Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, mengisyaratkan akhir dari hari yang panjang. Semua murid berhamburan keluar dari kelas, membawa tas mereka dengan ekspresi lega dan senang. Lorong-lorong sekolah dipenuhi oleh tawa riang dan obrolan antusias, menciptakan suasana yang hidup dan penuh semangat.
Di tengah keramaian, Fany mengemas buku-bukunya ke dalam tas dengan rapi. Dia melirik sekilas ke luar jendela, melihat teman-temannya berlari ke arah gerbang sekolah. Dengan tenang, dia merapikan meja belajarnya sebelum berdiri dan mengangkat tasnya ke bahu.
"Saatnya pulang ke rusun," gumamnya pada diri sendiri, menyunggingkan senyum tipis. Meski hari ini melelahkan, ada sesuatu yang menenangkannya tentang rutinitas pulang ke tempat tinggalnya. Fany melangkah keluar kelas, menyusuri lorong-lorong yang mulai lengang, dan bergabung dengan arus murid yang mengalir menuju pintu keluar.
Di luar, matahari sore memberikan sentuhan hangat pada kulitnya. Fany menatap sejenak ke langit biru, merasakan angin sepoi-sepoi yang membelai wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati momen kebebasan setelah seharian berada di dalam kelas.
"Semoga malam ini tenang," pikirnya sambil berjalan menuju Rusun.
Fany berdiri di depan gerbang sekolah, menggenggam erat dompetnya yang terasa ringan. Dia membuka dompet itu dan melihat isinya—hanya tersisa beberapa lembar uang, jumlah yang sangat sedikit.
"Bagaimana aku bisa bertahan dengan uang segini?" gumamnya pada dirinya sendiri, merasa putus asa. Pikirannya berkecamuk mencari solusi, mencoba untuk mengatasi keadaan yang sulit ini.
Fany memutuskan untuk tidak menggunakan uangnya untuk transportasi dan memilih untuk berjalan kaki pulang ke rusunya yang terletak sejauh 1 kilometer dari sekolah. Meskipun letih setelah seharian belajar di sekolah, Fany menganggap itu sebagai pilihan yang lebih baik daripada harus kelaparan di rumah.
Dengan langkah yang semakin cepat, Fany berjalan menyusuri jalan raya yang ramai. Meskipun lelah dan lapar, dia tidak kehilangan harapan.
Fany tiba di gedung rusun yang terletak di tengah kawasan perkotaan yang padat. Gedung itu terlihat sangat kumuh, dengan dinding tembikar yang catnya memudar dan jalanan yang penuh dengan lubang. Lampu-lampu lorong yang sebagian mati dan tidak terang menambah kesan suram tempat itu. Di sekitar gedung, terdapat tumpukan sampah yang berserakan, menambah kesan tak terurus dari tempat itu.
Fany berjalan melalui lorong-lorong gelap menuju pintu masuk gedung. Dia melewati lift yang rusak dan tidak pernah diperbaiki, yang hanya menjadi peringatan akan kondisi yang tidak terurus di tempat itu. Dengan langkah mantap, Fany akhirnya tiba di depan pintu rusunnya, yang terletak di lantai empat dengan nomor 406 yang sudah mulai pudar.
Fany mencari kunci di dalam tasnya dan membukanya, menghadap pintu yang kusam dan rapuh. Dengan susah payah, Fany membuka pintu dan masuk ke dalam rusunnya, disambut oleh aroma yang tidak sedap dan udara yang pengap. Meskipun tempatnya jauh dari sempurna, ini adalah tempat yang Fany panggil sebagai rumahnya.
Dengan langkah pelan, Fany berjalan menuju ruang tamu kecilnya, melemparkan tas di sofa yang usang. Dia menghela nafas, merasakan kelelahan tubuhnya setelah seharian yang panjang. Namun, ada rasa lega di hatinya karena kini dia berada di tempat yang dulu dia panggil sebagai rumah.
Fany merasa sangat lapar setelah seharian beraktivitas tanpa makan. Dengan langkah gontai karena lelah, dia memasuki dapur dengan harapan bisa menemukan sesuatu yang bisa dimakannya. Dengan gerakan malas, dia membuka lemari kaca di sudut dapur dan mengambil sebungkus mie cup yang tersisa.
Tanpa banyak berpikir, Fany menuangkan air panas ke dalam mie cup dan menunggu beberapa menit hingga mie matang. Bau harum mie yang sedang dimasak mulai menguar di udara, menambah rasa lapar Fany. Namun, ketika mie cup sudah siap untuk dimakan, Fany memeriksa tanggal kadaluarsa yang tertera di bungkus mie.
Saat melihat tanggal yang sudah lewat dua minggu, Fany menarik napas dalam-dalam. Dia tahu seharusnya tidak mengonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa, tapi rasa laparnya begitu mendesak. Dengan mengangkat bahu acuh, Fany memutuskan untuk tetap memakannya.
Saat sedang asik menikmati makanannya, Fany tiba-tiba mendengar handphonenya berdering di sofa ruang tamu. Dengan cepat, dia beranjak dari kursinya dan melangkah menuju handphonenya yang terletak beberapa langkah dari tempatnya duduk. Melihat panggilan masuk dari sahabatnya Vina, Fany langsung merasa sedikit khawatir.
Dengan tatapan tajam dan wajah yang datar, Fany menghela napas dalam sebelum akhirnya mengangkat panggilan teleponnya.
"Ada apa, Vina?" tanyanya dengan suara datar, mencoba menahan perasaan kekesalannya.
"Fany, aku butuh bantuanmu. Ada satu teman kerja yang ijin mendadak, dan aku butuh seseorang untuk menggantikannya di cafe sekarang juga. Bisakah kau datang segera?" ucap Vina menjawab dengan cepat dari seberang sambungan.
Fany merapatkan bibirnya, merasa sedikit kesal dengan permintaan tiba-tiba tersebut.
"Baiklah, aku akan datang," sahut Fany dengan terpaksa.
"Terima kasih, Fany. Aku tunggu di kafe ya," kata Vina bersyukur mendengar jawaban Fany.
Fany mengangguk singkat meskipun tindakannya tidak bisa terlihat. "Sudah kubilang, aku akan datang," ucapnya, sebelum akhirnya menutup panggilan dan bersiap untuk pergi ke cafe.
Dengan terburu-buru, Fany berganti pakaian dengan cepat dan kemudian turun ke lantai bawah rusun tempat tinggalnya. Langkahnya tergesa-gesa saat dia berjalan menuju halte bus yang terletak cukup jauh dari tempat tinggalnya.
"Seharusnya shift kerjaku malam ini," keluh Fany dalam hati, kekesalannya terpancar jelas dari ekspresi wajahnya yang tegang. Dia merasa frustrasi karena harus menggantikan teman kerjanya tanpa persiapan sebelumnya.
Setelah menunggu cukup lama di halte, akhirnya bus yang ditunggu-tunggu tiba juga. Fany segera melangkah masuk ke dalam bus, merasa lega bahwa perjalanannya akan segera dimulai meskipun dia masih merasa kesal dengan situasi yang terjadi.
Tanpa Fany sadari, saat dia berdiri menunggu bus, seorang pengamat diam-diam memotretnya. Di mobil hitam yang keberadaannya cukup jauh dari tempat Fany, seseorang mengeluarkan kamera mahal untuk mengambil foto Fany tanpa sepengetahuannya.
Saat Fany masuk ke dalam bus, orang tersebut mengeluarkan handphonenya dan mulai menelepon seseorang. "Halo, dia sudah masuk ke dalam bus," ujarnya dengan suara rendah, memastikan bahwa informasi tersebut sampai kepada orang yang dihubunginya.
Di sisi lain telepon, suara yang terdengar menjawab dengan singkat, "Baik, aku akan segera mengikutinya." Setelah itu, percakapan pun segera berakhir, dan orang itu mematikan handphonenya dengan hati-hati.
...----------------...
Di ruang tamu yang elegan, seorang pria tua berusia 50 tahun duduk dengan santainya di atas sofa mewah, sementara tangannya sibuk memegang selembar foto-foto Fany. Meskipun usianya telah mencapai setengah abad, pria itu masih terlihat tampan dengan rambutnya yang beruban yang ditata dengan rapi.
"Bukankah dia sangat cantik?" gumam pria itu pada dirinya sendiri, matanya terpaku pada wajah Fany yang terpampang di foto.
Seorang pria tampan yang duduk di sebelahnya mengangguk setuju, menyimak dengan seksama foto-foto yang dipegang oleh pria tua itu. "Iya, benar sekali. Dia benar-benar memesona," sahut pria itu tersenyum melihat foto-foto Fany.
"Papa sangat merindukannya," ucap pria tua itu dengan suara lembut, tatapannya terasa kosong saat memandang ke langit-langit ruangan yang mewah. "Dia gadis yang kuat, bisa melewati segala rintangan dengan tangguh."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Frando Wijaya
huh? jgn blg fanny ini kna buang?
2024-08-10
1
Uswatun hasanah
woww... anak Sultan kah Fany... 😊
2024-06-09
1