutnya di dalam laci. Kamu tolong ambilin, ya," pinta Rheina.
Adnan membaringkan tubuh lemah Rheina di atas tempat tidur. Setelah itu diambilnya obat kram yang dimaksud Rheina dari laci dan memberikan obat tersebut kepala belahan jiwanya yang terlihat sangat pucat. Laki-laki tersebut juga membukakan tutup botol air mineral yang memang selalu ada di kamar mereka.
"Sekarang kamu berbaring lagi, ya. Aku mau menyiapkan sarapan buat kita." Adnan menyelimuti Rheina, kemudian laki-laki tersebut bergegas keluar kamar dan memindahkan mi ayam yang dibelinya tadi ke dalam mangkok. Lalu, laki-laki tersebut menyuapi Rheina yang terlihat sudah agak lebih baikan setelah memakan obat kram perut tadi.
"Sayang, kamu tidur, ya. Aku mau sarapan dulu, habis itu mau melanjutkan menjemur pakaian yang tadi," ujar Adnan setelah Rheina menghabiskan separuh dari mi ayam tadi. Padahal biasanya, wanita tersebut sangat doyan dan bisa menghabiskan semuanya.
"Maaf, ya, Sayang," ujar Rheina lemah.
"Maaf untuk apa?" tanya Adnan sambil menghapus air mata yang keluar dari sudut mata istrinya itu.
"Aku sudah selalu merepotkan kamu," ujarnya sambil terisak.
"Nggak apa, kok, Sayang. Ini, 'kan, memang tanggung jawabku. Udah, ah, jangan nangis lagi! Istirahat, ya," ujar Adnan sambil mengecup kening wanita yang sangat dicintainya itu.
--
Baru beberapa menit Rheina beristirahat, terdengar sebuah suara yang sangat dikenalnya. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur karena ingin menemui mertuanya yang sepertinya baru datang. Namun, hatinya tiba-tiba merasa sakit mendengar mami Adnan tersebut terdengar memarahi anaknya. diurungkannya niat untuk keluar, mencoba mendengar dengan jelas pembicaraan mereka dari dalam.
"Kenapa kamu yang menjemur pakaian? Istrimu mana?" tanya Desti--mami Adnan dengan nada tinggi.
"Tadi setelah selesai mencuci, perut Rheina kram lagi, Mi. Makanya aku suruh istirahat." Adnan menjelaskan.
"Nggak kamu juga yang menjemurnya, Adnan! Nanti kalau dia udah mendingan, kan, bisa! Dari kecil kamu Mami manja, habis nikah justru kayak gini." katanya lagi.
"Udahlah, Mi! Cuma jemur kain aja diributkan!" jawab Adnan. Ia tidak suka melihat sikap maminya yang terlalu ikut campur urusan rumah tangganya. Dulu, hampir saja ia kehilangan Rheina karena mendengarkan nasihat maminya yang tidak jelas itu.
"Mami mau lihat istrimu, pasti dia lagi enak-enakan tidur!" Wanita paruh baya tersebut langsung berjalan menuju kamar Adnan dan Rheina.
Rheina yang mendengarnya mertuanya itu mau masuk kamar, langsung pura-pura tidur. Langkah kaki Yanti terdengar semakin dekat. Jantung Rheina serasa mau copot. Ia sangat takut kalau mami Adnan akan marah-marah kepadanya. Desti membuka pintu kamar dengan kasar, dilihatnya Rheina sedang tidur menghadap dinding.
"Jangan dibangunkan ya, Mi. Kasihan! Rheina baru saja ketiduran." Adnan memelas.
"Ya, sudah! Nanti kamu bilang sama dia, apa yang mami sampaikan tadi. Jangan pernah sekali lagi, dia menyuruh kamu melakukan pekerjaan rumah tangga. Mengerti?" ujar Yanti tanpa perasaan.
Adnan tidak menjawab, ia menggandeng tangan wanita yang telah melahirkannya itu untuk duduk di ruang tamu. Laki-laki tersebut menutup pintu kamar pelan. Ia takut istrinya akan terbangun dan mendengar semua ucapan maminya.
Rheina menarik nafas lega. Ia sedih sekali mendengar semua ucapan ibu mertuanya yang sangat menohok hati. Sepertinya, wanita tersebut tidak rela, anak kesayangannya harus membantu Rheina mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Padahal, ini rumah mereka dan mereka sudah sepakat untuk saling bekerja sama.
Rheina bahkan juga ikut membantu Adnan mencari nafkah. Gajinya sebagai guru di sebuah SMA Swasta yang cukup terkenal di kota mereka itu, lumayan tinggi karena sekolah itu termasuk sekolah yang berskala internasional. Hanya orang-orang yang berduit yang bisa menyekolahkan anaknya di sana.
"Bukannya Mami mau ikut campur sama rumah tangga kamu, Adnan. Mami cuma tidak mau kamu menjadi suami yang lemah! Suami yang takut istri! Kamu itu anak laki-laki Mami satu-satunya." Desti kembali berbicara dengan nada tinggi. Rheina dapat mendengar dengan jelas suara ibu mertuanya itu. Bulir bening kembali keluar dari sudut matanya.
"Iya, Mi. Biasanya Rheina yang ngerjain, kok! Ini karena dia sakit aja, Mi! Tadi juga, dia udah bantu jemur beberapa, tetapi perutnya tiba-tiba sakit, makanya Adnan yang lanjutin," bela Adnan. Ia tidak suka maminya selalu menyalahkan Rheina.
"Kamu cari aja asisten rumah tangga yang baru. Jadi, istrimu bisa terus bermanja-manja, tanpa merepotkan kamu." Desti masih belum puas menyalahkan Rheina.
"Iya, Mi," jawab Adnan pelan. Ia tidak mau meneruskan perdebatan ini. Ia sangat tahu sifat maminya itu. Sebelum hatinya puas, ia tidak akan berhenti marah-marah.
"Jangan iya-iya aja! Sekali lagi, Mami tegaskan, Mami tidak mau melihat pemandangan seperti tadi lagi! Paham!" Desti berkata tegas.
Rheina yang mendengar dari dalam merasa sangat bingung melihat perubahan sifat mertuanya. Biasanya wanita itu sangat baik dan perhatian kepadanya. Sepertinya keputusannya untuk tidak memakai jasa asisten rumah tangga, adalah sebuah keputusan yang salah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments