Bab 01 Bunga Keserakahan
Kedua kekasih ini sedang berbicara mengenai hubungan mereka, perbincangan keduanya makin memanas usai setengah jam berlalu. Widia menyilangkan tangan seraya manyun, dia senantiasa memperoleh penolakan selepas meminta kekasihnya untuk segera mungkin menikahinya.
"Widia, udah aku bilang berkali-kali, mengapa kamu tidak berusaha memahaminya?" Tanya remaja laki-laki itu, dengan ekspresi muka muram.
Pura-pura tak mendengarkan, Widia kini dia memalingkan muka dan tidak memiliki niatan untuk mencerna kata-kata kekasihnya. Yang diinginkan dia sekarang yaitu laki-laki ini menerima keinginannya, dengan keras kepala, menolak semua lisan yang terlontar keluar dari mulutnya.
Lawan bicaranya menggertakkan gigi merasa marah usai mengerti bila pasangannya ini tidak mengacuhkan sepatah kata pun. "Walaupun ucapanku tadi untuk egoku sendiri, tetapi inilah kenyataannya, tau!" Jelas kekasihnya.
"Itu yang aku gak suka dari kamu, kamu seakan ngomong nggak ada perasaan sama aku dan ngencani aku cuma buat ego kamu doang," ungkap Widia menuturkan kalimat yang selalu dipendam dalam hatinya.
Kekasih memegangi pelipis, dengan sesudah helaan dari napasnya dia membuka mulut, "lebih baik kamu pikirin dulu sampai minggu depan," saran kekasih sembari pergi.
Widia terus-terusan keukeuh enggan menatap balik pada lawan bicara, hingga dia pamit pulang. Meskipun begitu mata gadis itu mengikuti punggung kekasihnya yang makin lama semakin jauh, lewat pantulan jendela rumah. Usai lelaki itu tidak kelihatan lagi, gadis ini menoleh pada pot-pot bunga yang berjajar rapi di depan kedua kakinya.
Sungguh, meski dia seorang lelaki, dia ini cenderung lebih mirip perempuan bila dilihat dari kegiatan beserta impian yang dikejarnya.
"Tapi kayaknya..." lirih Widia, perlahan-lahan berhenti.
Saat memikirkan hal-hal manis dari kekasihnya, dia yang awalnya dengan bibir yang mengembang, sekarang pikirannya melayang dan termenung menyadari suatu perihal. Mimpi manis kekasihnya perlahan-lahan dilahap oleh waktu dan kenyataan, yang seperti akan ditelannya. Itulah pemikiran yang berputar-putar di dalam benaknya.
Kekasihnya dulu berwatak seorang idealistis, disamping mimpi-mimpi manis dan cinta 'kan tanah air itu, Widia sangat menyukai sisi dari si kekasihnya mencita-citakan semua itu dan berjuang dengan caranya sendiri. Namun, wataknya sekarang lebih serupa berusaha agar realistis.
Sebelum melupakan mimpi-mimpi, dia selalu melakukan sesuatu dengan alasan menginginkan hal-hal untuk impian dan egonya. Dia merasa tidak buruk memberikan egonya untuk berperan, misalkan sekarang kadangkala kekasihnya mengikuti kegiatan membersihkan sampah biarpun upah kecil sambil berusaha menyadarkan orang-orang untuk tidak membuang sampah sembarang.
"... bener deh, dia kayaknya berubah..." gumam Widia. Dia tidak pernah memperhatikan kekasihnya sedetail mungkin, dulu saat melakukan kegiatan bersih-bersih dia akan berbicara kepada anak-anak atau orang dewasa seperti tengah menceramahi supaya tidak melemparkan sampah itu secara semena-mena untuk mencegah banjir. Tapi.., kini kekasihnya membersihkan selama diberi upah.
Widia tersenyum kecut dan membelai rambutnya seraya bergumam, "Dii... kurasa omonganmu ada benernya deh."
"Kak Widia, ngapa kakak ngomong sendirian gitu di teras kayak orang gila?" Tanya adiknya lewat.
"Apaan sih, ganggu orang lagi mikir aja!" Jawabnya Widia.
Sekalipun kekasihnya ini menjadi realistis, Widia berharap jikalau dia menerima tawaran dan menikah secepatnya. Selepas memikirkan itu dia teringat jikalau adiknya juga selalu realistis, masa kecilnya penuh impian dan cita-cita, tapi mereka berdua mulai berubah setelah mulai dewasa.
"Kak, kamu kekanak-kanakan mulu, deh."
Widia memahami maksud keduanya, meski perasaannya tidak mendukung pemikiran mereka. Kekasihnya menolak untuk menikah memikirkan aspek sosial jikalau Widia hamil di usia sekarang, mereka musti menghadapi stigma negatif dan memikirkan gadis yang hamil pada usia muda, memperoleh diskriminasi dalam masyarakat.
Dia juga mengkhawatirkan kesehatan fisik dan mentalnya Widia, biarpun mereka dapat mengesampingkan perihal finansial akibat dukungan pihak keluarga Widia, Adi selalu enggan keluarga mereka nanti ketergantungan pada orang-tua mereka, terlebih lagi dia belum berpenghasilan tetap. Itulah landasan mengapa Adi menolak pinta Widia.
Lepas mendengarkan perkataan Widia, adiknya memukul kening sembari bergumam, "misalkan kak Adi itu masih jomblo.. udah aku kejar-kejar sampai mau sana aku, deh."
"Kakak gak mau punya genre cinta segitiga di kisah hidup ini," kata Widia menatap tajam adiknya.
"Ya, lupain aja kata-kataku barusan. Yang mau aku bilang tuh, jangan sia-siakan cowok modelan begitu..."
"Kakak malu tau, temen-temen kakak dah pada nikah, lho. Sedangkan kakak belum...!" geram Widia, mengalihkan perhatian dan menggigit bibirnya.
Adiknya tersenyum kecut bicara, "... cuma gegara gengsi, kakak mau nikah muda? Terus, kuliah kakak gimana dong kelanjutannya?"
"Oh. Dii juga bilang, 'setidaknya selesaikan dulu kuliahmu terus cari pengalaman buat kerja, nanti kalau aku mati duluan atau hilang, kamu bisa cari kerja tanpa kesusahan karena udah kuliah' katanya."
Widia mengerti bila pasangannya itu akhir-akhir ini sudah melihat segala kemungkinan terburuknya, sebelum mengerjakan sesuatu. Seakan-akan seusai menikah terus memiliki anak 'kan terjadi sesuatu dan mengharuskannya bekerja. Namun, karena Widia putus sekolah pastinya akan menyulitkannya mencari pekerjaan, apalagi dirantai oleh anak yang jadi beban ekonomi yang cukup besar.
Pikiran gadis ini larut, karena segala sesuatu yang diucap menunjukan kekhawatiran kekasih kepada dirinya dan dengan kesadaran penuh, menolak nafsu supaya mereka bisa menjalani kehidupan tanpa perlu ada drama yang merepotkan. Walau Widia mengerti, namun keegoisan pada hatinya, merasakan pukulan telak dari logikanya itu.
"Terus kenapa kakak kesel gitu? Harusnya kakak bahagia udah dapetin hati cowok yang beneran cinta, bukan mau enaknya doang. Toh kalo cowok lain pasti nerima aja soalnya ada dukungan dari papah juga soal biaya, tinggal laksanakan aja!" Gadis itu dengan ringannya nyerocos depan kakak, yang jelas-jelas ia sedang menahan jengkel.
"Napa sih dia harus mikirin kalo habis nikah bakalan mati duluan, nggak boleh 'kah kakak berharap ngejalani hidup mati berdua? Sambil punya mabelas anak mesra-mesraan sampe tua bangka, gitu.." tuturnya Widia menjelaskan isi hatinya.
Gadis di sampingnya menghela napas berbicara, "pikirin aja seorang ayah musti ngurusin lima belas anak, nggak bingung gimana tuh?"
"Ya udah, mau lima aja."
"Agak normal dikit, sih."
Waktu berlalu setengah hari, kini mereka sedang berada di meja makan dan Widia membicarakan mengenai penolakan kekasihnya tadi pagi. Bersamaan keluar tawa kecil ayahnya menggelengkan kepala, tolakan kekasih anaknya benar-benar sudah dia terka sejak awal putrinya mengatakan ingin segera menikahi kekasihnya sekarang.
"Dari wataknya aja kelihatan. Pacar kamu tuh betul-betul sungguh mau berumahtangga sama kamu, Widia. Dipikirin segitunya mau bahagiain kamu," cakap ayahnya.
Ibu meletakkan gelas, menarik napas sebelum berkata, "padahal udah biasa anak kuliahan nikah, lagian meski udah nikah juga masih bisa kuliah... antara pikiran maju atau pesimis aja pacarmu."
Widia tidak berkomentar lagi. Ayah serta adiknya setuju dengan pemikiran kekasih, meski ibu kelihatan netral, Widia yakin dia juga sepakat dengan suaminya dan adik. Memikirkan itu saja gadis ini baru menyadari bahwa dia sudah salah, karena keseriusan itulah dia memikirkan matang-matang dan berniat menjaganya usai telah siap.
Bab 02 Bunga Keserakahan
Widia cuma bisa menonton semata kengerian, bumi yang bergetar dan kericuhan tiada henti ini menunjukan jikalau perkelahian mereka melebihi akal sehat. Sekarang Widia betul-betul melihat pacarnya bertarung, melawan ratusan tentara mayat hidup beserta beberapa mahkluk fantasi yang seharusnya tidak nyata, tapi Widia melihatnya jelas.
Dia menghentakkan kaki, bersikap untuk cepat bertindak seusai seekor drake seukuran mobil berlari kencang menujunya. Seekor naga dengan kaki empat tanpa sayap itu mencoba menubruk lelaki itu, seperti badak. Dia terus menghindari gerakan drake, namun setelah belasan mengelak dia berhenti dan mengambil momentum untuk memenggal kepala drake sekali gerakan ketika bergerak.
Gerakan drake itu berpola, dia tidak semena-mena untuk menabrak musuhnya dan mengetahui itu, menghafal pola gerakannya terlebih dahulu. Sebelum mengeksekusi dengan tepat dalam sekali serangan.
"..."
Pacarnya melompat ke belakang, menyadari bila dia kan terkepung dan mengambil sikap tegas, menghunuskan pedang menghabisi belasan tentara mayat hidup dalam waktu singkat. Jelas sekali dia telah terbiasa. Meskipun begitu, jumlah lawan tak adil dan mereka tak dapat lolos.
"Dii...?"
Pacarnya yang tidak pernah menunjukan muka selama ia bertarung, perlahan-lahan menoleh ke belakang. Widia sudah mengecap kengerian walau melihat punggungnya saja, kali ini dia benar-benar menilik Widia, perawakannya sungguh berbeda dengan sebelumnya.
Selayaknya terlepas dari kemanusiaan, bola matanya kini menjadi dua buah kancing yang mengeluarkan darah seperti sedang menangis, bersamaan dengan bibirnya yang dijahit memberi kesan yang menakutkan yang amat mendalam. Widia ingin berlari sekencang-kencangnya, namun ia justru perlahan menghampiri sambil menangis.
Tiba-tiba saja sekelebat bayangan bergerak dalam waktu singkat, bayangan kekasihnya menghilang, mereka berdua berpelukan tanpa disadari oleh Widia. Kekasihnya tidak memeluknya untuk menunjukan rasa sayang, melainkan bertujuan melindunginya selaku tameng hidup
alhasil menerima puluhan anak panah yang berdatangan.
"Dii, kamu mau ngapain?"
Widia mengajukan pertanyaan. Meski kekasihnya ini tidak menanggapi, dia melepaskan gadisnya dan maju hitungan langkah menghadap ratusan musuh. Mendadak saja pandangan Widia kabur dia berupaya menggerakkan tangan, mencoba meraih-raih kekasihnya, meskipun begitu penglihatan makin meredup perlahan menghilang.
Kelopak mata Widia lambat-lambat terbuka. Bersama air mata berlinang membasahi pipinya Widia menemukan dia berada di hadapan layar monitor komputernya, sudah seminggu lebih berlalu mulai dari penolakan kekasihnya. Dia sama sekali tidak membalas surat Widia dan panggilan telepon tidak diangkat, membuat Widia suram.
Dia kesusahan tidur memikirkan mengapa kekasihnya itu tidak membalas email darinya, alasan yang mungkin jelasnya dia mungkin masih marah.
"Terus, napa akhir-akhir ini aku mimpiin kamu jadi boneka mulu, sih?" Batin Widia.
Sewaktu sedang bergelut melawan kebingungan, dengan pikiran melayang-layang tidak karuan, datang-datang seseorang mengetuk pintu kamarnya. Widia menghela napas panjang sembari beranjak dari kursi. Pintu terbuka menampakkan ayah menunjukan ekspresi kebingungan, mukanya sekaligus menampakkan kesedihan mendalam.
Dengan membawa keheranan Widia segera terbata-bata bertanya, "a-ayah ngapain?"
"Ada yang mau ayah bicarain. Kamu keluar dulu, gih. Kita bicara di ruang tamu aja... ayo," ajak ayah membelakangi.
Pria itu berjalan lamban dalam perjalanan kadangkala dia menoleh ke belakang, seperti bingung. Tidak lama seusai sampai di ruang tengah. Keluarga mereka sedang berkumpul, ibu dan Sarah adik Widia duduk di sofa seraya kelihatan sedih membuat Widia bingung melihat mereka.
"Ada apa ini?"
Widia duduk dan memperhatikan sekitaran. Suasana hati mereka lebih mirip bingung, meski ada secuil kesedihan, semuanya kecuali nenek seperti orang yang kehilangan kata-kata. Tidak lama kemudian ayah meletakan sebuah ponsel di atas meja dan Widia mengambil benda itu, usai ayah menitahkan putrinya membuka isi pesan yang baru.
"..."
Pupil mata gadis itu mengecil, mata mengikuti kata-kata dalam layar ponsel dan jari menggeser layarnya. Semua isi beritanya memberi dia serangan. Karena syok Widia melemparkan handphone ayah, napasnya memburu sesudah membaca semua pesan dan terutama kalimat terakhir membuatnya enggan percaya akan isi berita itu.
"Enggak..." lirihnya, dia menunduk dan memeluk tubuhnya karena merasakan hentakkan keras dari berita itu.
Ditengah syok yang menyesakkan dadanya itu mendadak neneknya membuka mulut, didalam nada sombong bicara, "udah nenek bilang buruh kayak gitu gak pantesan buat kamu, Widia."
Air matanya tidak terbendung dan pecah, gadis itu mulai menangis terisak-isak sambil merintih menerima duka. Sarah buru-buru memeluk kakaknya berusaha keras agar dia tenang. Namun, bukannya mengerti suasana duka ini neneknya justru nyerocos depan putri, menantu, bahkan cucunya yang masih kesulitan menampung keterkejutan.
"Ibu diam bentar. Jangan mengungkit-ungkit perjodohan untuk sekarang," kata ayah sambil memungut kembali ponselnya, terdapat berita tentang kebakaran yang menewaskan beberapa pekerja di suatu pabrik. Didalam kalimat terakhir disebutkan nama-nama serta foto para korban yang tewas, salah satunya yaitu kekasih putrinya.
Sarah yang memahami bila neneknya takkan diam meski dibentak ibu, membawa kakaknya yang telah kehilangan arah menuju kamarnya dan menemaninya semalaman. Dia belum paham rasanya kehilangan orang yang dicinta atau timbal baliknya, tapi pasti sulit menerima kenyataan bilamana lelaki yang menemani selama lima tahun pergi.
"Nggak sih, mereka udah kenal tujuh tahun lebih. Barulah pacaran pas kenal dua tahun..." batin Sarah.
Kakaknya tertidur dan tiap jam sekali, dia mengigau yang membuat Sarah cukup khawatir jika kakaknya mendengar soal kematian kekasihnya lagi besok. Jikalau besok kakaknya bangun, Sarah merasa harus berada disisinya dan memutuskan supaya tidur bersama hari ini.
Menentang kematian kekasih itu tidaklah mudah, terlebih lagi pihak keluarga sudah dekat dan pernikahan mereka sudah nyaris diputuskan. Sarah merasa ini pasti akan menjadi pengalaman traumatis. Dengan perasaan, Sarah mendekap kakaknya yang masih mengigau dan menenangkan gadis terpuruk ini dengan caranya sendiri.
Keesokan harinya, Widia mencaritahu dengan ketakutan mengenai perkara itu dengan lebih teliti dan pergi menuju rumah sakit dimana jasad kekasihnya berada. Sesudah menemui pihak keluarganya, Widia bermaksud melihat jasad laki-lakinya dengan mata kepalanya sendiri.
Sarah mengerti kakaknya memaksakan diri dan menahan segala kesedihan, tetapi begitu sampai di ruangan penyimpanan mayat gadis itu membisu. Kemudian tanpa menunggu kesiapan mental, mereka berdua masuk dan menemukan sebuah tempat tidur, dengan tubuh yang ditutupi kain putih berbaring di hadapan mereka berdua.
"Sarah, tolong bu... bukain kainnya..." pinta Widia.
Sarah menelan ludah. Dengan hati-hati mendekati sambil hendak menyentuh kain, dia terperanjat kaget sambil berteriak, "kak! Kak! Kakaaakk!"
"Ngapa?!" Jawab Widia memekik.
Dengan kencang Sarah membuka kain dan mereka mulai melihat jelas, bahwa tubuh lelaki ini sedang bernapas, jantungnya memompa darah dan menunjukkan tanda-tanda dia masih hidup. Sumringah Widia menangis bahagia kekasihnya tidak meninggalkan dunia dan hidup, Widia lega bersimpuh lemas sembari menyeka air mata.
Selepas itu kekasihnya dipindahkan dari ruangan itu dan mendapatkan perawatan. Diketahui bahwa organ dalam dan fungsi tubuh kekasihnya kembali bekerja, tanpa alasan yang jelas. Namun sekarang kekasihnya berada dalam keadaan koma dan tidak bisa merasakan rangsangan dari luar, terkecuali jikalau Widia di dekatnya.
Bab 03 Bunga Keserakahan
Widia pulang sembari meletakkan kotak martabak pada meja makan, kebetulan ibunya sedang memasak wanita itu berbalik dan mereka berbincang-bincang sebagaimana ibu serta anaknya pada umumnya. Berlalu satu setengah tahun, semenjak kekasihnya koma dan Widia mengunjunginya setiap hari, tanpa bosan menanti.
"Gwimana keadwaan pwacar kwamu?" Tanya ibu sambil menguyah makanan.
Widia menepuk jidatnya dan bicara, "pilih bicara dulu atau makan, mah!" Dengan diawali helaan napas panjang lanjut berkata, "aku gak ngerti, tiap denger suara aku Adii pasti ngasih respon. Tapi pas sama yang lain bahkan ibunya sendiri, dia gak respon apa-apa kayak meninggal."
Kondisinya tak pernah ditemui kasus ini baru pertamakali ada, sebab keadaan tubuhnya yang unik. Pernah sekali selama satu minggu, Widia tidak datang karena ada ujian dan fokus. Tubuh Adii berfungsi dengan baik dan kadang tidak bekerja, misal seperti adakalanya jantungnya berhenti bekerja tapi keesokan harinya berdetak kembali.
Widia tanpa sadar melamun sewaktu memikirkan semua kondisi abnormal kekasihnya. Selama setahun dia mempelajari kondisinya, namun tidak membuahkan hasil dan itu masuk akal karena dokter terbaik saja katanya tidak memahami kondisinya, dia mirip memiliki kehendak atas kehidupannya ataupun kematiannya sesuka hatinya.
"Ini hampir dua tahun, lho. Kamu masih setia sama pacar kamu, sayang?" Tanya ibu membuka percakapan.
"Mamah mau jodohin aku lagi? Nggak kayak kemarin aku kali ini bakalan bunuh cowok yang mau kalian deketin sama aku," ancam gadis ini, dia bersungguh-sungguh dan menunjukan ekspresi menyeramkan, seperti bukan gadis.
Ibu melemparkan senyuman paksa seraya bicara, "jangan lagi-lagi kamu mau celakain orang. Untung pelipisnya yang kegores garpu, bukan matanya. Lagian..." Ibu kali ini menggertakkan gigi dia lanjut bicara dan meninggikan suara, "kalian baru ketemu tuh cowok gak ngapa-ngapain kamu, lho!"
"Dia hampir semeter deket sama aku, tau!" Bentak Widia.
Widia mulai mengalami perubahan perilaku sesudah Adii koma dan menunjukan respon hanya kepada dirinya, dia menjadi mengisolasi diri. Mengurung diri dan memilih tidak berinteraksi sama sekali dengan orang lain, apalagi laki-laki termasuk ayahnya sendiri. Dengan ada seorang laki-laki saja melihat dia 'kan menganggapnya pelecehan.
Untungnya dia masih mau bicara dengan keluarga, meski sebatas ibu dan adiknya saja. Bahkan ibu menyadari dia mengalami perubahan pola tidur dan kehilangan minat akan aktivitas yang biasanya dinikmati, karena dorongan keluarga mereka. Itu yang diterka oleh suami dan dirinya.
"Mentang-mentang ada anak cewek, kalian mau ngejalin kerja sama dengan nikahin aku gitu? Ngeselin banget, aseli..." gumam Widia.
Begitulah yang ada di mata putrinya saat ini. Dikarenakan dorongan neneknya untuk menikah dan meneruskan perusahaan, serta menjalin kerjasama dengan pihak lain, dari dahulu itu telah menjadi kebiasaan keluarga mereka. Namun ibunya merasa kebiasaan yang diturunkan turun-temurun, pasti sulit diterapkan di zaman sekarang.
Dahulu orang-orang itu semasih belum terlalu mengenali apa itu cinta, antara dua lawan jenis. Sekarang waktu terus masih berjalan dan membawa perubahan. Dengan derajat perempuan makin setara dengan laki-laki, persepsi orang-orang yang hidup dalam waktu berbeda mungkin akan saling bertentangan dan salah satunya itu musti mengupaya memahami, yaitu orang yang lebih tua.
Cara pandang dan perilaku seseorang akan dapat diubah dengan mudah oleh mayoritas. Meski ada baik dan buruknya, orang yang lebih tua musti mengikuti zaman, membiarkan Widia menjalani kehidupannya sendiri. Tanpa menekankan hal-hal yang tidak relevan di zaman sekarang.
"Kurasa aku harus melupakan zaman dulu," batin ibunya.
Ibu Widia merasa ini agak terlambat, tapi dia menyadari jikalau mereka harus menyeimbangkan antara perkembangan zaman dan mempertahankan nilai-nilai penting dalam mendidik mereka. Sikap yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan terbuka. Tetapi tetap menjaga inti dari etika dan moral, yang mustinya menjaga anak mereka supaya tak keluar jalur.
"Maafkan ibu, ibu enggak akan memaksa kamu dan pasti ibu bakalan ngambil tindakan tegas sama nenek kamu kalau berniat ngelakuin hal itu lagi..." cakap ibu.
"Kayaknya mamah beneran mau marahin nenek, deh, kalo udah manggil diri sendiri sama panggilan 'ibu' kayak begitu," balas Widia menyeringai jahil.
Widia masuk ke kamarnya dan duduk di meja belajar, dia menatap tumpukan buku dengan pembahasan soal koma dan cara kerja tubuh manusia. Pencariannya tidak membuahkan hasil. Dia merasa tubuh Adii tidak mampu bertahan lama, tetapi kebalikannya, lelaki itu sekarang memiliki tubuh yang dimana selalu beregenerasi singkat.
Dipikir-pikir lagi pacarnya itu tidaklah normal. Baru seusai mengalami kecelakaan, bekas lukanya tidak ada. Pernah juga dia terluka dan lengan tergores pisau di dapur, tetapi Widia sekalipun tak pernah melihat bekas-bekas lukanya.
"Oh iya... Adii pernah berkelahi sama ayah karena pernah maksa aku pulang," gumam Widia.
Kala itu, Widia usai pulang dari sekolah bermaksud akan berkencan dengan Adii, tapi ayah menemukannya dan memaksa untuk pulang. Entah bagaimana dia yang baru saja datang, menghasilkan satu kesalahpahaman jikalau kekasihnya sedang digoda oleh om-om bejat. Tanpa pikiran jernih akhirnya keduanya berkelahi dengan serius.
Ayahnya belajar bela diri sementara Adii tidak. Waktu itu Widia yang panik tak sanggup melerai, mereka berkelahi serius dan meski dihadapkan dengan kekalahan, lelaki yang menantang ayahnya itu selalu bertahan. Bila dipikir lagi ketika itu kekasihnya menerima luka parah harusnya.
"Ini nggak normal," batin Widia. Tak lama 'ia memandang tumpukan novel yang mau dia buang, dengan pikiran yang telah semrawut dia bergumam, "...apakah mungkin Adii itu punya... kekuatan super atau semacamnya, 'kah?"
Bibirnya terbuka sedikit. Mengeluarkan tawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"..."
Dalam perenungan tak masuk akal itu, Widia meniadakan akal sehatnya dan membuka riwayat percakapan mereka dari tahun ke tahun semalaman. Jam dinding berdetak dan ibu yang sadar putrinya begadang memasuki kamar, meletakan secangkir minuman seraya mengintip apa yang tengah dikerjakan oleh putri pertamanya segitunya.
Tak bisa mengalihkan perhatian. Ibu membantu putrinya meski menerka Widia merasa putus asa, lalu melarikan diri dengan mengulang pembicaraan mereka.
Widia mengambil tumpukan buku dan mulai membuka laptopnya, dia beralih membuka-buka beberapa artikel mengenai orang zaman dahulu yang digadang-gadangkan mampu menggunakan kekuatan sihir atau gaib. Mereka berdua mulai mencatat dan mencaritahu, mendapati beberapa penemuan menarik.
"Bukankah ini berita kemunculan naga?" penasaran Widia memiringkan kepala, "bentar... kok kayak gak asing, deh?"
Mereka menonton video yang diunggah pada sosmed di sebuah hutan, menunjukan penampakan kurang jelas seekor naga dan seseorang sedang melawannya. Dalam rekaman itu Widia terus-menerus mengulang adegan saat orang itu menusuk naga, membawa sebuah boneka.
"P-Pakaiannya..."
"Baju apa?" Tanya ibu menemukan putrinya ini gemetaran seperti sedang mengingat sesuatu perihal, jelas sekali suatu ingatan terbit dalam benaknya. Tiba-tiba saja gadis ini mengambil ponselnya, menggeser layar dan menemukan bekas percakapan mereka, alhasil Widia kini bersandar sambil dipenuhi kelelahan lalu senyuman letih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!