“Makanya kalo jalan tuh pake mata!” hardik seorang wanita yang meledek Sekar.
“Ugh!” Sekar yang lebih ke merasa malu pun langsung berdiri dan pergi meninggalkan mereka berdua. Namun, dengan cepat seorang wanita langsung berlari dan menghadang Sekar dari depan, membuat langkah Sekar terhenti dan terkejut melihat wanita itu.
“Ma–mau apa? Kita sedang di kampus,” ujar Sekar yang berusaha untuk memberanikan diri bicara kepada wanita itu.
“Sekarang lo berani sama gue ya? Padahal keluarga lo jauh lebih miskin dari pada gue, dan beraninya nyokap lo jualan dan menghasilkan uang haram! Lo tau nggak duit yang lo pake itu duit gue dan hasil haram!” ujar wanita itu.
“Maaf Siska, aku sudah telat. Bisa kita bicara nanti?” ujar Sekar sembari menundukkan kepalanya dan langsung pergi meninggalkan wanita itu. Ia bahkan sempat menyenggol wanita itu.
Sebenarnya setiap berangkat kuliah, ia merasa takut karena Siska sering sekali merundung dirinya karena sebuah dendam pribadi. Sedangkan Sekar rela menjadi pesuruh mereka karena tidak ingin mamanya masuk ke penjara.
Karena sering dibully oleh salah satu donatur terbesar di kampus milik Sekar, tidak ada yang berani dekat dengan Nara karena takut jika beasiswa mereka dicabut, atau bahkan bernasib sama seperti Sekar.
Sejak semester dua, Sekar jadi sering menyendiri karena tidak ada juga yang mau dekat dengannya, apalagi laki-laki. Sekar bahkan sempat berfikir untuk pindah saja dari universitas itu, tapi sudah pasti papanya tidak memperbolehkannya.
Sekar pun mengikuti pelajaran dan berusaha untuk fokus agar nilainya selalu bagus, setidaknya ia bisa mendapatkan perhatian dari papanya dan berusaha untuk tidak mengecewakan papanya. Sebenarnya, dia juga kurang nyaman berada di lingkup yang sering memberikannya tekanan, namun mau tidak mau dia harus tetap bertahan, Sekar harus bisa bertahan sampai semester akhir dan lulus dari sana. Masih sisa semester lagi, dia juga ingin segera lulus dengan cepat.
Mata kuliah pertama pun selesai ia jalani, dan selebihnya masih ada lagi mata kuliah kedua di jam 12 siang nanti, sedangkan ini masih jam 10 pagi. Tiba-tiba Sekar mendapatkan telpon dari papanya.
“Halo, kenapa, Pa?” Sekar nampak bahagia saat menerima telpon dari sang ayah.
[“Kamu kuliah jam berapa lagi? Papa bisa ketemu kamu sebentar?”] tanya papanya Sekar.
“Boleh, Pa. Mau ketemu di mana? Sekar ada kuliah lagi nanti jam 12 siang, Pa!” Sekar nampak bahagia sekali mendengar papanya mengajaknya untuk pergi bertemu, meskipun sebenarnya dia tidak tahu apa yang akan mereka bicarakan.
Setelah telpon dimatikan, papanya Sekar pun mengirimkan lokasi kepada Sekar dan membuat
Sekar segera pergi ke lokasi tersebut. Namun, saat Sekar sengaja lewat gerbang belakang agar lebih cepat, tibat-tiba Sekar dihadang lagi oleh Siska dan kawan-kawannya. Padahal dia merasa bahwa jalan ini adalah jalan yang paling aman untuk kabur dari mereka, ternyata ia salah.
“Oh, sekarang lo kalau pergi lewat situ? Pantesan gue nggak pernah lihat lo lagi lewat gerbang depan. Pinter juga cecunguk satu ini!” ujar wanita itu.
Lutut Sekar langsung gemetar, sepertinya hal yang biasa terjadi akan kembali terulang di hari ini. Kedua pria yang datang bersama Siska pun langsung membawa Sekar ke gedung belakang kampus yang sepi dan tidak pernah ada orang yang lewat sama sekali. Siska sengaja menggunakan tempat itu untuk bermain bersama teman-temannya.
Kedua pria itu mendorong Sekar sampai punggungnya menghantam tembok.
“Tolong, jangan hari ini. Aku harus pergi dengan papaku hari ini, kumohon!” pinta Sekar kepada Siska sembari memohon di hadapan wanita itu.
“Oh, oke lah. Mood gue juga lagi bagus hari ini, jadi gue nggak bakal terlalu kejam sama lo,” ujar Siska sembari memainkan rambut panjangnya.
Sekar merasa sedikit lega saat ia mendengar hal seperti itu, artinya hari ini Sekar akan aman dan tidak akan disiksa oleh mereka. “Tapi bukan berarti gue lepasin lo sekarang ya! Cium kaki gue sekarang!” hardik Siska dengan matanya yang melotot.
Mendengar permintaan itu, sebenarnya Sekar menolak dan tidak ingin melakukan hal tersebut, namun jika dia tidak melakukannya, pasti sesuatu terjadi kepadanya. Sekar melihat ke arah sepatu Siska yang terlihat kotor, sepertinya ia sengaja mengotori sepatunya.
“Bi–bisa kasih permintaan lain?” ujar Sekar.
“Hah?! Minta yang lain? Kalau gitu bersihin sepatu gue deh! Sampe bersih!” pinta wanita itu.
Sepertinya itu jauh lebih baik daripada harus mencium kaki Siska.
Sekar pun mengeluarkan sapu tangan yang memang sering digunakan dan dipakai kemanapun saat Sekar pergi. Padahal itu sapu tangan hadiah dari ayahnya.
“Yang bersih! Jangan lelet!” bentak Siska. Karena ingin segera bertemu dengan ayahnya, Sekar pun membersihkan sepatu Siska dengan sangat cepat. Hingga terlihat sepatu wanita itu sudah bersih lagi.
“Sudah aku bersihkan,” ucap Sekar dengan nada lirih.
“Hoho, bersih juga! Kamu cocok banget jadi babu loh!” ledek Siska dengan senyuman.
Tiba-tiba, Siska menjentikkan jarinya seakan memberikan tanda kepada kedua pria yang ia bawa.
“Mau apa kalian! Pergi!” teriak Sekar.
Kedua pria itu pun langsung menarik rambut panjang Sekar dan membuat Sekar berdiri dan bahkan terhimpit. Kedua tangannya ditekan ke tembok, lalu tubuhnya digerayangi dan dilecehkan oleh kedua pria itu, mulut Sekar dibungkam dan ia hanya bisa meronta-ronta saja tanpa bisa berteriak.
Ingin rasanya Sekar menangis sejadi-jadinya karena baru kali ini terjadi kepadanya. Padahal ia ingin tubuhnya hanya disentuh suaminya saja, kini impiannya itu menghilang begitu saja. Ada sekitar 5 menit sampai Siska tersenyum puas, bahkan mengabadikan momen tersebut di ponselnya.
“Balik gih, kalian kudu sabar! Gue nggak bakalan ngijinin kalian buat ngilangin keperawanannya. Nanti ada waktunya!” ujar Siska.
BUKH!
Perut Sekar langsung ditinju dengan sangat keras oleh kedua pria itu. Ia langsung terduduk dan lemas, sedangkan Siska pergi bersama dengan kedua pria itu, lalu memberikannya uang.
“Ugh! Papa…,” rintih Sekar sembari menitihkan air matanya.
Mengapa di saat seperti ini, tidak ada yang mau mendekati Sekar, bahkan menolongnya. Padahal tadi ada beberapa orang yang lihat, namun mereka memilih untuk menghindar.
Apakah memang dirinya sudah tidak dibutuhkan lagi di dunia ini? Apakah dia akan terus menderita sampai kuliahnya selesai? Sekar selalu menanyakan hal seperti itu setiap detiknya, dan membuatnya merasa tidak berguna di dunia ini.
Dengan perut yang masih terasa sakit, Sekar pun langsung bangun dan pergi dari situ. Waktunya tidak banyak dan dia tidak ingin membuat papanya menunggu lama.
“Ayolah Sekar! Papa udah nungguin, kamu harus kuat!” ujar Sekar kepada dirinya sendiri dan berusaha untuk bangkit.
Sebelum ia pergi, ia mencuci sapu tangannya lebih dahulu. Dengan perut yang sakit, Sekar pergi menemui papanya di tempat yang sudah mereka janjikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments